Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Tuesday, February 26, 2013

    Gereja dan Budaya Ibarat rel kereta!


    Gedung gereja Katolik di Berastagi 
    yang kini dialih-fungsikan menjadi
    Museum Pusaka Karo.
    Mejuah-juah. Sejarah pernah mencatat masa-masa kejayaan gereja Asia. Diama perkembangan kebudayaan gereja, teologia, dan pelonjakan jumlah jemaat yang signifikan. Namun, sejarah juga mencatat bahwa pada abad ke-15 Masehi terjadi kemerosotan yang radikal terhadap keberadaan gereja-gereja di Asia, bahkan hampir lenyap dari benua kulit berwarna ini. 
    Jika kita menelaah Alkitab, banyak gereja-gereja yang disebutkan di Asia kecil kini tidak ada lagi. Turki, yang dulunya pernah menjadi rumahnya gereja-gereja berkembang kemudian menjadi gereja terbesar yang disebut Konstatinopel kini menjadi negara 1001 masjid.

    Tiga penyebab utama kemerosotan gereja

    Dalam buku “Konteks Bertheologi” karangan Pdt. Edi Suranta Ginting dikatakan, tiga penyebab utama terjadinya kemerosotan kekeristenan di abad ke-15. Pertama, gereja tidak lagi memberitakan injil, mungkin karena dilarang oleh penguasa yang bukan Keristen, maupun alasan theologis dan politis lainnya, bahkan karena gereja terlalu sibuk dengan urusan birokrasi organisasi gereja. Kedua, karena orang-orang Kristen lebih bodoh dan lebih miskin daripada orang-orang yang bukan Kristen. Tiga, karena kekeristenan tidak berakar pada budaya lokal ataupun setempat.

    Gereja yang tidak berakar pada budaya lokal

    Di Kartago, Aljazair(sekarang) dimana merupakan tempat lahirnya tiga teologi besar gereja, yakni: Cyprianus, Tertulianus, dan Agustinus juga mengalami hal demikian, dimana gereja yang tumbuh dan berkembang tidak berakarkan pada tradisi budaya setempat. Gereja Nestorian yang pernah berjaya dan pernah mendirikan bayank gereja di berbagai negara pada abad ke-7, seperti di India, Iran, Cina, dan bahkan Indonesia kini entah dimana.

    Nyata terjadi pada gereja-gereja di Indonesia

    Ini sangatlah tampak nyata dan juga terjadi pada gereja-gereja di Indonesia. Dimana, jika kita melihat diawal-awal proses zending, para missionaris berusaha keras melakukan pendekatan sosial dan kultural agar gereja dapat akses untuk dapat semakin dekat dan diterima oleh masyarakat lokal. Unsur-unsur tradisi setempat sedemikian rupa diramu agar dapat dimasukkan dalam ritual gereja bahkan, merasuk hingga konteks teologia yang dianut gereja tersebut. Sehingga, gereja dan budaya itu ibarat rel kereta, walau terpisah dan berbeda ruang namun tetap sejalan dan seakan harus semestinya berjalan bersama, sebab jika tidak, ibarat kereta tadi tidak akan dapat berdiri tegak diatas satu rel, bahkan akan terjungkal. Demikianlah gereja dan budaya dimasa-masa mula-mula zending seakan harus sejalan agar mudan dimengerti dan diterima.

    Di beberapa wilayah memang hal ini berhasil, tampak dengan keberadaan gereja-gereja suku dan gereja Khatolik inkulturisasi yang ada sekarang, walapun tidak jarang beberapa orang dan kelompok yang kurang puas dengan prinsip ritual dan teologis di gereja itu hendak menggesernya dan menerapkan konsep kembali kepada konteks teologi dan ritual gereja Barat yang dianggap lebih suci dan sesuai.

    Pertentangan dalam gereja

    Seiring dengan berkembangnya gereja dan pemahaman teologis yang dianutnya, maka tak jarang pemikiran-pemikirang untuk mempertentangkan keberadaan budaya dalam tubuh gereja muncul dan semakin hari semakin keras. Ada yang beranggapan ini imbas dari tumbuh dan bangkitnya semangat dan kesadaran iman, yang dimana kekafiran yang menodai tubuh gereja salah satunya tradisi lokal harus dihindari bahkan sebisa mungkin dilenyapkan dari sekitar gereja, agar semua umat tidak tersesatkan lagi oleh kekafiran tersebut. Namun, pertanyaanya, benarkan ini kebangkitan iman? Atau hanya alasan untuk menutupi kelemahan dan kegagalan gereja dalam merangkul dan menyempurnakan budaya lokal, serta menguatkan iman jemaat? Atau, kedewasaan iman yang masih dangkal imbas dari kekeristenan yang terkesan pragmatis, sehingga yang bukan saya adalah setan?

    Kini kereta lokomotif uap dengan bahan bakar batu bara diganti dengan lokomotif listrik yang lebih kencang walau masih juga melaju diatas dua rel yang sejajar. Demikian juga halnya gereja konservatif yang dianggap lamban karena terlalu memikirkan harmonisasi dengan budaya dan alam dianggap lamban dalam proses kristenisasi dunia, sehingga harus diganti dengan gereja baru. Ini-lah salah satu alasan lahirnya aliran-aliran dan reformis gereja. Gereja baru ini-lah yang seringkali berusaha keras memisahkan injil dan budaya dalam mengartikan keselarasan antara gereja dan budaya, sehingga para reformis yang terus haus dengan kemurnian gereja ini terus berinovasi dalam doktrin dan ritual untuk benar-benar mentiadakan unsur budaya dalam tubuh gereja, maka lokomotif listrik dengan dua rel tadi-pun kemudian di-upgrade dengan kereta listrik mono rel(rel tunggal) agar dapat melaju lebih kencang dan cukup berdiri diatas satu rel saja, yakni gereja yang hanya berecerita tentang ketuhanan saja.

    Benarkah kerta itu akan melaju lebih 
    kencang dengan...

    Cuma, muncul kembali pertanyaan. Benarkan kereta itu akan dapat melaju lebih kencang dengan aman diatas satu rel saja? Dan, nyamankah jemaat yang terbiasa duduk diatas bangku kereta dengan dua rel tetapi kini harus duduk diatas kereta dengan rel tunggal? Dan, jika kita kembali ke masa-masa kejayaan gereja Khatolik-Roma dan juga gereja Asia hingga memasuki abad ke-15 dimana kemerosotan itu terjadi, maka benarkah gereja ini menuju kemajuan atau hanya mengulang cerita lama dan kemudian suatu saat harus kembali dari titik dasar.
          
    Asia dan kebudayaanya akan...

    Asia dan kebudayaannya diprediksikan akan berjaya dan memegang peran penting dalam segala aspek kehidupan dunia. Gambaran yang kita lihat sekarang ini, jika muncul pertanyaan siapakah yang akan memimpin(tentunya dari Asia)? Maka, perhatian akan tertuju kepada Cina, Jepang, India, Korea, dan Iran(Indonesia?). Jika kita amati negara-negara tersebut, maka bisa kita katakan mereka adalah negara yang kontekstual Asia. Sederhananya, jika kita ke pasar baik modern maupun tradisional, dengan mudah kita dapat mengidentifikasi itu orang Cina, itu orang India, dlsb. Seorang anak usia 3 tahun sudah mampu membedakan mana film Hollywood, mana film Bollywood, dan mana film Cina, Korea dan Jepang. Karena mereka kontekstual dalam segala hal. Sanggupkah anak usia 3 tahun membedakan mana film Australia, Inggris, dan Amerika? Kontekstual mereka terhadap budaya Asia membuktikan mereka sanggup bertahan dan bahkan menjadi pemeran penting dalam skenario drama dunia. Begitu juga dengan konteks dalam teologia. Asia yang lebih mengedepankan harmonisasi terkadang tampak lamban namun melaju dengan pasti seperti halnya lokomotif uap antik dengan dua rel dan memberi kesan serta kenyamanan dalam perjalanan bagi para pemumpangnya, sehingga tumbuh rasa kerinduan untuk mengulang kesan-kesan itu. Sedangkan konteks Barat yang lebih kepada eksploitasi dan tampak agresif, sampai mana akan terus agresif ? Dan, yakinkah akan sesuai dengan kita selamanya? Jangan nanti hanya memiliki kesan sementara seperti halnya menaiki kereta rel tunggal dengan kecepatan diatas 150 km/jam yang untuk melihat pemandangan disekitar jalur yang dilalui mata harus secepat kilat untuk menangkap sebuah objek dan secepat itu juga pudar dalam ingatan. Atau saat menaiki kereta listrik rel tunggal yang melaju santai di kota, dimana jika penumpang memandang ke luar hanya ada aktifitas kehidupan dibawahnya dan jika memandang ke samping hanya gedung-gedung yang tampak seperti komponen elektronik, dan jika memandang ke atas hanya ada awan kosong. Siapa yang melindas dan siapa yang dilindas, siapa yang tahu? Saat konteks Asia akan berperan, jangan sampai Asia tidak siap dan para sarjana harus kembali membuka buku pelajaran Sekolah Dasar. Mungkin saya akan memilih lokomotif listrik dengan dua rel bahkan jika masih ada kesempatan ingin melaju diatas lokomotif uap antik agar perjalanan iman ini lebih berkesan dan bertumbuh dari hati karena bayang-bayang keindahan yang dilalui selama duduk di bangku penumpang, bukan karena trend yang berkembang ataupun opini publik semata. Syalom mejuah-juah.
                     
     Baca juga:

    No comments:

    Post a Comment

    Mejuah-juah!