Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->
    Showing posts with label wisata karo. Show all posts
    Showing posts with label wisata karo. Show all posts

    Saturday, June 8, 2013

    Perjalanan singkat menuju Bukum Simalem

    Jalan menuju Bukum
    Jalan menuju Desa Bukum, Kec. Sibolangit, Kab. Deli Serdang.
    Sabtu, 25 Mei 2013 betepatan dengan Hari Raya Waisak Tahun 2557(Saka), jadi dalam kalender merupakan hari merah(libur), sehingga kami memutuskan untuk melakukan kegiatan lintas alam sekalian survey untuk rute napak tilas ‘sehna berita si-meriah man kalak Karo’. Dari Medan kemacetan bukan main panjangnya sehingga untuk sampai di Simpang Pasar Baru saja sudah pukul 11.25 wib.


    Dari Sp. Pasar Baru (11.30 wib) kami bergerak menuju Buluh Awar dengan mengendarai mobil dan sepeda motor melewati jalan yang licin, berbatu, terjal, dan sangat rawan longsor, namun itu semua dapat terobati dengan suguhan udara dan air yang segar, keindahan alam, dan masyarakat yang kami temui yang ramah-ramah dan royal senyum. Sesampainya di Buluh Awar kami beristirahat sejenak sembari memeriksa kondisi kendaraan kami dan kemudian melanjutkan perjalanan dan beristirahat sambil makan siang di Maertelu(13.23 wib).

    Dari maertelu kami bergerak menuju Bukum(14.18 wib) dan sampai di Bukum sudah pukul 14.45 wib sepertinya tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan lagi, sehingga kami mengurungkan niat kami dan menundanya hingga waktu yang dikemudian hari ditentukan.

    Rabu (5 Juni 2013) hari yang disepakati. Kami memutuskan  bergerak dari Bandar Baru menuju Bukum menggunakan ojek sepeda motor untuk mempercepat gerak kami. Jadi, yang berangkat saya, bang Arnem Tarigan dan dua orang pemuda berdarah Nias sahabat bang Arnem. Dari Bandarbaru hingga ke Maertelu jalanan cukup bagus dan tidak ada masalah, namun memasuki simpang tiga menuju Bukum kerusakan sudah mulai terlihat, dan semakin mendekati bukum akan semakin parah lagi, dimana jalan berbatu-batu licin dan tajam, tergenang air yang deras, longsor, dan kadang terdapat genangan air dan kubangan yang cukup tebal dan dalam. Sungguh suatu pemamdangan yang sangat memilukan. (Sebelum lanjut membaca, ada baiknya kita dengarkan sejenal lagu berikut ini. :D)


    Kebetulan dari tiga sepeda motor yang berarakan tumpangan saya di baris paling belakang. Tiba-tiba saat melewati PLTA yang diperuntukkan bagi Desa Bukum, ojek yang saya tumpangi bannya bocor, sehingga, perjalanan harus dihentikan dan si-tukang ojek memutuskan kembali untuk memperbaiki ban sepeda motornya, jadi saya harus menunggu di jalan. Menunggu sejenak tidak ada juga kendaraan yang lewat, jadi, mengingat menunggu adalah sebuah pekerjaan yang membosankan maka saya memutuskan melanjutkan perjalanan saya sembari menunggu mungkin nanti ada kendaraan yang lewat.

    Sekitar 500 meter berjalan, akhirnya saya mendengar suara kendaraan yang semakin lama semakin mendekat. Sayapun memperlambat langkah saya dan memang karena sudah mulai lelah berjalan dimana saya harus menenteng tas yang lumayan berat dengan jalan yang menanjak dan tergolong sangat rusak parah. Namun, ada keanehan pada kendaraan(mobil) yang mendekat itu. Saat saya menoleh kebelakang, kendaraan itu tiba-tiba berhenti (sekitar 30 meter dari saya). Kemudian saat saya melanjutkan perjalanan kendaraan itu juga kembali bergerak dan saat kembai saya menoleh ke belekang seketika kendaraan itu juga berhenti. Aneh! Saya tidak mau ambil pusing dan kembali terus berjalan dan kendaraan itu-pun kembali berjalan di belakang saya. Saat melewati persimpangan tiga (Sp. Selangge-langge) saya sudah keletihan dan berat rasanya kaki ini untuk dilangkahkan maka saya putuskan berhenti sejenak dan saat saya berirtirahan dengan perlahan kendaraan yang ditumpangi dua orang(sepertinya suami – istri) itu semakin mendekat dan saat sudah sangat dekat dengan saya, saya mencoba memberhentikannya dengan memberi kode dan meminta tumpangan dengan berkata “Numpang Pak seh ku Bukum”, namun pandangan tajam tidak bersahabat dari kedua orang didalam kendaraan itu dan mereka cuma diam dan berlalu dari saya dan tinggalah saya sendiri ditengah hutan di sepanjang jalan menuju Bukum. Rasa letih bercampur sedikit jengkel, dalam hati saya berkata: “Ikh.. Sok naring kalak Bukum e. Sitik pe lalait bersahabatna. Tek- kel aku kalak Karo ras kalak Kristen oh… Bage kepe genduari kalak Karo ras kalak Kristen e me, sitik pe lanai lit rasa saling menolongna.” 

    Sedikit tenang dan tenaga saya juga sudah mulai pulih, maka saya lanjut berjalan. Jujur sih seram dan takut sendirian dihutan, dan tak henti-hentinya saya berdoa dalam hati saya, mana teman-teman saya juga tak kunjung datang. Hehehe… Namun pemandangan, udara segar, dan suara gemuruh air sedikit membuat saya merasa nyaman dan terhibur.

    Tiba-tiba terdengar oleh saya suara anak-anak yang berjalan semakin dekat dari arah berlawanan dengan langkah saya. Dari kejauhan saya melihat beberapa anak-anak berpakaian putih - merah(seragam SD) berjalan semakin mendekat. Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya, katanya: “Kemana, bang?”

    Jawab saya: “Ku Bukum, dek! Ndauh dengan ki Bukum e?”

    Jawabnya: “Ndauh dengan, bang!”  Sambungnya lagi dengan pertanyaan: “Ja nari kin kam e ras erkai atendu ku Bukum?

    Jawab saya datar sembari menarik nafas panjang (maklum sudah keletihan): “Aku Medan nari, dek!” menghela nafas, lalu: “Labo erkai pe, dalin-dalin saja.”



    Lalu: “Piga nomor rumahndu, bang” tanyanya lagi.


    Kemudian seorang yang lain diantara mereka bertanya dengan nada malu-malu kepadanya sambil curi-curi pandang ke arah saya, katanya: “Man kadem kin e nungkun nomor rumah abang oh?”

    Jawabnya: “Ikh.. Perlu, nak!” sambungnya lagi: “Mana tau ku Medan kari aku, mapak, me banci ku darami abang e?” dengan nada yang sangat meyakinkan dilanjut dengan tertawaan.

    Mereka pun semua tertawa mendengar jawaban yang dilontarkan sahabat mereka itu. Dan, saya juga ikut tertawa kecil, lalu kata saya kepadanya: “No. 71, dek. Uai. Reh saja kam yah.”

    Dan, rombongan anak-anak SD itu-pun melanjutkan perjalanan mereka dengan tampak kegirangan, begitu juga dengan saya. Rasa kesal dan letih sedikit terobati melihat semangat anak-anak SD ini yang harus berjalan melewati rute yang menurut saya cukup berbahaya bagi anak-anak untuk bisa bersekolah.

    Perjalanan berlanjut. Nafas saya sudah mulai berat, namun saya tidak mau dikalahkan oleh rasa letih karena sedikit lagi(100 meter) tujuan saya akan sampai. Dan tiba-tiba terdengar suara sepeda motor dari depan saya dan ternyata teman satu rombongan saya dari Bandar Baru yang sengaja menjemput karena merasa sudah cukup lama menunggu saya.

    Sesampainya di Bukum, kami berhenti di sebuah kedai di depan SD Bukum istirahat sambil menunggu Pak. Barus yang nantinya akan menjadi pemandu kami selama melintasi hutan-hutan dan sungai sepanjang Bukum hingga Simpang Lau Debuk-debuk di Desa Doulu, Kab. Karo.

    Sekitar 3 menit duduk di kedai itu, kendaraan yang tadinya tidak mau saya tumpangi berhenti tepat didepannya dan sepertinya mereka mengenal saya dan tak henti-henti menatap ke arah saya, namun saya cuek saja dan menganggap tidak pernah melihat mereka. Tak hentinya kedua orang itu menatap ke arah saja. Keakraban dalam pembicaraan kami di kedai itu sepertinya memumbuhkan tanda tanya dalam hati mereka ‘siapa orang ini?’

    Rasa penasaran dan sedikit bercampur merasa bersalah dan malu tampak dari raut wajah mereka. Setidaknya itu yang saya baca dari mimik wajah mereka.

    Saat Pak Barus tiba, kami-pun memulai petualangan yang cukup mendebarkan dan meletihkan yang mungkin akan saya ceritakan nanti diwaktu yang berbeda. Sebelum berlalu dari Bukum saya sempatkan tersenyum lebar kepada kedua orang tadi.  Mejuah-juah man banta kerina. :D



    Tuesday, March 19, 2013

    Kampung Karo

    Persimpangan Kampung Karo dengan Jalan Besar Patumbak
    Kampung Karo adalah salah satu nama dusun, tepatnya Dusun IV Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera Utara. Diyakini, Kampung Karo yang dalam penuturan masyarakat setempat dengan sebutan Kuta Karo adalah wilayah permukiman yang dipanteki(dibuka pertama kali/didirikan) oleh Tala Karo-karo Barus dan sangkep nggeluhnya(sanak keluarga) sekitar tahun 1940 s/d 1950-an dan merupakan pemindahan permukiman dari kawasan Asahan yang sekarang merupakan wilayah Medan Amplas. Dari cerita orangtua setempat, hal ini merupakan kesepakatan antara Raja Urung Senembah dengan masyarakat, mengingat masyarakat Karo adalah masyarakat petani sehingga hidup berebelahan langsung dengan kota bukan-lah pilihan yang tepat dan solusinya adalah Kampung Karo. 

    Seperti halnya Kecamatan Patumbak yang merupakan bekas ibu kota negeri Urung Senembah dibawah pimpinan Raja Urung Karo-karo Barus Mergana, tentulah Patumbak dan juga Kampung Karo(Dusun IV) ini berpenduduk asli dari Suku Karo dan Melayu hingga sekitar tahun 2000-an setelah jalan menuju Kampung Karo yang dulunya hanya sepanjang +/- 1 km kemudian diperpanjang dan kini sudah tembus ke Kecamatan Tanjungmerawa, berdatanganlah penduduk yang mayoritas dari etnis Batak. Pada umunnya mereka merupakan korban penggusuran dari Kota Medan yang sebahagian besar dari kawasan Mandala - Medan.

    Jalan Kampung Karo Patumbak yang menghubungkan Kecamatan Patumbak dengan Kecamatan Tanjungmerawa yang penjangnya sekitar +/- 3 km ini kini dinamai warga sekitar dengan nama Jalan Kampung Karo walau tidak ada pengesahan atau bahkan penamaan secara resmi. Sebenarnya, saat pembukaan jalan ini sekitar tahun 1999 – 2004 pernah muncul gagasan untuk menambalan nama Tala Barus yang merupakan orang pertama membuka Kampung Karo ini, namun entah mengapa hingga sampai pada saat ini belum ada aksi yang cukup berarti untuk merealisasikannya.

    Secara keseluruhan, penduduk di Kampung Karo Patumbak bermata pencarian sebagai petani dan buruh pabrik, dan sebahagian ada sebagai pegawai negeri, pedagang, ataupun sektor formal dan non-formal lainnya. Hingga tahun 2000 wilayah ini dikelilingi oleh perkebunan milik pemerintah, dimana disisi Selatan merupakan kawasan perkebunan kelapa sawit dan disisi Utara merupakan perkebunan kakao(coklat). Jadi, Kampung Karo ini permukiman penduduk awalnya hanya disepanjang jalan, dimana dari kedua belah sisi jalan hanya menyisakan sekitar 100 meter untuk permukiman dan selebihnya merupakan areal perkebunan.

    Saat meletusnya reformasi 1998 yang diawali gejolak krisis ekonomi dari tahun 1997, berbondong-bondong masyarakat Kampug Karo menyerbu perkebunan. Entah siapa yang memulai ataupun memprovokasi, namun rasa takut yang selama ini menghinggapi masyarakat Kampung Karo terhadap centeng-centeng(sebutan untuk pengawas) perkebunan tiba-tiba sirna. Bahkan, saya ingat saat dikerahkan dari unsur TNI dan Polri masyarakat juga tidak gentar menghadapinya. Pada saat-saat inilah muncul sebutan masa(maling sawit) atau ninja sawit dan maco(maling coklat) untuk masyarakat Patumbak, terkhususnya yang tinggal di Kampung Karo. Keterpurukan ekonomi Indonesia di masa itu sedikit pun tidak dirasakan oleh masyarakat Kampung Karo, mengapa tidak? Nilai tukar dolar yang melambung yang mempengaruhi harga kakao dan sawit turut dinikmati oleh sebahagian besar masyarakat Kampung Karo. Mulai dari anak usia 5 tahun hingga lanjut usia semua orang berduit. Tak jarang anak usia 5 tahun mengantongi uang Rp 50.000 hingga Rp 500.000 padahal saya ingat persis jatah jajan saya saat itu hanya Rp 2.500 dari orangtua, dan hal ini pastilah menggoda saya, namun orangtua memperingatkan dengan keras agar jangan ikut-ikutan dan salah satu cara orangtua untuk menghindarkan kami agar jangan ikutan adalah dengan mengungsikan kami ke Jambi atau ke Pekanbaru saat liburan sekolah. Uang yang berlimpah dengan jalan yang mudah dan cepat untuk diraih tentunya turut mempengaruhi psikologi masyarakat setempat, yakni segalanya tampak mudah dan instan, sehingga kemampuan untuk menghadapi masalah yang rumit tentunya menurun drastis. Pemandangan remaja dibawah umur yang menikah itu biasa, bahkan sepertinya hal yang wajar melihat anak-anak sekitar usia 5 – 15 tahun memegang rokok dan menghisapnya.

    Dari awalnya hanya menjarah hasil perkebunan berangsur-angsur menjurus ke penebangan tanaman perkebunan dan penguasaan lahan. Rasa takut(bukan menghormati) terhadap yang namanya manusi plat merah(pemerintah, pereman pemerintah, pejabat, dlsb) kini sirna.

    Dahulu, pertanian di Kampung Karo ini cukup maju. Walau dusun buntu(karena jalannya buntu), dan dengan kemajuan pertanianya, tak jarang putra/i Kampung Karo ini berhasil dan menjadi sarjana, bakan tercatat merupakan penghasil sarjana bagi Kabupaten Deli Serdang yang tersebar ke penjuru Indonesia. Dari cerita yang saya dengar dan dalam jangka waktu sebentar sempat juga saya rasakan sendiri, komuditas andalan dari Kampung Karo adalah kates(pepaya), kemiri, cengkeh, padi, kelapa, dan ikan air tawar. Kemajuan dari sektor pertanian ini juga dikatakan faktor utama putra/i dari Kampung Karo ini kemudian malas untuk melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi walau ada beberapa yang berprestasi. Mudah mencari makan, mudah memperoleh uang, dan mudah hidup karena tanah yang luas dan subur, sehingga terlena dan malas untuk berhadapan dengan dunia luar. 

    Cerita kehebatan Kampung Karo tidak berlangsung lama. Saat terjadinya penjarahan terhadap aset-aset perkebunan yang pada puncaknya penguasaan lahan dengan langkah awal mematikan tanaman perkebunan, tentunya memberi efek juga terhadap alam, dimana Kampung Karo yang dulunya sejuk karena dikelilingi tanaman perkebunan, kini terasa sangat panas dan gersang. Bahkan, semenjak tanaman perkebunan musnah, tanaman masyarakat juga ikut musnah terserang hama. Tanaman muda membusuk dan tanaman keras layu dan akhirnya mati. Ada yang mengatakan ini akibat migrasi serangga yang sebelumnya hinggap di tanaman perkebunan, namun setelah perambahan serangga-serangga itu berpindah ke tanaman warga. Sejenak perekonomian Kampung Karo tampak lesu, tanaman mati, kakao dan sawit tidak ada lagi untuk dijarah, dan barang dagangan-pun tidak laku. Kini baru terasa efek kerisis ekonomi itu. Kondisi ini semakin diperparah dengan dibukanya proyek-proyek galian tanah yang tentunya ikut serta menambah perusakan alam dan mencemari udara. Jalan-jalan Patumbak hancur karena harus menopang beban diatas kapasitas maximumnya. Jika kemarau udara Patumbak bercampur debu seperti salju, dan jika musim penghujan licin dan tergenang seperti kubangan sapi. Bertahun-tahun kondisi ini dirasakan masyarakat Patumbak, hingga puncaknya Januari - Februari 2013 masyarakat yang didominasi kaum ibu turun ke jalan membangun tenda-tenda agar mobil pengangkut tanah tidak dapat lewat. Setidaknya ada beberapa tenda diawalal-awal aksi, cuma lama-lama berkurang dan hanya menyisakan satu tenda di kawasan Desa Sigara-gara namun mereka terus bertahan hingga mobil pengangkut tanah benar-benar berhenti. Jadi, saya rasa perlu kita acungkan jempol buat kaum ibu-ibu Desa Sigara-gara dan kita ucapkan terima kasi untuk pahlawan-pahlawan kesehatan Patumbak ini.

    Setelah melewati masa-masa sulit, tak membuat masyarakat Kampung Karo benar-benar terpuruk dan patah semangat. Kini, perekonomian Kampung Karo sudah tampak mulai bergairah lagi. Sektor pertanian kembali bangkit, puluhan hektar lahan jagung, kolam ikan, ternak bebek peking, ternak babi, dan sektor lainnya kini menjadi andalan masyarakat Kampung Karo, namun sayang sektor pendidikan belum juga mulai bangkit sehingga, Kampung Karo yang dulu ditakuti dan disegani kini hanya dianggap dusun kecil yang kurang perhatian. bersambung.



    Link-lik terkait lainnya:



    Friday, March 8, 2013

    Tiga

    Tiga Pancur Batu: Tak lagi seramai dulu
    "Tiga Pancur Batu" : Tiga-tiga tak lagi seramai dulu.


    Tiga adalah sebutan untuk pasar ataupun pusat perbelanjaan dalam cakap(bahasa) Karo atau sering juga disebut pajakPertiga-tiga, perpajak, ataupun perengge-rengge adalah sebutan bagi pedagang dipasar-pasar(pelaku pasar).  

    Setelah berkembangnya sistem pasar dan pusat perbelanjaan di Indonesia, maka sebutan tiga ataupun pajak kini hanya merujuk kepada pasar-pasar tradisional. Namun, walau demikian aktifitas jual-beli di tiga-tiga ini hingga sekarang masih cukup ramai walau tidak lagi se-ramai dahulu. Hal ini dikarenakan, tiga-tiga sekarang ini hanya dikunjungi untuk membeli beberapa komuditi yang tidak diperjualkan di pasar-pasar modern, seperti: rempah-rempah, obat-obat tradisional, ataupun komuditi yang dibeli dalam partai besar agar mendapat nilai barang yang masih segara dan harga yang murah.

    Saya pribadi menganggap tiga-tiga ini sebagai sebuat objek wisata berbelanja tradisional, mengapa saya katakan demikian? Ya, seperti yang saya utarakan sebelumnya, banyak komuditi yang tidak diperjualkan di pasar modern, seperti rempah dan obat tradisional. Bukan itu saja, di tiga-tiga ini juga banyak aneka panganan tradisional yang tidak kita temukan di pasar modern dan walaupun ada tentunya penyajian, suasana, dan rasanya sangat berbeda. Saya misalkan masakan khas Karo, banyak rumah makan yang menyediakan masakan khas Karo di kota-kota di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Jawa, namun dari segi rasa sudah sangat jauh berbeda dengan yang ada di tiga-tiga. Misalkan BPK, kalau di rumah makan modern dagingnya sudah dipanggang dengan oven bukan dengan bara api lagi, begitu juga nasinya yang dimasak dengan memanfaatkan panas litrik dan gas sehingga tentunya rasa dan aromanya sangat beda dengan daging panggang dan nasi yang dimasak dengan kayu bakar, dan yang paling mencolok pada soup-nya dimana sudah dicampur dengan penyedap rasa buatan(zat kimia), dlsb. Berbeda dengan soup di RM di tiga-tiga yang hanya memakai bumbu alami dan dengan acem cikala(asam khas Karo) yang membuat rasanya sangat khas dan nyaman di lambung. Cimpa(kue khas Karo sejenis lapet) yang jika dibeli dari pasar-pasar tradisional masih dibuat dengan sangat tradisional, dimana tepungnya masih ditutu(ditumbuk) di lesung kayu bersamaan dengan lada, garam, dan gula; dan gulanya juga masih memakai gula merah dari tuak pola(aren), bukan seperti gula merah yang kita temui di swalayan yang dimana gula pasir di aduk dengan entah apa itu seperti lendir. Jadi, rasanya sangat, sangat berbeda sekali.

    Saya ingat saat berkesempatan tinggal di Suban, Jambi, saya tidak mau makan jika berasnya bukan beras yang dibeli dari petani setempat, serta yang dimasak jika tidak dengan kayu akasia, tempinis, ataupun cameline, karena aroma dan rasanya sangat jauh berbeda sekali, dan itu semuanya hanya dapat kita peroleh di tiga-tiga. Berikut tiga-tiga yang sering saya kunjungi dan hari puncak kermaianya.
    1. Tiga Pancur Batu pucak keramaiaanya pada hari Sabtu.
    2. Tiga Delitua(Kamis)
    3. Tiga Namorambe(Senin)
    4. Tiga Sibolangit(Jumat)
    5. Tiga Talun Kenas(Sabtu)
    6. Tiga Simpang Rambutan/Suban, Jambi(Minggu)
    7. Tiga Selensen/Kemuning, INHIL, Riau(Jumat)
    8. Tiga Minas, Minas Jaya, Siak, Riau(Selasa).
    9. ,dll.
    Mau barang dengan kwalitas bagus dengan harga murah dan khas(rasa dan aroma)? Silahkan mencoba berbelanja di tiga-tiga(pasar tradisional). Selamat mencoba dan salam Mejuah-juah.



    Sunday, March 3, 2013

    Museum Karo Lingga dan Desa Budaya Lingga

    Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo
    Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo

    Museum Karo Lingga dan Kuta Budaya Lingga, adalah dua tujuan wisata yang ada di
    Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
    Perjalanan saya kali ini(Sabtu, 2 Maret 2013) tidak seperti biasa yang walau dadakan namun secara keseluruhan berjalan mulus. Kali ini tidak begitu mulus dan sidikit mengecewakan. Pasalnya, walau sudah ada rencana, manun sedikit perubahan lokasi tujuan dari semula ingin mengunjungi lokasi konservasi orang utan di Bahorok, Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara namun karena ada beberapa hal diluar dugaan, maka tujuan-pun dirubah ke tiga Museum yang menyimpan koleksi benda budaya Karo, yakni: Museum GBKP di kompleks RC. GBKP, Sukamakmur, Museum Pusaka Karo yang terletak di kota wisata Berastagi, dan  Museum Karo Lingga di Desa Lingga.

    Perjalanan dari rumah(Patumbak, Deli Serdang) sekitar pukul 09.00 wib, cuma kali ini kami menelusuri jalur Patumbak – Delitua - Titi Kuning – Padang Bulan(Medan) – Pacur Batu – ke Kabupaten Karo, tidak seperti biasa yang mengambil jalur Patumbak – Delitua – Namorambe - Namom Mbacang/Bintang - Pancur Batu, sehingga tentulah kemacetan dan persimpangan lampu merah harus dihadapi.  Jalur ini diambil karena kami(saya dan adik saya) sekalian mengantarkan Nande(ibu) Ginting kami ke Jambur Pemere Padang Bulan, Medan untuk melayat acara adat kematian Bapak Depari. Sebelumnya saya mengucapkan turut berduka dan semoga keluarga Depari diberi ketabahan.

    Memasuki Jalan Jendral A. H. Nasution hingga Simpang Pos kemacetan parah terjadi, hampir  2 jam lebih kami terjebak macet, baru memasuki Jl. Letjend. Djamin Ginting lalu-lintas kembali lancar hingga Jambur Pemere dimana kami menurunkan Nande beru Ginting. Sepanjang Jl. Djamin Ginting Padang Bulan, Medan kendaraan sangat padat, mengingat hari Sabtu walau demi kian tidak ada kemacetan berarti selain oleh karena sebuah angkot(angkutan kota) kuning yang mogok tepat ditengah badan jalan, namun segera ditanggulangi sang pengemudi dan beberapa orang yang kebetulan melintas, sehingga jalan kembali lancar. Baru di sekitar Tiga(pasar tradisional) Pancur Batau kemacetan kembali terjadi hingga melewati Puskesmas Pancur Batu. Berhubung hari Sabtu, maka kendaraan yang menuju gugung(dataran tinggi/pegunungan) cukup padat, setidaknya dari Bandar Baru samapi Peceren jalanan baru tampak lengang dan sepi, dan memasuki Kota Wisata Berastagi(sekitar 66 km dari Medan) kembali padat dengan kendaraan. Seperti biasa jika melakukan perjalanan ke dataran tinggi Karo, sebelum memasuki Kota Berastagi, pemberhentian pertama kami adalah SPBU Sukamakmur yang letaknya tepat di samping kompleks RC. GBKP Sukamakmur, dilanjut pemberhentian kedua yakni Peceren dimana disepanjang kedua belah sisi jalan terdapat toko-toko yang menjual panganan khas Peceren dan yang paling populer adalah Wajit Peceren dan beberapa aneka panganan lainnya.

    Sampai di Kota Berastagi, kami langsung menuju Museum Pusaka Karo di Jalan Perwira No. 3, Berastagi yang tidak jauh dari bundaran Tuju Mejuah-juah(Perjuangan) Berastagi, namun di pintu museum tersebut tertulis “TUTUP” dan ada larangan parkir didepannya, maka tidak mau larut dalam kekecewaan kami pun melanjutkan perjalanan ke sekitar objek wisata Gundaling yang masih di kawasan kota wisata Berastagi. Dari Gundaling, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Karo Lingga di Lingga. Jujur, saya tidak tahu pasti letaknya, maka sambil berbelanja perbekalan saya mencoba bertanya-tanya kepada kasir swalayan dan masyarakat sekitar tentang informasi lokasi Museum Karo Lingga ini. Setelah mendapat informasi maka kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Lingga. Melalui Jl. Udara Berastagi hingga simpang empat kami berhenti sejenak bertanya lagi memastikan arah kami sudah tepat dan melanjut perjalanan mengikuti jalan menuju Desa Lingga dan Kabanjahe. Tidak jauh dari tempat kami bertanya, ada pertigaan dengan papan penunjuk arah dan plank bertulisakan Museum Karo Lingga dan sebuah komplex pemakaman dan geriten tepat di pertigaan itu, maka kamipun masuk ke kanan pertigaan itu menuju Desa Lingga, dan sekitar +/- 300 meter dari pertigaan akhirnya kami menemukan tujuan kami, yakni Museum Karo Lingga, tepat didepan sebuah Gereja Khatolik yang bangunannya juga bernuansakan Karo.

    Museum Karo Lingga adalah museum yang menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo, yang letaknya di Desa Lingga(jalan menuju desa budaya Lingga), tepat didepan Gereja Khatolik Santo Petrus. Bangunan museum ini sendiri merupakan model rumah panggung yang terbuat dari kayu, dengan bernuansa Karo yang paling jelas tampak pada bagian atapnya dan ayo-ayo(muka) dari rumah yang ada bertuliskan salam khas masyarakat Karo: “Mejuah-juah.”

    Saat masuk ke kompleks museum yang dimana halamanya ditumbuhi oleh rerumputan hijau, tanpa menunggu untuk disapa saya langsung turun dari mobil dan menyapa seorang peria paruh baya dengan sapaan khas Karo. Berikut percakapan antara kami di halaman depan museum.

    Museum Karo LinggaSaya:  “Mejuah-juah, Pak!” sambil menjulurkan tangan saya.
    Si Bapak: “Mejuah-juah” balasnya denga senyuman sambil menjabat tangan saya.
    Saya: “Me enda nge ningin Museum Karo Lingga e, Pak?”
    Si Bapak: “Ue, ku bas-ken, lit nge bas bibindu.” Jawabnya dengan penuh keramahan, sambungnya: “Egia, ja nari kin kena?
    Saya: “Kami Patumbak nari, Pa?
    Si Bapak: “Adi bage kubasken kena yah.” Katanya mempersilahkan kami untuk masuk.

    Museum Karo Lingga
    Bagian tengah museum
    Untuk memasuki museum ini (tidak dipungut berapa beaya resmi, namun sukarela) kita harus menaiki anak tangga dari bambu bulat, dan ture-ture(teras)-nya juga masih terbuat dari bambu, dan menjaga kebersihan museum alas kaki harus dibuka. Namun tidak usah khawatir, karena lantai museum ini bersih kok dan cukup nyaman untuk menginjakkan kaki didalamnya, karena lantainya juga terbuat dari kayu.

    Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
    Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
    Memang, koleksi dari museum ini masih jauh dari lengkap, akan tetapi, setidaknya kita sudah mendapat sedikit gambaran tentang kehidupan masyarakat Karo, khususnya dimasa lampau. Memasuki museum di bilik ruangan sebelah kanan kita akan menemui benda-benda kesenian dan kerajinan Karo, dari alat musik dan alat pertanian, serta alat dapur yang dipajang di lemari kaca, dan diatas meja yang terbuka dipajang patung dan tiga buah gundala-gundala (topeng Karo), dan sebuah replika manuk sigurda-gurdi(penggambaran jelmaan/siluman rajawali), serta beberapa photo yang dipajang di dinding(untuk menjaga keamanan benda dan kenyamanan pengunjung maka di setiap benda yang dipajang terbuka deiberi tulisan "Jangan Disentuh!") . Di bilik kiri didominasi dengan peralatan sehari-hari dari masyarakat Karo, mulai dari alat dapur, alat makan, alat mengambil/menampung air, dan pernak-pernik lainnya. Ada juga tongkat dan dalam lemari etalase kaca dipajang patung model yang memakai pakaian adat Karo(pria-wanita) dan uis(kain) tradisional Karo, serta photo-photo yang dipajang di dinding.         
    Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
    Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
     Yang menarik perhatian saya adalah dibagian tengah ruangan ada beberapa peralatan sehari-hari masyarakat Karo tradisional, dan yang paling menarik perhatian saya adalah “campah”, yakni: tempat makan orang Karo zaman dahulu yang terbuat dari kayu yang lebarnya sekitar 65 x 65 cm, dengan ketebalan sekitar 15 - 20 cm. Dan, beberapa benada yang mengingatkan saya kepada almarhum Nini Bulang(kakek) saya, seperti gelang-gelang(wadah memasak dari bahan kuningan), tumbak(tombak), guci, mangkuk, pinggan pasu, dll yang dulu sempat juga saya koleksi namun karena berpindah-pindah sebahagian entah kemana. Puas berbincang-bincang dengan bibi penjaga museum dan mengambil beberapa jepretan photo dari kamera digital, kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke Kuta(Kampung) Budaya Lingga yang tidak jauh dari museum.

    Beranjak dari Museum Karo Lingga menuju Desa Budaya Lingga, optimis saya akan memetik makna yang berarti dan melihat objek-objek yang menarik, ya.. ada betulnya, karena disepanjang jalan menuju desa budaya Lingga banyak kita jumpai kuburan dan geriten(penyimpanan tulang) yang dibangun megah dengan gaya arsitektur khas Karo serta perladangan masyarakat setempat. Bagus sekali, namun tak sepenuhnya benar! Memasuki kompleks desa budaya Lingga, kita disambut gapura seperti sebuah gerbang yang berdiri megah dan kokoh dengan gaya arsitektur Karo. Melintasi gerbang, kita seakan melintasi ruang dan waktu dari modern ke klasik, setidaknya itu apresiasi dari saya. Namun jika sudah masuk maka sedikit rasa kecewa menerpa, karena apa yang diberitakan tidak lagi sesuai dengan kenyataan sesungguhnya, atau dengan kata lain, yang diberitakan itu adalah cerita sejarah(masa lampau). Tidak jauh dari gerbang masuk, kita akan disambut sebuah bangunan yang cukup megah, yakni Jambur(balai) Lingga. Kami memutuskan untuk memarkirkan mobil tepat di depat jambur.

    Sebuah Jambur  ber-cat putih yang berdiri kokoh dan megah dengan tiang-tiang kayu bulat menambah keunikannya. Di langit-langit jambur juga terdapat dua buah papan yang lumayan lebar(sekitar 1, 5 x 3 meter) yang bertuliskan nama-nama dengan bermerga Karo. Tidak menunggu untuk disapa, saya langsung menyapa orang-orang yang ada di jambur yang asyik menonton permainan tenis meja. Seperti biasa, diawali salam “Mejuah-juah” berkenalan dan basa-basi. Tidak mau sia-sia datang ke desa Lingga saya banyak bertanya tentang desa tersebut kepada seorang masyarakat setempat yang kebetulan ber-merga Karo-karo Sinulingga. Merga Karo-karo Sinulingga adalah kelompok merga yang memanteki(mendirikan) desa Lingga dan keturunannya juga dimasa aristokrak berbiak merupakan kaum Sibayak(raja, penguasa, si kaya, yang dimuliakan, bangsawan) di Lingga dengan gelar Sibayak Lingga. Salah satu pertanyaan saya yakni tentang nama-nama yang tertera di langit-langit jambur, dan beliau(Sinulingga) menjelaskan kalau nama-nama itu merupakan para tokoh pendiri jambur. Dia juga bercerita kalau jambur di desa itu dulunya memiliki halaman yang luas dan ditumbuhi rumput hijau dan tempat parkirnya juga luas, namun seiring bertambahnya populasi penduduk, maka bangunan bertambah dan semakin merapat ke jambur hingga kini hanya meyisakan bangunan utama jambur dan jalan yang ngitari jambur dari tiga sisi jambur.

    Pak Sinulingga juga bercerita, dahulu bangunan rumah di Lingga bergaya arsitektur tradisional Karo(rumah panggung) dan banyak sekali didapati rumah-rumah adat(Si Waluh Jabu). Namun, beberapa tahun belakangan rumah-rumah itu runtuh dimakan usia dan diganti dengan bangunan yang lebih modern, sehingga kini hanya menyisakan dua rumah adat lagi yang juga terancam runtuh. Jadi ancaman kepunahan rumah adat Karo di Lingga sudah dalam ambang sangat kritis dan butuh segera diperhatikan. Lihat video Ekspedisi Cincin Api.

    Lama berbincang-bincang dengan Pak Sinulingga saya banyak mendapat informasi kehidupan masa lampau dari desa Lingga yang membuat saya merinding sekaligus sedih. Desa Lingga yang tersohor dalam sejarah Sibayak Lingga dan pemberitaan dengan nama desa budaya dengan rumah adat yang berusia ratusan tahun, saya rasa sudah pantas menyandang istilah kini “hanya kenangan”. Apakah kita membiarkannya saja? Melihat apa yang terjadi di Desa Lingga mengingatkan saya dengan perjalanan Kerja Tahun(pesta tahunan masyarakat Karo) saya sekitar tahun 1997 di Desa Buah Raya dan Kuta Buluh Simole. Dimana, saya kecapekan bolak-balik menaiki anak tangga dari ruma adat Si Waluh Jabu yang  satu ke rumah adat lainnya, dan, sejak saat itu tidak pernah lagi mengunjungi dua tempat tersebut. Apakan disana juga rumah adat ini telah punah? Hm.. Menyedihkan sekali mendengar cerita dari Pak. Sinulingga dan melihat dengan kedua mata ini bahwa desa-desa tradisional Karo kini hanya kenangan seperti halnya Kerajaan Aru(Haru: Karo Kuno). 

    Puas melihat sekeliling Desa Lingga, namun sengaja saya tidak mengambil satu gambar-pun, karena jujur untuk saat sekarang ini selain daripada sejarahnya, udaranya yang sejuk, serta masyarakatnya yang ramah dan bersahabat tidak adalagi sisa-sisa kebesaran Lingga yang diceritakan, dan, kami pun berpamitan pulang kepada beberapa orang tua dan masyarakat Lingga yang sangat ramah dan royal senyum. Sebuah pengalaman yang mengharukan tetapi kami harus kembali dan meninggalkan udara sejuk di Desa Budaya Lingga yang melegenda ini. Namun, saat perjalanan pulang, saya tidak henti-hentinya memikirkan rumah adat yang terancam punah itu dan hati kecil ini terus bertanya: apankah kejayaan Lingga akan kembali? Dimana dulunya Lingga tersohor bukan hanya alam yang indah dan kemajuan dalam bidang ekonomi, tetapi dengan rumah adatnya, dan tokoh-tokohnya terkhusus dari kaum Sibayak(Sibayak Lingga) yang melegenda dan disegani oleh negeri-negeri sekitarnya. Selain itu, dari tradisi yang beredar meyakini bahwa nenek moyang bangsa Batak atau sering disebut Si Raja Batak juga diyakini berasal dari Lingga dan masih keturunan dari Sibayak Lingga. Mungkin saat-saat kejayaan itu kembali hanya dalam mimpi saja.


    Jam menunjukkan Pukul 15.45 wib saat kami keluar dari Desa Lingga. Tidak sempat untuk singgah di Museum GBKP yang terletak di Kompleks RC. GBKP Sukamakmur, karena semua fasilitas di RC dijadwal tutup pukul 16.00 wib. Tapi tidak apa lah, sebab museum yang satu ini sudah sering saya kunjungi dan selalu akan ada kesempatan untuk mengunjunginya, setidaknya saat menemani adik saya berenang di kolam rengan kompleks RC tersebut.

    Juga menjadi kebiasaan saat kami kalau pulang dari dataran tinggi Karo selalu singgah makan BPK, cuma,  kali ini kami memutuskan makan BPK di sekitar Pancur Batu saja untuk mengejar waktu agar terhindar dari kemacetan yang biasa terjadi saat hari sabtu atau hari libur. Ya, tujuan utama tentunya di BPK Ketaren, Namo Mbacang sekalian ngambil jalan potong alternatif untuk pulang ke rumah. Bukan karena itu, lokasinya yang adem dan tenang, serta rasanya yang memenuhi standart dan selera kami membuat BPK Ketaren ini menjadi persinggahan kami jika melewati jalan ini. Ya, saya rasa ini patut menjadi rekomendasi buat teman-teman yang ingin menikmati BPK jika berkunjung ke Sumatera Utara dan tentunya buah salak yang dijajakan tidak jauh dari kedai Ketaren tersebut. Hehehe…. Capek jalan-jalan, ternyata lebih capek menceritakannya ya? Ok-dekh, jalan-jalan kita minggu depan kemana ya? Hehehehe…. Salam Mejuah-juah.

    Spesial untuk Kuta Lingga tercinta, saya ingin menyanyikan satu lagu karya komponis nasional yang juga merupakan salah satu komponis legendaris Karo asal Kuta Seberaya, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berjudul "Bunga-bunga Nggeluh."

    Bunga-bunga Nggeluh (Komponis: Djaga Depari)

    Layas-layasi lah ukurndu
    Ola ndele la erluhu
    Kerna pengindo kempu ninina Dibata metehsa 
    Turi-turi'i lah ukurndu, layasi lah pusuhdu
    Nde.. Kerna 'lajang aku nindu
    Tuhu-tuhu kel meriso 
    Daging ngalah lalap la lolo
    Lampas tayang mata la tunduh
    Ee..nda bunga-bunga nggeluh 
    Kempu kel nini-na anakku, em  bunga-bunganta nggeluh.

    Timai aku timai nini Tigan nindu, 

    Tapi kena nadingken aku
    Ola kel kita sirang nini Tigan ningku, 
    Beru Tarigan ndai ngelukken aku 
    Oh, kempu nini-na kuja pagi kami kerina
    Turang nande Tigan kusayangi, bunga-bunga 'geluh..

    Timai aku timai nindu
    Tapi kena ngelukken aku
    Ola kel kita sirang beru Tarigan ningku
    Tapi genduari kam ngelukken aku
    Oh, bere Karona kuja pagi mama Biringna
    Anakku kempu ninina kusayangi, enda bunga-bunga nggeluh.

    Timai aku timai nindu, 
    Tapi kena ngelukken aku; 
    Olakel aku tading nini ningku, 
    Beru Tarigan ndai ngelukken janji. 
    Oh, nande Tiganna kuja pagi mama Biringna; 
    Turang ku sayangi ari aron enda bunga-bunga 'geluh.

    Lihat video-nya berikut ini: Koleksi:  Bastanta Permana Sembiring;   Patumbak,  01 Agustus 2008; "Bunga-bunga Nggeluh - Pinta-pinta"  Cipt: Djaga Depari;  vokal: Sopian Surbakti; penata musik: Mustika Barus(alm).


    Museum Karo Lingga


    Lokasi: Jl. Kuta Lingga, Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo,
    Sumatera Utara, Indonesia 22153.
    Tiket masuk: Sukarela.
    Parkir: Halaman museum dan jalan(geratis).
    Koleksi: Benda-benda dari kebudayaan Karo.
    Kategori: Museum, wisata sejarah, wisata budaya, dan wisata pendidikan.
    Akses jalan: Keseluruhan bagus(sekitar 15 km dari Kota Wisata Berastagi; 5 km dari 
    Kota Kabanjahe(ibu kota Kabupaten Karo); 81 km dari Kota Medan).



    Kuta Budaya Lingga
    Lokasi: Kuta Budaya Lingga, Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo,
    Sumatera Utara, Indonesia 22153.
    Tiket masuk: Tidak dipungut beaya.
    Parkir: Halaman, parkir, jalan(geratis).
    Koleksi: Sejarah, jambur, pemandangan alam, dan rumah adat.
    Kategori: Wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, dan wisata pendidikan.
    Akses jalan: Keseluruhan bagus(sekitar 15 km dari Kota Wisata Berastagi; 5 km dari 
    Kota Kabanjahe(ibu kota Kabupaten Karo); 81 km dari Kota Medan).


    Saturday, February 23, 2013

    Taman Alam Lumbini – Berastagi

    Replika Pagoda Shwedagon di Komples TAL, Berastagi.
          Seperti biasa, perjalanan saya selalu tidak terduga  alias dakdakan begitu juga kali ini. Jumaat, 22 Februari 2013 hari yang sangat panas dan membosankan, sehingga hal yang sangat jenuh bila harus berdiam diri saja. Maka, selesai  mencuci mobil sekitar Pukul 10.00 wib saya-pun mengajak adik saya  jalan-jalan. Awalnya bingung tidak tahu harus kemana, namun melihat terik matahari yang sangat menyengat di kota Medan pilihan yang tepat adalah menuju dataran tinggi Karo. Pertimbangan ini diambil mengingat daerah pegunungan Karo cuacanya masih segar dan jarak tampuh dari Kota Medan yang tidak begitu jauh.

          Berangkat dari rumah di Patumbak sekitar pukul  10. 30 wib. Perjalanan cukup lancar mengingat bukan masa liburan, jadi kendaraan menuju gunung tidak begitu ramai seperti hari Sabtu, Minggu, ataupun hari-hari libur. Sadar sudah mendekati Kota Berastagi, belum ada juga tujuan yang pasti. Sejenak kami memarkirkan kendaraan di depan gerbang Taman Hutan Raya(Tahura), Berastagi sembari berunding hendak menuju kemana. Kemudia adik saya merekomendasikan Taman Alam Lumbini yang jaraknya sekitar +/- 4 km dari tempat pemberhentian kami. Sepakat, maka kendaraanpun kembali dilaju menuju International Buddhist Center - Taman Alam Lumbini Berastagi.

    Taman Alam Lumbini Berastagi
    Lokasi: Kompleks TAL - Berastagi

          Taman Alam Lumbini, Berastagi adalah kompleks taman alam yang didalamnya terdapat sebuah kuil Buddha yang sangat megah. Kuil ataupun Pagoda ini merupakan replika dari Pagoda Shwedagon yang ada di Burma(Myanmar). Warnanya yang kuning keemasan membuat pagoda ini tampak berdiri kokoh dan megah diantara pepohonan yang rindang. Selain bangunan pagoda yang mengah, komplek seluas +/- 3 hetar ini juga terhampar taman yang indah dengan mengikuti kontur alam yang curam yang menambah pesona dan keunikannya. Replika Pagoda Shwedagon di Taman Alam Lumbini, Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara ini merupakan replika tertinggi kedua yang pernah ada atara replika sejenis yang ada di luar Burma dan merupakan tertinggi di Indonesia sehingga meraih rekor MURI(Museum Rekor Indonesia) dengan kategori Tertinggi di Indonesia dan merupakan rekor pertama yang tercatat di Indonesia. Bukan itu saja, TAL ini juga meraih rekor MURI dalam kategori Puja Bakti/Pemberkahan yang dihadiri oleh Anggota Sangha terbanyak pada-saat peresmiannya 30-31 Oktober 2010 silam, dimana 1.250 anggota Sangha yang hadir, terdiri dari 100 orang bhikkhu dari Indonesia, 650 dari Birma(Myanmar), 400 dari Thailand, dan dari negara-negara lainnya(dikatakan dari 20 negara Bikkhu ikut dalam acara Puja Bakti).
          
    Keterangan pada papan nama di setiap pohon dalam kompleks TAL
    Keterangan pada setiap pohon
    Pembangunan komplek TAL dengan replika pagoda berlantai dua ini merupakan sumbangan dari berbagai kelompok Buddhist dari berbagai negara dengan icon utamanya stupa berwarna emas dengan panjang 69 meter dan tingginya 46, 8 meter, serta beberapa relif dan patung lainnya baik di taman maupun di tembok-tembok kompleks tersebut, diantaranya 108 relik suci, 2.598 rupang Buddha, 30 rupang Arhat, dan objek lainya. Dan, satu hal yang cukup menarik dimana tumbuhan didalam komplek ini juga diberi papan nama, yang dimana berisi keterangan nama Latin, Indonesia, dan Lokal(Cakap Karo). Jadi, lokasi yang sejuk, asri, tenang, dan sangat menarik. Patut Anda kunjungi.

          Dan seperti biasa. Waktu yang terbatas sehingga waktu kami disana hanya sekitar 3 jam saja, dan perjalana dilanjutkan dengan tujuan Kota Medan(Pulang), namun seperti biasa juga, sebelum pulang ke Medan kami menyempatkan diri singgah di RC GBKP Sukamakmur untuk berenang. Eh… sudah Pukul 16.00 lewat dan kolam renga serta fasilitas lainnya di RC GBKP, Sukamakmur sudah tutup, ya… agar tidak kecewa kami memutuskan duduk-duduk sambil makan BPK yang sebelumnya kami singgahi di BPK Aji Jahe, Sukamakmur dan berkeliling taman RC GBKP sejenak, kemudian pulang ke Medan.
          
    Nama: International Buddhist Center- Taman Alam Lumbini Berastagi
    Lokasi: Desa Tongkeh, Kec. Dolat Rakyat, Kab. Karo, Sumatera Utara. Sekitar Lokasi Wisata Berastagi, +/- 50 km dari Kota Medan
    Kategori: Taman Alam, Objek Wisata Rohani, Pusat Peribadatan Umat Buddha
    Peresmian: 30 -31 Oktober 2010
    §  Mentri Agama Repoblik Indonesia
    §  Mentri Agama Myanmar
    §  Duta Besar Myanmar untuk Indonesia
    §  Sangharaja dari berbagai negara
    §  Dan tamu/pengunjung lainnya dari leboh 24 negara.
    Tiket masuk: IDR. 0,- (tidak dipungut beaya)
    Akses: Jalan Lintas Medan – Berastagi, Jalan Lintas Berastagi – Barusjahe, dan jalan masuk sekitar +/-2 km. Secara keseluruhan aksesnya bagus dan dengan parkir(IDR. 0,-) yang luas.
    Lokasi sekeliling: Taman, vila - perumahan, dan perkebunan masyarakat(Lobak, Strowberi, jeruk, dll)   
          
    Peta lokasi Taman Alam Lumbini Berastagi
    Peta lokasi Taman Alam Lumbini Berastagi.


                *Rencana minggu depan ke dua lokasi (1) kawasan air terjun Sipiso-piso, Kab. Karo, Sumatera Utara. atau (2) Bukit Lawang, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.