Jalan menuju Desa Bukum, Kec. Sibolangit, Kab. Deli Serdang.
Sabtu, 25 Mei 2013 betepatan dengan
Hari Raya Waisak Tahun 2557(Saka), jadi dalam kalender merupakan hari
merah(libur), sehingga kami memutuskan untuk melakukan kegiatan lintas alam
sekalian survey untuk rute napak tilas ‘sehna berita si-meriah man kalak Karo’.
Dari Medan kemacetan bukan main panjangnya sehingga untuk sampai di Simpang
Pasar Baru saja sudah pukul 11.25 wib.
Dari Sp. Pasar Baru (11.30 wib) kami
bergerak menuju Buluh Awar dengan mengendarai mobil dan sepeda motor melewati
jalan yang licin, berbatu, terjal, dan sangat rawan longsor, namun itu semua
dapat terobati dengan suguhan udara dan air yang segar, keindahan alam, dan
masyarakat yang kami temui yang ramah-ramah dan royal senyum. Sesampainya di
Buluh Awar kami beristirahat sejenak sembari memeriksa kondisi kendaraan kami
dan kemudian melanjutkan perjalanan dan beristirahat sambil makan siang di
Maertelu(13.23 wib).
Dari maertelu kami bergerak menuju
Bukum(14.18 wib) dan sampai di Bukum sudah pukul 14.45 wib sepertinya tidak
memungkinkan untuk melakukan perjalanan lagi, sehingga kami mengurungkan niat
kami dan menundanya hingga waktu yang dikemudian hari ditentukan.
Rabu (5 Juni 2013) hari yang
disepakati. Kami memutuskanbergerak
dari Bandar Baru menuju Bukum menggunakan ojek sepeda motor untuk mempercepat
gerak kami. Jadi, yang berangkat saya, bang Arnem Tarigan dan dua orang pemuda
berdarah Nias sahabat bang Arnem. Dari Bandarbaru hingga ke Maertelu jalanan
cukup bagus dan tidak ada masalah, namun memasuki simpang tiga menuju Bukum
kerusakan sudah mulai terlihat, dan semakin mendekati bukum akan semakin parah
lagi, dimana jalan berbatu-batu licin dan tajam, tergenang air yang deras,
longsor, dan kadang terdapat genangan air dan kubangan yang cukup tebal dan
dalam. Sungguh suatu pemamdangan yang sangat memilukan. (Sebelum lanjut membaca, ada baiknya kita dengarkan sejenal lagu berikut ini. :D)
Kebetulan dari tiga sepeda motor yang
berarakan tumpangan saya di baris paling belakang. Tiba-tiba saat melewati PLTA
yang diperuntukkan bagi Desa Bukum, ojek yang saya tumpangi bannya bocor,
sehingga, perjalanan harus dihentikan dan si-tukang ojek memutuskan kembali
untuk memperbaiki ban sepeda motornya, jadi saya harus menunggu di jalan.
Menunggu sejenak tidak ada juga kendaraan yang lewat, jadi, mengingat menunggu
adalah sebuah pekerjaan yang membosankan maka saya memutuskan melanjutkan
perjalanan saya sembari menunggu mungkin nanti ada kendaraan yang lewat.
Sekitar 500 meter berjalan, akhirnya
saya mendengar suara kendaraan yang semakin lama semakin mendekat. Sayapun
memperlambat langkah saya dan memang karena sudah mulai lelah berjalan dimana
saya harus menenteng tas yang lumayan berat dengan jalan yang menanjak dan
tergolong sangat rusak parah. Namun, ada keanehan pada kendaraan(mobil) yang
mendekat itu. Saat saya menoleh kebelakang, kendaraan itu tiba-tiba berhenti
(sekitar 30 meter dari saya). Kemudian saat saya melanjutkan perjalanan
kendaraan itu juga kembali bergerak dan saat kembai saya menoleh ke belekang
seketika kendaraan itu juga berhenti. Aneh! Saya tidak mau ambil pusing dan
kembali terus berjalan dan kendaraan itu-pun kembali berjalan di belakang saya.
Saat melewati persimpangan tiga (Sp. Selangge-langge) saya sudah keletihan dan
berat rasanya kaki ini untuk dilangkahkan maka saya putuskan berhenti sejenak
dan saat saya berirtirahan dengan perlahan kendaraan yang ditumpangi dua
orang(sepertinya suami – istri) itu semakin mendekat dan saat sudah sangat
dekat dengan saya, saya mencoba memberhentikannya dengan memberi kode dan
meminta tumpangan dengan berkata “Numpang Pak seh ku Bukum”, namun pandangan
tajam tidak bersahabat dari kedua orang didalam kendaraan itu dan mereka cuma
diam dan berlalu dari saya dan tinggalah saya sendiri ditengah hutan di
sepanjang jalan menuju Bukum. Rasa letih bercampur sedikit jengkel, dalam hati
saya berkata: “Ikh.. Sok naring kalak Bukum e. Sitik pe lalait bersahabatna.
Tek- kel aku kalak Karo ras kalak Kristen oh… Bage kepe genduari kalak Karo ras
kalak Kristen e me, sitik pe lanai lit rasa saling menolongna.”
Sedikit tenang dan tenaga saya juga
sudah mulai pulih, maka saya lanjut berjalan. Jujur sih seram dan takut
sendirian dihutan, dan tak henti-hentinya saya berdoa dalam hati saya, mana
teman-teman saya juga tak kunjung datang. Hehehe… Namun pemandangan, udara
segar, dan suara gemuruh air sedikit membuat saya merasa nyaman dan terhibur.
Tiba-tiba terdengar oleh saya suara
anak-anak yang berjalan semakin dekat dari arah berlawanan dengan langkah saya.
Dari kejauhan saya melihat beberapa anak-anak berpakaian putih - merah(seragam
SD) berjalan semakin mendekat. Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya,
katanya: “Kemana, bang?”
Jawab saya: “Ku Bukum, dek! Ndauh
dengan ki Bukum e?”
Jawabnya: “Ndauh dengan, bang!”Sambungnya lagi dengan pertanyaan: “Ja nari
kin kam e ras erkai atendu ku Bukum?
Jawab saya datar sembari menarik
nafas panjang (maklum sudah keletihan): “Aku Medan nari, dek!” menghela nafas,
lalu: “Labo erkai pe, dalin-dalin saja.”
Lalu: “Piga nomor rumahndu, bang”
tanyanya lagi.
Kemudian seorang yang lain diantara
mereka bertanya dengan nada malu-malu kepadanya sambil curi-curi pandang ke
arah saya, katanya: “Man kadem kin e nungkun nomor rumah abang oh?”
Jawabnya: “Ikh.. Perlu, nak!” sambungnya
lagi: “Mana tau ku Medan kari aku, mapak, me banci ku darami abang e?” dengan
nada yang sangat meyakinkan dilanjut dengan tertawaan.
Mereka pun semua tertawa mendengar
jawaban yang dilontarkan sahabat mereka itu. Dan, saya juga ikut tertawa kecil,
lalu kata saya kepadanya: “No. 71, dek. Uai. Reh saja kam yah.”
Dan, rombongan anak-anak SD itu-pun
melanjutkan perjalanan mereka dengan tampak kegirangan, begitu juga dengan
saya. Rasa kesal dan letih sedikit terobati melihat semangat anak-anak SD ini
yang harus berjalan melewati rute yang menurut saya cukup berbahaya bagi
anak-anak untuk bisa bersekolah.
Perjalanan berlanjut. Nafas saya
sudah mulai berat, namun saya tidak mau dikalahkan oleh rasa letih karena
sedikit lagi(100 meter) tujuan saya akan sampai. Dan tiba-tiba terdengar suara
sepeda motor dari depan saya dan ternyata teman satu rombongan saya dari Bandar
Baru yang sengaja menjemput karena merasa sudah cukup lama menunggu saya.
Sesampainya di Bukum, kami berhenti
di sebuah kedai di depan SD Bukum istirahat sambil menunggu Pak. Barus yang
nantinya akan menjadi pemandu kami selama melintasi hutan-hutan dan sungai
sepanjang Bukum hingga Simpang Lau Debuk-debuk di Desa Doulu, Kab. Karo.
Sekitar 3 menit duduk di kedai itu,
kendaraan yang tadinya tidak mau saya tumpangi berhenti tepat didepannya dan
sepertinya mereka mengenal saya dan tak henti-henti menatap ke arah saya, namun
saya cuek saja dan menganggap tidak pernah melihat mereka. Tak hentinya kedua
orang itu menatap ke arah saja. Keakraban dalam pembicaraan kami di kedai itu
sepertinya memumbuhkan tanda tanya dalam hati mereka ‘siapa orang ini?’
Rasa penasaran dan sedikit bercampur
merasa bersalah dan malu tampak dari raut wajah mereka. Setidaknya itu yang
saya baca dari mimik wajah mereka.
Saat Pak Barus tiba, kami-pun memulai
petualangan yang cukup mendebarkan dan meletihkan yang mungkin akan saya
ceritakan nanti diwaktu yang berbeda. Sebelum berlalu dari Bukum saya sempatkan
tersenyum lebar kepada kedua orang tadi.Mejuah-juah man banta kerina. :D
Kampung Karo adalah salah satu nama dusun, tepatnya Dusun IV Desa
Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera
Utara. Diyakini, Kampung Karo yang dalam penuturan masyarakat setempat dengan
sebutan Kuta Karo adalah wilayah
permukiman yang dipanteki(dibuka
pertama kali/didirikan) oleh Tala Karo-karo Barus dan sangkep nggeluhnya(sanak
keluarga) sekitar tahun 1940 s/d 1950-an dan merupakan pemindahan permukiman dari
kawasan Asahan yang sekarang merupakan wilayah Medan Amplas. Dari cerita
orangtua setempat, hal ini merupakan kesepakatan antara Raja Urung Senembah
dengan masyarakat, mengingat masyarakat Karo adalah masyarakat petani sehingga
hidup berebelahan langsung dengan kota bukan-lah pilihan yang tepat dan
solusinya adalah Kampung Karo.
Seperti
halnya Kecamatan Patumbak yang merupakan bekas ibu kota negeri Urung Senembah dibawah
pimpinan Raja Urung Karo-karo Barus Mergana, tentulah Patumbak dan juga Kampung
Karo(Dusun IV) ini berpenduduk asli dari Suku Karo dan Melayu hingga sekitar
tahun 2000-an setelah jalan menuju Kampung Karo yang dulunya hanya sepanjang +/-
1 km kemudian diperpanjang dan kini sudah tembus ke Kecamatan Tanjungmerawa,
berdatanganlah penduduk yang mayoritas dari etnis Batak. Pada umunnya mereka
merupakan korban penggusuran dari Kota Medan yang sebahagian besar dari kawasan
Mandala - Medan.
Jalan Kampung Karo Patumbak yang
menghubungkan Kecamatan Patumbak dengan Kecamatan Tanjungmerawa yang penjangnya
sekitar +/- 3 km ini kini dinamai warga sekitar dengan nama Jalan Kampung Karo
walau tidak ada pengesahan atau bahkan penamaan secara resmi. Sebenarnya, saat
pembukaan jalan ini sekitar tahun 1999 – 2004 pernah muncul gagasan untuk
menambalan nama Tala Barus yang merupakan orang pertama membuka Kampung Karo
ini, namun entah mengapa hingga sampai pada saat ini belum ada aksi yang cukup
berarti untuk merealisasikannya.
Secara keseluruhan, penduduk di Kampung Karo Patumbak bermata pencarian sebagai petani
dan buruh pabrik, dan sebahagian ada sebagai pegawai negeri, pedagang, ataupun
sektor formal dan non-formal lainnya. Hingga tahun 2000 wilayah ini dikelilingi
oleh perkebunan milik pemerintah, dimana disisi Selatan merupakan kawasan
perkebunan kelapa sawit dan disisi Utara merupakan perkebunan kakao(coklat).
Jadi, Kampung Karo ini permukiman penduduk awalnya hanya disepanjang jalan,
dimana dari kedua belah sisi jalan hanya menyisakan sekitar 100 meter untuk
permukiman dan selebihnya merupakan areal perkebunan.
Saat
meletusnya reformasi 1998 yang diawali gejolak krisis ekonomi dari tahun 1997, berbondong-bondong
masyarakat Kampug Karo menyerbu perkebunan. Entah siapa yang memulai ataupun
memprovokasi, namun rasa takut yang selama ini menghinggapi masyarakat Kampung
Karo terhadap centeng-centeng(sebutan untuk pengawas) perkebunan tiba-tiba
sirna. Bahkan, saya ingat saat dikerahkan dari unsur TNI dan Polri masyarakat
juga tidak gentar menghadapinya. Pada saat-saat inilah muncul sebutan
masa(maling sawit) atau ninja sawit dan maco(maling coklat) untuk masyarakat
Patumbak, terkhususnya yang tinggal di Kampung Karo. Keterpurukan ekonomi
Indonesia di masa itu sedikit pun tidak dirasakan oleh masyarakat Kampung Karo,
mengapa tidak? Nilai tukar dolar yang melambung yang mempengaruhi harga kakao
dan sawit turut dinikmati oleh sebahagian besar masyarakat Kampung Karo. Mulai
dari anak usia 5 tahun hingga lanjut usia semua orang berduit. Tak jarang anak
usia 5 tahun mengantongi uang Rp 50.000 hingga Rp 500.000 padahal saya ingat
persis jatah jajan saya saat itu hanya Rp 2.500 dari orangtua, dan hal ini
pastilah menggoda saya, namun orangtua memperingatkan dengan keras agar jangan
ikut-ikutan dan salah satu cara orangtua untuk menghindarkan kami agar jangan
ikutan adalah dengan mengungsikan kami ke Jambi atau ke Pekanbaru saat liburan
sekolah. Uang yang berlimpah dengan jalan yang mudah dan cepat untuk diraih
tentunya turut mempengaruhi psikologi masyarakat setempat, yakni segalanya
tampak mudah dan instan, sehingga kemampuan untuk menghadapi masalah yang rumit
tentunya menurun drastis. Pemandangan remaja dibawah umur yang menikah itu
biasa, bahkan sepertinya hal yang wajar melihat anak-anak sekitar usia 5 – 15 tahun
memegang rokok dan menghisapnya.
Dari
awalnya hanya menjarah hasil perkebunan berangsur-angsur menjurus ke penebangan
tanaman perkebunan dan penguasaan lahan. Rasa takut(bukan menghormati) terhadap
yang namanya manusi plat merah(pemerintah, pereman pemerintah, pejabat, dlsb)
kini sirna.
Dahulu, pertanian di Kampung Karo ini
cukup maju. Walau dusun buntu(karena jalannya buntu), dan dengan kemajuan
pertanianya, tak jarang putra/i Kampung Karo ini berhasil dan menjadi sarjana,
bakan tercatat merupakan penghasil sarjana bagi Kabupaten Deli Serdang yang tersebar ke
penjuru Indonesia. Dari cerita yang saya dengar dan dalam jangka waktu sebentar sempat juga saya rasakan sendiri, komuditas andalan dari Kampung Karo
adalah kates(pepaya), kemiri, cengkeh, padi, kelapa, dan ikan air tawar.
Kemajuan dari sektor pertanian ini juga dikatakan faktor utama putra/i dari
Kampung Karo ini kemudian malas untuk melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi walau ada beberapa yang berprestasi. Mudah mencari makan, mudah
memperoleh uang, dan mudah hidup karena tanah yang luas dan subur, sehingga terlena dan malas untuk berhadapan dengan dunia luar.
Cerita
kehebatan Kampung Karo tidak berlangsung lama. Saat terjadinya penjarahan
terhadap aset-aset perkebunan yang pada puncaknya penguasaan lahan dengan
langkah awal mematikan tanaman perkebunan, tentunya memberi efek juga terhadap
alam, dimana Kampung Karo yang dulunya sejuk karena dikelilingi tanaman
perkebunan, kini terasa sangat panas dan gersang. Bahkan, semenjak tanaman
perkebunan musnah, tanaman masyarakat juga ikut musnah terserang hama. Tanaman
muda membusuk dan tanaman keras layu dan akhirnya mati. Ada yang mengatakan ini
akibat migrasi serangga yang sebelumnya hinggap di tanaman perkebunan, namun
setelah perambahan serangga-serangga itu berpindah ke
tanaman warga. Sejenak perekonomian Kampung Karo tampak lesu, tanaman mati, kakao dan sawit tidak ada lagi untuk dijarah, dan barang
dagangan-pun tidak laku. Kini baru terasa efek kerisis ekonomi itu. Kondisi ini
semakin diperparah dengan dibukanya proyek-proyek galian tanah yang tentunya ikut serta menambah perusakan alam dan mencemari udara. Jalan-jalan Patumbak hancur karena harus
menopang beban diatas kapasitas maximumnya. Jika kemarau udara Patumbak
bercampur debu seperti salju, dan jika musim penghujan licin dan tergenang
seperti kubangan sapi. Bertahun-tahun kondisi ini dirasakan
masyarakat Patumbak, hingga puncaknya Januari - Februari 2013 masyarakat yang didominasi
kaum ibu turun ke jalan membangun tenda-tenda agar mobil pengangkut tanah tidak
dapat lewat. Setidaknya ada beberapa tenda diawalal-awal aksi, cuma lama-lama
berkurang dan hanya menyisakan satu tenda di kawasan Desa Sigara-gara namun mereka
terus bertahan hingga mobil pengangkut tanah benar-benar berhenti. Jadi, saya
rasa perlu kita acungkan jempol buat kaum ibu-ibu Desa Sigara-gara dan kita
ucapkan terima kasi untuk pahlawan-pahlawan kesehatan Patumbak ini.
Setelah melewati masa-masa sulit, tak
membuat masyarakat Kampung Karo benar-benar terpuruk dan patah semangat. Kini,
perekonomian Kampung Karo sudah tampak mulai bergairah lagi. Sektor pertanian
kembali bangkit, puluhan hektar lahan jagung, kolam ikan, ternak bebek peking,
ternak babi, dan sektor lainnya kini menjadi andalan masyarakat Kampung Karo,
namun sayang sektor pendidikan belum juga mulai bangkit sehingga, Kampung Karo yang dulu ditakuti dan disegani kini hanya dianggap dusun kecil yang kurang perhatian. bersambung.
"Tiga Pancur Batu" : Tiga-tiga tak lagi seramai dulu.
Tiga adalah
sebutan untuk pasar ataupun pusat perbelanjaan dalam cakap(bahasa) Karo atau
sering juga disebut pajak.
Pertiga-tiga, perpajak, ataupun perengge-rengge adalah sebutan bagi pedagang
dipasar-pasar(pelaku pasar).
Setelah
berkembangnya sistem pasar dan pusat perbelanjaan di Indonesia, maka sebutan
tiga ataupun pajak kini hanya merujuk kepada pasar-pasar tradisional. Namun,
walau demikian aktifitas jual-beli di tiga-tiga ini hingga sekarang masih cukup
ramai walau tidak lagi se-ramai dahulu. Hal ini dikarenakan, tiga-tiga sekarang ini hanya
dikunjungi untuk membeli beberapa komuditi yang tidak diperjualkan di
pasar-pasar modern, seperti: rempah-rempah, obat-obat tradisional, ataupun komuditi
yang dibeli dalam partai besar agar mendapat nilai barang yang masih segara dan
harga yang murah.
Saya pribadi
menganggap tiga-tiga ini sebagai sebuat objek wisata berbelanja tradisional,
mengapa saya katakan demikian? Ya, seperti yang saya utarakan sebelumnya,
banyak komuditi yang tidak diperjualkan di pasar modern, seperti rempah dan
obat tradisional. Bukan itu saja, di tiga-tiga ini juga banyak aneka panganan
tradisional yang tidak kita temukan di pasar modern dan walaupun ada tentunya
penyajian, suasana, dan rasanya sangat berbeda. Saya misalkan masakan khas Karo,
banyak rumah makan yang menyediakan masakan khas Karo di kota-kota di Sumatera Utara,
bahkan hingga ke Jawa, namun dari segi rasa sudah sangat jauh berbeda dengan
yang ada di tiga-tiga. Misalkan BPK, kalau di rumah makan modern dagingnya
sudah dipanggang dengan oven bukan dengan bara api lagi, begitu juga nasinya
yang dimasak dengan memanfaatkan panas litrik dan gas sehingga tentunya rasa
dan aromanya sangat beda dengan daging panggang dan nasi yang dimasak dengan
kayu bakar, dan yang paling mencolok pada soup-nya dimana sudah dicampur dengan
penyedap rasa buatan(zat kimia), dlsb. Berbeda dengan soup di RM di tiga-tiga yang
hanya memakai bumbu alami dan dengan acem cikala(asam khas Karo) yang membuat
rasanya sangat khas dan nyaman di lambung. Cimpa(kue khas Karo sejenis lapet)
yang jika dibeli dari pasar-pasar tradisional masih dibuat dengan sangat
tradisional, dimana tepungnya masih ditutu(ditumbuk) di lesung kayu bersamaan dengan
lada, garam, dan gula; dan gulanya juga masih memakai gula merah dari tuak pola(aren),
bukan seperti gula merah yang kita temui di swalayan yang dimana gula pasir di
aduk dengan entah apa itu seperti lendir. Jadi, rasanya sangat, sangat berbeda
sekali.
Saya ingat saat berkesempatan
tinggal di Suban, Jambi, saya tidak mau makan jika berasnya bukan beras yang
dibeli dari petani setempat, serta yang dimasak jika tidak dengan kayu akasia,
tempinis, ataupun cameline, karena aroma dan rasanya sangat jauh berbeda sekali,
dan itu semuanya hanya dapat kita peroleh di tiga-tiga. Berikut tiga-tiga yang
sering saya kunjungi dan hari puncak kermaianya.
Tiga Pancur Batu pucak keramaiaanya
pada hari Sabtu.
Tiga Delitua(Kamis)
Tiga Namorambe(Senin)
Tiga Sibolangit(Jumat)
Tiga Talun Kenas(Sabtu)
Tiga Simpang Rambutan/Suban, Jambi(Minggu)
Tiga Selensen/Kemuning, INHIL, Riau(Jumat)
Tiga Minas, Minas Jaya, Siak, Riau(Selasa).
,dll.
Mau barang dengan kwalitas bagus dengan harga murah dan khas(rasa dan aroma)? Silahkan mencoba berbelanja di tiga-tiga(pasar tradisional). Selamat mencoba dan salam Mejuah-juah.
Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo Museum Karo Lingga dan Kuta Budaya Lingga,
adalah dua tujuan wisata yang ada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
Perjalanan saya kali ini(Sabtu, 2
Maret 2013) tidak seperti biasa yang walau dadakan namun secara keseluruhan
berjalan mulus. Kali ini tidak begitu mulus dan sidikit mengecewakan. Pasalnya, walau sudah ada
rencana, manun sedikit perubahan lokasi tujuan dari semula ingin mengunjungi lokasi konservasi orang utan di Bahorok, Bukit Lawang,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara namun karena ada beberapa hal diluar dugaan,
maka tujuan-pun dirubah ke tiga Museum yang menyimpan koleksi benda budaya Karo,
yakni: Museum GBKP di kompleks RC. GBKP, Sukamakmur, Museum Pusaka Karo yang
terletak di kota wisata Berastagi, dan Museum
Karo Lingga di Desa Lingga.
Perjalanan dari rumah(Patumbak, Deli
Serdang) sekitar pukul 09.00 wib, cuma kali ini kami menelusuri jalur Patumbak – Delitua
- Titi Kuning – Padang Bulan(Medan) – Pacur Batu – ke Kabupaten Karo, tidak seperti
biasa yang mengambil jalur Patumbak – Delitua – Namorambe - Namom Mbacang/Bintang - Pancur Batu, sehingga tentulah
kemacetan dan persimpangan lampu merah harus dihadapi. Jalur ini diambil karena kami(saya dan adik
saya) sekalian mengantarkan Nande(ibu) Ginting kami ke Jambur Pemere Padang
Bulan, Medan untuk melayat acara adat kematian Bapak Depari. Sebelumnya saya
mengucapkan turut berduka dan semoga keluarga Depari diberi ketabahan.
Memasuki Jalan Jendral A. H. Nasution hingga
Simpang Pos kemacetan parah terjadi, hampir
2 jam lebih kami terjebak macet, baru memasuki Jl. Letjend. Djamin
Ginting lalu-lintas kembali lancar hingga Jambur Pemere dimana kami menurunkan
Nande beru Ginting. Sepanjang Jl. Djamin Ginting Padang Bulan, Medan kendaraan
sangat padat, mengingat hari Sabtu walau demi kian tidak ada kemacetan berarti
selain oleh karena sebuah angkot(angkutan kota) kuning yang mogok tepat
ditengah badan jalan, namun segera ditanggulangi sang pengemudi dan beberapa
orang yang kebetulan melintas, sehingga jalan kembali lancar. Baru di sekitar
Tiga(pasar tradisional) Pancur Batau kemacetan kembali terjadi hingga melewati
Puskesmas Pancur Batu. Berhubung hari Sabtu, maka kendaraan
yang menuju gugung(dataran tinggi/pegunungan) cukup padat, setidaknya dari Bandar Baru samapi Peceren jalanan baru tampak lengang dan sepi, dan memasuki Kota Wisata Berastagi(sekitar
66 km dari Medan) kembali padat dengan kendaraan. Seperti biasa jika melakukan
perjalanan ke dataran tinggi Karo, sebelum memasuki Kota Berastagi,
pemberhentian pertama kami adalah SPBU Sukamakmur yang letaknya tepat di
samping kompleks RC. GBKP Sukamakmur, dilanjut pemberhentian kedua yakni Peceren
dimana disepanjang kedua belah sisi jalan terdapat toko-toko yang menjual
panganan khas Peceren dan yang paling populer adalah Wajit Peceren dan beberapa
aneka panganan lainnya.
Sampai di Kota Berastagi, kami
langsung menuju Museum Pusaka Karo di Jalan Perwira No. 3, Berastagi yang tidak
jauh dari bundaran Tuju Mejuah-juah(Perjuangan) Berastagi, namun di pintu
museum tersebut tertulis “TUTUP” dan ada larangan parkir didepannya, maka tidak
mau larut dalam kekecewaan kami pun melanjutkan perjalanan ke sekitar objek
wisata Gundaling yang masih di kawasan kota wisata Berastagi. Dari Gundaling,
kami melanjutkan perjalanan ke Museum Karo Lingga di Lingga. Jujur, saya tidak
tahu pasti letaknya, maka sambil berbelanja perbekalan saya mencoba
bertanya-tanya kepada kasir swalayan dan masyarakat sekitar tentang informasi
lokasi Museum Karo Lingga ini. Setelah mendapat informasi maka kami melanjutkan
perjalanan menuju Desa Lingga. Melalui Jl. Udara Berastagi hingga simpang empat
kami berhenti sejenak bertanya lagi memastikan arah kami sudah tepat dan
melanjut perjalanan mengikuti jalan menuju Desa Lingga dan Kabanjahe. Tidak
jauh dari tempat kami bertanya, ada pertigaan dengan papan penunjuk arah dan
plank bertulisakan Museum Karo Lingga dan sebuah komplex pemakaman dan geriten
tepat di pertigaan itu, maka kamipun masuk ke kanan pertigaan itu menuju Desa
Lingga, dan sekitar +/- 300 meter dari pertigaan akhirnya kami menemukan tujuan
kami, yakni Museum Karo Lingga, tepat didepan sebuah Gereja Khatolik yang
bangunannya juga bernuansakan Karo.
Museum Karo Lingga adalah museum
yang menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo, yang letaknya di Desa
Lingga(jalan menuju desa budaya Lingga), tepat didepan Gereja Khatolik Santo
Petrus. Bangunan museum ini sendiri merupakan model rumah panggung yang terbuat
dari kayu, dengan bernuansa Karo yang paling jelas tampak pada bagian atapnya
dan ayo-ayo(muka) dari rumah yang ada bertuliskan salam khas masyarakat Karo: “Mejuah-juah.”
Saat masuk ke kompleks museum yang
dimana halamanya ditumbuhi oleh rerumputan hijau, tanpa menunggu untuk disapa saya langsung turun dari mobil dan menyapa seorang peria paruh baya dengan
sapaan khas Karo. Berikut percakapan antara kami di
halaman depan museum.
Saya: “Mejuah-juah, Pak!” sambil
menjulurkan tangan saya.
Si
Bapak: “Mejuah-juah” balasnya denga senyuman sambil menjabat tangan saya.
Saya:
“Me enda nge ningin Museum Karo Lingga e, Pak?”
Si
Bapak: “Ue, ku bas-ken, lit nge bas bibindu.” Jawabnya dengan penuh keramahan,
sambungnya: “Egia, ja nari kin kena?”
Saya:
“Kami Patumbak nari, Pa?”
Si
Bapak: “Adi bage kubasken kena yah.” Katanya mempersilahkan kami untuk masuk.
Bagian tengah museum
Untuk memasuki museum ini (tidak
dipungut berapa beaya resmi, namun sukarela) kita harus menaiki anak tangga
dari bambu bulat, dan ture-ture(teras)-nya
juga masih terbuat dari bambu, dan menjaga kebersihan museum alas kaki harus
dibuka. Namun tidak usah khawatir, karena lantai museum ini bersih kok dan cukup
nyaman untuk menginjakkan kaki didalamnya, karena lantainya juga terbuat dari kayu.
Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
Memang, koleksi dari museum ini
masih jauh dari lengkap, akan tetapi, setidaknya kita sudah mendapat sedikit
gambaran tentang kehidupan masyarakat Karo, khususnya dimasa lampau. Memasuki
museum di bilik ruangan sebelah kanan kita akan menemui benda-benda kesenian dan
kerajinan Karo, dari alat musik dan alat pertanian, serta alat dapur yang
dipajang di lemari kaca, dan diatas meja yang terbuka dipajang patung dan tiga
buah gundala-gundala (topeng Karo),
dan sebuah replika manuk sigurda-gurdi(penggambaran
jelmaan/siluman rajawali), serta beberapa photo yang dipajang di dinding(untuk menjaga keamanan benda dan kenyamanan pengunjung maka di setiap benda yang dipajang terbuka deiberi tulisan "Jangan Disentuh!") . Di
bilik kiri didominasi dengan peralatan sehari-hari dari masyarakat Karo, mulai
dari alat dapur, alat makan, alat mengambil/menampung air, dan pernak-pernik lainnya. Ada
juga tongkat dan dalam lemari etalase kaca dipajang patung model yang memakai
pakaian adat Karo(pria-wanita) dan uis(kain)
tradisional Karo, serta photo-photo yang dipajang di dinding.
Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
Yang menarik perhatian saya adalah
dibagian tengah ruangan ada beberapa peralatan sehari-hari masyarakat Karo
tradisional, dan yang paling menarik perhatian saya adalah “campah”, yakni:
tempat makan orang Karo zaman dahulu yang terbuat dari kayu yang lebarnya sekitar 65 x 65 cm, dengan ketebalan sekitar 15 - 20 cm. Dan, beberapa
benada yang mengingatkan saya kepada almarhum Nini Bulang(kakek) saya, seperti gelang-gelang(wadah memasak dari bahan kuningan), tumbak(tombak), guci, mangkuk, pinggan pasu, dll yang dulu sempat juga
saya koleksi namun karena berpindah-pindah sebahagian entah kemana. Puas berbincang-bincang dengan bibi
penjaga museum dan mengambil beberapa jepretan photo dari kamera digital, kami
memutuskan melanjutkan perjalanan ke Kuta(Kampung) Budaya Lingga yang tidak jauh dari
museum.
Beranjak dari Museum Karo Lingga
menuju Desa Budaya Lingga, optimis saya akan memetik makna yang berarti dan
melihat objek-objek yang menarik, ya.. ada betulnya, karena disepanjang jalan
menuju desa budaya Lingga banyak kita jumpai kuburan dan geriten(penyimpanan
tulang) yang dibangun megah dengan gaya arsitektur khas Karo serta perladangan
masyarakat setempat. Bagus sekali, namun tak sepenuhnya benar! Memasuki kompleks desa budaya Lingga, kita
disambut gapura seperti sebuah gerbang yang berdiri megah dan kokoh dengan gaya
arsitektur Karo. Melintasi gerbang, kita seakan melintasi ruang dan waktu dari
modern ke klasik, setidaknya itu apresiasi dari saya. Namun jika sudah masuk maka sedikit rasa kecewa menerpa, karena apa yang diberitakan tidak lagi sesuai dengan kenyataan sesungguhnya, atau dengan kata lain, yang diberitakan itu adalah cerita sejarah(masa lampau). Tidak jauh dari gerbang
masuk, kita akan disambut sebuah bangunan yang cukup megah, yakni Jambur(balai) Lingga. Kami memutuskan untuk memarkirkan mobil tepat di depat
jambur.
Sebuah Jambur ber-cat putih yang berdiri kokoh dan megah
dengan tiang-tiang kayu bulat menambah keunikannya. Di langit-langit jambur
juga terdapat dua buah papan yang lumayan lebar(sekitar 1, 5 x 3 meter) yang
bertuliskan nama-nama dengan bermerga Karo. Tidak menunggu untuk disapa, saya langsung
menyapa orang-orang yang ada di jambur yang asyik menonton permainan tenis
meja. Seperti biasa, diawali salam “Mejuah-juah” berkenalan dan basa-basi.
Tidak mau sia-sia datang ke desa Lingga saya banyak bertanya tentang desa
tersebut kepada seorang masyarakat setempat yang kebetulan ber-merga Karo-karo
Sinulingga. Merga Karo-karo Sinulingga adalah kelompok merga yang memanteki(mendirikan) desa Lingga dan keturunannya juga dimasa aristokrak berbiak merupakan kaum Sibayak(raja, penguasa, si kaya, yang dimuliakan, bangsawan) di Lingga dengan gelar Sibayak Lingga. Salah satu pertanyaan saya yakni tentang nama-nama yang tertera di
langit-langit jambur, dan beliau(Sinulingga) menjelaskan kalau nama-nama itu
merupakan para tokoh pendiri jambur. Dia juga bercerita kalau jambur di desa
itu dulunya memiliki halaman yang luas dan ditumbuhi rumput hijau dan tempat parkirnya juga luas, namun seiring bertambahnya populasi penduduk, maka bangunan bertambah dan
semakin merapat ke jambur hingga kini hanya meyisakan bangunan utama jambur dan
jalan yang ngitari jambur dari tiga sisi jambur.
Pak Sinulingga juga bercerita,
dahulu bangunan rumah di Lingga bergaya arsitektur tradisional Karo(rumah
panggung) dan banyak sekali didapati rumah-rumah adat(Si Waluh Jabu). Namun,
beberapa tahun belakangan rumah-rumah itu runtuh dimakan usia dan diganti
dengan bangunan yang lebih modern, sehingga kini hanya menyisakan dua rumah
adat lagi yang juga terancam runtuh. Jadi ancaman kepunahan rumah adat Karo di
Lingga sudah dalam ambang sangat kritis dan butuh segera diperhatikan. Lihat video Ekspedisi Cincin Api.
Lama berbincang-bincang dengan Pak Sinulingga
saya banyak mendapat informasi kehidupan masa lampau dari desa Lingga yang
membuat saya merinding sekaligus sedih. Desa Lingga yang tersohor dalam sejarah
Sibayak Lingga dan pemberitaan dengan nama desa budaya dengan rumah adat yang
berusia ratusan tahun, saya rasa sudah pantas menyandang istilah kini “hanya
kenangan”. Apakah kita membiarkannya saja? Melihat apa yang terjadi di Desa
Lingga mengingatkan saya dengan perjalanan Kerja Tahun(pesta tahunan masyarakat
Karo) saya sekitar tahun 1997 di Desa Buah
Raya dan Kuta Buluh Simole.
Dimana, saya kecapekan bolak-balik menaiki anak tangga dari ruma adat Si Waluh Jabu
yang satu ke rumah adat lainnya, dan,
sejak saat itu tidak pernah lagi mengunjungi dua tempat tersebut. Apakan disana juga
rumah adat ini telah punah? Hm.. Menyedihkan sekali mendengar cerita dari Pak.
Sinulingga dan melihat dengan kedua mata ini bahwa desa-desa tradisional Karo
kini hanya kenangan seperti halnya Kerajaan Aru(Haru: Karo Kuno). Puas melihat sekeliling Desa
Lingga, namun sengaja saya tidak mengambil satu gambar-pun, karena jujur untuk saat sekarang ini selain daripada sejarahnya, udaranya yang sejuk, serta masyarakatnya yang ramah dan bersahabat tidak adalagi sisa-sisa kebesaran Lingga yang diceritakan, dan, kami pun berpamitan pulang kepada beberapa orang tua dan masyarakat
Lingga yang sangat ramah dan royal senyum. Sebuah pengalaman yang mengharukan
tetapi kami harus kembali dan meninggalkan udara sejuk di Desa Budaya Lingga
yang melegenda ini. Namun, saat perjalanan pulang, saya tidak henti-hentinya
memikirkan rumah adat yang terancam punah itu dan hati kecil ini terus
bertanya: apankah kejayaan Lingga akan kembali? Dimana dulunya Lingga tersohor
bukan hanya alam yang indah dan kemajuan dalam bidang ekonomi, tetapi dengan rumah adatnya, dan tokoh-tokohnya terkhusus dari kaum Sibayak(Sibayak Lingga) yang melegenda dan
disegani oleh negeri-negeri sekitarnya. Selain itu, dari tradisi yang beredar meyakini bahwa nenek moyang bangsa Batak atau sering disebut Si Raja Batak juga diyakini berasal dari Lingga dan masih keturunan dari Sibayak Lingga. Mungkin saat-saat kejayaan itu kembali
hanya dalam mimpi saja. Jam menunjukkan Pukul 15.45
wib saat kami keluar dari Desa Lingga. Tidak sempat untuk singgah di Museum
GBKP yang terletak di Kompleks RC. GBKP Sukamakmur, karena semua fasilitas di
RC dijadwal tutup pukul 16.00 wib. Tapi tidak apa lah, sebab museum yang satu
ini sudah sering saya kunjungi dan selalu akan ada kesempatan untuk
mengunjunginya, setidaknya saat menemani adik saya berenang di kolam rengan
kompleks RC tersebut. Juga menjadi kebiasaan saat
kami kalau pulang dari dataran tinggi Karo selalu singgah makan BPK, cuma, kali ini kami memutuskan makan BPK di sekitar Pancur
Batu saja untuk mengejar waktu agar terhindar dari kemacetan yang biasa terjadi
saat hari sabtu atau hari libur. Ya, tujuan utama tentunya di BPK Ketaren, Namo
Mbacang sekalian ngambil jalan potong alternatif untuk pulang ke rumah. Bukan
karena itu, lokasinya yang adem dan tenang, serta rasanya yang memenuhi
standart dan selera kami membuat BPK Ketaren ini menjadi persinggahan kami jika
melewati jalan ini. Ya, saya rasa ini patut menjadi rekomendasi buat
teman-teman yang ingin menikmati BPK jika berkunjung ke Sumatera Utara dan
tentunya buah salak yang dijajakan tidak jauh dari kedai Ketaren tersebut.
Hehehe…. Capek jalan-jalan, ternyata lebih capek menceritakannya ya? Ok-dekh,
jalan-jalan kita minggu depan kemana ya? Hehehehe…. Salam Mejuah-juah.
Spesial untuk Kuta Lingga tercinta, saya ingin menyanyikan satu lagu karya komponis nasional yang juga merupakan salah satu komponis legendaris Karo asal Kuta Seberaya, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berjudul "Bunga-bunga Nggeluh." Bunga-bunga Nggeluh (Komponis: Djaga Depari) Layas-layasi lah ukurndu Ola ndele la erluhu Kerna pengindo kempu ninina Dibata metehsa Turi-turi'i lah
ukurndu, layasi lah pusuhdu Nde.. Kerna 'lajang aku nindu Tuhu-tuhu kel meriso Daging ngalah lalap la lolo Lampas tayang mata la
tunduh Ee..nda bunga-bunga nggeluh Kempu kel nini-na anakku, em bunga-bunganta nggeluh.
Timai aku timai nini Tigan nindu, Tapi
kena nadingken aku Ola kel kita sirang nini Tigan ningku, Beru
Tarigan ndai ngelukken aku Oh, kempu nini-na kuja pagi kami kerina Turang nande Tigan kusayangi, bunga-bunga 'geluh.. Timai aku timai nindu Tapi kena ngelukken aku Ola kel kita sirang beru Tarigan ningku Tapi genduari kam ngelukken aku Oh, bere Karona kuja pagi mama Biringna Anakku kempu ninina kusayangi, enda bunga-bunga nggeluh. Timai aku timai nindu, Tapi kena ngelukken aku; Olakel aku tading nini ningku, Beru Tarigan ndai ngelukken janji. Oh, nande Tiganna kuja pagi mama Biringna; Turang ku sayangi ari aron enda bunga-bunga 'geluh.
Replika Pagoda Shwedagon di Komples TAL, Berastagi.
Seperti biasa, perjalanan saya selalu
tidak terduga alias dakdakan begitu juga
kali ini. Jumaat, 22 Februari 2013 hari yang sangat panas dan membosankan,
sehingga hal yang sangat jenuh bila harus berdiam diri saja. Maka, selesai mencuci mobil sekitar Pukul 10.00 wib saya-pun
mengajak adik saya jalan-jalan. Awalnya
bingung tidak tahu harus kemana, namun melihat terik matahari yang sangat
menyengat di kota Medan pilihan yang tepat adalah menuju dataran tinggi Karo.
Pertimbangan ini diambil mengingat daerah pegunungan Karo cuacanya masih segar
dan jarak tampuh dari Kota Medan yang tidak begitu jauh.
Berangkat dari rumah di Patumbak sekitar
pukul 10. 30 wib. Perjalanan cukup
lancar mengingat bukan masa liburan, jadi kendaraan menuju gunung tidak begitu
ramai seperti hari Sabtu, Minggu, ataupun hari-hari libur. Sadar sudah
mendekati Kota Berastagi, belum ada juga tujuan yang pasti. Sejenak kami
memarkirkan kendaraan di depan gerbang Taman Hutan Raya(Tahura), Berastagi
sembari berunding hendak menuju kemana. Kemudia adik saya merekomendasikan
Taman Alam Lumbini yang jaraknya sekitar +/- 4 km dari tempat pemberhentian
kami. Sepakat, maka kendaraanpun kembali dilaju menuju International Buddhist
Center - Taman Alam Lumbini Berastagi.
Lokasi: Kompleks TAL - Berastagi
Taman Alam Lumbini, Berastagi adalah
kompleks taman alam yang didalamnya terdapat sebuah kuil Buddha yang sangat
megah. Kuil ataupun Pagoda ini merupakan replika dari Pagoda Shwedagon yang ada
di Burma(Myanmar). Warnanya yang kuning keemasan membuat pagoda ini tampak
berdiri kokoh dan megah diantara pepohonan yang rindang. Selain bangunan pagoda
yang mengah, komplek seluas +/- 3 hetar ini juga terhampar taman yang indah
dengan mengikuti kontur alam yang curam yang menambah pesona dan keunikannya.
Replika Pagoda Shwedagon di Taman Alam Lumbini, Berastagi, Kabupaten Karo,
Sumatera Utara ini merupakan replika tertinggi kedua yang pernah ada atara
replika sejenis yang ada di luar Burma dan merupakan tertinggi di Indonesia sehingga
meraih rekor MURI(Museum Rekor Indonesia) dengan kategori Tertinggi di
Indonesia dan merupakan rekor pertama yang tercatat di Indonesia. Bukan itu
saja, TAL ini juga meraih rekor MURI dalam kategori Puja Bakti/Pemberkahan yang
dihadiri oleh Anggota Sangha terbanyak pada-saat peresmiannya 30-31 Oktober 2010
silam, dimana 1.250 anggota Sangha yang hadir, terdiri dari 100 orang bhikkhu
dari Indonesia, 650 dari Birma(Myanmar), 400 dari Thailand, dan dari
negara-negara lainnya(dikatakan dari 20 negara Bikkhu ikut dalam acara Puja
Bakti).
Keterangan pada setiap pohon
Pembangunan komplek TAL dengan replika
pagoda berlantai dua ini merupakan sumbangan dari berbagai kelompok Buddhist
dari berbagai negara dengan icon utamanya stupa berwarna emas dengan panjang 69
meter dan tingginya 46, 8 meter, serta beberapa relif dan patung lainnya baik
di taman maupun di tembok-tembok kompleks tersebut, diantaranya 108 relik suci,
2.598 rupang Buddha, 30 rupang Arhat, dan objek lainya. Dan, satu hal yang
cukup menarik dimana tumbuhan didalam komplek ini juga diberi papan nama, yang
dimana berisi keterangan nama Latin, Indonesia, dan Lokal(Cakap Karo). Jadi, lokasi yang sejuk, asri, tenang, dan sangat menarik. Patut Anda kunjungi.
Dan seperti biasa. Waktu yang terbatas
sehingga waktu kami disana hanya sekitar 3 jam saja, dan perjalana dilanjutkan
dengan tujuan Kota Medan(Pulang), namun seperti biasa juga, sebelum pulang ke
Medan kami menyempatkan diri singgah di RC GBKP Sukamakmur untuk berenang. Eh…
sudah Pukul 16.00 lewat dan kolam renga serta fasilitas lainnya di RC GBKP,
Sukamakmur sudah tutup, ya… agar tidak kecewa kami memutuskan duduk-duduk sambil
makan BPK yang sebelumnya kami singgahi di BPK Aji Jahe, Sukamakmur dan berkeliling taman RC GBKP sejenak, kemudian pulang ke Medan.
Nama:
International Buddhist Center- Taman Alam Lumbini Berastagi
Lokasi:
Desa Tongkeh, Kec. Dolat Rakyat, Kab. Karo, Sumatera Utara. Sekitar Lokasi
Wisata Berastagi, +/- 50 km dari Kota Medan
Kategori:
Taman Alam, Objek Wisata Rohani, Pusat Peribadatan Umat Buddha
Peresmian:
30 -31 Oktober 2010
§Mentri Agama Repoblik Indonesia
§Mentri Agama Myanmar
§Duta Besar Myanmar untuk Indonesia
§Sangharaja dari berbagai negara
§Dan tamu/pengunjung lainnya dari leboh 24 negara.
Tiket
masuk: IDR. 0,- (tidak dipungut beaya)
Akses:
Jalan Lintas Medan – Berastagi, Jalan Lintas Berastagi – Barusjahe, dan jalan
masuk sekitar +/-2 km. Secara keseluruhan aksesnya bagus dan dengan parkir(IDR. 0,-) yang
luas.
Lokasi
sekeliling: Taman, vila - perumahan, dan perkebunan masyarakat(Lobak, Strowberi, jeruk, dll)
*Rencana minggu depan ke dua lokasi (1) kawasan air terjun Sipiso-piso, Kab. Karo, Sumatera Utara. atau (2) Bukit Lawang, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.