|
Gedung gereja Katolik di Berastagi
yang kini dialih-fungsikan menjadi
Museum Pusaka Karo. |
Mejuah-juah. Sejarah pernah mencatat masa-masa
kejayaan gereja Asia. Diama perkembangan kebudayaan gereja, teologia, dan
pelonjakan jumlah jemaat yang signifikan. Namun, sejarah juga mencatat bahwa
pada abad ke-15 Masehi terjadi kemerosotan yang radikal terhadap keberadaan
gereja-gereja di Asia, bahkan hampir lenyap dari benua kulit berwarna ini.
Jika
kita menelaah Alkitab, banyak gereja-gereja yang disebutkan di Asia kecil kini
tidak ada lagi. Turki, yang dulunya pernah menjadi rumahnya gereja-gereja
berkembang kemudian menjadi gereja terbesar yang disebut Konstatinopel kini
menjadi negara 1001 masjid.
Tiga penyebab utama kemerosotan gereja
Dalam buku “Konteks Bertheologi”
karangan Pdt. Edi Suranta Ginting dikatakan, tiga
penyebab utama terjadinya kemerosotan kekeristenan di abad ke-15. Pertama, gereja
tidak lagi memberitakan injil, mungkin karena dilarang oleh penguasa yang bukan
Keristen, maupun alasan theologis dan politis lainnya, bahkan karena gereja terlalu
sibuk dengan urusan birokrasi organisasi gereja. Kedua, karena orang-orang
Kristen lebih bodoh dan lebih miskin daripada orang-orang yang bukan Kristen.
Tiga, karena kekeristenan tidak berakar pada budaya lokal ataupun setempat.
Gereja yang tidak berakar pada budaya lokal
Di Kartago, Aljazair(sekarang)
dimana merupakan tempat lahirnya tiga teologi besar gereja, yakni: Cyprianus,
Tertulianus, dan Agustinus juga mengalami hal demikian, dimana gereja yang
tumbuh dan berkembang tidak berakarkan pada tradisi budaya setempat. Gereja
Nestorian yang pernah berjaya dan pernah mendirikan bayank gereja di berbagai
negara pada abad ke-7, seperti di India, Iran, Cina, dan bahkan Indonesia kini
entah dimana.
Nyata terjadi pada gereja-gereja di Indonesia
Ini sangatlah tampak nyata dan juga terjadi pada
gereja-gereja di Indonesia. Dimana, jika kita melihat diawal-awal proses
zending, para missionaris berusaha keras melakukan pendekatan sosial dan
kultural agar gereja dapat akses untuk dapat semakin dekat dan diterima oleh
masyarakat lokal. Unsur-unsur tradisi setempat sedemikian rupa diramu agar
dapat dimasukkan dalam ritual gereja bahkan, merasuk hingga konteks teologia
yang dianut gereja tersebut. Sehingga, gereja dan budaya itu ibarat rel kereta,
walau terpisah dan berbeda ruang namun tetap sejalan dan seakan harus
semestinya berjalan bersama, sebab jika tidak, ibarat kereta tadi tidak akan
dapat berdiri tegak diatas satu rel, bahkan akan terjungkal. Demikianlah gereja
dan budaya dimasa-masa mula-mula zending seakan harus sejalan agar mudan
dimengerti dan diterima.
Di beberapa wilayah memang hal ini berhasil, tampak
dengan keberadaan gereja-gereja suku dan gereja Khatolik inkulturisasi yang ada
sekarang, walapun tidak jarang beberapa orang dan kelompok yang kurang puas
dengan prinsip ritual dan teologis di gereja itu hendak menggesernya dan
menerapkan konsep kembali kepada konteks teologi dan ritual gereja Barat yang
dianggap lebih suci dan sesuai.
Pertentangan dalam gereja
Seiring dengan berkembangnya gereja
dan pemahaman teologis yang dianutnya, maka tak jarang pemikiran-pemikirang
untuk mempertentangkan keberadaan budaya dalam tubuh gereja muncul dan semakin
hari semakin keras. Ada yang beranggapan ini imbas dari tumbuh dan bangkitnya
semangat dan kesadaran iman, yang dimana kekafiran yang menodai tubuh gereja salah
satunya tradisi lokal harus dihindari bahkan sebisa mungkin dilenyapkan dari sekitar
gereja, agar semua umat tidak tersesatkan lagi oleh kekafiran tersebut. Namun,
pertanyaanya, benarkan ini kebangkitan iman? Atau hanya alasan untuk menutupi
kelemahan dan kegagalan gereja dalam merangkul dan menyempurnakan budaya lokal,
serta menguatkan iman jemaat? Atau, kedewasaan iman yang masih dangkal imbas
dari kekeristenan yang terkesan pragmatis, sehingga yang bukan saya adalah
setan?
Kini kereta lokomotif uap dengan
bahan bakar batu bara diganti dengan lokomotif listrik yang lebih kencang walau
masih juga melaju diatas dua rel yang sejajar. Demikian juga halnya gereja
konservatif yang dianggap lamban karena terlalu memikirkan harmonisasi dengan
budaya dan alam dianggap lamban dalam proses kristenisasi dunia, sehingga harus
diganti dengan gereja baru. Ini-lah salah satu alasan lahirnya aliran-aliran
dan reformis gereja. Gereja baru ini-lah yang seringkali berusaha keras
memisahkan injil dan budaya dalam mengartikan keselarasan antara gereja dan
budaya, sehingga para reformis yang terus haus dengan kemurnian gereja ini
terus berinovasi dalam doktrin dan ritual untuk benar-benar mentiadakan unsur
budaya dalam tubuh gereja, maka lokomotif listrik dengan dua rel tadi-pun
kemudian di-upgrade dengan kereta listrik mono rel(rel tunggal) agar dapat
melaju lebih kencang dan cukup berdiri diatas satu rel saja, yakni gereja yang
hanya berecerita tentang ketuhanan saja.
Benarkah kerta itu akan melaju lebih
kencang dengan...
Cuma, muncul kembali pertanyaan.
Benarkan kereta itu akan dapat melaju lebih kencang dengan aman diatas satu rel
saja? Dan, nyamankah jemaat yang terbiasa duduk diatas bangku kereta dengan dua
rel tetapi kini harus duduk diatas kereta dengan rel tunggal? Dan, jika kita
kembali ke masa-masa kejayaan gereja Khatolik-Roma dan juga gereja Asia hingga
memasuki abad ke-15 dimana kemerosotan itu terjadi, maka benarkah gereja ini
menuju kemajuan atau hanya mengulang cerita lama dan kemudian suatu saat harus
kembali dari titik dasar.
Asia dan kebudayaanya akan...
Asia dan kebudayaannya diprediksikan
akan berjaya dan memegang peran penting dalam segala aspek kehidupan dunia.
Gambaran yang kita lihat sekarang ini, jika muncul pertanyaan siapakah yang
akan memimpin(tentunya dari Asia)? Maka, perhatian akan tertuju kepada Cina,
Jepang, India, Korea, dan Iran(Indonesia?). Jika kita amati negara-negara
tersebut, maka bisa kita katakan mereka adalah negara yang kontekstual Asia.
Sederhananya, jika kita ke pasar baik modern maupun tradisional, dengan mudah
kita dapat mengidentifikasi itu orang Cina, itu orang India, dlsb. Seorang anak
usia 3 tahun sudah mampu membedakan mana film Hollywood, mana film Bollywood,
dan mana film Cina, Korea dan Jepang. Karena mereka kontekstual dalam segala
hal. Sanggupkah anak usia 3 tahun membedakan mana film Australia, Inggris, dan
Amerika? Kontekstual mereka terhadap budaya Asia membuktikan mereka sanggup
bertahan dan bahkan menjadi pemeran penting dalam skenario drama dunia. Begitu
juga dengan konteks dalam teologia. Asia yang lebih mengedepankan harmonisasi terkadang
tampak lamban namun melaju dengan pasti seperti halnya lokomotif uap antik
dengan dua rel dan memberi kesan serta kenyamanan dalam perjalanan bagi para
pemumpangnya, sehingga tumbuh rasa kerinduan untuk mengulang kesan-kesan itu.
Sedangkan konteks Barat yang lebih kepada eksploitasi dan tampak agresif, sampai
mana akan terus agresif ? Dan, yakinkah akan sesuai dengan kita selamanya?
Jangan nanti hanya memiliki kesan sementara seperti halnya menaiki kereta rel
tunggal dengan kecepatan diatas 150 km/jam yang untuk melihat pemandangan
disekitar jalur yang dilalui mata harus secepat kilat untuk menangkap sebuah
objek dan secepat itu juga pudar dalam ingatan. Atau saat menaiki kereta
listrik rel tunggal yang melaju santai di kota, dimana jika penumpang memandang
ke luar hanya ada aktifitas kehidupan dibawahnya dan jika memandang ke samping
hanya gedung-gedung yang tampak seperti komponen elektronik, dan jika memandang
ke atas hanya ada awan kosong. Siapa yang melindas dan siapa yang dilindas,
siapa yang tahu? Saat konteks Asia akan berperan, jangan sampai Asia tidak siap
dan para sarjana harus kembali membuka buku pelajaran Sekolah Dasar. Mungkin
saya akan memilih lokomotif listrik dengan dua rel bahkan jika masih ada
kesempatan ingin melaju diatas lokomotif uap antik agar perjalanan iman ini
lebih berkesan dan bertumbuh dari hati karena bayang-bayang keindahan yang
dilalui selama duduk di bangku penumpang, bukan karena trend yang berkembang
ataupun opini publik semata. Syalom mejuah-juah.
Baca juga: