Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Monday, January 21, 2013

    Gregorius


    Sapo Simpang Rambutan rumah peristerahatan dimana saya sering berkumpul dengan teman-teman ataupun menjamu tamu-tamu saya yang jaraknya sekitar 300 meter dari tempat tinggal saya.
    Sapo Simpang Rambutan
    Gregorius S. Meliala(nama samaran). Itulah namaku, keren-kan? He-he-he. Aku seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di kota Medan, hingga karena sesuatu hal aku harus angkat kaki dari kampus.  Kepada kedua orang tua, aku selalu beralasan kalau otakku tidak sanggup mengikuti setiap mata kuliah di kampus. Itulah alasan yang selalu ku lontarkan jika mereka bertanya mengapa aku sampai keluar dari kampus. Mereka tidak pernah percaya dengan alasanku itu, akan tetapi sebagai orangtua yang baik, mereka menyarankanku untuk mengambil kuliah di lain tempat, atau setidaknya mengikuti pelatihan-pelatihan keterampilan untuk masa depanku nantinya. Cetus orang tuaku.  Aku selalu mengelak dengan mengatakan itu tidak perlu, namun mereka dengan sabar terus memberikan dorongan kepadaku. Ya, itu wajar pikirku. Sebagai orang tua tentunya mereka tidak ingin anaknya nantinya susah dalam menjalani hidup. Hingga akhirnya aku bersedia mengikuti nasehat mereka dan melanjutkan kuliahku di salah satu perguruan tinggi swasta yang masih berada di sekitar kota Medan juga.


    Tiga tahun setelah itu. Akhirnya selesai juga studi Strata Satu (S-1)-ku, dan pada bulan November 2009 aku di wisuda dan berhak menggunakan gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) di belakang namaku. Lega rasanya, satu keinginan orang tuaku sudah aku penuhi, dan sekarang babak baru dalam kisah hidupku akan segera dimulai. Pikirku! “Inilah Kisah yang Sesungguhnya.

            Dengan bantuan seorang kerabat, aku dapat bekerja dengan cepat, walau jujur berat rasanya. Menjadi tenaga honorer atau tepatnya “Guru tak tetap (GTT)” dengan gaji yang kecil (bahkan sering molor hingga berbulan-bulan), fasilitas minim, dan di daerah pelosok Provinsi Jambi yang terpencil dengan peradaban dan budaya yang jauh berbeda dengan daerah asalku. Orang-orang bilang daerah Indonesia yang belum merdeka. PLN, Telphon, signal seluler, PAM belum ada. Namun, daripada menjadi pengangguran dan beban orang tua “Itu jauh lebih baik” pikirku. Makanan salah satu penderitaan yang kurasakan: susah mencari makanan enak. Hahahhaha.... Bahasa, bahkan udara dan airnya membuatku tidak nyaman dan merasa berat rasanya untuk bisa bertahan lama di sana, akan tetapi seperti kata pepatah ‘alla bisa, karena biasa’ mungkin itulah yang terjadi kepadaku, semakin lama aku semakin terbisa dan merasa nyaman.

           Seperti petuah mengatakan 'Di mana tanah di pijak, di situ langit di jujungitulah yang mulai aku tanamkan dalam hati kecilku, supaya aku sanggup bertahan di tanah perantauan. Orang tuaku sempat berpesan sebelum aku pergi meninggalkan rumah: ‘Jikalau kita pergi ke daerah rantau/asing, harus selalu bijak dan bersahaja dalam bertindak, dan jangan lupa mencari “Sangkep Nggeluh” ( sanak saudara), sebab merekalah nantinya orang tua dan sanak saudaramu di perantauaan  yang menjagamu dan menemanimu dalam suka maupun duka’ dan kata-kata itu tidak pernah kulupakan dan selalu tertanam dalam hati dan pikiranku.

           Kehidupanku di tempat baruku berjalan normal, tidak jauh berbeda dengan saat aku masih di Medan; aku senang dapat teman-teman baru yang beraneka ragam dari berbagai suku yang saat di Medan tidak aku temui, maklumlah aku tipe anak rumahan. Seperti ada temanku dari Flores, Kalimantan, Sulawesi dan di tambah etnis-etnis dan kaum yang baru aku kenal dan bahkan tidak pernah mendengarnya baik dari daerah-daerah di Sumatera maupun Jawa. Bahkan, di tempat ini aku banyak belajar hal-hal yang baru, dan kehidupan sosialku yang sesungguhnya disinilah di mulai. Aku mulai belajar menempa diri menjadi sosok humanis yang kritis, peduli, lembut, dan mulai mencintai alam, seperti sosok Sir Thomas Stamford Raffles yang tiga tahun sebelum kepindahanku, aku sempat membaca sebagian dari kisah hidupnya dalam buku “Raffles Sang Pejuang” karya: Thomas Janferson. Sosok peria yang lembut dan berwibawa, orientalis, pecinta ilmu pengetahuan, anti perdagangan manusia, anti monopoli ekonomi (liberal), dan juga pengarang dari buku: “History Of Java” serta bekas administrator Inggris di Bengkulu yang juga kita kenal sebagai penemu bunga raksasa (bunga bangkai) yang akhirnya dinamai dengan namanya dan sahabatny “ Rafflesia Arnoldi.” Pendiri Singapura ini yang bagiku sebagai teladan dalam hal humanisme dan etos kerja, seorang administrator sejati, walau aku sadar sesungguhnya tidak sanggup seperti dia. Namun, inilah hidup! Harus terus berjuang, berusaha menjadi yang terbaik "hidup adalah eksperimen" kata seorang tokoh pemuda yang kemudian hari dikenal sebagai penjahat legendaris, Jhony Farrel Sembiring(alm).
    ....................
            Pagi itu seperti biasanya aku sudah keluar dari rumah. Tepat pukul 07.00 wib. Dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra X ku yang sudah lebih lima tahun menemaniku semenjak dari Medan hingga Provinsi Jambi ini. Ku laju kendaraan yang ber-plat “BK(Batak - Karo)” itu dengan santai menyusuri perbukitan di sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera, Jambi. “Wah! Inilah sisi lain dari daerah ini yang membantuku untuk terus bertahan” bisikku dalam hati, mengingatkanku dengan tanah asal nenek moyangku di dataran tinggi Karo yang sering dielu-elukan dengan sebutan Taneh Karo Simalem(simalem = indah, baik, damai, seperti surga). Pemandangan perkebunan kelapa sawit milik warga yang indah  tampak di sepanjang jalan, dan di puncak tanjakan kita dapat melihat gumpalan awan pagi yang mengepul seperti salju yang melayang-layang seakan kita diselimutinya, di tambah udara pagi yang dingin menusuk hingga ke sum-sum tulang. Aku teringat akan kata seorang peria tua yang mengatakan: “Inilah Kanaan” tanah yang dipenuhi madu dan gandum (mungkin padi/beras) yang dilingkupi dengan keindahan dan kedamaian abadi atau simalem. Namaun, ada pertanyaan yang selalu mengganjal pikiranku “Apakah itu benar (maksudku abadi)? Dan sampai kapan?” Sebab, industri sudah mulai mendekati daerah tersebut. Tidak bisa kubayangkan awan puti sebersih bak salju itu suatu saat ternodai oleh kepulan asap industri; tebing-tebing yang menambah unik serta indahnya derah ini dimana dari puncak tertingginya kita dapat menatap perkebudan yang terhampar luas dan hijau serta permukiman pendudu, namu akan di ratakan karena alasan efisiensi BBM, dan hutan-hutan serta perkebunan kelapa sawit milik warga berubah menjadi komplek industri dan permukiman padat penduduk yang sumpek dan kumuh, dan belum lagi ekspansi korporasi yang bisa-bisa menggeser tradisi budaya, bahkan menyingkirkan masyarakat lokal. Ini mimpi buruk bagiku. Tidak jarang di tengah malam menjelang pagi aku terbangun dari mimpiku, saat dimana yang lainnya tertidur pulas aku malah dibebani dan dihantui oleh mimpi buruk yang sudah seminggu belakangan ini menjadi bunga-bunga tidurku. Ikan-ikan di sungai bermatian terkontaminasi limbah industri, burung-burung tidak lagi berkicau, sura simpai (sejenis kera besar berbulu lebat hintam dan putih) yang menangis seperti bayi yang merenget meminta susu tidak lagi terdengar, bahkan mungkin di hari minggu aku tidak bisa lagi berburu karena hewan-hewan di hutan sudah habis terbakar atau berlarian akibat pembukaan lahan perkebunan besar-besaran, udara yang segar berganti asap pabrik dan kebakaran hutan tanpak dimana-mana. Oh! Ini benar-benar mimpi buruk buat desa baruku.
               
         Kubayangkan teriakan mesin-mesin disel akan mengganggu tidurku dimalam hari. Eksodus besar-besara tak terkendali dan tanpa dibarengi pemahaman manfaat lingkungan dan tentunya taraf ekonomi yang sanggup mendukung itu semua, seperti tata ruang kota yang baik dari segi tata letak bangunan, pengelolaan sampah dan limbah cair, taman kota, tempat bermain, dan tentunya udaranya. Oh, dunia! Apakah tidak ada konsep medernisasi dan industrialisasi yang lebih bersahabat dengan alam? Mungkin, tidak! Aku membayangkan suatu saat nanti hidup di kota yang tak berprikemanusiaan, yang dimana tidak ada ketersediaan oksigen yang cukup menunjang kehidupan yang sehat, sungguh kita sudah di perlakukan tidak adil. Terkadang aku mengutuk kebijakan-kebijakan pemerintah atas ijin-ijin industri yang tidak memperhatikan kehidupan di sekitar yang hanya mengaung-ngaungkan semangat pembangunan. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana mendongkrak PAD saja. AMDAL(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), apa pun itu namanya, menurutku hanya isapan jempol belaka, yang ada alam semakin rusak.

           Akh! Tidak ada artinya mengeluh, toh dunia ini tidak dapat berbuat apa-apa! Dalam benakku selalu berkata “Sedikit perbuatan baik dari kita, semoga yang lain mengikutinya” mungkin itu yang benar, menurutku. Hal ini sudah benar-benar ku amini dalam hatiku, dan tersemat dalam setiap langkahku semenjak kehidupan baruku di daerah ini dimulai, maka dimulailah projek kecilku itu “Perbaiki lingkungan, dengan memperbaiki pola pikir kita sendiri dan semoga yang lain juga serupa.”  Waw! Bagiku ini suatu resolusi besar dalam hidupku, dimana gaya hidup dan pola pikirku akan kuubah seratus delapan puluh derajat (180°). Hehehe.... “from ziro to Hero” dan seperti kata SPG disetiap SPBU dibawah naungan Pertamina "dimolai dari angka nol(o)[...])" cetusku sambil tersipu malu.

           Perjalanan dari rumah menuju tempatku bekerja di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri sekitar lima belas menit. Pukul 07. 20 wib “Oh! Bertambah lima menit” kataku sambil memandangi jam tanganku saat di parkiran sekolah. "Munggkin karena jalannya lambat" jawab sendiri dalam hati. Sambungku “Tidak apa. Toh kita tidak terlambat sampai di sekolah”.

    Di sekolah tempatku mengajar, bel masuk berbunyi tepat Pukul 07.30 wib. Hal ini karena jarak sekolah dengan permukiman warga cukup jauh dan kebanyakan pelajar di sekolah itu tinggal di kampung-kampung pedalaman di sekitar, dan dengan jalan melintasi medan yang terjal dan licin. Beruntung aku mendapatkan tempat tinggal di rumah yang letaknya tepat di pinggir jalan negara.

           Sahabat Kerinci dan Melayuku kebanyakan adalah keluarga yang sudah tinggal di daerah itu lebih puluhan tahun, jadi banyak juga diantaranya putra kelahiran derah tersebut.  Aku selalu salut dengan beberapa keluarga disini, berbeda dengan keluarga Melayu pada umumnya di daerah ini, walupun hidup susah dengan mata pencarian sebagai penjual ikan dari hasil tangkapan di sungai dengan jala dan bubu (sejenis keramba dari rotan) serta buruh tani, dan kaum ibu kebanyakan bekerja sebagai tukang cuci dari rumah ke rumah, akan tetapi mereka hidup dalam kebahagiaan. Tinggal dilingkungan keluarga Melayu penganut ajaran Islam Konservatif  tidaklah terasa risih bagiku yang seorang Nasrani penganut ajaran Johanes Calvyn untuk tinggal dan berbagi, jujur mereka berbeda, aku tidak takut sakit hati jika memberi atau meminta sesuatu dari mereka. Tidak ada rasa jijik mereka akan pemberianku, begitu juga aku sebaliknya, ini sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang sering ku temui, yang mereka merasa jijik denganku dan selalu bilang ‘orang Karo makan babi;’ itulah makna berbagi yang sesungguhnya menurutku: “Tulus, tiada rasa curiga, dan jijik.” Bahkan anehnya, kaum pendatang-lah yang demikian prilakuanya.

          Saat melintasi setiap ruangan di sekolah, aku selalu disibukkan dengan membalas senyum dan sapaan dari siswa/i, rekan sesama guru, serta pegawai lainya. Maklumlah, aku adalah guru termuda dan terpopuler di sekolah itu. Hehehe... sedikit narsis! Kedekatanku dengan siswa/i dan semua penghuni sekolah itu, membuatku merasa terhibur dan menempa aku menjadi mahluk sosial yang sesungguhnya. Tetapi seperti kata pepatah “Andere zeite, anderi zitten” akupun merasa risih jika seorang warga ataupun siswa menjabat tanganku serta menciumnya, mungkin karena tidak terbiasa.
    .....................

             Hari itu Sabtu, 13 Februari 2010 pukul 10.36 wib bel panjang berbunyi, menandakan semua siswa/i harus berbaris dilapangan, karena hari Senin yang akan data ada ujian, jadi siswa diberikan pengarahan terlebih dahulu di lapangan. Syukurlah menjelang siang itu cuaca mendung jadi siswa tidak kepanasan walau harus berdiri di lapangan. Berbaris di lapangan dan rapat adalah hal yang paling tidak aku sukai, dari antara beberapa hal-hal lainnya.

            Pulang dari mengajar di sekolah aku menyempatkan diri berkebun. Maklum, anak muda penuh ambisi dan cita-cita, serta terinspirasi oleh saudara seperantauan lainnya yang telah banyak sukses dari berkebun kelapa sawit; akupun tidak mau terus berdiam di tempat ini walau aku sudah mulai menyukai tempat ini. Tetapi bagiku, tetap kehidupanku yang sesungguhnya bukanlah disini; aku merasa ada hal-hal besar yang menantiku di luar sana, dan hal itu juga sering ku katakan kepada para siswa/i untuk memotifasi mereka untuk lebih giat belajar dan melanjutkan sekolahnya ke kota.

    Dengan bantuan orang tuaku, aku dapat memperoleh tanah untuk kutanami kelapa sawit. Aku berharap, dari situ aku dapat berkembang dan bisa keluar dari tempat ini walau kelak semua tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Selain berkebun ku habiskan hari-hariku dengan membaca, menulis, dan terkadang berjalan kaki keliling kampung bersosialisasi dengan warga setempat. Itulah hari-hari bahagia selama di rantau orang.


    ***********************

    April tak terasa UN-pun telah tiba, setelah bulan lalu tepatnya Maret UASBN telah terlaksana. Pagi-pagi sekali para guru yang masuk dalam kepanitiaan sudah mulai sibuk, tak terkecuali aku yang merupakan anggota seksi peralatan dan konsumsi sudah disibukkan dengan tugas-tugas yang tidak terlalu berat tetapi cukup banyak dan merepotkan. Pukul 06.50 kami sudah mulai bekerja, ku lihat soal-soal dan lembar jawaban ujian yang di sampuli amplop besar berwarna kuning dengan disegel sudah disusun di atas meja di ruang TU, tertulis ruang I s/d  ruang VII.

    Soal-soal datangnya dari pusat dan dengan sistem pengawas silang dari sekolah lain. Tapi bagiku ini biasa saja, kita-kan sudah memberikan materi pelajaran kepada siswa selama lebih kurang tiga tahun dan berdasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional. “Ya, siapa suruh gak belajar!” Cetusku dalam hati. Namun bukan hal itu yang ditakuti para guru, terutama tenaga honorer seperti aku. Kalau target kepala tak tercapai ya, siap-siap angkat kaki! Hehehe...; amanat kepala sekolah (tepatnya Kepala Dinas) 100% lulus! Waw! Target dan semangat yang hebat, kedengaranya! Dengan alasan menjaga martabat sekolah, kepercayaan masyarakat, dan kualitas. Kualitas? Yang benar aja! Sebab, bagiku sama aja bohong karena menurutku mutu atau kualitas pendidikan tidaklah ditenukan angka-angka subjektif di atas kertas saja, apa lagi dengan cara-cara kotor dan memalukan. Jujur, banyak sekali hal-hal terjadi di lingkungan korps Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini yang kurang membuatku nyaman, mulai dari ratting Korupsi tertinggi di Departemen Pendidikan, itu di tingkat elit, bagaimana di bawah?  Ada istilah “team sukses,” semacam team yang bekerja; berusaha mendapatkan soal dari siswa (karena soal dan lembar jawaban yang dikirimkan disesuaikan dengan jumlah siswa, jadi tidak ada soal yang sisa) tanpa sepengetahuan pengawas ruangan, pengawas dari Dinas Pendidikan, kepolisian, dan pengawas independen; kemudian mengerjakan soal-soal yang telah didapat ke suatu tempat yang gelap dan rahasia dan kemudian membagikan hasilnya (jawaban) ke peserta ujian tanpa diketahui pihak-pihak luar. Waw, seru! Semacam main “Secret Operation,” kayak agen-agen FBI di film hollywood. He he he; atau cara lainnya; bermain dengan pengawas-pengawas agar diberikan kesempatan memberi jawaban ke peserta ujian, ataupun yang lebih enaknya dan lebih elegan: cari bocoran soal, suruh dipelajari siswa dan dibahas di sekolah bersama team; tiba ujian, beres deh! Kan lebih elegan, ya ‘gak? Dan yang paling menyakitkan bagi seorang guru adalah: bermain hati nurani, seperti misalnya seorang siswa/i bernilai 3,40 didoping jadi 8,00 supaya tercapai standart kelulusan, dan siswa/i yang nilai aslinya 8, 00 tetap saja 8,00. Wah, wah, wah, kasihan. Mending ‘nggak usah belajar, toh nilai 8,00 sudah di tangan. Dan ada satu hal lagi senjata ampuh. Nilai akhlak mulian, biasanya ini jadi senjata ampuh sekolah. Hm... Sudahlah! Semakin banyak di bahas maka kita akan merasa semakin tidak ada artinya berbuat baik. Terkadang sedih rasanya, antara tugas (tugas dari atasan), tanggung jawab, dan hati nurani. Hal-hal semcam itu bagiku sangat mengganggu ketenanganku. Namun, aku mencoba terus berahan setidaknya sampai akhir semester ini.

    *********************

    Menghilangkan suntuk, di sela-sela rutinitas yang terlihat sibuk. Teman-teman sering mengajakku berburu ataupun memancing ke kanal ataupun sekedar berjalan-jalan. Tidak jarang aku menjumpai seorang siswi-ku di gandeng oleh peria yang mungkin seusia denganku bahkan jauh lebih tua, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Terkadang aku menghindar tetapi sering sulit untuk menghindar dan terpaksa aku harus menerima sapaannya dan menelan menah-mentah senyuman yang menurutku sebuah penghinaan dari lelaki yang menggandeng siswiku itu.

    Bukan cemburu tetapi, menurutku usia dibawah 15 tahun (SMP) belumlah pantas untuk pacaran dan keluyuran, apalagi dengan seorang peria dewasa. Pemandangan siswiku digandeng, dibonceng sambil berpelukan mesra diatas sepeda motor merupakan pemandangan yang sudan menjadi makanan sehari-hariku. Aku selalu bertanya kepada diriku: “Apakah guru itu tidak berharga lagi di depan siswa/i-nya dan apakah kata “sungkan dan segan” sudah sirna dari muka bumi ini? Kalau aku ingat masa-masa sekolah dahulu, jangankan bermesraan dihadapan guru atau orang tua, ber pas-pasan saja dengan guru aku takut dan lebih memilih untuk menghindar. Sekarang sangat berbeda jauh!

    Tidak jarang aku menegor perbuatan mereka dan memberikan mereka nasehat di sekolah (kalau diluar sekolah aku jarang memberi nasehat, karena kejiwaan masyarakat di sini yang sensitif dan rada ‘nggak nyambung) namun, mereka seakan-akan tidak mau tahu dan menganggapku sebagai radio yang sudah rusak “Dasar, anak kurang ajar!” dalam hatiku, tak jarang mengutuk jika sudah merasa jengkel.

    Sepertinya para orang tua tidak peduli dengan perilaku anak-anaknya. Yang penting dilahirkan, diberi makan, dibesarkan, dan dinikahkan. Wah, simpel banget! Namun, kalau memang begiu mengapa juga mereka mengeluh (maksudnya para orang tua) jika putri mereka tiba-tiba hamil dan tidak tahu siapa ayah dari janinnya, atau putrinya diculik dan dijual, atau putrinya lari dengan suami orang. Dibalik keindahan dan ketentraman daerah ini ternyata tersimpat banyak masalah sosial yang seharusnya tidak terjadi. Kurang setahun aku tinggal di daerah ini entah sudah berapa aku dengar gadis yang hamil, menikah dibawah umur, menikah dengan peria tua, menjadi simpanan, di jual ataupun diperkosa dan dibunuh, dan kebanyakan kasus itu dialami gadis antara usia 12 – 16 tahun.

    Satu hal lagi yang membuatku merasa jengkel, masalah lalu lintas. Melihat banyaknya kecelakaan di jalan yang menelan korban nyawa. Dari sekian banyak kasus, ini juga kebanyakan menimpa remaja dan dari para saksi dan apa yang kulihat, dikarenakan perilaku dan kesadaran berlalu-lintas yang buruk (ugal-ugalan, tidak pakai perangkat keselamatan seperti: helm, jaket, dll). Tidak jarang di sekolah aku menasehati para siswa/i dan memberi arahan cara berlalu-lintas yang baik “Santun berlalu lintas, hati-hati, dan pakai helm” kata-kata itu sering ku lontarkan. Bahkan, tidak jarang aku menegur siswa, bahkan juga orang tuanya agar mereka memperhatikan cara anaknya dalam berkendara namun, mereka selalu salah mengerti dan memandangku sinis. Kejadian terakhir kecelakaan yang menimpa siswi kelas 3 SMP menjelang UN dimana 3 siswi SMP diatas sepeda motor bertabrakan dengan truk pembawa TBS kelapa sawit dan dua diantaranya meninggal dunia dan satu hingga kabar terakhir(satu bulan kemudian) masih keritis di rumah sakit disusul kecelakaan siswa kelas 2 yang berboncengan dengan adiknya yang duduk di bangku SD yang menabrak truk pembawa BBM dan seketika tewas ditempat.

    Menjelang ujian semester untuk kelas VII dan VIII (kelas IX sudah selesai UASBN dan UN) pihak sekolah mengadakan rajia mendadak ke kelas-kelas. Banyak benda-benda unik yang ditemukan. Mulai dari telpon genggam(hp) yang di dalamnya ada videonya orang primitif atau orang miskin (porno), buku yang berisi bacaan mamak-mamak dan bapak-bapak, rokok, benda tajam, dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya. Yang membuatku tertarik adalah pengakuan seorang siswa saat diintrogasi oleh guru BP (bimbingan penyuluhan) dan kordinator OSIS, yang mengaku kalau di HP-nya banyak disimpan gambar dan video Miyabi. Mungkin dia fans beratnya Miyabi. Hehehe...

    “Ibuk... ampun, ampun ibu,” sambil menangis siswa itu meminta ampunan kepada gurunya. “Memang itu hp saya, tapi bukan saya yang taruh isinya itu.” Si siswa mencoba membela diri sambil meneteskan air mata.

    “Sudah kedapatan masih mengelak juga” omel ibu guru, “jelas-jelas ini kan hp kamu, masih mau mengelak lagi.”

    “Benar ibu... bukan saya yang taruh itu semua.” Si siswa terus berusaha meyakinkan ibu gurunya dengan air mata yang semakin deras mengalir.

    “Sudah, sudah! Tidak usah kamu menangis begitu!” hardik ibu guru, sambungnya “Ini, hp kamu kan?”

    “Iya, bu.” Jawab siswa itu.

    “Lantas, mengapa kamu bilang bukan kamu yang menaruh isinya? Terus siapa dong yang taruh, ibu kamu?” tanya si ibu guru.

    “Abang saya yang taruh bu...” sambil tersedu-sedu siswa itupun menjawab pertanyaan ibu guru.

    “Abang kamu?” tanya ibu guru kembali dengan penuh kebingungan “Masa abang kamu lakuin seperti itu?”

    “Iya, bu!” air matanya tercurah semakin deras “Abang saya yang menaruhnya dan menyuruh saya menontonnya.”

    “Terus kamu turuti?”

    “Awalnya tidak ibu, tapi dia memaksa dan akhirnya saya mau juga menontonnya” jawab si siswa sambil tersendu-sendu menahan tangisnya. Wajahnya memerah, matanya berbinar-binar, dan sekucur pipinya dibasahi air matanya.

    Ibu guru terdiam, matanya berbinar-binar, bingung harus merespon dengan bagaimana. Ibu guru berkata kepada saya: "Bapak Sembiring kalah jauh dengan siswanya." sambil tersenyum. Keputusannya hanyalah memanggil orang tua si siswa untuk meminta kejelasan dan agar orang tua siswa tahu apa yang dialami anaknya. Ini adalah salah satu contoh kekerasan yang dialami usia remaja dan tak jarang juga terjadi di rumah, dan ini menjadi pelajaran bagi semua anggota keluarga terkhususnya orangtua.

    Tiga hari setelah itu. Seorang peria paruh baya masuk ke ruang guru. "Permisi bapak dan ibu." Sambil menghampiri kami, lelaki itu mengulurkan tangannya memberi signal ingin berjabat tangan. Kebetuklan di dalam ruangan itu hanya kami berlima.

    “Oh, silahkan duduk” sambut salah seorang teman guru sebut saja Pak Jonson. “Apa yang bisa kami bantu pak?’’ lanjut pak Jhonson bertanya.

    “Maaf bapak – ibu. Saya orang tua dari Yudi(nama samaran red-), kemarin saya dikirimi surat panggilan” jawabnya.

    “O, jadi bapak orang tuanya Yudi ya?” tanya ibu guru yang mengintogasi Yudhi sebelumnya, sambil berpindah lebih mendekat dengan kami.
    “Iya, bu.” Jawab lelaki itu.

    Di ruangan itu terdapat sederet meja yang terbentang membentuk persegi panjang dan di tengah terdapat sebuah meja panjang yang biasanya kami isi dengan bunga dan terkadang kalau ada makanan dan minuman.

    Kebetulan aku, duduk di bangku paling pinggir dari pintu masuk yang menjulur panjang di depan pintu, dan ibu guru yang tadinya di bangku paling ujung yang menjulur panjang di samping kiri pintu jika kita masuk. Jadi, posisi kami sekarang: saya di meja pertama yang di hadapan pintu, di susul dua guru lainnya. Sedang pak Jhonson berdiri menghadap ke arah kami; orang tua siswa itu duduk di bangku meja pertama di samping pintu dan di sebelah kirinya ibu guru. Jadi posisi duduk kami membentuk sudut sembilan puluh derajat (90°). 

    “Jadi begini pak!" kata ibu guru, sambungnya: "Beberapa hari lalu, kami mengadakan rajia ke kelas-kelas dan menangkap beberapa siswa yang membawa barang-barang yang semestinya tidak dibawa kesekolah. Dan, anak bapak, Yudi kami tangkap membawa HP dan saat di periksa isinya penuh dengan konten-konten yang tidak pantas untuk anak seusia dia.”

    “Maksud Ibu, konten yang bagaimana?” tanya lelaki itu.

    “Ya, kami temui banyak poto dan film porno di dalamnya dan pengakuan dari Yudi kalau yang memasukkannya ke HP-nya dan menyuruhnya untuk menuntonnya adalah abangnya.” Lanjut ibu guru “ Jadi, ini sangat tidak baik untuk perkembangan anak kita, pak! Kami memanggil bapak kemari agar bapak tahu apa yang terjadi terhadap anak ini dan kami harap kerjasama bapak sebagai orang tuanya untuk mendidik anak ini dan lebih mengawasinya.”

    “Iya, bu. Saya sudah tahu.’’ Lanjunya “tetapi, anak saya tidak di hukum kan?”

    “Ya, tentunya kalau anak yang melanggar peraturan harus diberi tindakan disiplin, ini untuk kebaikan dia juga, pak” jawab ibu guru.

    “Wah! Kalau itu saya tidak setuju, bu!” sela lelaki itu, sambungnya “Saya saja orang tua kandungnya tidak pernah menghukumnya! Ini, Cuma kedapatan bawa HP yang isinya gambar dan video porno, masak di hukum!”

    Sejenak kami bingung harus menanggapinya bagaimana. Dalam hatiku berkata “Kawan ini orang tua yang bagaimana sih! Apa sudah gila? Masak anaknya yang kedapatan bawa HP berisi konten pornu masih berdalih “Cuma!”“ gila kawan ini.

    “Jadi, menurut bapak itu hal yang biasa dan wajar untuk anak seusia Yudi?” sela pak Jhonson dengan pertanyaan.

    “Dia juga perlu tahu kok. Nantinya kan dia juga butuh! Masak begitu saja dimasalahkan!” jawab lelaki itu.

    Kami terbengong mendengar jawabannya. Wah, wah, wah! Benar-benar orang tua yang moderen plus gila, sinting, idiot.

    “Kalau begitu, sana bawa anak bapak! Sebab, kami tidak sanggup mendidiknya seperti yang bapak harapkan....”  kata pak Jhonson dengan penuh emosi.

    Banyak sekali hal-hal bahagia, lucu, sedih, konyol, dan menjengkelkan dalam hari-hariku setahun di desa terpencil itu.  


    ********************
    Akhir Juni 2010 tugasku selesai sebagai seorang guru dalam semester itu. Ku serahkan surat pengunduran diri. Huh akhirnya aku terbebas dari rutinitas yang meletihkan dan menjengkelkan, namun juga menyenangkan. Teman-teman dan siswa/i tampak sedikit bersedih dan tidak rela melepasku, namun keputusanku sudah bula, aku tetap mengundurkan diri. Dari situ tentunya tujuan utamaku adalah kota Medan, namun sebelumnya aku juga sempat singgah dan menetap dibeberapa kota lainnya sampai akhirnya kembali ke tanah kelahiranku, yakni kota yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Kota Medan. bersambung…

    baca juga: Bukan Chernobyl dan Prypiat yang kami takuti.



    Gregorius saya ambil dari kata Gregorian yang adalah sebuah group band vaforit saya asal Jerman yang dipinpin oleh Frank Peterson yang mengusung harmonisasi vokal gaya seriosa dengan musik rock dan pop, dimana dalam setiap penampilannya menampilkan kostum dan tata panggung, serta musik yang menggambarkan kegelapan seperti dalam sebuah game popular Assasin(Persia).


    No comments:

    Post a Comment

    Mejuah-juah!