Sembiring Melaiala adalah salah satu
cabang(sub-) merga dari merga Sembiring.
Sembiring Meliala(Milala/Maliala) masuk dalam kelompok Sembiring Si La Man Biang(Sembiring yang tidak memakan
anjing/memantangkan anjing) dan juga masuk dalam kelompok Singombak(jika meninggal jasadnya dibakar dan abunya dihanyutkan).
Dalam tradisi lisan Karo dikatakan, Sembiring Meliala ini berasal dari
sebuah negeri di Selatan India yang bernama Malayalam
dan nenek moyang mereka bernama Pagyth
Malayalam(Pagit Meliala) yang memimpin ekspedisi mengemban misi penaklukan
negeri-negeri di daratan Sumatera, yang diperkirakan masuk ke Sumatera dari dua
jalur, yakni:
1.
Teluk Haru
Dipercaya kaum kesatria Meliala(Malayalam)
ini masuk dari Teluk Aru/Haru(Langkat) dan berdiam disana hingga akhirnya membuka
permukiman di Alé(Deli Tua) dan sebagian ke dataran Tinggi Karo(Sarinembah). Migrasi dari Teluk aru/Haru ke pedalaman Deli dan dataran tinggi ini diyakini karena terdesak oleh pedagang dan misi siar Islam, namun, diketahui juga di tahun 628 M, Aru/Haru(kerajaan Karo kuno) diserang oleh Sriwijaya di daerah pesisir, sehingga mengakibatkan ibu kota kerajaan berpindah ke Deli Tua dan banyak rakyat Aru lari ke pedalaman dan dataran tinggi yang dianggap lebih aman, dan di masa inilah diyakini munculnya istilah kalak jahé, kalak jahé-jahé, ataupun kalak dusun yang maksudnya adalah "orang dari hilir(orang Karo hilir) yang mengungsi ke pegunungan. Dan diceritakan juga, beberapa keturunan di gugung(teruh deleng/pegunungan) turun gunung kembali(dimana sebelumnya telah mendirikan kerajaan Aru Sarinembah bersama dengan kaum yang ada di dataran tinggi) dan membuka perkebunan lada di daerah Deli
serta bersatu dengan kaum yang tinggal di dataran rendah mendirikan Kerajaan
Haru – Deli Tua dan beberapa kuta(kampung) di Karo Jahé(Dusun Deli/Deli–Serdang).
Dan tokoh penting yang cukup dikenal dari Kerajaan Haru – Deli Tua ini, adalah
Ratu Haru, Seh Ngenana beru Sembiring
Meliala atau lebih dikenal dengan sebutan Putri Hijau.
2.
Teluk Barus
Jalur ke-dua ini sangat erat kaitannya
dengan sejarah Zending Hindu di Sumatera bagian timur, utara, dan tengah,
dimana setelah ditemukan situs batu bertulis di Labu Tua dekat bandar Barus
oleh: G. J . J. Deuts pada tahun
1879 M. Setelah tulisan tersebut di
tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas
Madras diterjemahkan, maka
diketahuilah bahwa pada tahun 1080 M, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang
dari India Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur
barus yang menurut tafsiran membawa pegawai dan penjaga-penjaga
gudang kira-kira 1. 500 orang. Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri
di Selatan India, seperti: Colay(Cōla),
Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham, Malayalam, dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun
1128-1285 M karen terdesak oleh misi dagang dan siar
Islam yang dilakukan serdadu dan
pedagang dari Arab serta Turki(ada beberapa ahli juga berpendapat,
jikalau mere sebenarnya terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh) maka
kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo(Kabupaten Aceh
Tenggara,) dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang menyingkir
lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo dan bergabung dengan kaum-kaum yang telah berbiak disana.
Dalam kehidupan sehari-hari, Sembiring
Meliala ini menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Sembiring Pandebayang
dan Sembiring Tekang. Dipercaya hubungan dekat ini telah terjalin saat
masih di negeri asal nenek moyang mereka di India selatan. Diduga, ketiga
sub-merga Sembiring ini adalah ersembuyak( er= ber; se = satu; mbuyak
= rahim; sembuyak= saudara kandung/serahim), sehingga dalam beberapa
keadaan tidak mengherankan jika mereka memakai nama sub-merga itu bersamaan
dalam kehidupannya. Kedekatan ini juga tampak dari rurun(nama
kecil/panggilan) mereka, dimana Sembiring Meliala untuk lelaki dipanggil dengan
Jemput(di Sarinembah) atau Sukat(di Beras Tepu dan Munte), sedang
untuk anak yang perempuan dipanggil dengan, Tekang! Sementara rurun Sembiring
Tekang adalah Jambé untuk laki-laki dan Gadong bagi yang
perempuan.
Dalam hal menjalin kekerabatan, salah satunya
melalui proses pernikahan; kelompok Sembiring Singombak(juga Meliala)
ini menganut sistem pernikahan Eksogami(mengharuskan menikah dengan
orang diluar merga-nya) dan sistem Eleutherogami(tidak ada
larangan tertentu, kecuali sedarah ataupun ada suatu kesepakatan/perjanjian).
Namun, untuk saat sekarang ini dibeberapa wilayah pernikahan se-merga(sibuaten)
ini telah dilarang oleh penatua-penatua setempat dan tokoh adat.
Berikut beberapa kuta yang didirikan serta
didiami dan menjadi kuta kemulihen(kampung halaman/kampung adat)
kelompok Sembiring Meliala ini baik di dataran tinggi Karo maupun di Karo Jahé(Dusun Deli/Deli–Serdang), di gugung: Sarinembah(kesebayaken/kerajaan),
Raja Berneh, Kidupen, Munté, Naman, Beras Tepu, Biaknampé, Jaberneh; di dusun:
Deli Tua(kerajaan), Buluh Gading, Si Pitu Kuta(Kuala Uruk, Kuala Cawi, Kuala Paya, Kuala Tebing, Kuala Sabah, Terumbu, dan Tembengen), dll. Sedangkan untuk Sembiring Tekang: Kaban dan Lingga(mungkin disinilah terjadinya
perjanjian dan pengangkatan saudara antara Tékang
dan Sinulingga, sehingga antara
mereka tidak bisa saling sibuaten(menikahi));
untuk Sembiring Pandébayang: Buluh
Naman dan Guru Singa.
kita kalak sembiring meliala haruuus M A J U...
ReplyDelete