"Murbab" alat musik Karo ber-dawai. Sumber: Google Search.
"Murbab"
adalah salah satu instrumen(alat) musik tradisional Karo, yang
adalah merupakan alat musik dalam kategori instrumen ber-dawai. Murbab merupakan
satu-satunya alat musik tradisional Karo yang dimainkan dengan cara menggesek.
Dan dulunya, murbab ini dipermainkan secara solo(tunggal) ataupun juga ansambel
dalam posisi sebagai melodi.
Dimasa
kolonial hingga zaman kemerdekaan, alat musik murbab ini sering
digunakan dalam kelompok-kelompok ronggeng Karo-Melayu di kawasan Karo Jahé(Dusun
Deli/Deli-Serdang), namun seiring dengan perkembangan zaman dan gemerlap dunia
hiburan yang notabene-nya menawarkan warna-warna baru dalam dunia musik
nusantara, maka perlahan instrumen musik tradisional ditinggalkan begitu juga
dengan murbab ini, dan bahkan bisa dikatakan telah punah.
Saya
sedikit beruntung karena pernah melihat dan mendengarkan murbab ini
secara langsung, dimanaNini Bulang(kakek) saya yang merupakan
seorang guru dan pemimpin salah satu kelompok ronggeng Karo-Melayu(Sada Perarih
- Senembah) di kawasan Urung Senembah, dulunya sering memainkan alat ini hingga
akhirnya diganti dengan violin(biola); dan bahkan grup ronggeng yang
dimotorinya juga bubar dan hal ini tentunya juga turut serta dalam proses
punahnya beberapa alat musik tradisional Karo-Melayu Deli khususnya murbab
ini.
Pilu rasanya
mendengar seorang pahlawan yang dengan gigih dan berani memperjuangkan
bangsanya namun dikemudian hari di-cap sebagai seorang penghianat oleh generasi
penerusnya yang sebelum itu diperjuangkan nasibnya. Itulah yang dialami oleh
beberapa pejuang di negeri ini, sebuat saja Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno yang sempat namanya
tercemar(dicemarkan) dimasa Orde Baru, tetapi syukurlah sekarang sudah
di-rehabilitasi(dibersihkan) kembali. Bukan itu saja, banyak pejuang-pejuang di
repoblik ini yang bukan hanya tidak memperoleh haknya sebagai seorang
pejuang(pahlawan), akan tetapi malah di-cap penghianat. Ulung Sitepu (Pa Timur),
adalah salah seorang yang pernah memimpin Sumatera Utara, tepatnya Gubernur
ke-delapan Sumut (15 Juli 1963 – 16 November 1965) dengan wakilnya saat itu P. R.
Talaumbanua (16 November 1965 – 31 Maret 1967) yang dikemudian hari
diangkat menggantikannya. Beliau yang memulai karirnya dari dunia militer
hingga puncak karirnya sampai pada posisi Gubernur Sumatera Utara dengan
pangkat terakhir di militer Brigadir
Jenderal(Brigjen), hingga meletusnya G30 S/PKI yang membuatnya jatuh dan
harus menelan pil pahit sebagai tawanan politik tanpa proses peradilan dan
tuduhan yang tidak jelas dan tidak seorangpun hingga saat ini di dunia ini dapat
membuktikannya hingga ajal menjempunya di dalam penjara.
Sejak kecil, Nini Bulang(kakek) saya selalu
menceritakan kisah-kisah keberanian para pejuang kepada saya, dan menceritakan
sosok-sosok pejuang itu dari banyak sudut-pandang. Saya sadar hal ini beliau
lakukan agar logika berfikir saya terbangun dan tidak hanya menerima
opini-opini publik yang digiring oleh sebuah kepentingan untuk menjatuhkan
ataupun memuliakan seorang tokoh atau kaum(kelompok). Dan, hal ini jugalah yang
kemudian hari mempengaruhi pola pikir saya tentang memandang atau menilai suatu
hal dengan lebih teliti dan tidak terburu-buru menerima begitu saja.
Kaitannya
dengan problematika etnisitas di Sumatera bagian tengah dan utara, ini
merupakan ruang-ruang etnisitas yang sangat rumit untuk menentukan batas-batas
dari kegiata etnisitas masa lampau, atau para ahli sering menyebutnya ruang-ruang jejaringan yang hilang!
Jeraringan yang hilang menurut hemat saya dalam artian akibat dari kuatnya opini publik yang
mendukung satu teori yang dianggap mutlak walau dalam sisi logika,
tradisi(cerita rakyat dan mistis), serta fakta tidaklah kuat atau bahkan jauh
dari kenyataan. Opini yang digiring oleh banyak kepentingan ini yang pada
akhirnya merupakan potensi terbesar dalam pengkaburan suatu kejadian bahkan
hingga ke identitas.
Dan, mungkin
dalam hal ini, isu yang paling krusial tentang identitas etnisitas di Sumatera
bagian utara dan tengah, adalah tentang mempertanyakan posisi Karodidalam
rumpun Batak, atau para patriot pejuang identitas ini dengan gamblang
mengatakan “Karo Bukan Batak!”. Menyikapi hal ini, hendaknya kita jangan
bersikap pragmatis ataupun menerima
begitu saja segala vonis yang diberikan kepada sekelompok etnis itu dengan
mudahnya, karena itu sungguh-sunguh sangat kejam dan menyakitkan. Itulah sebab
maka saya mengatakan “pentingnya membangun
logika berfikir dalam menyingkap fakta sejarah”. Namu, cukupkah hanya
logika? Ya, tentu tidak! Untuk mencapai sebuah kebenaran yang ril, kita harus
memperhitungkan juga beberapa aspek yang terangkum dalam dimensi ruang dan waktu, yang meliputi: logika, tradisi(cerita
rakyat dan mitologi), gentik(sifat baik yang tampak atau tidak), geografis, ekonomo,
dan teritorial.
Kembali kepada
apa yang dilakukan oleh pejuang identitas ini(Karo Bukan Batak), mungkin saya
tidak usah lagi membuka satu-per satu secara konkrit tentang apa yang yang
ingin saya kemukakan, karena pada dasarnya saya bukanlah seorang yang suka menggiring opini
publik demi mencapai tujuan tertentu dan karena hal ini sudah menjadi suatu
cerita umun di masyarakat, namun ntinya, saya ingin menekankan “pentingnya membangun logika berfikir dalam
menyingkap fakta sejarah!”.
Tetapi, berikut ini saya
ingin membagikan beberapa kata kunci yang mungkin dapat menjadi bahan
pertimbangan pembaca, seperti:
·Antara Haru(Karo kuno), Majapahit, Sriwijaya, Padang Lawas, Pane dengan kisah Si
Raja Batak.
·Tradisi Merga Silima(merga Karo)
beserta cabang(sub-)merga dengan Silsilah Terombo Marga Batak, Sejarah Suku Bangsa Mandailing, Sejarah suku bangsa Simalungun, serta legenda Danau Toba dalam versi Karo, Toba, dan etnis lainnya.
·Sejarah Zending Hindu di Sumatera khususnya di bagian utara
dan tengah
·Cakap(bahasa) Karo dengan bahasa Toba(atau batak lainnya),
benarkah hanya dialek saja yang berbeda?
·Antara agama Pemena
dan Parmalin
·Warna nasional Karo dan Batak serta kebiasaan dan peralatan
hidup lainnya.
·Zending Kristen (RMG dan NZG)
·Pandangan ahli-ahli antropologi, etimologi, sastra, agama,
dan budaya tentang satuan Batak.
·Asal mula kata Batak!
·Pandangan seorangKaro
Sirulo(Karo Murni) tentang dirinya dan kaumnya
dll...
Beberapa
kata kunci diatas dapat Anda pertimbangkan, dan sengaja saya tidak mengulasnya
agar Anda-lah yang mencari dan membangun opini sendiri, buka atas pemikiran atau
pendapat saya. Hehehe… Namun, saya berharap Anda membuka hati, pikiran, naluri,
dan logika berfikir dengan memperhitungkan dimensi
ruang dan waktu yang melingkupi: logika, tradisi, dan fakta!Trimakasih dan semoga berhasil. ;-)
Danau Toba(Lake Toba) adalah danau terbesar di
Indonesia, Asia Tenggara, bahkan di Asia yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, berjarak sekitar 176 km
dari Kota Medan, dan dengan Pulau Samosir ditengahnya dengan luas sekitar 167 km2 dan merupakan
objek wisata andalan dari provinsi tersebut. Adapun luas keseluruhan Danau Toba
diperkirakan sekitar 3.000 km2 yang sebagian besar terletak di Kabupaten Simalungun,
Kabupaten Toba Samosir, Humbang Hasudutan, dan Kabupaten Karo. Danau ini sendiri terletak pada garis lintang dan
garis bujur antara 98030’ BT; 3005’ LS serta 99020’ BT; 2040 LS dengan
ketinggian 904 meter di atas permukaan laut(dpl), serta kedalaman maksimal danau
mencapai 505 meter.
Berikut legenda-legenda yang terkait dengan Danau
Toba yang pastinya menambah keunikan dari danau yang dipercaya merupakan hasil letusan
vulkanik yang diperkirakan terjadi sekitar 75.000 tahun lampau.
Legenda Danau Toba
Disebuah deleng api (gunung api) di Selatan Taneh Karo, berdiamlah sekelompok masyarakat yang terisolasi dengan dunia
luar, dimana mereka hidup dengan cara berburu dan tinggal di gua-gua yang
banyak ditemui di kaki gunung. Oleh masyarakat lainnya kaum ini disebut dengan bangsa
umang(dalam cakap Karo: umangdipakai untuk menunjuk
orang-orang diluar mereka yang masih primitive, pemakan kerang dan daging mentah, dan tiggal di
gua-gua) ataupun Tarigan Umang(umang Tarigan).
Danau Toba tampak dari Kabupaten Karo
Suatu ketika istri Si Tarigan(Si Raja Umang) yang kala
itu sedang mengandung mengalami pendarahan yang sangat banyak sekali saat
hendak melahirkan anaknya. Karena merasa sangat kesakitan sekali saat proses
persalinan, maka tak pelak teriakan demi teriakan yang keras keluar dari
mulut kemberahen(ratu, istri) Si Raja Umang yang membuat gunung api bergetar. Terus dan terus teriakan itu
terdengar semakin lama semakin kerasnya hingga getaran(gempa bumi) dasyat pun terjadi yang mengakibatkan
meletusnya gunung api dan membentuk sebuah lembah berbentuk kuali. Pendarahan
yang sangat, tak henti-henti juga sejalan dengan teriakannya yang makin lama
makin keras karena tidak sanggup menahan kesakitan, dimana darah yang keluar
banyak itu mengalir mengisi lembah yang baru saja terbentuk oleh letusan gunung
api, dan tiba-tiba darah yang keluar itu berubah menjadi kabut yang tebal dan kemudian mencair menjadi air memenuhi lembah yang baru terbentuk itu dan membanjiri
daerah itu, dan terjadilah sebuah danau(danau Toba), sehingga membuat bangsa
umang Tarigan harus mengungsi dari daerah itu ke beberapa daerah seperti :
Purba Tua, Cingkes, Tong-tong Batu, serta daerah-daerah
lainnya(kejadian ini mnggambarkan apa yang menjadi teori yang dipercayai oleh
para ahli tentang terbentuknya Danau Toba,
dimana menurut ahli, di – Kala Plaistosen (sekitar 700.000
tahun lalu) muncul tumor di Sumatera di sekitar Sumatera bagian tengah dan utara.
Fenomena ini terjadi bersamaan denga aktivitas vulkanis dan tektonis yang
dimana letusan-letusan gunung berapi melemparkan panas yang mengandung tufa bersifat riolit di sepanjang pegunungan timur laut sekitar daerah Pematangsiantar sampai sekitar 20 km
dari pesisir, bahkan hingga 300 – 400 km dari pusat letusan. Diperkirakan
aktifitas vulkanik melemparkan material sebanyak 2.000 km3 dan mengakibatkan runtuhnya bagian atas puncak
gunung sehingga membentuk kuali hingga sekarang masih memiliki pinggiran seperti benteng alam dengan
ketinggian lebih dari 2. 000 meter diatas permukaan laut dan depresi ini
kemudian diisi Danau Toba, dan kemudian mendorong munculnya Pulau
Samosir serta beberapa gunung api seperti Deleng(gunung)Sibayakdan Deleng Sinabungdi
utara danau.).
Dan, diceritakan setelah itu, tiga orang keturunan Tarigan itu sampai
di Tengging
saat dimana daerah itu sedang mengalami gejolak oleh serangan Manuk Sigurda-gurdi (Jelmaan/siluman burung raksasa) berkepala tujuh yang suka
menculik anak-anak gadis di wilayah itu. Mendengar ketiga keturunan Tarigan itu
telah berada di Tengging(Tongging), maka Pengulu Tengging, Ginting Manik Mergana meminta bantuan kepada ketiga Tarigan(Tarigan adalah salah satu mergadari Merga Silima/merga-merga Karo)
itu untuk mengalahkan Manuk Sigurda-gurdi
yang telah lama meresahkan penduduk Tengging. Maka, dengan ber-umpankan seorang
gadis perawan ketiga Tarigan itu memancing Manuk
Sigurda-gurdi agar keluar dari sarangnya. Saat Manuk Siguda-gurdi datang menghampiri umpannya dan henda menerkam
si gadis, salah satu dari Tarigan-pun keluar dan langsung meng-eltepManuk Sigurda-gurdi (eltep = sumpit beracun yang merupakan salah satu
senjata Karo yang paling berbahaya yang dalam sejarah perang
kemerdekaan juga sempat dipergunakan, salah satunya saat melindungi Wakil Presiden Moh. Hatta saat melakukan
kunjungan ke Berastagi). Enam dari
tujuh kepala terkena eltep-pan si
Tarigan, namun satunya lagi dapat terhindar dari eltep-pan si Tarigan, dan Manuk
Sigurda-gurdi mencoba berlari menyelamatkan diri dan bersembunyi. Si
Tarigan kehilangan jejak dan sempat terkecoh, maka Tarigan yang lainnya dengan
kemampuanya ertendong (telepati) berusaha menditeksi keberadaan Manuk Sigurda-gurdi, ternyata dia
bersembunyi di balik dedaunan diatas pohn yang sangat besar dan dengan segera
Si Tarigan lainnya-pun dengan kemampuannya yang cepat memanjat pohon segera
melakukan serangan dan terjadilah pertarungan yang sengit antara Si Tarigan dan Manuk Sigurda-gurdi. Dengan bantuan Si Tarigan Pertendongyang menyalurkan tenaga dalamnya dari jarak
jaug maka Manuk Sigurda-gurdi dapat
ditaklukkan dengan tebasan pisau Si Tarigan yang mengenai kepala Manuk Sigurda-gurdi (- cerita ini
sebenarnya menggambarkan tentang kejadian dimasa lampau, dimana di
wilayah-wilayah Karo sering terjadi peperangan antar urung begitu juga dengan banyaknya beredar para gerombolan perampok
yang mengakibatkan penawanan serta penculikan).
Mendengar berita kemenangan besar Si Tarigan dari Manuk
Sigurda-gurdi membuat Pengulu
Tengging, Ginting Manik Mergana
senang, dan atas rasa trimakasihnya dia menganugrahi kekuasaan di-beberapa
wilayahnya dan juga memberi gelar kepada ketiga Tarigan dan keturunannya sesuai
keahliannya, yakni: Tarigan Pengeltep(ahli menyumpit) yang kemudian dinikahkan
dengan beru(putri, panggilan untuk kaum wanita Karo) Ginting
Manik dan menjadi pengelana hingga ke Tong-tong Batu, sehingga diwilayah Sidikalang dan sekitarnya
dikatakan panteken(pendirian, didirikan) dari(oleh) merga Tarigan(Gerneng/Gersang/Girsang), sedangkan Tarigan Pertendong (Ahli
telepati) dan Tarigan Penangkih-nangkih (ahli memanjat) tinggal di Tongging
serta keturunannya berkembang dan kemudian menjadi Purba,Sibero,
danCingkes
di Karo,
dan beberapa generasi setelah itu, ada diantara mereka yang bermigrasi ke
wilayah Tapanuli(Toba), dan Simalungun.
Beberapa generasi kemudian diketahui, keturunan dari Tarigan Pengeltepyang di Tong-tong Batu
juga bermigrasi ke Juhar, dan dikenal dengan Tarigan Sibayak(Sibayak = raja,
gelar bangsawan Karo, Si Besar) dan Tarigan Jambur Lateng. Mereka, juga
dikenal dari rurun(nama kecil, panggilan)-nya, yakni: untuk Tarigan Sibayakdipanggil Batubagi anak laki-laki dan Pagituntuk anak perempuan.
Sedangkan, untuk Tarigan Jambur Lateng
adalah Lumbunguntuk
laki-laki dan Tarikuntuk yang
perempuan. Beberapa generasi kemudian datang pula Tarigan Rumah Jahédengan nama rurun Kawas untuk yang
laki-laki dan Dombat bagi yang perempuan.
Itulah Legenda Terjadinya Danau Toba dan Si
Tarigan (Si Raja Umang)menurut turi-turin (tradisi) leluhur Karo,
yang mungkin jika ditelisik sangatlah memiliki keterkaitan dengan apa yang
menjadi teori yang dipercayai oleh para ilmuan walau cara penyampaiannya
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwasanya, sejak dahulu peradaban masyarakat
Karo itu sudah maju, sehingga cerita-cerita yang disampaikan-pun juga memiliki
sudut pandang ilmiah untuk membangun logika berfikir, bukan hanya sekedar
cerita yang menghibur. Semoga cerita ini
dapat member inspirasi kepada pembaca atau setidaknya member hiburan. Hehehe….
;-)
Pemena merupakan aliran kepercayaan
yang ada pada masyarakat tradisional Karo, ataupun bisa juga disebut agama asli dari masyarakat Karo. Pemena, merupakan kepercayaan yang
menganut sistem politheisme dan dinanisme. Dikatakan politheisme, karena dalam
ajaran dasar pemena, perwujudan Dibata(Tuhan) digambarkan dalam tiga wujud, yaitu:
1.Dibata Datas(Kaci-kaci)
2.Dibata Tengah(Banua Koling),
dan
3.Dibata Teruh(Paduka Ni Aji)
Sama
halnya dengan apa yang kita temukan dalam ajaran Hindu(Senata Dharma) yang meyakini penjelmaan
Dibata(Tuhan) juga dalam tiga wujud, yakni:
1.Brahmana(Pencipta
Alam)
2.Waisya(Pemelihara
Alam), dan
3.Syiwa(Perusak
Alam)
Dan, juga dikatakan kalau
dalam kepercayaan Pemena,DibataSimada Kuasa(Tuhan Yang Maha Esa); Sinepa Langit ras Doni(Khalik Semesta Alam) memiliki tiga orang anak yang dapat kita dikenal berdasarkan tempat
kekuasaanya(kendalinya), dimana ketiga anak Dibata itu, yakni: datas(atas) yang dilambangkan dengan pagé(padi: buahnya diatas), tengah(tengah) dilambangkan dengan jong/jaung(jagung:
buahnya ditengah), dan teruh(bawah)
yang dilambangan dengan gadong(ubi:
buahnya dibawah). lihat
disini <= serta bégu-bégu(roh-roh,
mungkin yang dimaksud dewa-dewa) lainnya, dan yang paling dekat dengan kehidupan
masyarakat tradisional Karo adalah bégu
jabu(roh nenek moyang/keluarga).
Dalam perakteknya dimasa
sekarang ini, berkaitan halnya dengan agama yang diakui oleh negara, kepercayaan
pemena dimasukkan dalam kelompok Hindu. Hal ini
bukan hanya dikarenakan kepercayaan pemena tersebut adalah suatu
kepercayaan tradisional yang melakukan ritual penyembahan kepada dewa-dewa yang
mirip dengan kepercayaan Hindu, namun, ini memiliki faktor historis yang telah
berlangsung lama, juga berkaitan dengan geneologis.
Diyakini, Hindu sudah masuk
ke Karo(Aru/Haru) di awal-awal tahun Masehi(dan dipercaya aksara Palawa mulai
diperkenalkan. Lihat Tulisen Karo<=)
dan mereka merupakan penganut dari ajaran Senata
Dharma. Hal ini didukung dengan ditemukannya sebuah inskripsi pada
batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian Utara),
yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts pada
tahun 1879. Tulisan tersebut di tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras diterjemahkan.
Maka, diketahuilah bahwa pada tahun 1080, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai
Singkil ada permukiman pedagang dari India
Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut
tafsiran membawa pegawai dan
penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang. Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di
Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham,
Malaylam, dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun 1128-1285 karen terdesak oleh
misi dagang dan siar Islam yang dilakukan prajurit dan pedagang dari Arab serta
Turki(ada beberapa ahli juga berpendapat, jikalau mere sebenarnya terdesak oleh sedadu Jawa,
Minang, ataupun Aceh) maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo
di (Kabupaten Aceh Tenggara,) dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang
menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo kemudian
berbaur dengan Proto Karo(Karo Tua).
Maka, kita dapat berasumsi bahwa Bangsa Tamil-lah yang
sudah berbiak dan ber-merga di Karo
itulah menjadi motor penggerak dari kepercayaan Pemena dikemudian hari dan bukan tidak mungkinPemenadi Karo sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India, karena jika
ditinjau dari segi bahasa, "Pemena = pertama,
awal, dasar. bandingkan dengan ''Senata
Dharma yang juga berarti kepercayaan(agama) pertama. Jadi, dari segi kata mungkin kita
sepakat, bukan? Selain itu, tidak jarang dalam mangmang/tabas(mantra/doa) Karo banyak ditemukan bahasa-bahasa asing, terutama yang diambil dari bahasa Arab dan Sansekerta. Dialek cakap(bahasa)
Karo sendiri, sangatlah memiliki kemiripan dengan dialek-dialek
masyarakat di Selatan India, khususnya untuk dialek Karo Gugung(gunung, dataran tinggi). Namun, tidak cukup ditinjau dari segi bahasa saja! Ada beberapa
tradisi pemena yang sama dengan Senata Dharma ataupun masyarakat di Selatan India, diantaranya: upacara Pakuwaluh(membakar dan menghanyutkan abu
jenazah) yang dilakukan di Lau Biang(Lau:
sungai, biang: anjing) dengan dimasukkan dalam sebuah guci diatas perahu dengan
panjang sampan sekitar satu meter. Mengapa dilakukan di Lau Biang? Dalam tafsiran
masyarakat dahulu, Lau Biang yang perpanjanganya adalah Sungai Wampu di Langkat mengalir ke Selat Malaka, dan dari sana dengan
tuntunan roh-roh(dewa/i) akan mengalir ke Samudra Hindia dan selanjutnya akan sampai di
Sungai Gangga di India.Bukan
itu saja! Banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di
Selatan India, antara lain: masyarakat
Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan
mangmang/tabas(mantra/doa) dengan cara ngerengget seperti para pendeta Hindu
melantunkan mantra; mbesur-besuri, nengget, mbaba anak ku lau, erpangir,
ergunting, erkiker(memotong gigi lalu menghitaminya), teraka(seni merajah diri, khususnya bagi anak-anak dan kaum wanita),dll. Dan, dahulu wanita-wanita di Karo
juga suka membuat titik merah dikeningnya seperti halnya yang dilakukan
wanita-wanita di India(sekarang juga bagi pemeluk kepercayaan pemena).
Dalam hal seni,
beberapa tafsiran juga muncul, diantaranya rengget Karo yang hampir sama dengan
cara orang India untuk melantuntak mantra, suara sarune yang tinggi di Karo yang
endekna(cara permainannya) sama seperti
teknik vokal wanita di India, dan mempu mengambarkan motif vokal wanita India, serta beberapa perkusi Karo yang serupa dengan
yang ada di India. Dan, secara geneologis, hubungan Karo - India ini mendapat konfirmasi dari turi-turin(cerita lisan asal-usul) dari beberapa sub-merga Sembiring, seperti: Sembiring Meliala, Pandia, Brahmana, Colia, Muham, Keling, dll.
Dikemudian hari,
hubungan Karo dengan daratan India terputus. Hal ini mengingat jarak antara
Sumatera dengan daratan India yang jauh, ditambah lagi dengan gencarnya
ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh pedagang Islam baik dari Arab maupun Turki yang mendapat
dukungan penuh dari penguasa-penguasa(Sultan) di pesisir pantai Sumatera. Namun, di
abad ke-16(?), hubungan kembali terjalin, hal ini ditunjukkan dengan kedatangan
seorang resi Magidan yang adalah seorang Brahmana yang menemui bekas muridnya
di India yang seorang dari kaum kesatria Meliala(lihat Silsilah Berahmana) di
Tanah Karo yang kemudian menetab di Telun Kaban. Atas bantuan muridnya dan penguasa setempat yang juga menjadi kalimbubu-nya setelah menikahi putri sibayak tersebut, Magidan kemudian mengembangkan Maharesi Brgu Sekte Ciwi(salah satu
ajaran Hindu) di Tanah Karo. Dan setelah itu sepertinya hubungan Karo – India
kembali terputus hal ini mungkin karena mereka(Kaum Pemena) kembali mulai
tersisihkan oleh gencarnya Missi Injil Kristen dan Siar Islam di Tanah Karo setelah kedatangan VOC di wilayah-wilayah Karo.
Hingga di tahun 1950-n saat dimana lembaga-lembaga keagamaan di Indonesi gencar
menjaring jemaat, barulah Tanah Karo mendapat perhatian kembali oleh
kelemnbagaan Hindu hingga di tahun 1977 terbentuklan Prisadha Hindu Dharma di
Kabupaten Tanah Karo.
Itulah secuil cerita
hubungan antara Karo dan India yang akan tetap abadi selama para keturunan yang telah ber-merga itu meyakini tadisinya turi-turin asal-suaulnya dan kepercayaan Pemena(Hindu) masih
bertumbuh di Tanah Karo. Bujur ras mejuah-juah kita kerina.
Berbicara
tentang bermain atau permainan dimasa kecil, ada sebuah permainan tradisional yang sangat
saya sukai dan selalu kami mainkan disore hari sebelum mandi sore, yakni:
bermain gundala-gundalaataupun
sering juga disebut manuk sigurda-gurdi.
Permainan
gungdala-gundala ataupun manuk sigurda-gurdi merupakan permainan rakyat
asli asal Karo, yang berbentuk lakon seperti sebuah seni pertunjukan drama dan tari, dimana
permainan ini dimainan oleh beberapa orang yang memerankan beberapa tokoh,
diantaranya: sebagai sibayak(raja,
gelar bangsawan Karo), kemberahen(permainsuri),
putri raja, puanglima(panglima), para kesatria(prajurit),juak-juak(pelayan dan dayang-dayang), hewan(khususnya kerbau),
petani, dan yang terpenting adalah pemeran manuk sigurda-gurdi serta peran
pembantu lainnya.
Dan,
masih melekat dibenak saya saat memainkannya, kami sering bermain ini di halaman
rumah, di ladang, ataupun di perkebunan(kebetulan saya tinggal di daerah PTPN
II dan IX); serta kostum yang kami kenakan kami buat sendiri, dimana: topeng dan
pedang-nya kami buat dari pelepah pisang, mahkota rajanya dan pakaiannya dari
daun kopi, daun kemiri, ataupun daun kelapa sawit; dan gendang(musiknya) dari bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh kaleng, bambu, dan tempurung kelapa.
Sangat sederhana dan sedikit primitive namun asik dan saya sarankan Anda untuk mencobanya!
Hehehe… ;-)
Permainan
gundala-gundala ini diadopsi dari
salah satu seni tari topeng pada masyarakat Karo. Selain sebagai seni
pertunjukan, gundala-gundala ini juga
merupakan sebuah tradisi ndilo udan(memanggil
hujan) jika terjadi kemarau panjang di beberapa
wilayah Karo ini dikenal dengan tembut-tembut
Seberaya(karena berasal dari desa Seberaya). Dalam pertunjukannya,
gundala-gundala ini selalu membawakan sebuah kisah, dimana satu kisah yang
sangat popular dalam pertunjukan gundala-gundala ini, yakni cerita “Manuk
Sigurda-gurdi”. Cerita ini juga di beberapa wilayah memiliki versi yang
bervariasi namun alur ceritanya tetap dipertahankan seperti aslinya.
Diceritakan(Manuk
Sigurda-gurdi), di satu wilayah di Taneh Karo ada sebuah negeri yang dipinpin
oleh seorang raja yang bergelar Sibayak(raja, gelar bangsawan Karo, iibesar,
sikaya) dengan kemberahen(permainsuri),
serta putri tunggalnya yang cantik jelita yang menikah dengan seorang pegawai
kerajaan yang setia dan perkasa, serta sakti mandraguna. Setelah menikahi sang putri,
si pegawai istana tersebut kemudian diangkat menjadi kepala pengawal kerajaan
serta dikemudian hari ia menjadi puanglima(panglima)
tertinggi di kerajaan tersebut.
Disatu
hari, sang raja mengajak kepala pengawal istana yang juga kela-nya(menantu laki-laki-nya) untuk berburu ke sebuah hutan, di
perjalanan mereka dikejutkan oleh seekor manuk
sigurda-gurdi(burung raksasa) yang membuat raja serta rombungannya terkejut
dan sedikit takut. Namun, si burung raksasa tersebut bukannya menyerang, akan
tetapi menyapa sang raja dengan kesantunan dan penuh hormat. Melihat ini, sang
raja menaruh simpati kepada si gurda-gurdi
dan mengajaknya untuk tigal bersamanya di istananya, si burung raksasa pun
dengan senang hati menerima maksud baik sang raja.
Setelah
manuk sigurda-gurdi tinggal di istana,
situasi istana berubah seketika menjadi ramai. Sifat rendah hati, santun, dan
keramahan manuk sigurda-gurdi menaruh simpati banyak pihak terutama sang putri yang
sangat terhibur dengan keberadaan manuk sigurda-gurdi di sampingnya. Saat sang raja dan para prajuritnya keluar istana,
manuk sigurda-gurdi memegang peranan yang sangat penting, bukan saja menghibur namun
juga melindungi seluruh keluarga kerajaan karena selain santun dan baik hati,
manuk sigurda-gurdi juga ahli dalam ilmu mayan/ndikar(tarung).
Suatu
hari, ketika keluarga istana sedang asik bercanda dengan manuk sigurda-gurdi,
tanpa sengaja sang putri menyentuh paruh gurda-gurdi
dan seketia gurda-gurdi menjadi berang dan mengamuk membuat seluruh istana panik.
Dia memporak-porandaan semua yang ada disekitarnya, yang membuat sang raja
memerintahkan kepala pengawal untu menghadang perbuatannya. Maka terjadilah
pertarungan yang sengit hingga berhari-hari antara manuk sigurda-gurdi dengan
kepala pengawal kerajaan. Melihat
pertarungan yang tiada henti-henti, maka sang raja memerintahkan para kesatrianya
untuk membantu sang menantu dengan cara menyalurkan energi kepada sang kepala
pengawal kerajaan dari jarak jauh. Pertarungan semakin sengit, namun akhirnya
manuk sigurda-gurdi kewalahan mengahdapi kepala pengawal kerajaan yang dibantu
oleh para kesatria kerajaan dan manuk sigurda-gurdi pun kalah karena terkena
pukulan dan terpental ke tanah.
Cerita ini juga mengingatkan kita, tentang
kisah perjalanan merga Tarigansaat
dimintai bantuanya oleh seorang raja di Tongging untuk mengalahkan seekor
burung raksasa(manuk sigurda-gurdi) yang suka memangsa gadis-gadis perawan
diwilayah itu.
Banyak
versi dari cerita ini, namun dalam setiap pertunjukan atau sekedar permainan,
alur cerita ini masih dipertahankan keasliannya. Bagaimana, apa Anda tertarik memainkannya? Hehehe.... Bujur ras mejuah-juah kita kerina!
Pur-pur Sagé adalah metode atau cara perdamaian ala masyarakat Karo, sering
juga dikatakan sebagai salah satu upacara adat Karo. Dikatakan upacara adat,
karena segala rentetan aktifitas dalam prosesi pelaksanaan pur-pur sagé
ini telah(diatur) secara adat-istiadat Karo, sehingga disebut upacara adat
perdamaian.
Pur-pur Sagé sendiri, perlu dilakukan apabila ada pihak yang bertikai atau
berselisih paham, baik orang perorang dalam satu keluarga atau dengan lainnya,
ataupun antar keluarga, kelompok(organisasi), kesain ataupun kuta(daerah),
maupun negara(kenjurun/urung ataupun kesebayaken), yang dimana
pertikaian itu telah berlangsung cukup lama dan mengganggu ketenangan baik
fisik, pikiran, hati, maupun roh-roh leluhur dan belum ditemukan kata sepakat
untuk berdamai. Sehingga, dalam satu pemikiran dianggap perlu dilakukan
musyawarah perdamaian agar situasi ini dapat kembali membaik dan jika telah ada
kata sepakat maka dilaksanakanlah pur-pur sagé sebagai suatu pertanda jalan
damai telah ditemukan serta dikukuhkan dalam satu upacara adat yang sakral. bersambung
Dari dua kalimat yang diapit tanda petik dua diatas, adalah merupakan kalimat
pernyataan yang menunjukkan atau mengarah kepada ke-bendaan(“rumah” dan
“pensil”) yang masing-masing dimiliki oleh “Malem” dan “Joni”. Maka, jika dikatakan
“Ini(itu) tulisen(aksara)
Karo!” tentunya juga menunjukan benda yang kepemilikan atau
dimiliki oleh Karo(milik etnis Karo)!
Tulisen(aksara)
Karo, merupakan salah satu tulisan(aksara) kuno yang ada di nusantara
Tulisen(aksara) karo, adalah kumpulan tanda-tanda atau
karakter(simbol-simbol) utuk menyatakan sesuatu yang pemakaiannya dimengerti
dan disepakati, yakni: oleh masyarakat penggunanya, yaitu: masyarakat Karo itu
sendiri. Tulisen Karo merupakan milik dari masyarakat(etnis) Karo atau
dengan kata lain, tulisen yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat(etnis) Karo
serta tersebar luas, dipergunakan, dan diajarkan(awalnya dengan bahasa
pengantar cakap Karo) di ruang lingkup Karo yang dulunya meliputi pesisir timur
di Sumatera(Oostkust van Sumatera) bagian utara dan dataran tinggi
Karo yang terbentang luas diatas pegunungan Bukit Barisan. Lihat tabel Tulisen
Karo berikut! bersambung...
Jika ditinjau dari segi bahasa, seninadisusun dari dua suku kata: se dan nina.
Dimana, seyang berarti : yang, sama, satu; dan nina:
kata[-nya] ataupun pendapat[-nya]. Jadi, senina: yang [memiliki-] satu
pendapat(sependapat, sepaham, seia sekata). Dalam buku “Adat Karo Sirulo”,
Malem Ukur Ginting mengemukakan bahwa, senina ialah “orang-orang
yang satu merga namun lain cabang(sub-merga) dengan kita.”
Dalam pengertian sehari-hari, senina mengandung
artian: persaudaraan(kekerabatan) yang sama(secara gender), misalkan: laki-laki
dengan laki-laki; ataupun perempuan dengan perempuan, karena, jika
berbeda(perempuan dengan laki-laki) bukan senina, melainkan [er-]turang!
Namun, yang lebih menjadi penekanan disini adalah, adanya suatu kesamaan atau
kesepahaman.bersambung...
Pada dasarnya, masyarakat tradisional Karo adalah masyarakat
yang agraris. Agraris dalam artian, hampir segala aktifitasnya berkaitan
dengan kehidupan alam dan pertanian (mata pencarian mayoritas masyarakat Karo
adalah bertani), sehingga untuk mencapai kesejahtraannya dibutuhkan keuletan
dalam mengelola tanah sebagai media dasar dalam kegiatan bertani.
Dalam perjalanannya sebagai masyarakat yang agraris, untuk memaksimalkan hasil dari
pengolahan tanah (bertani) yang dilakukan, maka masyarakat Karo bukan
hanya(telah) mampu menciptakan alat-alat pertanian(alat pertanian tradisional)
untuk mengolah tanah, namun juga dalam hal pemberdayaan bibit unggul, pemilihan
jenis tanaman, dan perawatan tanaman, tetapi juga telah mampu telah melakukan
prediksi tanam (kapan saat menanam dan kapan saat menuai yang tepat/cocok) agar
mencapai hasil yang maksimal.bersambung...
Di sebuah tempat pusat pembuangan
sampah kota di pinggiran kota, lahirlah seekor anak kucing yang sangat cantik
dan munggil. Rupa yang cantik dan mungil membuatnya disukai oleh hewan-hewan
ditempatnya. Namun, anugrah kecantikan yang diterima bukan membuatnya
mensyukuri apa yang diberikan kepadanya, malah membuat si anak kucing itu
menjadi angkuh dan sombong, bahkan rupa yang cantik membuat dia malu mengakui
induknya yang memiliki rupa hitam dan tampak kumuh
tidak seperti dirinya yang cantik dan berkilau. Tapi, walaupun demikian
induknya tetap sayang dan melindunginya dengan penuh kasih dan ketulusan. bersambung...
Tulisen(aksara)
Karo merupakan salah satu aksara(tulisan) kuno yang ada di
nusantara, yang tumbuh – berkembangnya, serta dipergunakan secara meluas di
wilayah-wilayah Karo, yang meliputi daerah Pesisir Pantai Timur Pulau
Sumatera di bagian Utara dan Tengah, serta dataran tinggi bukit barisan di
utara pulau Sumatera(pegunungan Karo).
Tulisen(aksara)
Karo, diklasifikasikan dalam golongan abugida, yang dimana setiap
bunyi dapat dilambangkan secara mutlak(akurat/pasti), yang terdiri dari indung
surat(huruf induk/huruf utama yang jumlahnya 21 surat) merupakan
pelambangan dari konsonan walau dalam pengejaanya selalu diikuti oleh
bunyi “a”, kecuali pada dua indung surat, yakni: “i” dan “u”. Seperti halnya abugida
lainnya, selain indung surat sebagai karakter huruf utama, dalam
tulisen(aksara) Karo juga ada anak surat yang berfungsi sebagai diakritik.
bersambung...
Jika kita berbicara tentang
Brahmana, mungkin langsung yang terpikir di benak kita adalah salah satu dari
empat kasta dalam agama Hindu(Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta:
वर्ण; varṇa). Akar kata Warna yang
berasal dari bahasa Sansekerta berarti "memilih (sebuah kelompok)".
Dalam ajaran agama Hindu. Adapun empat kasta dalam ajaran agama Hindu: Sudra (budak), Waisya (pedagang), Kesatria(pemerntahan), danBrahmana (rohaniawan)). Namun, yang ingin saya bahas kali ini bukanlah
Brāhmana(golongan rohaniawan atau sering disebut Brahmin atau Sarma) yang ada dalam agama
Hindu, melainkan Brahmana yang ada dalam salah satu dari sub-merga Sembiring
dari Merga Silima(1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan,
4. Sembiring, dan 5. Peranginangin) dalam masyarakat Karo. bersambung...
Siapa yang tidak mengenal 4shared.com
(https://www.4shared.com/), merupakan
salah satu situs penyimpana dan berbagi file online yang menyediakan ruang
penyimpanan secara geratis hingga 4GB. Namun, belakangan ini 4shared.com sangan
marak menjadi perbincangan lantaran, untuk men-download file yang tersimpan
kita harus melakukan regristrasi ataupun login. Hal ini tak jarang membuat para
pengunduh sedikit kesal karena merasa direpotkan.
Namun jangan khawatir… sumua
pasti ada jalan keluarnya yang pintas! Berikut saya mau berbagi cara
mendownload file yang ada di 4shared.com dan (mungkin untuk beberapa
teman-teman ini bukan hal yang baru)tampa harus regristrasi ataupun login.
Cukup mudah dan tidak merepotkan, caranya:
Pertama tentukan file yang
ingin diambil. Anda bisa mencarinya(mencari link-nya) lewat google ataupun
kotak pencarian di 4shared.com. bersambung...
Begu(roh)
Dibata Simada Kuasa(Tuhan Yang Maha Kuasa) Sinepa Langit Ras Doni(Khalik
Smesta Alam) terbang melayang-layang mengarungi alam semesta yang baru saja
dijadikanNya. DilihatNya ada yang kurang dan itu tidaklah sempurna jikalau
tiada yang mendiami serta merawatnya, maka terpikirlah olehNya untuk
menciptakan mahluk yang akan mendiami karya ciptaanNya itu. DijadikanNya-lah suan-suanen(tumbuhan),
rubia-rubia(hewan), serta jelma(manusia), bahkan begu
(roh) untuk mendiami ciptaanya itu. bersambung...
Gregorius S. Meliala. Itulah namaku, keren-kan?
He-he-he. Aku seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di kota Medan,
hingga karena sesuatu hal aku harus angkat kaki dari kampus. Kepada kedua
orang tuaku, aku selalu beralasan kalau otakku tidak sanggup mengikuti setiap
mata kuliah di kampus. Itulah alasan yang selalu aku lontarkan jika mereka
bertanya mengapa aku sampai keluar dari kampus. Mereka tidak pernah percaya
dengan alasanku itu, akan tetapi sebagai orang tua yang baik, mereka
menyarankanku untuk mengambil kuliah di lain tempat, atau setidaknya mengikuti
pelatihan-pelatihan keterampilan untuk masa depanku nantinya. Cetus orang
tuaku. Aku selalu mengelak dengan mengatakan itu tidak perlu, namun
mereka dengan sabar terus memberikan dorongan kepadaku. Ya, itu wajar pikirku.
Sebagai orang tua tentunya mereka tidak ingin anaknya nantinya susah dalam
menjalani hidup. Hingga akhirnya aku bersedia mengikuti nasehat mereka dan
melanjutkan kuliahku di salah satu perguruan tinggi swasta yang masih berada di
sekitar kota Medan juga. bersambung...
I bas karaben wari paksa surutna
matawari, ngalo-ngalo rehna berngi, paksa si juma nari mulih ku rumah. Terbegi
me sora tangis teriluh arah jabu Ginting Manik Mergana, em kapken beru
Sembiring Kembaren anak singuda tangis teriluh erdire-dire natap-natap
perbulangenna Ginting Manik Mergana sienggo lawes nadingken ia.
Tading me beru Sembiring Kembaren e ras
Ginting Mergana si waluh bulan denga tubuh ku doni.
Tande warina, tangis ngandung la
erngadi-ngadi piah ‘nggo sampur iluh i mata natap anak Ginting Mergana
beberekel Kembaren si tading melumang. Tapi ibas paksa si e, anak kuta sini i
arak-arak guru mbelin Karo-karo Karosekali Mergana reh ngadap ku jabu Ginting
Mergana, mindo gelahna tinusur Ginting Mergana e i tangkuhken jadi Pengulu i
tengah-tengah rakyat sirulo kuta Simalem aminna langabo dem umurna. Tapi bagi
semalna, tinusur pengulu e secara turun-temurun mangku jabaten pengulu i bas
kuta e.bersambung...
“Apa tidak ada lagi kata-kata bijak nande ras bapadu (bapak) anakku, yang
mengena di hati yang dapat meluluhkan hatidu itu, anakku? Sekeras itukah
hatindu, maka tidak kam (Anda, kamu, engkau) hiraukan lagi pinta nandedu ini
dan bibidu? Oh, anakku buah baraku (jantung hatiku), kelengkengkel ateku (yang
ku sayangi)!” sambil terseduh-seduh menghusap air matanya.
“Maafkan anak’du (du = mu; anakdu : anakmu) o, Nd (nande) br Tambarmalem!
(sebutan/sapaan lazin untuk Merga/beru Perangin-angin) Bukan maksudku untuk
nyimbak (melawan, menentang) katadu o, nande! Tetapi, cintaku kepada Sembiring
Mergana yang sudah terlalu dalam oh, nandeku!” sambil menangis meneteskan air
matanya dan memeluk ibunya. bersambung...
Di suatu
sing, di kuta Até Keleng, urung Simalem Jahé(hilir), kesebayaken(kerajaan,
negeri) Simalem, Taneh Karo; saat teriknya matahari dimana para petani yang
bekerja di kebun menyempatkan keadaan tersebut untuk beristirahat sejenak
menghilangkan letih dan penatnya setelah sejak pagi bekerja.
Adalah Bapa(bp=bapa,
bapak, ayah) Mayang yang merupakan seorang warga di kuta Ate Keleng tersebut
dan juga merupakan seorang anggota perpulungen(perkumpulan,
komunitas) Kristen di kuta(desa, koloni, kesatuan dari beberapa
kesain) itu tampak sedang asik ngerengget(bernyani ala
Karo(cengkok Karo), seperti seriosa ala Karo) di pantar-pantar(teras)
sapo-nya(gubuk, rumah, kediaman, tempat tinggal) dan sesekali
juga tampak meniup surdam-nya(sej. Alat musik tiup tradisional
Karo yang terbuat dari batang bambu). bersambung...
Konon di sebuah desa terpencil di Tanah Karo Simalem, lahirlah seorang anak
yang dimana hari kelahirannya tersebut menurut penanggalan Karo pada hari nunda,
hari yang dipercaya merupakan hari kesialan yang dapat membawa petaka bagi
kedua orangtuan-nya, keluarga, bahkan sekitarnya.
Tidak berselang lama,
hal itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai permulaanya, sang ibu meninggal
dunia empat hari setelah melahirkannya, dan pada saat dia berusia delapan hari,
menyusul sang ayah yang pergi meninggalkannya untuk selamanya. Tinggal-lah kini
bayi sebatang kara tanpa kedua orangtua-nya!