Ginting Manik merupakan
salah satu cabang(sub-)merga dari merga
Ginting. Menurut tradisi Karo, Ginting Manik ini masih sembuyak(saudara sedarah) dengan Ginting Munté(Munthé) dan Ginting
Pasé, hal ini tampak dari daerah asal mereka yang sama-sama dari kuta Tongging. Bukan itu saja, dalam
penyebarannya(migrasinya), kedua sub-merga Ginting ini hampir memiliki jalur
yang sama, setidaknya dari Tongging hingga ke Munté, namun dari Munté keturunan
merga Ginting Manik ini melanjutkan penyebarannya ke Kuta Bangun, dan sebahagian ke Singa.
Ada sebuah kisah yang
sangat menarik dan cukup populer tentang Merga Ginting Manik dan tentunya
Tarigan(Si Raja Umang). Dimana kisah ini sangat akrab dalam tradisi ndilo udan(memanggil hujan) dalam
kepercayaan masyarakat Karo, yang di-interpretasikan dalam bentuk seni drama
dan tari topeng, populer dengan sebutan
Gundala-gundala atau dibeberapa daerah Karo lainnya disebut tembut-tembut Seberaya yang membawakan
kisah Manuk Sigurda-gurdi(Siluman berwujud
burung raksasa) berkepala tujuh.
Darwan Prinst, S. H.,
dalam bukunya Adat Karo menyebutkan, si manteki(pendiri) kuta Singa adalah Ginting Sinusinga, namun beliau juga menambahkan kalau hal ini
belumlah jelas! Saya berpendapat, “mungkin saja kalau Ginting Sinusinga ini
adalah keturunan(pecahan) dari Ginting Manik di Singa”. Saya berpendapat
demikian karena, almarhum(mendiang) Nini
Bulang(kakek) saya Nagkih Ginting Manik(ayah dari nandé/ibu saya) adalah keturunan asli
dari Pengulu Singa(di duga pendiri
kuta Singa). Dalam hal ini, Mama(paman)
saya sudah mendapat konfirmasi akan kebenarannya dari Karo-karo Sekali yang merupakan anak beru tua Ginting Manik Mergana saat masih di Singa, dan tanpa
sengaja tahun 2011 lalu saya bertemu seorang yang juga ber-beberé Ginting Manik
Singa, beliau juga membenarkan akan hal ini.
Diceritakan dalam
perjalanannya ke Dusun(Karo Jahé), putra Ginting Manik dan beru Sembiring
Kembaren ini diselamatkan oleh anak berunya Karo-karo Sekali yang merupakan seorang guru mbelin dan Sembiring Meliala dari percobaan pembunuhan yang direncanakan oleh pihak sembuyak
dari bapanya(ayahnya), karena saat
itu Ginting Manik yang seorang Sibiak(sibiak
= utama, bedakan dengan sibayak)Perbapan(kaum pria/penghulu) meninggal
di-usia muda dan meninggalkan seorang anak yang masih kecil. Menurut tradisi,
jabatan sibiak perbapan kuta ini
diwariskan secara turun temurun, kecuali tidak ada ahli warisnya maka jabatan
untuk selanjutnya dipangku oleh sembuyaken-nya
yang tertua, itu-lah diduga menjadi alasen utama dalam percobaan pembunuhan
terhadap anak Si Ginting Manik ini. Namun, rencana ini digagalkan oleh anak
berunya Ginting, yakni: Karo-karo Sekali
dan kalimbubu Ginting saat itu Sembiring
Kembaren yang melarikannya ke daerah Dusun Deli(Karo Jahé).
Akan kebenaran dari
cerita ini juga diperkuat dengan adanya niat dari kalimbubu Sembiring Kembaren
untuk kembali menjalin pertalian kekeluargaan dengan Ginting Manik, hal ini
tampak pada perjodohan yang direncanakan sekitar tahun 1920’an. Namun sedikit
terhalang, karena si beru Sembiring Kembaren yang notabene-nya janda seorang
Belanda, dimana mantan suaminya yang seorang jaksa merasa tidak senang,
sehingga dengan segala kewenangannya si Ginting Manik dibuang ke Singapura dan
akhirnya dipindahkan ke Nusa Kambangan(Cilacap), namun atas segala upaya yang
dilakukan pihak keluarga dan atas prilaku baik(Si Ginting Manik sejak di Nusa
Kambangan, Cilacap dikenal dengan ahli penanam kelapa yang membut pihak Belanda
menaruh simpatik) akhirnya Si Ginting Manik(Nangkih Ginting Manik) dibebaskan.
Banyak kisah dibalik
perjalanan Si Ginting Manik ini, namun dilain waktu akan saya ceritakan.
Hehehe…. Dan berikut jalur perjalanan dari Ginting Manik di Dusun Deli(Karo
Jahé) yang sempat saya peroleh dari beberapa orang tua: Singa => Rimo Mukur =>
(.???.) => Kuta Jurung => Namo Rambé, dan seterusnya. Kebenaran
akan cerita ini memang masih perlu didalami, akan tetapi setidaknya dengan
mengumpulkan tradisi-tradisi yang ada sedikit titik terang sudah mulai tampak.
Adapun kuta-kuta yang
menjadi tempat berdiamnya merga Ginting Manik ini menurut tradisi-tradisi yang
ada adalah Tongging, Aji Nembah, Munte, Kuta Bangun, Singa, dan Linga; serta
penyebarannya bukan hanya di wilayah Taneh Karo saja melainkan hingga ke
Pak-pak(Dairi) dan Toba, sehingga merga ini juga ada di suku Pak-pak dan Toba dengan sbutan Manik.
No comments:
Post a Comment
Mejuah-juah!