Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Saturday, November 17, 2012

    Gendang Bas Simate-mate

    Gendang Bas Simaté-maté


    I.                   Pengantar

                Gendang dalam tradisi Karo mengandung artian musik secara menyeluruh, meliputi instrument, rhythm, dan sound. Gedang Karo (Gendang Telu Sedalanen Lima Sada(se-) Perarihen) dalam masyarakat Karo selalu ditampilkan dalam setiap upacara adat atau hajatan, baik perjabun atau nereh-empo(pernikahan), mbengket rumah mbaru(memasuki rumah baru), caburken bulung atau ngambat (perjodohan, atau pernikahan usia dini), pakuwaluh(pembakaran jenazah), ngangkat(muat) tulan-tulan (membongkar/mengambil/memindahkan tulang), nurunken kalak maté(menguburkan jenazah), dll. Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengulas sedikit tentang penggunaan gendang Karo dalam upacara adat kematian dalam masyarakat Karo. Berikut ulasannya.

    II.                Gendang bas si maté-maté

    Gendang bas si maté-maté, maksudnya adalah, erkata gendang(pertunjukan, permainan musik) dalam upacara adat kematian menurut adat Karo. Dan berikut akan di ulas tentang gendang-gendang(nama gendangnya) apa saja yang ada pada upacara nurunnken simaté-maté dalam tradisi masyarakat Karo.

    A.     Gendang Nangkih

                Sebelum dilakukan penguburan, sangkep nggeluh (sisten kekerabatan dalam suku Karo yang secara garis besar meliputi sukut, anak beru, kalimbubu,  dan teman meriah) dari yang berduka melakukan runggu atau dibeberapa daerah dibebut sijalapen(musyawarah) untuk membicarakan hal-hal yang akan dilaksanakan pada upacara kematian tersebut, meliputi undangan, makanan, sierjabaten(pemusik), dan waktu penguburan, dll. Runggu atau sijalapen ini biasanya dilakukan setelah selesai makan malam(jika runggu di malam hari).

                Jika meninggalnya di sore hari, tentunya tidak mungkinkan dilakukan penguburan dihari itu juga, maka seperti lazimnya runggu dilakukan dimalam harinya. Dan, jika yang meninggal itu cawir metua(telah mencapai umur panjang dan segala tugas dalam hidupnya telah usai, salah satunya semua anaknya sudah menikah) maka erkata gendang(bunyi gendang, musik dimainkan) telah dimulai malam itu juga, setelah runggu selesai dilaksanakan. Namun, saat sekarang ini tidak ada lagi bedanya antara cawir metua atau tidak, melainkan tergantung kepada keinginan keluarga dan kemampuannya secara ekonomi.

                Erkata gendang dalam peradatan Karo ini, biasanya dilakukan untuk mengiringi(musik pengiring) landek(menari) setelah sebelumnya setiap tegun(kedudukan dalam adat menurut adat Karo) berdiri dan menyampaikan kata-kata, baik penghiburan, kritikan, nasehat, dll kepada pihak sukut yang berkemalangan. Adapun urutan tegun yang landek pada gendang nagkih ini, yakni:

    -         Landek tegun sukut.
    -         Landek tegun sukut sidarat.
    -         Landek tegun  Sembuyak.
    -         Landek tegun  senina sierkelangken.
    -         Landek tegun anak.
    -         Landek tegun kalimbubu simada dareh.
    -         Landek tegun kalimbubu tua.
    -         Landek tegun kerina kalimbubu(sienterem).
    -         Landek tegun anak beru.
    -         Landek tegun anak beru sipemeren.
    -         Landek tegun anak beru menteri.

    Namun, dalam prakteknya sekarang ini di beberapa wilayah, tegun yang landek disederhanakan menjadi:

    -         Tegun sukut.
    -         Tegun kalimbubu.
    -         Tegun puang kalimbubu.
    -         Tegun anak beru.
    -         Tegun anak beru menteri dan teman meriah kerina.

    Dan, gendangnya juga dinamakan gendang pengian-ngiani(menjaga). Hal ini, mungkin diperuntukkan bagi singiani(menjaga) jasad, seryan, dan para anak beru yang telah memulai kegiatannya untuk mempersiapkan keperluan pada acara adat nurunken si maté-maté esok harinya.


    B.     Gendang Nurunken Si Maté.

    1.      Gendang Jumpa Truh

                Hari dimana direncanakan akan dilakukan penguburan, setelah selesai acara peradatan di rumah yang meninggal, yang meliputi prosesi sirang-sirang(kuku kaki dan tangan si janda atau duda, serta keluarga dekat dari si maté dikikis kemudian dimasukkan dalam belo cawir(sirih komplit) diludahi empat kali kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam peti), erpangir bas pas-pasen(janda/duda yang meninggal dilangiri dengan lau penguras(air yang telah diramu) di pas-pasen(teras) rumahnya) dan tektek ketang(memotong rotan yang menandakan putusnya hubungan dalam artian telah berpisahnya si mate(yang meninggal) dengan keluarga yang ditinggalkan secara fisik dan alam), maka saat si maté dibawa dari rumah ke kesain, tiba-nya jenzah tersebut di depan rumah maka ipalu(dimainkan, bunyikan) gendang jumpa teruh. Di wilayah Deli-Serdang, selama beberapa kali mengikuti upacara kematian tidaklah pernah dilakukan prosesi tersebut diatas(sirang-sirang, erpangir bas paspasen, ataupun tetek ketang), hal ini mungkin kuat dipengaruhi oleh kepercayaan(agama) modern yang telah dipeluk masyarakat Karo sekarang.

                Secara harafiah, “ gendang jumpa teruh ” ini, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti: jumpa di bawah. Mengapa demikian dinamakan? Ya, karena kita ketahui masyarakat Karo tradisional (bahkan di beberapa perkutan Karo hingga sekarang) tinggal di rumah-rumah adat yang tidak lain adalah rumah panggung, sehingga lantai rumah dengan tanah di teruh(bawah) berpisah. Maka sering dalam prosesi ini disebut juga nurunken si maté. Dan, karena itulah gendangnya disebut gendang jumpa teruh. Adapun urutan tegun yang landek saat erkata gendang jumpa teruh ini, yakni: 

    -         Semua tegun sukut.
    -         Semua tegun kalimbubu.
    -         Semua tegun anak beru.
    -         Semua anak beru menteri dan anak rumah.

    Setelah erkata gendang jumpa teruh selesai, dan jenazah dikelilingi sebanyak empat kali, kemudian jenazah si maté diangkat ke kesain(jambur) dimana acara peradatan si maté-maté akan dilaksanakan yang dinamakan pengasen

                Seiring dengan perkembangan zaman, saat masyarakat Karo telah tinggal di rumah pribadi masing-masing dan konstruksi bangunan rumah juga tidak lagi rumah panggung, serta jika ada hajatan tak terkecuali si maté-maté (kematian, duka cita) akan dibawa(dilaksanakan) ke jambur(wisma), yang tak jarang jaraknya dari rumah ke jabur tersebut cukup jauh, maka gendang jumpa teruh ini bukan ditiadakan, melainkan diganti dengan istilah gendang pengalo-ngalo(gendang menyambut), dan prosesinya juga sudah sedikit berbeda. Kalau dalam gendang jumpa teruh gendang ipalu(erkata gendang) saat dimana mayat si maté sampai di depan pintu rumah saat hendak menuruni jabu(rumah) menuju kesain(halaman) disambut dengan gendang jumpa teruh ini. Namun, dalam gendang pengalo-ngalo ini dilakukan erkata gendang saat dimana jenazah si maté sampai di gerbang jambur maka anak beru menghaturkan sierjabaten(pemusik) untuk malu(memukul, membunyikan, memainkan) gendangnya untuk ngalo-ngalo kerehen mayit kalimbubu(menyambut kedatangan jenazah kalimbubunya) masuk ke jambur. Dan, saat jenazah si maté sampai di depan pintu jambur,  saat diangkat ke dalam jambur, anak beru ngelandeki(menari mengerumuni) si maté hingga jenazah diturunkan, anak beru tetap ngelandeki dengan mengitari mayat sampai gendang juga telah berhenti, yang biasanya dalam situasi ini gendang diakhiri dengan irama patam bung(patam-patam seluk) yang berirama makin lama makin keras dan temponya semakin cepat dan pada fase akhir gendang idabuhken(di jatuhkan) dengan perlambatan sambil yang hadir eralep-alep(bersorak), sehingga tak jarang yang menari atau yang mendengar gendang dan melihat orang yang menari menjadi kesurupan karena alunan musik dan suara saruné yang miris menyayat dalam nada yang tinggi. 

                Di kawasan Karo Jahé, penulis tidak pernah melihat gendang jumpa teruh ini dilakukan dalam acara simaté-maté, dan dari beberapa sumber mengatakan memang hal ini tidak pernah dilakukan oleh masyarakat Karo Jahé, kecuali gendang pengalo-alo seperti yang disebutkan juga diatas. 

    2.      Gendang nangketken osé  

    Gendang nangketken osé ini dilakukan jika si maté kematiannya cawir metua. Dalam kebiasaan masyarakat Karo, gendang pembuka dibuang sekali(tidak ada yang menari), karena gendang ini diperuntukkan bagi Dibata(Tuhan), bégu-bégu jabu(roh leluhur), dan alam. Namun, saat sekarang ini dimana agama(kepercayaan) modern telah merasuk dan melekat dalam kehidupan masyarakat Karo, maka tak jarang banyak pendapat miring tentang gendang ini, sehingga bukan ditiadakan melainkan diganti dengan istilah yang berbeda, yakni: “ gendang persikapen(musik persiapan)”. 

    Dalam, nangketken osé ini, seluruh keluarga inti, meliputi anak, menantu, serta cucu i oséi (di pakaikan pakaian adat Karo lengkap) oleh kalimbubu dareh dari masing-masing menantu si maté. Setelah selesai erosé maka tegun sukut naruhken(menghantarkan) isap ras belo(rokok dan sirih) kepada kalimbubu, dan setelah itu lanjut ke acara berikutnya. 

    3.      Gendang naruhken tudung 

    Pagi hari (jika yang meninggal cawir metua dilakukan setelah gendang nangketken osé) dimana, direncanakan si maté itu akan dijalankan peradatan kepergiannya sebelum dikuburkan, ipalu gendang naruhken tudung. Gendang naruhken tudung ini dilakukan kepada beru singumbah atau beru puhun(anak gadis kalimbubu) yang sebelumnya telah di runggukan siapa yang akan ngaloken tudung(menerima tudung) untuk jadi calon penerus hubungan dengan kalimbubu.

    Selanjutnya, anak perana(pemuda) dari keluarga yang meninggal datang ke beru puhun atau beru singumban naruhken tudung(membawa tudung yang diperuntukkan bagi wanita Karo) diiringi oleh anak beru-nya dan ipalu gendang saruné, dan mereka pun menari diiringi musik gendang Karo dan anak beru meberikan belo kinapur(sekarang uang) dan menebar beras jujungen sambil beralep-alep dan bersorak “ mejuah-juah! ”  agar mereka yang menari diharapkan akan menikah untuk melanjutkan keturunan dan hubungan kekeluargaan dengan kalimbubu.

    4.      Landek adat.

    Landek adat ini dilakukan setelah setiap tegun selesai memberikan ajar(ajar, juga kritikan), pedah-pedah(nasehat) dan kata pengapul(penghiburan) kepada yang berkemalangan. Adapun urutannya menurut tegun-nya, adalah sebagai berikut:

    1.      Landek Tegun Sukut.
    2.      Kalimbubu.
    3.      Anak Beru.
    4.      Teman meriah(sejiran, anak kuta, teman kerja, dll).

    Setelah acara landek adat ini dilaksanakan, maka dilanjutkan ke acara peradatan berikutnya. 

    5.      Gendang ncabinken uis meciho.

    Dalam beberapa literatur Karo, gendang ini tidaklah pernah tertulis, sehingga penulis juga katakana ini merupakan gendang si la ergelar(tak bernama dan bermakna secara adat), namun dalam prakteknya sekarang ini, prosesi ini selalu dilakukan, dimana sanak saudara dan kerabat dari si maté bergantian menurut tegunnya ncabinken(menyelimutkan) uis meciho atau sering juga disebut uis mbentar(kain kaftan) dan tak jarang uis ariteneng ataupun uis kapal(kain tradisional Karo berwarna gelap), ataupun benda-benda yang disayangi atau diingini si maté semasa hidupnya ke jasad si maté sambil landek mengelilingi diiringi dengan gendang saruné.

     
    6.      Gendang naruhken si maté ku pendonen.

    Setelah semua acara peradatan selesai, maka jenazah pun akan di kubur. Sebelum jenazah dibawa ke pendonen(penguburan) terlebih dahulu jasad-nya dikelilingi empat kali oleh keluarga. Namun saat sekarang ini, bukan hanya keluarga, tetapi semua ikut serta mengelilingi mayat dan juga ipalu gendang dan landek saat yang hadir mengelilingi mayat si maté

    Dalam beberapa situasi gendang ini juga ipalu hingga sampai di lokasi penguburan, namun saat sekarang ini mengingat efisiensi, kebiasaan, trend, dan repotnya jika membawa gendang komplit berjalan, maka iring-iringan ke pendonen tidak ipalu gendang, kecuali ada keinginan atau kemampuan secara materi, maka iringan itu diikuti dengan terompet ataupun drum-band komplit.

    C.     Gendang narsarken rimah. 

    Dari sekian banyak rentetan gendang dalam pradatan Karo, menurut saya pribadi gendang narsarken rimah inilah yang paling unik dan menarik bagi saya. “ Narsarken rimah ” atau sering juga disebut ralep-alep,  secara harafiah jika diterjemahkan mengandung artian: menyapu rimah(sisa nasi yang melekat di tubuh). Yang menarik dari penulis ialah, saat dimana prosesi ini dijalankan, dimana kata-kata yang terucap dari janda atau duda(jika masih muda) yang ditinggal si maté saat mengitari rumah, sehingga menurut penulis makna dari narsarken rimah ini agar janda atau duda tersebut tidak larut terus menerus dalam kesedihan dan melepas segala kenangan-kenangan yang membuat mereka merasa berat hati atau enggan untuk kembali menjalin hubungan dengan masyarakat luas dan bahkan untuk kembali berkeluarga(menikah). Untuk itu “ rimah ” atau sisa nasi yang melekat di tubuh harus segera isar-sarken(di sapu, dilepaskan) sehingga tubuh menjadi bersih dari rimah dan siap untuk membuka lembaran hidup baru.  

    Berikut pelaksanaan gendang narsarken rimah dalam acara simaté-maté:

                Saat seluruh sangkep nggeluh dan kerabat lainnya pulang dari pendonen(lokasi penguburan), mereka kembali berkumpul di kasain(pangasan/jambur) dan kembali menari bersama dengan seluruh yang hadir, gendangnya dinamakan gendang narsarken rimah. 

          Jika yang meninggal kepergiannya cawir metua, maka kemberahen(permainsuri/istri) dari kalimbubu simada dareh menari dengan menjunjung kepala kerbau, kemudian tegun sukut masuk dan ikut serta menari dengan tegun kalimbubu-nya. Rombongan yang menari diiringi gendang saruné dan setiap empat kali mengitari rumah si mate, berhenti dan mengetuk pintu dari turé jahé(teras hilir dari pintu rumah adat Karo), dan berkata: “ talangi(buka)! “, namun pintu dikunci dan orang yang didalam bertanya kepada yang diluar, katanya: “ kai sini ganjangen turéna asangken sapona(rumahna)? ”, artinya: “ apa yang lebih tinggi terasnya daripada rumahnya? ” dan sangkep nggeluh si maté yang di luar menjawab, katanya: “ kurung( sejenis kutu tanah )  dan, lanjut mereka yang di luar berkata: “ sikurung kerina tendita i  rumah! artinya: “ kurung(simpan) semua hati kita di dalam rumah! ” Selanjutnya, mereka eralep-alep, soraknya: “ alep… alep… alep… alep… alep… surak! Mejuah-juah ” dan ini diulang hingga sebelas kali(11), setelah itu baru sangkep nggeluh masuk ke dalam rumah. 

                Jika yang meninggal dunia masih muda(belum cawir metua), maka janda ataupun duda dari si maté turut serta dengan iring-iringan mengitari rumah si maté, dimana setiap empat kali mengelilingi rumah, duda atau janda dari si maté berhenti landek dan mengetuk pintu rumah dari turé jahé (posisi rumah adat Karo dibangun berdasarkan arah jahé (hilir) dan julu(hulu) posisi lau(air, sungai, laut) terdekat dengan kuta, sehingga turé-turénya serta pintunya juga dipasang berdasarkan posisi jahé dan julu dari tanah kuta yang berpatok pada letak lau) dan berkata:  Bukaken(talangi)  pintun(labah)! ” yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya: “ bukakan pintu! ” Namun pintu dikunci dan orang yang didalam menjawab, katanya: “ Jera kam mbalu! ” (jera = berhenti, letih, tobat, kam = Anda, kamu, mbalu = menyendiri, janda atau duda. ) dan ini diulangi sampai sebelas(11) kali. Dari perkataan “ Jera kam mbalu! ” ini, berarti sangkep nggeluh sangat mengharapkan agar duda ataupun janda dari si maté jangan menutup diri, berkecil hati karena setatusnya sebagai janda ataupun dudu, dan diharapkan kembali berfikir untuk menjalin hubungan dengan masyarakat luas bahkan kembali berkeluarga(menikah). Namun, sangat disayangkan disaat sekarang ini, gendang narsarken rimah ini tidak lagi dilakukan karena beberapa alasan.   

    D.    Perumah begu
    Perumah bégu adalah upacara memanggil roh leluhur ke jabu(rumah). Namun, dalam kesempatan pada kelanjutan dari kegiatan nurunken si maté-maté,  roh yang dipanggil adalah roh orang yang barusan meninggal dan dikuburkan. Upacara perumah bégu ini dipinpin oleh seorang guru sibaso yang juga berperan sebagai mediator, dimana dia( guru sibaso ) nantinya  akan selup( kerasukan) oleh bégu(roh) yang dipanggil itu, saat landek(manari) diiringi oleh gendang perang empat selesai.  Berikut rentetan gendang perang empat  yang dimainkan dalam upacara perumah bégu.
    -         Perang si pemena ( dibuang/tidak ilandeki ).
    -         Perang si kedua ( landek sukut ).
    -         Perang si peteluken ( landek kalimbubu ras puang kalimbubu ).
    -         Perang si pe-empatken ( landek anak beru ras anak beru menteri ).
    E.     Gendang Serayan
    ­­­           Gendang serayan adalah gendang yang diperuntukkan bagi kaum muda-mudi yang ada di kuta tersebut, yang dimana sejak awal hajatan itu mereka telah aktif dan letih bekerja membantu menyukseskan dari hajatan tersebut.
    Gendang ini juga merupakan gendang yang terakhir ipalu sehingga juga disebut gendang pendungi(penutup), dimana gendang ini ipalu setelah guru sibaso dalam sesi perumah bégu telah seluk, maka sierjabaten(pemusik) keluar dari jabu  menuju kesain dan impalu lah gendang untuk serayan.
          III.      Penutup
    Itulah ulasan mengenai penggunaan gendang dalam acara naruhken si mate-mate dalam masyarakat Karo. Sangat unik dan menarik, walau terkadang jika kita melihat pada keadaan saat ini terasa lucu, repot, dan hanya membuang uang, waktu, dan tenaga, sehingga beberapa rentetannya tidak pernah lagi kita lihat dilaksanakan saat ini. Namun, itulah tradisi yang diwarisi leluhur kita, yang apapun sebenarnya yang menjadi alas an seharusnya kita lestarikan. Tradisi budaya adalah kekayaan bukan beban, dan hal ini haruslah kita sadari. Mejuah-juah.
     
    Bastanta P. Sembiring
    http://arikokena.blogspot.com
    http://www.facebook.com/groups/simalem
    http://www.twitter.com/simbisa_366     @simbisa_366
    http://www.kompasiana.com/Simbisa_366
    e-mail: bastanta.meliala@gmail.com

    Lihat versi PDF
     
    Lihat juga:


    No comments:

    Post a Comment

    Mejuah-juah!