Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Friday, November 16, 2012

    Terjadinya Alam Semesta


     Begu(roh) Dibata Simada Kuasa(Tuhan Yang Maha Kuasa) Sinepa Langit Ras Doni(Khalik Smesta Alam) terbang melayang-layang mengarungi alam semesta yang baru saja dijadikanNya. DilihatNya ada yang kurang dan itu tidaklah sempurna jikalau tiada yang mendiami serta merawatnya, maka terpikirlah olehNya untuk menciptakan mahluk yang akan mendiami karya ciptaanNya itu. DijadikanNya-lah suan-suanen(tumbuhan), rubia-rubia(hewan), serta  jelma(manusia), bahkan begu (roh) untuk mendiami ciptaanya itu.

    Cakrawala. Sumber: google image
               Kala itu tiadalah perbedaan antara segala yang diciptakan Dibata, tak terkecuali manusia, bahkan antara dunia roh(alam gaib) dengan dunianya mahluk hidup juga belum memiliki batas dan masih bersatu dan bebas berinteraksi satu dengan lainnya. Kelabilannya membuat manusia sama dan sederajat dengan segala yang ada di alam semesta. Alam atas(surgawi), tengah (bumi), dan bawah(neraka/baka) bersatu dan tanpa satu batasan. Melihat kelabilan ini maka, Dibata menempatkan ketiga anakNya untuk menjaga dan menguasai ketiga alam itu agar kelangsungan hidup di tiga alam tersebut dapat berjalan dengan baik. Dibata Datas (Kaci-kaci), adalah anak Dibata yang tinggal dan berkuasa di alam atas yang dilambangkan dengan page(padi; karena padi buahnya diatas), Dibata Tengah(Banua Koling) tinggal serta berkuasa atas alam tengah(alamnya segala mahluk hidup) yang dilambangkan dengan jong/jaung(jagung; jagung buahnya ditengah), dan Dibata Teruh (Paduka Ni Aji) yang dilambangkan dengan gadung(ubi; ubi buahnya dibawah) berkuasa atas neraka(alam bawah/baka). * hampir sama halnya dalam kepercayaan Hindu yang mempercayai penjelmaan Dibata itu dalam tiga wujut, yakni: 1. Brahmana (Pencipta Alam), 2. Waisya (Pemelihara Alam), dan Syiwa (Perusak Alam). Itulah ketiga anak Dibata yang masing-masing memiliki tempat tinggal dan kuasanya yang diberikan Dibata untuk menjaga kelangsungan hidup di tiga alam tersebut.


             Suatu hari, saat Dibata berkeliling untuk melihat hasil karyaNya, alangkah terkejutnya Dia kala melihat ketiga anakNya berseteru, sehingga mengakibatkan kehidupan di alam atas, tengah, dan bawah menjadi terganggu. Kemudian dipanggil Dibata-lah ketiga anakNya itu, memeperingatkannya dan mendamaikannya. Namun, tetap ketiga anakNya tersebut selalu bertentangan dan tidak dapat berdamai.

    Melihat hal tersebut Dibata berfikir untuk membuat pembatas yang memisahkan ketiga anaNya agar mereka tidak dapat lagi saling bersentuhan sehingga keselarasan alam dapat kembali terlaksana. Maka diciptakan Dibata-lah pembatas untuk memisahkan ketiga anakNya (bawah, tengah, dan atas). Pembatas itupun terciptalah dan akhirnya ketiga anak Dibata itupun terpisan. Kejadian ini menandakan awal terpisahnya alam atas (surgawi), tengah (duniawi), dan bawah (baka/neraka/alam orang mati).

    Pada dasarnya, ketiga anak Dibata tersebut adalah saling mencintai dan menyayangi. Akan tetapi, perbedaan sifat dan watak-lah yang membuat ketiga anak Dibata tersebut jika bertemu selalu berseteru, namun jikalau tidak bertemu maka rasa rindu juga akan muncul. Oleh karena itu ketiga anak Dibata tersebut selalu berusaha menghancurkan pembatas yang diciptakan oleh Dibata Simada Kuasa agar mereka bertiga dapat kembali bertemu dan bersatu.


    Alam. Sumber: Coleksi Pribadi: Bastanta P. S.
    Satu ketika, anak Dibata Teruh (Paduka Ni Aji) yang berkuasa atas alam bawah berusaha menghancurkan pembatas tersebut dengan menghembuskan angin kaba-kaba(topan) yang sangat dasyat, namun usahanya tersebut tidak berhasil. Lalu dia mengulanginya kembali hingga tiga kali berturut-turut. Hal itu juga tidak berhasil! Kemudia dihembuskannyalah kembali angin kaba-kaba itu sekali-gus dari desa siempat (empat penjuru arah mata angin), yakni: utara (utara), daksina(selatan), purba(timur), dan pustima(barat) *dalam kepercayaan masyarakat tradisional Karo (Pemena), kejadian ini dikatakan sebagai awal mulanya dikenal Desa Siempat(empat arah mata angin). Dasyatnya badai topan yang dihembuskan dari empat penjuru mata angin akhirnya berhasil menghancurkan pembatas tersebut, dengan demikian maka ketiga anak Dibata itu kembali dapat bertemu dan bersatu.

    Dengan bersatunya kembali ketiga anak Dibata tersebut, maka alam atas, tengah, dan bawah juga kembali bersatu. Kejadian ini mengakibatkan munculnya kembali potensi yang dapat mengakibatkan kembali terjadi perseteruan antara ketiga alam tersebut. Melihat ini, Dibata Simada Kuasa kembali berusaha untuk memisahkan ketiga anakNya! Lalu Dibata Simada Kuasa menidurkan ketiga anakNya selama pitu wari pitu berngi (tujuh hari tujuh malam) dan selama waktu mereka tertidur dengan pulasnya, Dibata membangun kembali pemisah antara mereka bertiga.

    Saat hari ke-delapan dimana ketiga anak Dibata itu bangun dari tidurnya, mereka tidak dapat lagi saling melihat satu dengan lainnya karena sudah ada pembatas antara mereka. Melihat hal ini, geramlah hati anak Dibata Teruh (Paduka Ni Aji) dan dengan penuh amarah dia berusaha menghancurkan kembali pemisah tersebut dengan menghembuskan angin kalingsungsung (badai topan dibarengi dengan gempa dan tzunami) yang maha dasyat dari desa siwaluh (delapan arah penjuru mata angin: 1. Purba (timur), 2. Anguni(tenggara), 3. Daksina(selaatan), 4. Nariti(barat daya), 5. Pustima(Barat), 6. Mangabia(barat laut), 7. Utara(utara), 8. Irisen (Timur laut)). *dalam kepercayaan masyarakat tradisional Karo (Pemena), kejadian ini dikatakan sebagai awal mulanya dikenal Desa Siwaluht(delapan arah mata angin) setelah sebelumnya Desa Siempat(empat arah mata angin).  Kejadian ini membuat ketiga alam berguncang dengan dasyatnya. Di bumi sendiri terjadilah gempa yang sangat hebat membuat seluruh muka bumi berguncang, mengakibatkan terbentuknya baluren(lembah-lembah), embang(jurang), deleng(gunung/bukit-bukit), dan lawit(laut/sungai/perairan), sehingga daratan terpisah dan tercerai berai, begitu juga seluruh isi bumi. Begitu dasyatnya badai yang dihembuskan, akan tetapi tidak dapat menghancurkan kembali pembatas tersebut, sehingga ketiga anak Dibata tersebut kini benar-benar telah terpisah, begitu juga dengan alam atas, tengah, dan bawah.

    Gendang Karo. Sumber: google image.
    Melihat pekerjaanya itu, Dibata tidak lantas membiarkan ciptaanNya hidup begitu saja. Takut akan adanya kuasa-kuasa yang kembali dapat merusak keselarasan alam, maka Dibata memilih salah satu mahluk ciptaanya untuk menguasai serta dapat menjaga ciptaanNya lainnya. Dibata melihat jelma(manusia) adalah mahluk yang pantas untuk itu, maka Dia mengangkat derajat manusia itu dan menganugrahinya denga pemeteh/kepentaren(ilmu pengetahuan/akal dan pikiran) *Dalam kepercayaan masyarakat tradisional Karo (Pemena), kejadian ini merupaka awal mula Dibata menganugrahi pemeteh/kepentaren(akal dan pikiran/ilmu pengetahuan) kepada manusia, salah satunya adalah “ Gendang(musik) Lima Puluh Kurang Dua (50-2 =48)” Di katakan Gendang Lima Puluh Kurang Dua (50-2) karena: “empat puluh delapan (48) gendang (rythm ‘n sound) itu dianugrahkan Dibata kepada manusia (dimainkan oleh manusia), sedangkan dua (2) gendang (rythm n sound) lainnya diperuntukkan(dimainkan) bagi (oleh) malaikat/roh.” Sehingga manusia itu kina telah memiliki akal dan pikiran. Dan, salah satu anugra yang terbesar yang juga diberikan Dibata kepada manusia adalah cita dan rasa dalam bentuk seni musik.

    Kini ketiga anak Dibata dan alam yang dikuasainya telah benar-benar terpisah, namun Dibata dengan kasih setianya, masih mengijinkan mereka bertiga (alam atas, tengah, dan bawah) untuk berkomunikasi melalui Guru Mbelin (dalam masyarakat Karo, Guru = orang yang memiliki ilmu pengetahuan/pintar, memiliki pengetahuan/kekuatan mystik, kebijaksanaan,  pengobatan, agama,dll). Dan dalam tradisi masyarakat Karo dunia Guru Mbelin inilah cara/media untuk dapat berkomunikasi denga alam atas, tengah, dan bawah.

    Cerita ini dikutip dari cerita kepercayaan masyarakat tradisional Karo(Pemena)  tentang: “Penciptaan Manusia dan Alam Semesta.”

    Sekian... dan Mejuah-juah.

    No comments:

    Post a Comment

    Mejuah-juah!