Kampung Karo adalah salah satu nama dusun, tepatnya Dusun IV Desa
Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera
Utara. Diyakini, Kampung Karo yang dalam penuturan masyarakat setempat dengan
sebutan Kuta Karo adalah wilayah
permukiman yang dipanteki(dibuka
pertama kali/didirikan) oleh Tala Karo-karo Barus dan sangkep nggeluhnya(sanak
keluarga) sekitar tahun 1940 s/d 1950-an dan merupakan pemindahan permukiman dari
kawasan Asahan yang sekarang merupakan wilayah Medan Amplas. Dari cerita
orangtua setempat, hal ini merupakan kesepakatan antara Raja Urung Senembah
dengan masyarakat, mengingat masyarakat Karo adalah masyarakat petani sehingga
hidup berebelahan langsung dengan kota bukan-lah pilihan yang tepat dan
solusinya adalah Kampung Karo.
Seperti
halnya Kecamatan Patumbak yang merupakan bekas ibu kota negeri Urung Senembah dibawah
pimpinan Raja Urung Karo-karo Barus Mergana, tentulah Patumbak dan juga Kampung
Karo(Dusun IV) ini berpenduduk asli dari Suku Karo dan Melayu hingga sekitar
tahun 2000-an setelah jalan menuju Kampung Karo yang dulunya hanya sepanjang +/-
1 km kemudian diperpanjang dan kini sudah tembus ke Kecamatan Tanjungmerawa,
berdatanganlah penduduk yang mayoritas dari etnis Batak. Pada umunnya mereka
merupakan korban penggusuran dari Kota Medan yang sebahagian besar dari kawasan
Mandala - Medan.
Jalan Kampung Karo Patumbak yang
menghubungkan Kecamatan Patumbak dengan Kecamatan Tanjungmerawa yang penjangnya
sekitar +/- 3 km ini kini dinamai warga sekitar dengan nama Jalan Kampung Karo
walau tidak ada pengesahan atau bahkan penamaan secara resmi. Sebenarnya, saat
pembukaan jalan ini sekitar tahun 1999 – 2004 pernah muncul gagasan untuk
menambalan nama Tala Barus yang merupakan orang pertama membuka Kampung Karo
ini, namun entah mengapa hingga sampai pada saat ini belum ada aksi yang cukup
berarti untuk merealisasikannya.
Secara keseluruhan, penduduk di Kampung Karo Patumbak bermata pencarian sebagai petani
dan buruh pabrik, dan sebahagian ada sebagai pegawai negeri, pedagang, ataupun
sektor formal dan non-formal lainnya. Hingga tahun 2000 wilayah ini dikelilingi
oleh perkebunan milik pemerintah, dimana disisi Selatan merupakan kawasan
perkebunan kelapa sawit dan disisi Utara merupakan perkebunan kakao(coklat).
Jadi, Kampung Karo ini permukiman penduduk awalnya hanya disepanjang jalan,
dimana dari kedua belah sisi jalan hanya menyisakan sekitar 100 meter untuk
permukiman dan selebihnya merupakan areal perkebunan.
Saat
meletusnya reformasi 1998 yang diawali gejolak krisis ekonomi dari tahun 1997, berbondong-bondong
masyarakat Kampug Karo menyerbu perkebunan. Entah siapa yang memulai ataupun
memprovokasi, namun rasa takut yang selama ini menghinggapi masyarakat Kampung
Karo terhadap centeng-centeng(sebutan untuk pengawas) perkebunan tiba-tiba
sirna. Bahkan, saya ingat saat dikerahkan dari unsur TNI dan Polri masyarakat
juga tidak gentar menghadapinya. Pada saat-saat inilah muncul sebutan
masa(maling sawit) atau ninja sawit dan maco(maling coklat) untuk masyarakat
Patumbak, terkhususnya yang tinggal di Kampung Karo. Keterpurukan ekonomi
Indonesia di masa itu sedikit pun tidak dirasakan oleh masyarakat Kampung Karo,
mengapa tidak? Nilai tukar dolar yang melambung yang mempengaruhi harga kakao
dan sawit turut dinikmati oleh sebahagian besar masyarakat Kampung Karo. Mulai
dari anak usia 5 tahun hingga lanjut usia semua orang berduit. Tak jarang anak
usia 5 tahun mengantongi uang Rp 50.000 hingga Rp 500.000 padahal saya ingat
persis jatah jajan saya saat itu hanya Rp 2.500 dari orangtua, dan hal ini
pastilah menggoda saya, namun orangtua memperingatkan dengan keras agar jangan
ikut-ikutan dan salah satu cara orangtua untuk menghindarkan kami agar jangan
ikutan adalah dengan mengungsikan kami ke Jambi atau ke Pekanbaru saat liburan
sekolah. Uang yang berlimpah dengan jalan yang mudah dan cepat untuk diraih
tentunya turut mempengaruhi psikologi masyarakat setempat, yakni segalanya
tampak mudah dan instan, sehingga kemampuan untuk menghadapi masalah yang rumit
tentunya menurun drastis. Pemandangan remaja dibawah umur yang menikah itu
biasa, bahkan sepertinya hal yang wajar melihat anak-anak sekitar usia 5 – 15 tahun
memegang rokok dan menghisapnya.
Dari
awalnya hanya menjarah hasil perkebunan berangsur-angsur menjurus ke penebangan
tanaman perkebunan dan penguasaan lahan. Rasa takut(bukan menghormati) terhadap
yang namanya manusi plat merah(pemerintah, pereman pemerintah, pejabat, dlsb)
kini sirna.
Dahulu, pertanian di Kampung Karo ini
cukup maju. Walau dusun buntu(karena jalannya buntu), dan dengan kemajuan
pertanianya, tak jarang putra/i Kampung Karo ini berhasil dan menjadi sarjana,
bakan tercatat merupakan penghasil sarjana bagi Kabupaten Deli Serdang yang tersebar ke
penjuru Indonesia. Dari cerita yang saya dengar dan dalam jangka waktu sebentar sempat juga saya rasakan sendiri, komuditas andalan dari Kampung Karo
adalah kates(pepaya), kemiri, cengkeh, padi, kelapa, dan ikan air tawar.
Kemajuan dari sektor pertanian ini juga dikatakan faktor utama putra/i dari
Kampung Karo ini kemudian malas untuk melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi walau ada beberapa yang berprestasi. Mudah mencari makan, mudah
memperoleh uang, dan mudah hidup karena tanah yang luas dan subur, sehingga terlena dan malas untuk berhadapan dengan dunia luar.
Cerita
kehebatan Kampung Karo tidak berlangsung lama. Saat terjadinya penjarahan
terhadap aset-aset perkebunan yang pada puncaknya penguasaan lahan dengan
langkah awal mematikan tanaman perkebunan, tentunya memberi efek juga terhadap
alam, dimana Kampung Karo yang dulunya sejuk karena dikelilingi tanaman
perkebunan, kini terasa sangat panas dan gersang. Bahkan, semenjak tanaman
perkebunan musnah, tanaman masyarakat juga ikut musnah terserang hama. Tanaman
muda membusuk dan tanaman keras layu dan akhirnya mati. Ada yang mengatakan ini
akibat migrasi serangga yang sebelumnya hinggap di tanaman perkebunan, namun
setelah perambahan serangga-serangga itu berpindah ke
tanaman warga. Sejenak perekonomian Kampung Karo tampak lesu, tanaman mati, kakao dan sawit tidak ada lagi untuk dijarah, dan barang
dagangan-pun tidak laku. Kini baru terasa efek kerisis ekonomi itu. Kondisi ini
semakin diperparah dengan dibukanya proyek-proyek galian tanah yang tentunya ikut serta menambah perusakan alam dan mencemari udara. Jalan-jalan Patumbak hancur karena harus
menopang beban diatas kapasitas maximumnya. Jika kemarau udara Patumbak
bercampur debu seperti salju, dan jika musim penghujan licin dan tergenang
seperti kubangan sapi. Bertahun-tahun kondisi ini dirasakan
masyarakat Patumbak, hingga puncaknya Januari - Februari 2013 masyarakat yang didominasi
kaum ibu turun ke jalan membangun tenda-tenda agar mobil pengangkut tanah tidak
dapat lewat. Setidaknya ada beberapa tenda diawalal-awal aksi, cuma lama-lama
berkurang dan hanya menyisakan satu tenda di kawasan Desa Sigara-gara namun mereka
terus bertahan hingga mobil pengangkut tanah benar-benar berhenti. Jadi, saya
rasa perlu kita acungkan jempol buat kaum ibu-ibu Desa Sigara-gara dan kita
ucapkan terima kasi untuk pahlawan-pahlawan kesehatan Patumbak ini.
Link-lik terkait lainnya:
- http://peristiwa.kompasiana.com/regional/2012/12/19/3/517985/jalan-kampung-karo-patumbak-rusak-parah.html
- http://bastanta-meliala.blogspot.com/2012/12/wacana-menghidupkan-kembali-kekaroan.html
- http://bastanta-meliala.blogspot.com/2012/12/kampung-karo-patumbak.html
- http://bastanta-meliala.blogspot.com/2012/12/kampung-karo-patumbak-bag-ii.html
- http://bastanta-meliala.blogspot.com/2012/12/koleksi-photo-bastanta-permana-sembiring.html
No comments:
Post a Comment
Mejuah-juah!