Gendang
Bas Simaté-maté
I.
Pengantar
Gendang
dalam tradisi Karo mengandung artian musik secara menyeluruh, meliputi instrument, rhythm, dan sound. Gedang Karo (Gendang Telu Sedalanen Lima Sada(se-)
Perarihen) dalam masyarakat Karo selalu ditampilkan dalam setiap upacara
adat atau hajatan, baik perjabun atau nereh-empo(pernikahan), mbengket rumah mbaru(memasuki rumah
baru), caburken bulung atau ngambat (perjodohan, atau pernikahan
usia dini), pakuwaluh(pembakaran jenazah), ngangkat(muat) tulan-tulan
(membongkar/mengambil/memindahkan tulang), nurunken kalak maté(menguburkan
jenazah), dll. Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengulas sedikit tentang
penggunaan gendang Karo dalam upacara adat kematian dalam masyarakat Karo.
Berikut ulasannya.
II.
Gendang
bas si maté-maté
Gendang bas si maté-maté,
maksudnya adalah, erkata gendang(pertunjukan, permainan musik) dalam upacara adat
kematian menurut adat Karo. Dan berikut akan di ulas tentang gendang-gendang(nama gendangnya) apa
saja yang ada pada upacara nurunnken
simaté-maté dalam tradisi masyarakat Karo.
A.
Gendang
Nangkih
Sebelum dilakukan penguburan, sangkep
nggeluh (sisten kekerabatan
dalam suku Karo yang secara garis besar meliputi sukut, anak beru, kalimbubu,
dan teman meriah) dari yang
berduka melakukan runggu atau
dibeberapa daerah dibebut sijalapen(musyawarah) untuk
membicarakan hal-hal yang akan dilaksanakan pada upacara kematian tersebut,
meliputi undangan, makanan, sierjabaten(pemusik),
dan waktu penguburan, dll. Runggu atau sijalapen ini biasanya dilakukan setelah
selesai makan malam(jika runggu di malam hari).
Jika meninggalnya di sore hari,
tentunya tidak mungkinkan dilakukan penguburan dihari itu juga, maka seperti
lazimnya runggu dilakukan dimalam
harinya. Dan, jika yang meninggal itu cawir metua(telah mencapai umur
panjang dan segala tugas dalam hidupnya telah usai, salah satunya semua anaknya
sudah menikah) maka erkata gendang(bunyi gendang, musik dimainkan) telah dimulai
malam itu juga, setelah runggu selesai dilaksanakan. Namun, saat sekarang ini
tidak ada lagi bedanya antara cawir metua atau tidak, melainkan tergantung
kepada keinginan keluarga dan kemampuannya secara ekonomi.
Erkata gendang
dalam peradatan Karo ini, biasanya dilakukan untuk mengiringi(musik pengiring) landek(menari)
setelah sebelumnya setiap tegun(kedudukan dalam adat menurut
adat Karo) berdiri dan menyampaikan kata-kata, baik penghiburan, kritikan, nasehat,
dll kepada pihak sukut yang
berkemalangan. Adapun urutan tegun yang
landek pada gendang nagkih ini,
yakni:
-
Landek tegun sukut.
-
Landek tegun sukut sidarat.
-
Landek tegun Sembuyak.
-
Landek tegun senina sierkelangken.
-
Landek tegun anak.
-
Landek tegun kalimbubu simada
dareh.
-
Landek tegun kalimbubu tua.
-
Landek tegun kerina
kalimbubu(sienterem).
-
Landek tegun anak beru.
-
Landek tegun anak beru sipemeren.
-
Landek tegun anak beru menteri.
Namun,
dalam prakteknya sekarang ini di beberapa wilayah, tegun yang landek
disederhanakan menjadi:
-
Tegun sukut.
-
Tegun kalimbubu.
-
Tegun puang kalimbubu.
-
Tegun anak beru.
-
Tegun anak beru menteri dan teman
meriah kerina.
Dan,
gendangnya juga dinamakan gendang pengian-ngiani(menjaga). Hal
ini, mungkin diperuntukkan bagi singiani(menjaga) jasad, seryan, dan para anak beru yang telah memulai kegiatannya untuk mempersiapkan
keperluan pada acara adat nurunken si maté-maté
esok harinya.
B.
Gendang
Nurunken Si Maté.
1.
Gendang
Jumpa Truh
Hari dimana direncanakan akan
dilakukan penguburan, setelah selesai acara peradatan di rumah yang meninggal,
yang meliputi prosesi sirang-sirang(kuku kaki dan tangan
si janda atau duda, serta keluarga dekat dari si maté dikikis kemudian dimasukkan dalam belo cawir(sirih
komplit) diludahi empat kali
kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam peti), erpangir bas pas-pasen(janda/duda
yang meninggal dilangiri dengan lau penguras(air yang telah diramu)
di pas-pasen(teras)
rumahnya) dan tektek ketang(memotong rotan yang menandakan putusnya hubungan
dalam artian telah berpisahnya si mate(yang
meninggal) dengan keluarga yang ditinggalkan secara fisik dan alam), maka saat si maté dibawa dari rumah ke kesain, tiba-nya jenzah tersebut di depan
rumah maka ipalu(dimainkan, bunyikan)
gendang jumpa teruh. Di wilayah
Deli-Serdang, selama beberapa kali mengikuti upacara kematian tidaklah pernah
dilakukan prosesi tersebut diatas(sirang-sirang,
erpangir bas paspasen, ataupun tetek ketang), hal ini mungkin kuat
dipengaruhi oleh kepercayaan(agama) modern yang telah dipeluk masyarakat Karo
sekarang.
Secara harafiah, “ gendang jumpa teruh ” ini, jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti: jumpa di bawah. Mengapa demikian dinamakan? Ya, karena kita ketahui
masyarakat Karo tradisional (bahkan di beberapa perkutan Karo hingga sekarang) tinggal di rumah-rumah adat yang
tidak lain adalah rumah panggung, sehingga lantai rumah dengan tanah di teruh(bawah) berpisah. Maka sering dalam
prosesi ini disebut juga nurunken si maté.
Dan, karena itulah gendangnya disebut gendang
jumpa teruh. Adapun urutan tegun yang landek saat erkata gendang jumpa
teruh ini, yakni:
-
Semua tegun sukut.
-
Semua tegun kalimbubu.
-
Semua tegun anak beru.
-
Semua anak beru menteri dan anak
rumah.
Setelah
erkata gendang jumpa teruh selesai,
dan jenazah dikelilingi sebanyak empat kali, kemudian jenazah si maté diangkat
ke kesain(jambur) dimana acara peradatan si maté-maté akan dilaksanakan yang
dinamakan pengasen.
Seiring dengan perkembangan zaman,
saat masyarakat Karo telah tinggal di rumah pribadi masing-masing dan
konstruksi bangunan rumah juga tidak lagi rumah panggung, serta jika ada
hajatan tak terkecuali si maté-maté (kematian,
duka cita) akan dibawa(dilaksanakan) ke jambur(wisma), yang tak jarang
jaraknya dari rumah ke jabur tersebut cukup jauh, maka gendang jumpa teruh ini bukan ditiadakan, melainkan diganti dengan
istilah gendang pengalo-ngalo(gendang menyambut), dan prosesinya juga
sudah sedikit berbeda. Kalau dalam gendang jumpa
teruh gendang ipalu(erkata
gendang) saat dimana mayat si maté sampai di depan pintu rumah saat hendak
menuruni jabu(rumah) menuju kesain(halaman) disambut dengan gendang jumpa teruh ini. Namun, dalam
gendang pengalo-ngalo ini dilakukan erkata gendang saat dimana jenazah si
maté sampai di gerbang jambur maka anak
beru menghaturkan sierjabaten(pemusik) untuk malu(memukul,
membunyikan, memainkan) gendangnya untuk ngalo-ngalo kerehen mayit kalimbubu(menyambut
kedatangan jenazah kalimbubunya) masuk ke jambur. Dan, saat jenazah si maté
sampai di depan pintu jambur, saat
diangkat ke dalam jambur, anak beru ngelandeki(menari mengerumuni) si
maté hingga jenazah diturunkan, anak beru tetap ngelandeki dengan mengitari
mayat sampai gendang juga telah berhenti, yang biasanya dalam situasi ini
gendang diakhiri dengan irama patam bung(patam-patam seluk) yang berirama makin lama makin keras dan
temponya semakin cepat dan pada fase akhir gendang idabuhken(di jatuhkan)
dengan perlambatan sambil yang hadir eralep-alep(bersorak), sehingga tak
jarang yang menari atau yang mendengar gendang dan melihat orang yang menari
menjadi kesurupan karena alunan musik dan suara saruné yang miris menyayat
dalam nada yang tinggi.
Di kawasan Karo Jahé, penulis tidak
pernah melihat gendang jumpa teruh
ini dilakukan dalam acara simaté-maté, dan dari beberapa sumber mengatakan
memang hal ini tidak pernah dilakukan oleh masyarakat Karo Jahé, kecuali gendang pengalo-alo seperti yang disebutkan juga diatas.
2.
Gendang
nangketken osé
Gendang
nangketken osé ini dilakukan jika si
maté kematiannya cawir metua. Dalam
kebiasaan masyarakat Karo, gendang pembuka dibuang sekali(tidak ada yang
menari), karena gendang ini diperuntukkan bagi Dibata(Tuhan), bégu-bégu
jabu(roh leluhur), dan alam. Namun, saat sekarang ini dimana
agama(kepercayaan) modern telah merasuk dan melekat dalam kehidupan masyarakat
Karo, maka tak jarang banyak pendapat miring tentang gendang ini, sehingga
bukan ditiadakan melainkan diganti dengan istilah yang berbeda, yakni: “ gendang
persikapen(musik persiapan)”.
Dalam,
nangketken osé ini, seluruh keluarga
inti, meliputi anak, menantu, serta cucu i
oséi (di pakaikan pakaian adat
Karo lengkap) oleh kalimbubu dareh dari masing-masing menantu si maté. Setelah
selesai erosé maka tegun sukut naruhken(menghantarkan)
isap
ras belo(rokok
dan sirih) kepada kalimbubu, dan setelah itu lanjut ke acara berikutnya.
3.
Gendang
naruhken tudung
Pagi
hari (jika yang meninggal cawir metua dilakukan setelah gendang nangketken osé) dimana, direncanakan si maté itu akan
dijalankan peradatan kepergiannya
sebelum dikuburkan, ipalu gendang
naruhken tudung. Gendang naruhken tudung ini dilakukan kepada beru singumbah atau beru puhun(anak gadis kalimbubu) yang sebelumnya telah di runggukan
siapa yang akan ngaloken tudung(menerima
tudung) untuk jadi calon penerus hubungan dengan kalimbubu.
Selanjutnya,
anak perana(pemuda) dari keluarga
yang meninggal datang ke beru puhun
atau beru singumban naruhken
tudung(membawa tudung yang diperuntukkan bagi wanita Karo) diiringi oleh anak
beru-nya dan ipalu gendang saruné,
dan mereka pun menari diiringi musik gendang Karo dan anak beru meberikan belo kinapur(sekarang uang) dan menebar beras jujungen sambil beralep-alep dan
bersorak “ mejuah-juah! ” agar mereka yang menari diharapkan akan
menikah untuk melanjutkan keturunan dan hubungan kekeluargaan dengan kalimbubu.
4.
Landek
adat.
Landek adat
ini dilakukan setelah setiap tegun selesai memberikan ajar(ajar, juga
kritikan), pedah-pedah(nasehat) dan kata pengapul(penghiburan) kepada
yang berkemalangan. Adapun urutannya menurut tegun-nya, adalah sebagai berikut:
1.
Landek Tegun Sukut.
2.
Kalimbubu.
3.
Anak Beru.
4.
Teman meriah(sejiran, anak kuta,
teman kerja, dll).
Setelah
acara landek adat ini dilaksanakan, maka dilanjutkan ke acara peradatan berikutnya.
5.
Gendang
ncabinken uis meciho.
Dalam
beberapa literatur Karo, gendang ini tidaklah pernah tertulis, sehingga penulis
juga katakana ini merupakan gendang si la
ergelar(tak bernama dan bermakna secara adat), namun dalam prakteknya
sekarang ini, prosesi ini selalu dilakukan, dimana sanak saudara dan kerabat
dari si maté bergantian menurut tegunnya ncabinken(menyelimutkan)
uis meciho atau sering juga disebut uis mbentar(kain kaftan) dan tak jarang uis ariteneng ataupun uis kapal(kain tradisional Karo
berwarna gelap), ataupun benda-benda yang disayangi atau diingini si maté
semasa hidupnya ke jasad si maté sambil landek mengelilingi diiringi dengan
gendang saruné.
6.
Gendang
naruhken si maté ku pendonen.
Setelah
semua acara peradatan selesai, maka jenazah pun akan di kubur. Sebelum jenazah
dibawa ke pendonen(penguburan)
terlebih dahulu jasad-nya dikelilingi empat kali oleh keluarga. Namun saat
sekarang ini, bukan hanya keluarga, tetapi semua ikut serta mengelilingi mayat
dan juga ipalu gendang dan landek saat yang hadir mengelilingi
mayat si maté.
Dalam
beberapa situasi gendang ini juga ipalu
hingga sampai di lokasi penguburan, namun saat sekarang ini mengingat efisiensi,
kebiasaan, trend, dan repotnya jika membawa gendang komplit berjalan, maka
iring-iringan ke pendonen tidak ipalu gendang, kecuali ada keinginan
atau kemampuan secara materi, maka iringan itu diikuti dengan terompet ataupun
drum-band komplit.
C.
Gendang
narsarken rimah.
Dari
sekian banyak rentetan gendang dalam pradatan Karo, menurut saya pribadi gendang narsarken rimah inilah yang
paling unik dan menarik bagi saya. “ Narsarken
rimah ” atau sering juga disebut ralep-alep, secara harafiah jika diterjemahkan
mengandung artian: menyapu rimah(sisa nasi yang melekat di
tubuh). Yang menarik dari penulis ialah, saat dimana prosesi ini dijalankan,
dimana kata-kata yang terucap dari janda atau duda(jika masih muda) yang
ditinggal si maté saat mengitari rumah, sehingga menurut penulis makna dari narsarken rimah ini agar janda atau duda
tersebut tidak larut terus menerus dalam kesedihan dan melepas segala
kenangan-kenangan yang membuat mereka merasa berat hati atau enggan untuk
kembali menjalin hubungan dengan masyarakat luas dan bahkan untuk kembali
berkeluarga(menikah). Untuk itu “ rimah
” atau sisa nasi yang melekat di tubuh harus segera isar-sarken(di sapu,
dilepaskan) sehingga tubuh menjadi bersih dari rimah dan siap untuk membuka
lembaran hidup baru.
Berikut
pelaksanaan gendang narsarken rimah
dalam acara simaté-maté:
Saat seluruh sangkep nggeluh dan
kerabat lainnya pulang dari pendonen(lokasi
penguburan), mereka kembali berkumpul
di kasain(pangasan/jambur) dan kembali menari bersama dengan seluruh yang
hadir, gendangnya dinamakan gendang
narsarken rimah.
Jika yang meninggal kepergiannya cawir metua, maka kemberahen(permainsuri/istri)
dari kalimbubu simada dareh menari
dengan menjunjung kepala kerbau, kemudian tegun
sukut masuk dan ikut serta menari dengan tegun kalimbubu-nya. Rombongan yang menari diiringi gendang saruné dan setiap empat kali
mengitari rumah si mate, berhenti dan
mengetuk pintu dari turé jahé(teras hilir dari pintu rumah adat Karo), dan berkata:
“ talangi(buka)!
“, namun pintu dikunci dan orang yang didalam bertanya kepada yang diluar, katanya:
“ kai
sini ganjangen turéna asangken sapona(rumahna)? ”, artinya: “ apa yang lebih tinggi terasnya daripada rumahnya? ”
dan sangkep nggeluh si maté yang di luar menjawab, katanya: “ kurung(
sejenis kutu tanah ) ” dan, lanjut mereka yang di luar berkata: “ sikurung
kerina tendita i rumah! ” artinya: “ kurung(simpan) semua hati kita
di dalam rumah! ” Selanjutnya, mereka eralep-alep,
soraknya: “ alep… alep… alep… alep… alep… surak! Mejuah-juah ” dan ini diulang hingga sebelas
kali(11), setelah itu baru sangkep nggeluh masuk ke dalam rumah.
Jika yang meninggal dunia masih
muda(belum cawir metua), maka janda ataupun duda dari si maté turut serta
dengan iring-iringan mengitari rumah si maté, dimana setiap empat kali
mengelilingi rumah, duda atau janda dari si maté berhenti landek dan mengetuk pintu rumah dari turé jahé (posisi rumah adat Karo dibangun berdasarkan arah jahé (hilir) dan julu(hulu) posisi lau(air,
sungai, laut) terdekat dengan kuta, sehingga turé-turénya serta pintunya juga dipasang berdasarkan posisi jahé
dan julu dari tanah kuta yang berpatok pada letak
lau) dan berkata: “ Bukaken(talangi)
pintun(labah)! ” yang jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya: “ bukakan pintu! ” Namun pintu dikunci dan orang yang didalam
menjawab, katanya: “ Jera kam mbalu! ” (jera = berhenti, letih, tobat, kam
= Anda, kamu, mbalu = menyendiri, janda atau duda. ) dan ini diulangi sampai
sebelas(11) kali. Dari perkataan “ Jera
kam mbalu! ” ini, berarti sangkep nggeluh sangat mengharapkan agar duda
ataupun janda dari si maté jangan menutup diri, berkecil hati karena setatusnya
sebagai janda ataupun dudu, dan diharapkan kembali berfikir untuk menjalin
hubungan dengan masyarakat luas bahkan kembali berkeluarga(menikah). Namun,
sangat disayangkan disaat sekarang ini, gendang narsarken rimah ini tidak lagi dilakukan karena beberapa alasan.
D.
Perumah
begu
Perumah bégu
adalah upacara memanggil roh leluhur ke jabu(rumah).
Namun, dalam kesempatan pada kelanjutan dari kegiatan nurunken si maté-maté, roh
yang dipanggil adalah roh orang yang barusan meninggal dan dikuburkan. Upacara perumah bégu ini dipinpin oleh seorang guru sibaso yang juga berperan sebagai
mediator, dimana dia( guru sibaso )
nantinya akan selup( kerasukan) oleh bégu(roh)
yang dipanggil itu, saat landek(manari)
diiringi oleh gendang perang empat
selesai. Berikut rentetan gendang perang empat yang dimainkan dalam upacara perumah bégu.
-
Perang si pemena ( dibuang/tidak ilandeki ).
-
Perang si kedua ( landek sukut ).
-
Perang si peteluken ( landek kalimbubu ras puang kalimbubu ).
-
Perang si pe-empatken ( landek anak beru ras anak beru menteri ).
E.
Gendang
Serayan
Gendang
serayan adalah gendang yang diperuntukkan bagi kaum muda-mudi
yang ada di kuta tersebut, yang dimana sejak awal hajatan itu mereka telah
aktif dan letih bekerja membantu menyukseskan dari hajatan tersebut.
Gendang ini juga merupakan gendang yang terakhir ipalu sehingga juga disebut gendang pendungi(penutup), dimana
gendang ini ipalu setelah guru sibaso dalam sesi perumah bégu telah seluk, maka sierjabaten(pemusik)
keluar dari jabu menuju kesain
dan impalu lah gendang untuk serayan.
III.
Penutup
Itulah ulasan mengenai penggunaan gendang dalam acara naruhken si
mate-mate dalam masyarakat Karo. Sangat unik dan menarik, walau terkadang
jika kita melihat pada keadaan saat ini terasa lucu, repot, dan hanya membuang
uang, waktu, dan tenaga, sehingga beberapa rentetannya tidak pernah lagi kita
lihat dilaksanakan saat ini. Namun, itulah tradisi yang diwarisi leluhur kita,
yang apapun sebenarnya yang menjadi alas an seharusnya kita lestarikan. Tradisi
budaya adalah kekayaan bukan beban, dan hal ini haruslah kita sadari.
Mejuah-juah.
Bastanta P.
Sembiring
http://arikokena.blogspot.com
http://www.facebook.com/groups/simalem
http://www.twitter.com/simbisa_366 @simbisa_366
http://www.kompasiana.com/Simbisa_366
e-mail: bastanta.meliala@gmail.com
 |
Lihat versi PDF |
Lihat juga: