Pemena merupakan aliran kepercayaan
yang ada pada masyarakat tradisional Karo, ataupun bisa juga disebut agama asli dari masyarakat Karo. Pemena, merupakan kepercayaan yang
menganut sistem politheisme dan dinanisme. Dikatakan politheisme, karena dalam
ajaran dasar pemena, perwujudan Dibata(Tuhan) digambarkan dalam tiga wujud, yaitu:
1. Dibata Datas(Kaci-kaci)
2. Dibata Tengah(Banua Koling),
dan
3. Dibata Teruh(Paduka Ni Aji)
Sama
halnya dengan apa yang kita temukan dalam ajaran Hindu(Senata Dharma) yang meyakini penjelmaan
Dibata(Tuhan) juga dalam tiga wujud, yakni:
1.
Brahmana(Pencipta
Alam)
2. Waisya(Pemelihara
Alam), dan
3. Syiwa(Perusak
Alam)
Dan, juga dikatakan kalau
dalam kepercayaan Pemena,
Dibata Simada Kuasa(Tuhan Yang Maha Esa); Sinepa Langit ras Doni(Khalik Semesta Alam) memiliki tiga orang anak yang dapat kita dikenal berdasarkan tempat
kekuasaanya(kendalinya), dimana ketiga anak Dibata itu, yakni: datas(atas) yang dilambangkan dengan pagé(padi: buahnya diatas), tengah(tengah) dilambangkan dengan jong/jaung(jagung:
buahnya ditengah), dan teruh(bawah)
yang dilambangan dengan gadong(ubi:
buahnya dibawah). lihat
disini <= serta bégu-bégu(roh-roh,
mungkin yang dimaksud dewa-dewa) lainnya, dan yang paling dekat dengan kehidupan
masyarakat tradisional Karo adalah bégu
jabu(roh nenek moyang/keluarga).
Dalam perakteknya dimasa
sekarang ini, berkaitan halnya dengan agama yang diakui oleh negara, kepercayaan
pemena dimasukkan dalam kelompok Hindu. Hal ini
bukan hanya dikarenakan kepercayaan pemena tersebut adalah suatu
kepercayaan tradisional yang melakukan ritual penyembahan kepada dewa-dewa yang
mirip dengan kepercayaan Hindu, namun, ini memiliki faktor historis yang telah
berlangsung lama, juga berkaitan dengan geneologis.
Maka, kita dapat berasumsi bahwa Bangsa Tamil-lah yang
sudah berbiak dan ber-merga di Karo
itulah menjadi motor penggerak dari kepercayaan Pemena dikemudian hari dan bukan tidak mungkin Pemena di Karo sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India, karena jika
ditinjau dari segi bahasa, "Pemena = pertama,
awal, dasar. bandingkan dengan ''Senata
Dharma yang juga berarti kepercayaan(agama) pertama. Jadi, dari segi kata mungkin kita
sepakat, bukan? Selain itu, tidak jarang dalam mangmang/tabas(mantra/doa) Karo banyak ditemukan bahasa-bahasa asing, terutama yang diambil dari bahasa Arab dan Sansekerta. Dialek cakap(bahasa)
Karo sendiri, sangatlah memiliki kemiripan dengan dialek-dialek
masyarakat di Selatan India, khususnya untuk dialek Karo Gugung(gunung, dataran tinggi). Namun, tidak cukup ditinjau dari segi bahasa saja! Ada beberapa
tradisi pemena yang sama dengan Senata Dharma ataupun masyarakat di Selatan India, diantaranya: upacara Pakuwaluh(membakar dan menghanyutkan abu
jenazah) yang dilakukan di Lau Biang(Lau:
sungai, biang: anjing) dengan dimasukkan dalam sebuah guci diatas perahu dengan
panjang sampan sekitar satu meter. Mengapa dilakukan di Lau Biang? Dalam tafsiran
masyarakat dahulu, Lau Biang yang perpanjanganya adalah Sungai Wampu di Langkat mengalir ke Selat Malaka, dan dari sana dengan
tuntunan roh-roh(dewa/i) akan mengalir ke Samudra Hindia dan selanjutnya akan sampai di
Sungai Gangga di India. Bukan
itu saja! Banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di
Selatan India, antara lain: masyarakat
Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan
mangmang/tabas(mantra/doa) dengan cara ngerengget seperti para pendeta Hindu
melantunkan mantra; mbesur-besuri, nengget, mbaba anak ku lau, erpangir,
ergunting, erkiker(memotong gigi lalu menghitaminya), teraka(seni merajah diri, khususnya bagi anak-anak dan kaum wanita), dll. Dan, dahulu wanita-wanita di Karo
juga suka membuat titik merah dikeningnya seperti halnya yang dilakukan
wanita-wanita di India(sekarang juga bagi pemeluk kepercayaan pemena).
Dalam hal seni,
beberapa tafsiran juga muncul, diantaranya rengget Karo yang hampir sama dengan
cara orang India untuk melantuntak mantra, suara sarune yang tinggi di Karo yang
endekna(cara permainannya) sama seperti
teknik vokal wanita di India, dan mempu mengambarkan motif vokal wanita India, serta beberapa perkusi Karo yang serupa dengan
yang ada di India. Dan, secara geneologis, hubungan Karo - India ini mendapat konfirmasi dari turi-turin(cerita lisan asal-usul) dari beberapa sub-merga Sembiring, seperti: Sembiring Meliala, Pandia, Brahmana, Colia, Muham, Keling, dll.
Dikemudian hari,
hubungan Karo dengan daratan India terputus. Hal ini mengingat jarak antara
Sumatera dengan daratan India yang jauh, ditambah lagi dengan gencarnya
ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh pedagang Islam baik dari Arab maupun Turki yang mendapat
dukungan penuh dari penguasa-penguasa(Sultan) di pesisir pantai Sumatera. Namun, di
abad ke-16(?), hubungan kembali terjalin, hal ini ditunjukkan dengan kedatangan
seorang resi Magidan yang adalah seorang Brahmana yang menemui bekas muridnya
di India yang seorang dari kaum kesatria Meliala(lihat Silsilah Berahmana) di
Tanah Karo yang kemudian menetab di Telun Kaban. Atas bantuan muridnya dan penguasa setempat yang juga menjadi kalimbubu-nya setelah menikahi putri sibayak tersebut, Magidan kemudian mengembangkan Maharesi Brgu Sekte Ciwi(salah satu
ajaran Hindu) di Tanah Karo. Dan setelah itu sepertinya hubungan Karo – India
kembali terputus hal ini mungkin karena mereka(Kaum Pemena) kembali mulai
tersisihkan oleh gencarnya Missi Injil Kristen dan Siar Islam di Tanah Karo setelah kedatangan VOC di wilayah-wilayah Karo.
Hingga di tahun 1950-n saat dimana lembaga-lembaga keagamaan di Indonesi gencar
menjaring jemaat, barulah Tanah Karo mendapat perhatian kembali oleh
kelemnbagaan Hindu hingga di tahun 1977 terbentuklan Prisadha Hindu Dharma di
Kabupaten Tanah Karo.