![]() |
Sapo Simpang Rambutan |
Tiga
tahun setelah itu. Akhirnya selesai juga studi Strata Satu (S-1)-ku, dan pada
bulan November 2009 aku di wisuda dan berhak menggunakan gelar Sarjana
Pendidikan (S. Pd) di belakang namaku. Lega rasanya, satu keinginan orang tuaku
sudah aku penuhi, dan sekarang babak baru dalam kisah hidupku akan segera
dimulai. Pikirku! “Inilah Kisah yang Sesungguhnya.”
Dengan
bantuan seorang kerabat, aku dapat bekerja dengan cepat, walau jujur berat
rasanya. Menjadi tenaga honorer atau tepatnya “Guru tak tetap (GTT)” dengan
gaji yang kecil (bahkan sering molor hingga berbulan-bulan), fasilitas minim,
dan di daerah pelosok Provinsi Jambi yang terpencil dengan peradaban dan budaya
yang jauh berbeda dengan daerah asalku. Orang-orang bilang daerah Indonesia yang
belum merdeka. PLN, Telphon, signal seluler, PAM belum ada. Namun, daripada
menjadi pengangguran dan beban orang tua “Itu jauh lebih baik” pikirku.
Makanan salah satu penderitaan yang kurasakan: susah mencari makanan enak.
Hahahhaha.... Bahasa, bahkan udara dan airnya membuatku tidak nyaman dan
merasa berat rasanya untuk bisa bertahan lama di sana, akan tetapi seperti kata
pepatah ‘alla bisa, karena biasa’ mungkin itulah yang terjadi kepadaku,
semakin lama aku semakin terbisa dan merasa nyaman.
Seperti
petuah mengatakan 'Di mana tanah di pijak, di situ langit di jujung' itulah
yang mulai aku tanamkan dalam hati kecilku, supaya aku sanggup bertahan di
tanah perantauan. Orang tuaku sempat berpesan sebelum aku pergi meninggalkan
rumah: ‘Jikalau kita pergi ke daerah rantau/asing, harus selalu bijak dan
bersahaja dalam bertindak, dan jangan lupa mencari “Sangkep Nggeluh” ( sanak
saudara), sebab merekalah nantinya orang tua dan sanak saudaramu di
perantauaan yang menjagamu dan menemanimu dalam suka maupun duka’
dan kata-kata itu tidak pernah kulupakan dan selalu tertanam dalam hati dan
pikiranku.
Kehidupanku
di tempat baruku berjalan normal, tidak jauh berbeda dengan saat aku masih di
Medan; aku senang dapat teman-teman baru yang beraneka ragam dari berbagai suku
yang saat di Medan tidak aku temui, maklumlah aku tipe anak rumahan. Seperti
ada temanku dari Flores, Kalimantan, Sulawesi dan di tambah etnis-etnis dan
kaum yang baru aku kenal dan bahkan tidak pernah mendengarnya baik dari
daerah-daerah di Sumatera maupun Jawa. Bahkan, di tempat ini aku banyak belajar
hal-hal yang baru, dan kehidupan sosialku yang sesungguhnya disinilah di mulai.
Aku mulai belajar menempa diri menjadi sosok humanis yang kritis, peduli,
lembut, dan mulai mencintai alam, seperti sosok Sir Thomas Stamford
Raffles yang tiga tahun sebelum kepindahanku, aku sempat membaca
sebagian dari kisah hidupnya dalam buku “Raffles Sang Pejuang” karya: Thomas
Janferson. Sosok peria yang lembut dan berwibawa, orientalis, pecinta ilmu
pengetahuan, anti perdagangan manusia, anti monopoli ekonomi (liberal), dan
juga pengarang dari buku: “History Of Java” serta bekas administrator Inggris
di Bengkulu yang juga kita kenal sebagai penemu bunga raksasa (bunga bangkai)
yang akhirnya dinamai dengan namanya dan sahabatny “ Rafflesia Arnoldi.”
Pendiri Singapura ini yang bagiku sebagai teladan dalam hal humanisme dan etos
kerja, seorang administrator sejati, walau aku sadar sesungguhnya tidak sanggup
seperti dia. Namun, inilah hidup! Harus terus berjuang, berusaha menjadi yang
terbaik "hidup adalah eksperimen" kata seorang tokoh pemuda yang kemudian hari dikenal sebagai penjahat legendaris, Jhony Farrel Sembiring(alm).
....................
Pagi
itu seperti biasanya aku sudah keluar dari rumah. Tepat pukul 07.00 wib. Dengan
mengendarai sepeda motor Honda Supra X ku yang sudah lebih lima tahun
menemaniku semenjak dari Medan hingga Provinsi Jambi ini. Ku laju kendaraan yang
ber-plat “BK(Batak - Karo)” itu dengan santai menyusuri perbukitan di sepanjang Jalan Lintas
Timur Sumatera, Jambi. “Wah! Inilah sisi lain dari daerah ini yang
membantuku untuk terus bertahan” bisikku dalam hati, mengingatkanku dengan
tanah asal nenek moyangku di dataran tinggi Karo yang sering dielu-elukan dengan sebutan Taneh Karo Simalem(simalem = indah, baik, damai, seperti surga). Pemandangan perkebunan kelapa
sawit milik warga yang indah tampak di sepanjang jalan, dan di puncak
tanjakan kita dapat melihat gumpalan awan pagi yang mengepul seperti salju yang
melayang-layang seakan kita diselimutinya, di tambah udara pagi yang dingin menusuk hingga ke sum-sum tulang. Aku teringat akan kata seorang peria tua yang mengatakan: “Inilah Kanaan” tanah yang dipenuhi madu dan
gandum (mungkin padi/beras) yang dilingkupi dengan keindahan dan kedamaian
abadi atau simalem. Namaun, ada pertanyaan yang selalu mengganjal pikiranku “Apakah itu
benar (maksudku abadi)? Dan sampai kapan?” Sebab, industri sudah mulai
mendekati daerah tersebut. Tidak bisa kubayangkan awan puti sebersih bak salju
itu suatu saat ternodai oleh kepulan asap industri; tebing-tebing yang menambah
unik serta indahnya derah ini dimana dari puncak tertingginya kita dapat menatap perkebudan yang terhampar luas dan hijau serta permukiman pendudu, namu akan di ratakan karena alasan efisiensi BBM, dan
hutan-hutan serta perkebunan kelapa sawit milik warga berubah menjadi komplek
industri dan permukiman padat penduduk yang sumpek dan kumuh, dan belum lagi
ekspansi korporasi yang bisa-bisa menggeser tradisi budaya, bahkan
menyingkirkan masyarakat lokal. Ini
mimpi buruk bagiku. Tidak jarang di tengah malam menjelang pagi aku terbangun
dari mimpiku, saat dimana yang lainnya tertidur pulas aku malah dibebani dan
dihantui oleh mimpi buruk yang sudah seminggu belakangan ini menjadi
bunga-bunga tidurku. Ikan-ikan di sungai bermatian terkontaminasi limbah
industri, burung-burung tidak lagi berkicau, sura simpai (sejenis kera besar
berbulu lebat hintam dan putih) yang menangis seperti bayi yang merenget
meminta susu tidak lagi terdengar, bahkan mungkin di hari minggu aku tidak bisa
lagi berburu karena hewan-hewan di hutan sudah habis terbakar atau berlarian
akibat pembukaan lahan perkebunan besar-besaran, udara yang segar berganti asap
pabrik dan kebakaran hutan tanpak dimana-mana. Oh! Ini benar-benar mimpi buruk
buat desa baruku.
Kubayangkan
teriakan mesin-mesin disel akan mengganggu tidurku dimalam hari. Eksodus
besar-besara tak terkendali dan tanpa dibarengi pemahaman manfaat lingkungan
dan tentunya taraf ekonomi yang sanggup mendukung itu semua, seperti tata ruang
kota yang baik dari segi tata letak bangunan, pengelolaan sampah dan limbah
cair, taman kota, tempat bermain, dan tentunya udaranya. Oh, dunia! Apakah
tidak ada konsep medernisasi dan industrialisasi yang lebih bersahabat dengan
alam? Mungkin, tidak! Aku membayangkan suatu saat nanti hidup di kota yang tak
berprikemanusiaan, yang dimana tidak ada ketersediaan oksigen yang cukup
menunjang kehidupan yang sehat, sungguh kita sudah di perlakukan tidak adil.
Terkadang aku mengutuk kebijakan-kebijakan pemerintah atas ijin-ijin industri
yang tidak memperhatikan kehidupan di sekitar yang hanya mengaung-ngaungkan
semangat pembangunan. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana mendongkrak PAD saja.
AMDAL(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), apa pun itu namanya, menurutku hanya isapan jempol belaka, yang ada alam
semakin rusak.
Akh!
Tidak ada artinya mengeluh, toh dunia ini tidak dapat berbuat apa-apa! Dalam
benakku selalu berkata “Sedikit perbuatan baik dari kita, semoga yang lain
mengikutinya” mungkin itu yang benar, menurutku. Hal ini sudah benar-benar
ku amini dalam hatiku, dan tersemat dalam setiap langkahku semenjak kehidupan
baruku di daerah ini dimulai, maka dimulailah projek kecilku itu “Perbaiki
lingkungan, dengan memperbaiki pola pikir kita sendiri dan semoga yang lain
juga serupa.” Waw! Bagiku ini suatu resolusi besar dalam
hidupku, dimana gaya hidup dan pola pikirku akan kuubah seratus delapan puluh
derajat (180°). Hehehe.... “from ziro to Hero” dan seperti kata SPG disetiap SPBU dibawah naungan Pertamina "dimolai dari angka nol(o)[...])" cetusku sambil tersipu malu.
Perjalanan
dari rumah menuju tempatku bekerja di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP)
negeri sekitar lima belas menit. Pukul 07. 20 wib “Oh! Bertambah lima menit”
kataku sambil memandangi jam tanganku saat di parkiran sekolah. "Munggkin
karena jalannya lambat" jawab sendiri dalam hati. Sambungku “Tidak apa. Toh
kita tidak terlambat sampai di sekolah”.
Di sekolah tempatku mengajar, bel masuk berbunyi tepat Pukul
07.30 wib. Hal ini karena jarak sekolah dengan permukiman warga cukup jauh dan
kebanyakan pelajar di sekolah itu tinggal di kampung-kampung pedalaman di
sekitar, dan dengan jalan melintasi medan yang terjal dan licin. Beruntung aku
mendapatkan tempat tinggal di rumah yang letaknya tepat di pinggir jalan
negara.
Sahabat
Kerinci dan Melayuku kebanyakan adalah keluarga yang sudah tinggal di daerah
itu lebih puluhan tahun, jadi banyak juga diantaranya putra kelahiran
derah tersebut. Aku selalu salut dengan beberapa keluarga disini, berbeda
dengan keluarga Melayu pada umumnya di daerah ini, walupun hidup susah dengan
mata pencarian sebagai penjual ikan dari hasil tangkapan di sungai dengan jala
dan bubu (sejenis keramba dari rotan) serta buruh tani, dan kaum ibu
kebanyakan bekerja sebagai tukang cuci dari rumah ke rumah, akan tetapi mereka
hidup dalam kebahagiaan. Tinggal dilingkungan keluarga Melayu penganut ajaran
Islam Konservatif tidaklah terasa risih bagiku yang seorang Nasrani
penganut ajaran Johanes Calvyn untuk tinggal dan berbagi, jujur mereka berbeda,
aku tidak takut sakit hati jika memberi atau meminta sesuatu dari mereka. Tidak
ada rasa jijik mereka akan pemberianku, begitu juga aku sebaliknya, ini sangat
jauh berbeda dengan orang-orang yang sering ku temui, yang mereka merasa jijik
denganku dan selalu bilang ‘orang Karo makan babi;’ itulah makna
berbagi yang sesungguhnya menurutku: “Tulus, tiada rasa curiga, dan jijik.”
Bahkan anehnya, kaum pendatang-lah yang demikian prilakuanya.
Saat
melintasi setiap ruangan di sekolah, aku selalu disibukkan dengan membalas
senyum dan sapaan dari siswa/i, rekan sesama guru, serta pegawai lainya.
Maklumlah, aku adalah guru termuda dan terpopuler di sekolah itu. Hehehe...
sedikit narsis! Kedekatanku dengan siswa/i dan semua penghuni sekolah itu,
membuatku merasa terhibur dan menempa aku menjadi mahluk sosial yang
sesungguhnya. Tetapi seperti kata pepatah “Andere zeite, anderi zitten”
akupun merasa risih jika seorang warga ataupun siswa menjabat tanganku serta
menciumnya, mungkin karena tidak terbiasa.
.....................
Hari
itu Sabtu, 13 Februari 2010 pukul 10.36 wib bel panjang berbunyi, menandakan
semua siswa/i harus berbaris dilapangan, karena hari Senin yang akan data ada ujian, jadi siswa diberikan pengarahan terlebih dahulu di lapangan. Syukurlah menjelang siang itu cuaca
mendung jadi siswa tidak kepanasan walau harus berdiri di lapangan. Berbaris di
lapangan dan rapat adalah hal yang paling tidak aku sukai, dari antara beberapa
hal-hal lainnya.
Pulang
dari mengajar di sekolah aku menyempatkan diri berkebun. Maklum, anak muda
penuh ambisi dan cita-cita, serta terinspirasi oleh saudara seperantauan
lainnya yang telah banyak sukses dari berkebun kelapa sawit; akupun tidak mau
terus berdiam di tempat ini walau aku sudah mulai menyukai tempat ini. Tetapi
bagiku, tetap kehidupanku yang sesungguhnya bukanlah disini; aku merasa ada
hal-hal besar yang menantiku di luar sana, dan hal itu juga sering ku katakan
kepada para siswa/i untuk memotifasi mereka untuk lebih giat belajar dan
melanjutkan sekolahnya ke kota.
Dengan bantuan orang tuaku, aku dapat memperoleh tanah untuk
kutanami kelapa sawit. Aku berharap, dari situ aku dapat berkembang dan bisa
keluar dari tempat ini walau kelak semua tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Selain berkebun ku habiskan hari-hariku dengan membaca,
menulis, dan terkadang berjalan kaki keliling kampung bersosialisasi dengan
warga setempat. Itulah hari-hari bahagia selama di rantau orang.
***********************
April tak terasa UN-pun telah tiba, setelah bulan lalu tepatnya
Maret UASBN telah terlaksana. Pagi-pagi sekali para guru yang masuk dalam
kepanitiaan sudah mulai sibuk, tak terkecuali aku yang merupakan anggota seksi
peralatan dan konsumsi sudah disibukkan dengan tugas-tugas yang tidak terlalu
berat tetapi cukup banyak dan merepotkan. Pukul 06.50 kami sudah mulai bekerja,
ku lihat soal-soal dan lembar jawaban ujian yang di sampuli amplop besar
berwarna kuning dengan disegel sudah disusun di atas meja di ruang TU, tertulis ruang I
s/d ruang VII.
Soal-soal datangnya dari pusat dan dengan sistem pengawas silang
dari sekolah lain. Tapi bagiku ini biasa saja, kita-kan sudah memberikan materi
pelajaran kepada siswa selama lebih kurang tiga tahun dan berdasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional. “Ya, siapa suruh gak belajar!” Cetusku dalam hati.
Namun bukan hal itu yang ditakuti para guru, terutama tenaga honorer seperti
aku. Kalau target kepala tak tercapai ya, siap-siap angkat kaki! Hehehe...;
amanat kepala sekolah (tepatnya Kepala Dinas) 100% lulus! Waw! Target dan
semangat yang hebat, kedengaranya! Dengan alasan menjaga martabat sekolah,
kepercayaan masyarakat, dan kualitas. Kualitas? Yang benar aja! Sebab, bagiku
sama aja bohong karena menurutku mutu atau kualitas pendidikan tidaklah ditenukan angka-angka subjektif di atas kertas saja, apa lagi dengan cara-cara kotor
dan memalukan. Jujur, banyak sekali hal-hal terjadi di lingkungan korps Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa ini yang kurang membuatku nyaman, mulai dari
ratting Korupsi tertinggi di Departemen Pendidikan, itu di tingkat elit,
bagaimana di bawah? Ada istilah “team sukses,” semacam team yang
bekerja; berusaha mendapatkan soal dari siswa (karena soal dan lembar jawaban
yang dikirimkan disesuaikan dengan jumlah siswa, jadi tidak ada soal yang sisa)
tanpa sepengetahuan pengawas ruangan, pengawas dari Dinas Pendidikan,
kepolisian, dan pengawas independen; kemudian mengerjakan soal-soal yang telah
didapat ke suatu tempat yang gelap dan rahasia dan kemudian membagikan hasilnya
(jawaban) ke peserta ujian tanpa diketahui pihak-pihak luar. Waw, seru! Semacam
main “Secret Operation,” kayak agen-agen FBI di film hollywood. He he he; atau
cara lainnya; bermain dengan pengawas-pengawas agar diberikan kesempatan
memberi jawaban ke peserta ujian, ataupun yang lebih enaknya dan lebih elegan:
cari bocoran soal, suruh dipelajari siswa dan dibahas di sekolah bersama team;
tiba ujian, beres deh! Kan lebih elegan, ya ‘gak? Dan yang paling menyakitkan
bagi seorang guru adalah: bermain hati nurani, seperti misalnya seorang siswa/i
bernilai 3,40 didoping jadi 8,00 supaya tercapai standart kelulusan, dan
siswa/i yang nilai aslinya 8, 00 tetap saja 8,00. Wah, wah, wah, kasihan.
Mending ‘nggak usah belajar, toh nilai 8,00 sudah di tangan. Dan ada
satu hal lagi senjata ampuh. Nilai akhlak mulian, biasanya ini jadi senjata
ampuh sekolah. Hm... Sudahlah! Semakin banyak di bahas maka kita akan merasa
semakin tidak ada artinya berbuat baik. Terkadang sedih rasanya, antara tugas
(tugas dari atasan), tanggung jawab, dan hati nurani. Hal-hal semcam itu bagiku
sangat mengganggu ketenanganku. Namun, aku mencoba terus berahan setidaknya
sampai akhir semester ini.
*********************
Menghilangkan suntuk, di sela-sela rutinitas yang terlihat
sibuk. Teman-teman sering mengajakku berburu ataupun memancing ke kanal ataupun sekedar
berjalan-jalan. Tidak jarang aku menjumpai seorang siswi-ku di gandeng oleh
peria yang mungkin seusia denganku bahkan jauh lebih tua, aku tidak tahu harus
bersikap bagaimana. Terkadang aku menghindar tetapi sering sulit untuk
menghindar dan terpaksa aku harus menerima sapaannya dan menelan menah-mentah
senyuman yang menurutku sebuah penghinaan dari lelaki yang menggandeng siswiku
itu.
Bukan cemburu tetapi, menurutku usia dibawah 15 tahun (SMP)
belumlah pantas untuk pacaran dan keluyuran, apalagi dengan seorang peria
dewasa. Pemandangan siswiku digandeng, dibonceng sambil berpelukan mesra diatas
sepeda motor merupakan pemandangan yang sudan menjadi makanan sehari-hariku.
Aku selalu bertanya kepada diriku: “Apakah guru itu tidak berharga
lagi di depan siswa/i-nya dan apakah kata “sungkan dan segan” sudah sirna dari
muka bumi ini?” Kalau aku ingat masa-masa sekolah dahulu,
jangankan bermesraan dihadapan guru atau orang tua, ber pas-pasan saja dengan
guru aku takut dan lebih memilih untuk menghindar. Sekarang sangat berbeda
jauh!
Tidak jarang aku menegor perbuatan mereka dan memberikan mereka
nasehat di sekolah (kalau diluar sekolah aku jarang memberi nasehat, karena
kejiwaan masyarakat di sini yang sensitif dan rada ‘nggak nyambung) namun,
mereka seakan-akan tidak mau tahu dan menganggapku sebagai radio yang sudah
rusak “Dasar, anak kurang ajar!” dalam hatiku, tak jarang
mengutuk jika sudah merasa jengkel.
Sepertinya para orang tua tidak peduli dengan perilaku
anak-anaknya. Yang penting dilahirkan, diberi makan, dibesarkan, dan dinikahkan.
Wah, simpel banget! Namun, kalau memang begiu mengapa juga mereka mengeluh
(maksudnya para orang tua) jika putri mereka tiba-tiba hamil dan tidak tahu
siapa ayah dari janinnya, atau putrinya diculik dan dijual, atau putrinya lari
dengan suami orang. Dibalik keindahan dan ketentraman daerah ini ternyata
tersimpat banyak masalah sosial yang seharusnya tidak terjadi. Kurang setahun
aku tinggal di daerah ini entah sudah berapa aku dengar gadis yang hamil,
menikah dibawah umur, menikah dengan peria tua, menjadi simpanan, di jual
ataupun diperkosa dan dibunuh, dan kebanyakan kasus itu dialami gadis antara
usia 12 – 16 tahun.
Satu hal lagi yang membuatku merasa jengkel, masalah lalu
lintas. Melihat banyaknya kecelakaan di jalan yang menelan korban nyawa. Dari
sekian banyak kasus, ini juga kebanyakan menimpa remaja dan dari para saksi dan
apa yang kulihat, dikarenakan perilaku dan kesadaran berlalu-lintas yang buruk
(ugal-ugalan, tidak pakai perangkat keselamatan seperti: helm, jaket, dll).
Tidak jarang di sekolah aku menasehati para siswa/i dan memberi arahan cara
berlalu-lintas yang baik “Santun berlalu lintas, hati-hati, dan
pakai helm” kata-kata itu sering ku lontarkan. Bahkan, tidak
jarang aku menegur siswa, bahkan juga orang tuanya agar mereka memperhatikan
cara anaknya dalam berkendara namun, mereka selalu salah mengerti dan
memandangku sinis. Kejadian terakhir kecelakaan yang menimpa siswi kelas 3 SMP
menjelang UN dimana 3 siswi SMP diatas sepeda motor bertabrakan dengan truk
pembawa TBS kelapa sawit dan dua diantaranya meninggal dunia dan satu hingga
kabar terakhir(satu bulan kemudian) masih keritis di rumah sakit disusul kecelakaan siswa kelas 2 yang berboncengan dengan adiknya yang duduk di bangku SD yang menabrak truk pembawa BBM dan seketika tewas ditempat.
Menjelang ujian semester untuk kelas VII dan VIII (kelas IX
sudah selesai UASBN dan UN) pihak sekolah mengadakan rajia mendadak ke
kelas-kelas. Banyak benda-benda unik yang ditemukan. Mulai dari telpon genggam(hp) yang di
dalamnya ada videonya orang primitif atau orang miskin (porno), buku yang berisi
bacaan mamak-mamak dan bapak-bapak, rokok, benda tajam, dan barang-barang yang
tidak bermanfaat lainnya. Yang membuatku tertarik adalah pengakuan seorang
siswa saat diintrogasi oleh guru BP (bimbingan penyuluhan) dan kordinator OSIS,
yang mengaku kalau di HP-nya banyak disimpan gambar dan video Miyabi. Mungkin
dia fans beratnya Miyabi. Hehehe...
“Ibuk... ampun, ampun ibu,” sambil menangis siswa itu meminta
ampunan kepada gurunya. “Memang itu hp saya, tapi bukan saya yang taruh isinya
itu.” Si siswa mencoba membela diri sambil meneteskan air mata.
“Sudah kedapatan masih mengelak juga” omel ibu guru,
“jelas-jelas ini kan hp kamu, masih mau mengelak lagi.”
“Benar ibu... bukan saya yang taruh itu semua.” Si siswa terus
berusaha meyakinkan ibu gurunya dengan air mata yang semakin deras mengalir.
“Sudah, sudah! Tidak usah kamu menangis begitu!” hardik ibu guru,
sambungnya “Ini, hp kamu kan?”
“Iya, bu.” Jawab siswa itu.
“Lantas, mengapa kamu bilang bukan kamu yang menaruh isinya?
Terus siapa dong yang taruh, ibu kamu?” tanya si ibu guru.
“Abang saya yang taruh bu...” sambil tersedu-sedu siswa itupun
menjawab pertanyaan ibu guru.
“Abang kamu?” tanya ibu guru kembali dengan penuh kebingungan
“Masa abang kamu lakuin seperti itu?”
“Iya, bu!” air matanya tercurah semakin deras “Abang saya yang
menaruhnya dan menyuruh saya menontonnya.”
“Terus kamu turuti?”
“Awalnya tidak ibu, tapi dia memaksa dan akhirnya saya mau juga
menontonnya” jawab si siswa sambil tersendu-sendu menahan tangisnya. Wajahnya
memerah, matanya berbinar-binar, dan sekucur pipinya dibasahi air matanya.
Ibu guru terdiam, matanya berbinar-binar, bingung harus merespon
dengan bagaimana. Ibu guru berkata kepada saya: "Bapak Sembiring kalah jauh dengan siswanya." sambil tersenyum. Keputusannya hanyalah memanggil orang tua si siswa untuk
meminta kejelasan dan agar orang tua siswa tahu apa yang dialami anaknya. Ini
adalah salah satu contoh kekerasan yang dialami usia remaja dan tak jarang juga
terjadi di rumah, dan ini menjadi pelajaran bagi semua anggota keluarga
terkhususnya orangtua.
Tiga hari setelah itu. Seorang peria paruh baya masuk ke ruang
guru. "Permisi bapak dan ibu." Sambil menghampiri kami, lelaki itu
mengulurkan tangannya memberi signal ingin berjabat tangan. Kebetuklan di dalam
ruangan itu hanya kami berlima.
“Oh, silahkan duduk” sambut salah seorang teman guru sebut saja
Pak Jonson. “Apa yang bisa kami bantu pak?’’ lanjut pak Jhonson bertanya.
“Maaf bapak – ibu. Saya orang tua dari Yudi(nama samaran red-),
kemarin saya dikirimi surat panggilan” jawabnya.
“O, jadi bapak orang tuanya Yudi ya?” tanya ibu guru yang
mengintogasi Yudhi sebelumnya, sambil berpindah lebih mendekat dengan kami.
“Iya, bu.” Jawab lelaki itu.
Di ruangan itu terdapat sederet meja yang terbentang membentuk
persegi panjang dan di tengah terdapat sebuah meja panjang yang biasanya kami
isi dengan bunga dan terkadang kalau ada makanan dan minuman.
Kebetulan aku, duduk di bangku paling pinggir dari pintu masuk
yang menjulur panjang di depan pintu, dan ibu guru yang tadinya di bangku
paling ujung yang menjulur panjang di samping kiri pintu jika kita masuk. Jadi,
posisi kami sekarang: saya di meja pertama yang di hadapan pintu, di susul dua
guru lainnya. Sedang pak Jhonson berdiri menghadap ke arah kami; orang tua
siswa itu duduk di bangku meja pertama di samping pintu dan di sebelah kirinya
ibu guru. Jadi posisi duduk kami membentuk sudut sembilan puluh derajat
(90°).
“Jadi begini pak!" kata ibu guru, sambungnya:
"Beberapa hari lalu, kami mengadakan rajia ke kelas-kelas dan menangkap
beberapa siswa yang membawa barang-barang yang semestinya tidak dibawa
kesekolah. Dan, anak bapak, Yudi kami tangkap membawa HP dan saat di periksa
isinya penuh dengan konten-konten yang tidak pantas untuk anak seusia dia.”
“Maksud Ibu, konten yang bagaimana?” tanya lelaki itu.
“Ya, kami temui banyak poto dan film porno di dalamnya dan
pengakuan dari Yudi kalau yang memasukkannya ke HP-nya dan menyuruhnya untuk
menuntonnya adalah abangnya.” Lanjut ibu guru “ Jadi, ini sangat tidak baik
untuk perkembangan anak kita, pak! Kami memanggil bapak kemari agar bapak tahu
apa yang terjadi terhadap anak ini dan kami harap kerjasama bapak sebagai orang
tuanya untuk mendidik anak ini dan lebih mengawasinya.”
“Iya, bu. Saya sudah tahu.’’ Lanjunya “tetapi, anak saya tidak
di hukum kan?”
“Ya, tentunya kalau anak yang melanggar peraturan harus diberi
tindakan disiplin, ini untuk kebaikan dia juga, pak” jawab ibu guru.
“Wah! Kalau itu saya tidak setuju, bu!” sela lelaki itu,
sambungnya “Saya saja orang tua kandungnya tidak pernah menghukumnya! Ini, Cuma
kedapatan bawa HP yang isinya gambar dan video porno, masak di hukum!”
Sejenak kami bingung harus menanggapinya bagaimana. Dalam hatiku
berkata “Kawan ini orang tua yang bagaimana sih! Apa sudah gila? Masak anaknya
yang kedapatan bawa HP berisi konten pornu masih berdalih “Cuma!”“ gila kawan ini.
“Jadi, menurut bapak itu hal yang biasa dan wajar untuk anak
seusia Yudi?” sela pak Jhonson dengan pertanyaan.
“Dia juga perlu tahu kok. Nantinya kan dia juga butuh! Masak
begitu saja dimasalahkan!” jawab lelaki itu.
Kami terbengong mendengar jawabannya. Wah, wah, wah! Benar-benar
orang tua yang moderen plus gila, sinting, idiot.
“Kalau begitu, sana bawa anak bapak! Sebab, kami tidak sanggup
mendidiknya seperti yang bapak harapkan....” kata pak Jhonson dengan
penuh emosi.
Banyak sekali hal-hal bahagia, lucu, sedih, konyol, dan
menjengkelkan dalam hari-hariku setahun di desa terpencil itu.
********************
Akhir Juni 2010 tugasku selesai sebagai seorang guru dalam
semester itu. Ku serahkan surat pengunduran diri. Huh akhirnya aku terbebas
dari rutinitas yang meletihkan dan menjengkelkan, namun juga menyenangkan.
Teman-teman dan siswa/i tampak sedikit bersedih dan tidak rela melepasku, namun
keputusanku sudah bula, aku tetap mengundurkan diri. Dari situ tentunya tujuan
utamaku adalah kota Medan, namun sebelumnya aku juga sempat singgah dan menetap
dibeberapa kota lainnya sampai akhirnya kembali ke tanah kelahiranku, yakni
kota yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Kota Medan. bersambung…
baca juga: Bukan Chernobyl dan Prypiat yang kami takuti.
baca juga: Bukan Chernobyl dan Prypiat yang kami takuti.
Gregorius saya ambil dari kata Gregorian yang adalah sebuah group band vaforit saya asal Jerman yang dipinpin oleh Frank Peterson yang mengusung harmonisasi vokal gaya seriosa dengan musik rock dan pop, dimana dalam setiap penampilannya menampilkan kostum dan tata panggung, serta musik yang menggambarkan kegelapan seperti dalam sebuah game popular Assasin(Persia).
No comments:
Post a Comment
Mejuah-juah!