Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Thursday, May 31, 2012

    Murbab Karo


    "Murbab" alat musik Karo ber-dawai. Sumber: Google Search.
    "Murbab" adalah salah satu instrumen(alat) musik tradisional Karo, yang adalah merupakan alat musik  dalam kategori instrumen ber-dawai. Murbab merupakan satu-satunya alat musik tradisional Karo yang dimainkan dengan cara menggesek. Dan dulunya, murbab ini dipermainkan secara solo(tunggal) ataupun juga ansambel dalam posisi sebagai melodi.  

    Dimasa kolonial hingga zaman kemerdekaan, alat musik murbab ini sering digunakan dalam kelompok-kelompok ronggeng Karo-Melayu di kawasan Karo Jahé(Dusun Deli/Deli-Serdang), namun seiring dengan perkembangan zaman dan gemerlap dunia hiburan yang notabene-nya menawarkan warna-warna baru dalam dunia musik nusantara, maka perlahan instrumen musik tradisional ditinggalkan begitu juga dengan murbab ini, dan bahkan bisa dikatakan telah punah.

    Saya sedikit beruntung karena pernah melihat dan mendengarkan murbab ini secara langsung, dimana Nini Bulang(kakek) saya yang merupakan seorang guru dan pemimpin salah satu kelompok ronggeng Karo-Melayu(Sada Perarih - Senembah) di kawasan Urung Senembah, dulunya sering memainkan alat ini hingga akhirnya diganti dengan violin(biola); dan bahkan grup ronggeng yang dimotorinya juga bubar dan hal ini tentunya juga turut serta dalam proses punahnya beberapa alat musik tradisional Karo-Melayu Deli khususnya murbab ini.   

    Saturday, May 26, 2012

    Pentingnya Membagun Logika Berfikir dalam Menyingkap Fakta Sejarah


    Pilu rasanya mendengar seorang pahlawan yang dengan gigih dan berani memperjuangkan bangsanya namun dikemudian hari di-cap sebagai seorang penghianat oleh generasi penerusnya yang sebelum itu diperjuangkan nasibnya. Itulah yang dialami oleh beberapa pejuang di negeri ini, sebuat saja Presiden Pertama RI,  Ir. Soekarno yang sempat namanya tercemar(dicemarkan) dimasa Orde Baru, tetapi syukurlah sekarang sudah di-rehabilitasi(dibersihkan) kembali. Bukan itu saja, banyak pejuang-pejuang di repoblik ini yang bukan hanya tidak memperoleh haknya sebagai seorang pejuang(pahlawan), akan tetapi malah di-cap penghianat. Ulung Sitepu (Pa Timur), adalah salah seorang yang pernah memimpin Sumatera Utara, tepatnya Gubernur ke-delapan Sumut (15 Juli 1963 – 16 November 1965) dengan wakilnya saat itu P. R. Talaumbanua (16 November 1965 – 31 Maret 1967) yang dikemudian hari diangkat menggantikannya. Beliau yang memulai karirnya dari dunia militer hingga puncak karirnya sampai pada posisi Gubernur Sumatera Utara dengan pangkat terakhir di militer Brigadir Jenderal(Brigjen), hingga meletusnya G30 S/PKI yang membuatnya jatuh dan harus menelan pil pahit sebagai tawanan politik tanpa proses peradilan dan tuduhan yang tidak jelas dan tidak seorangpun hingga saat ini di dunia ini dapat membuktikannya hingga ajal menjempunya di dalam penjara.
    Sejak kecil, Nini Bulang(kakek) saya selalu menceritakan kisah-kisah keberanian para pejuang kepada saya, dan menceritakan sosok-sosok pejuang itu dari banyak sudut-pandang. Saya sadar hal ini beliau lakukan agar logika berfikir saya terbangun dan tidak hanya menerima opini-opini publik yang digiring oleh sebuah kepentingan untuk menjatuhkan ataupun memuliakan seorang tokoh atau kaum(kelompok). Dan, hal ini jugalah yang kemudian hari mempengaruhi pola pikir saya tentang memandang atau menilai suatu hal dengan lebih teliti dan tidak terburu-buru menerima begitu saja.
    Kaitannya dengan problematika etnisitas di Sumatera bagian tengah dan utara, ini merupakan ruang-ruang etnisitas yang sangat rumit untuk menentukan batas-batas dari kegiata etnisitas masa lampau, atau para ahli sering menyebutnya ruang-ruang jejaringan yang hilang! Jeraringan yang hilang menurut hemat saya dalam artian akibat dari kuatnya opini publik yang mendukung satu teori yang dianggap mutlak walau dalam sisi logika, tradisi(cerita rakyat dan mistis), serta fakta tidaklah kuat atau bahkan jauh dari kenyataan. Opini yang digiring oleh banyak kepentingan ini yang pada akhirnya merupakan potensi terbesar dalam pengkaburan suatu kejadian bahkan hingga ke identitas.
    Dan, mungkin dalam hal ini, isu yang paling krusial tentang identitas etnisitas di Sumatera bagian utara dan tengah, adalah tentang mempertanyakan posisi Karo didalam rumpun Batak, atau para patriot pejuang identitas ini dengan gamblang mengatakan “Karo Bukan Batak!”. Menyikapi hal ini, hendaknya kita jangan bersikap pragmatis ataupun menerima begitu saja segala vonis yang diberikan kepada sekelompok etnis itu dengan mudahnya, karena itu sungguh-sunguh sangat kejam dan menyakitkan. Itulah sebab maka saya mengatakan pentingnya membangun logika berfikir dalam menyingkap fakta sejarah”. Namu, cukupkah hanya logika? Ya, tentu tidak! Untuk mencapai sebuah kebenaran yang ril, kita harus memperhitungkan juga beberapa aspek yang terangkum dalam dimensi ruang dan waktu, yang meliputi: logika, tradisi(cerita rakyat dan mitologi), gentik(sifat baik yang tampak atau tidak), geografis, ekonomo, dan teritorial.
    Kembali kepada apa yang dilakukan oleh pejuang identitas ini(Karo Bukan Batak), mungkin saya tidak usah lagi membuka satu-per satu secara konkrit tentang apa yang yang ingin saya kemukakan, karena pada dasarnya saya bukanlah seorang yang suka menggiring opini publik demi mencapai tujuan tertentu dan karena hal ini sudah menjadi suatu cerita umun di masyarakat, namun ntinya, saya ingin menekankan “pentingnya membangun logika berfikir dalam menyingkap fakta sejarah!”.
    Tetapi, berikut ini saya ingin membagikan beberapa kata kunci yang mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan pembaca, seperti:
    ·         Antara Haru (Karo kuno), Majapahit,  Sriwijaya, Padang Lawas, Pane dengan kisah Si Raja Batak.
    ·         Tradisi Merga Silima(merga Karo) beserta cabang(sub-)merga dengan Silsilah Terombo Marga Batak, Sejarah Suku Bangsa Mandailing, Sejarah suku bangsa Simalungun, serta legenda Danau Toba dalam versi Karo, Toba, dan etnis lainnya.
    ·         Sejarah Zending Hindu di Sumatera khususnya di bagian utara dan tengah
    ·         Cakap(bahasa) Karo dengan bahasa Toba(atau batak lainnya), benarkah hanya dialek saja yang berbeda?
    ·         Antara agama Pemena dan Parmalin
    ·         Warna nasional Karo dan Batak serta kebiasaan dan peralatan hidup lainnya.
    ·         Zending Kristen (RMG dan NZG)
    ·         Pandangan ahli-ahli antropologi, etimologi, sastra, agama, dan budaya tentang satuan Batak.
    ·         Asal mula kata Batak!
    ·         Pandangan seorang Karo Sirulo (Karo Murni) tentang dirinya dan kaumnya 

     dll...
                Beberapa kata kunci diatas dapat Anda pertimbangkan, dan sengaja saya tidak mengulasnya agar Anda-lah yang mencari dan membangun opini sendiri, buka atas pemikiran atau pendapat saya. Hehehe… Namun, saya berharap Anda membuka hati, pikiran, naluri, dan logika berfikir dengan memperhitungkan dimensi ruang dan waktu yang melingkupi: logika, tradisi, dan fakta! Trimakasih dan semoga berhasil. ;-)


    Friday, May 25, 2012

    Legenda Danau Toba dan Tarigan Mergana (Si Raja Umang)

    Danau Toba tampak dalam peta
    Danau Toba tanpak dalam peta.


    Danau Toba(Lake Toba) adalah danau  terbesar di Indonesia, Asia Tenggara, bahkan di Asia yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, berjarak sekitar 176 km dari Kota Medan, dan dengan Pulau Samosir ditengahnya dengan luas sekitar 167 km2  dan merupakan objek wisata andalan dari provinsi tersebut. Adapun luas keseluruhan Danau Toba diperkirakan sekitar 3.000 km2 yang sebagian besar terletak di Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba Samosir, Humbang Hasudutan, dan Kabupaten KaroDanau ini sendiri terletak pada garis lintang dan garis bujur antara 98030’ BT; 3005’ LS serta 99020’ BT; 2040 LS dengan ketinggian 904 meter di atas permukaan laut(dpl), serta kedalaman maksimal danau mencapai 505 meter.

    Berikut legenda-legenda yang terkait dengan Danau Toba yang pastinya menambah keunikan dari danau yang dipercaya merupakan hasil letusan vulkanik yang diperkirakan terjadi sekitar 75.000 tahun lampau.

    Legenda Danau Toba

    Disebuah deleng api (gunung api) di Selatan Taneh Karo, berdiamlah sekelompok masyarakat yang terisolasi dengan dunia luar, dimana mereka hidup dengan cara berburu dan tinggal di gua-gua yang banyak ditemui di kaki gunung. Oleh masyarakat lainnya kaum ini disebut dengan bangsa umang(dalam cakap Karo: umang dipakai untuk menunjuk orang-orang diluar mereka yang masih primitive, pemakan kerang dan daging mentah, dan tiggal di gua-gua) ataupun Tarigan Umang(umang Tarigan).

    Mejuah-juah Danau Toba
    Danau Toba tampak dari Kabupaten Karo
    Suatu ketika istri Si Tarigan(Si Raja Umang) yang kala itu sedang mengandung mengalami pendarahan yang sangat banyak sekali saat hendak melahirkan anaknya. Karena merasa sangat kesakitan sekali saat proses persalinan, maka tak pelak teriakan demi teriakan yang keras keluar dari mulut kemberahen(ratu, istri) Si Raja Umang yang membuat gunung api bergetar. Terus dan terus teriakan itu terdengar semakin lama semakin kerasnya hingga getaran(gempa bumi) dasyat pun terjadi yang mengakibatkan meletusnya gunung api dan membentuk sebuah lembah berbentuk kuali. Pendarahan yang sangat, tak henti-henti juga sejalan dengan teriakannya yang makin lama makin keras karena tidak sanggup menahan kesakitan, dimana darah yang keluar banyak itu mengalir mengisi lembah yang baru saja terbentuk oleh letusan gunung api, dan tiba-tiba darah yang keluar itu berubah menjadi kabut yang tebal dan kemudian mencair menjadi air memenuhi lembah yang baru terbentuk itu dan membanjiri daerah itu, dan terjadilah sebuah danau(danau Toba), sehingga membuat bangsa umang Tarigan harus mengungsi dari daerah itu ke beberapa daerah seperti : Purba Tua, Cingkes, Tong-tong Batu, serta daerah-daerah lainnya(kejadian ini mnggambarkan apa yang menjadi teori yang dipercayai oleh para ahli tentang terbentuknya Danau Toba, dimana menurut ahli, di – Kala Plaistosen (sekitar 700.000 tahun lalu) muncul tumor di Sumatera di sekitar Sumatera bagian tengah dan utara. Fenomena ini terjadi bersamaan denga aktivitas vulkanis dan tektonis yang dimana letusan-letusan gunung berapi melemparkan panas yang mengandung tufa bersifat riolit di sepanjang pegunungan timur laut sekitar daerah Pematangsiantar sampai sekitar 20 km dari pesisir, bahkan hingga 300 – 400 km dari pusat letusan. Diperkirakan aktifitas vulkanik melemparkan material sebanyak 2.000 km3 dan mengakibatkan runtuhnya bagian atas puncak gunung sehingga membentuk kuali hingga sekarang masih memiliki  pinggiran seperti benteng alam dengan ketinggian lebih dari 2. 000 meter diatas permukaan laut dan depresi ini kemudian diisi Danau Toba, dan kemudian mendorong munculnya Pulau Samosir serta beberapa gunung api seperti Deleng(gunung) Sibayak dan Deleng Sinabung di utara danau.).

    Dan, diceritakan setelah itu, tiga orang keturunan Tarigan itu sampai di Tengging saat dimana daerah itu sedang mengalami gejolak oleh serangan Manuk Sigurda-gurdi (Jelmaan/siluman burung raksasa) berkepala tujuh yang suka menculik anak-anak gadis di wilayah itu. Mendengar ketiga keturunan Tarigan itu telah berada di Tengging(Tongging), maka Pengulu Tengging, Ginting Manik Mergana meminta bantuan kepada ketiga Tarigan (Tarigan adalah salah satu merga dari Merga Silima/merga-merga Karo) itu untuk mengalahkan Manuk Sigurda-gurdi yang telah lama meresahkan penduduk Tengging. Maka, dengan ber-umpankan seorang gadis perawan ketiga Tarigan itu memancing Manuk Sigurda-gurdi agar keluar dari sarangnya. Saat Manuk Siguda-gurdi datang menghampiri umpannya dan henda menerkam si gadis, salah satu dari Tarigan-pun keluar dan langsung meng-eltep Manuk Sigurda-gurdi  (eltep =  sumpit beracun yang merupakan salah satu senjata Karo yang paling berbahaya yang dalam sejarah perang kemerdekaan juga sempat dipergunakan, salah satunya saat melindungi Wakil Presiden Moh. Hatta saat melakukan kunjungan ke Berastagi). Enam dari tujuh kepala terkena eltep-pan si Tarigan, namun satunya lagi dapat terhindar dari eltep-pan si Tarigan, dan Manuk Sigurda-gurdi mencoba berlari menyelamatkan diri dan bersembunyi. Si Tarigan kehilangan jejak dan sempat terkecoh, maka Tarigan yang lainnya dengan kemampuanya ertendong (telepati) berusaha menditeksi keberadaan Manuk Sigurda-gurdi, ternyata dia bersembunyi di balik dedaunan diatas pohn yang sangat besar dan dengan segera Si Tarigan lainnya-pun dengan kemampuannya yang cepat memanjat pohon segera melakukan serangan dan terjadilah pertarungan yang sengit antara Si Tarigan dan Manuk Sigurda-gurdi. Dengan bantuan Si Tarigan Pertendong  yang menyalurkan tenaga dalamnya dari jarak jaug maka Manuk Sigurda-gurdi dapat ditaklukkan dengan tebasan pisau Si Tarigan yang mengenai kepala Manuk Sigurda-gurdi (- cerita ini sebenarnya menggambarkan tentang kejadian dimasa lampau, dimana di wilayah-wilayah Karo sering terjadi peperangan antar urung begitu juga dengan banyaknya beredar para gerombolan perampok yang mengakibatkan penawanan serta penculikan).

     Mendengar berita kemenangan besar Si Tarigan dari Manuk Sigurda-gurdi membuat Pengulu Tengging,  Ginting Manik Mergana senang, dan atas rasa trimakasihnya dia menganugrahi kekuasaan di-beberapa wilayahnya dan juga memberi gelar kepada ketiga Tarigan dan keturunannya sesuai keahliannya, yakni: Tarigan Pengeltep(ahli menyumpit) yang kemudian dinikahkan dengan beru(putri, panggilan untuk kaum wanita Karo) Ginting Manik dan menjadi pengelana hingga ke Tong-tong Batu, sehingga diwilayah Sidikalang dan sekitarnya dikatakan panteken(pendirian, didirikan) dari(oleh) merga Tarigan(Gerneng/Gersang/Girsang), sedangkan Tarigan Pertendong (Ahli telepati) dan Tarigan Penangkih-nangkih (ahli memanjat) tinggal di Tongging serta keturunannya berkembang dan kemudian menjadi Purba, Sibero, dan Cingkes di Karo, dan beberapa generasi setelah itu, ada diantara mereka yang bermigrasi ke wilayah Tapanuli (Toba), dan Simalungun.

    Beberapa generasi kemudian diketahui, keturunan dari Tarigan Pengeltep yang di Tong-tong Batu juga bermigrasi ke Juhar, dan dikenal dengan Tarigan Sibayak(Sibayak = raja, gelar bangsawan Karo, Si Besar) dan Tarigan Jambur Lateng. Mereka, juga dikenal dari rurun(nama kecil, panggilan)-nya, yakni: untuk Tarigan Sibayak dipanggil Batu bagi anak laki-laki dan Pagit untuk anak perempuan. Sedangkan, untuk Tarigan Jambur Lateng adalah Lumbung untuk laki-laki dan Tarik untuk yang perempuan. Beberapa generasi kemudian datang pula Tarigan Rumah Jahé dengan nama rurun Kawas untuk yang laki-laki dan Dombat bagi yang perempuan.

    Itulah Legenda Terjadinya Danau Toba dan Si Tarigan (Si Raja Umang)menurut turi-turin (tradisi) leluhur Karo, yang mungkin jika ditelisik sangatlah memiliki keterkaitan dengan apa yang menjadi teori yang dipercayai oleh para ilmuan walau cara penyampaiannya berbeda. Hal ini menunjukkan bahwasanya, sejak dahulu peradaban masyarakat Karo itu sudah maju, sehingga cerita-cerita yang disampaikan-pun juga memiliki sudut pandang ilmiah untuk membangun logika berfikir, bukan hanya sekedar cerita yang menghibur.  Semoga cerita ini dapat member inspirasi kepada pembaca atau setidaknya member hiburan. Hehehe…. ;-)

    Mejuah-juah Danau Toba Simalem! 

    Monday, May 21, 2012

    Pemena dan Senata Dharma tali penghubung sejarah Karo-India.

    Pemena merupakan aliran kepercayaan yang ada pada masyarakat tradisional  Karo, ataupun bisa juga disebut agama asli dari masyarakat Karo. Pemena, merupakan kepercayaan yang menganut sistem politheisme dan dinanisme. Dikatakan politheisme, karena dalam ajaran dasar pemena, perwujudan Dibata(Tuhan) digambarkan dalam tiga wujud, yaitu:
    1.      Dibata Datas(Kaci-kaci)
    2.      Dibata Tengah(Banua Koling), dan
    3.      Dibata Teruh(Paduka Ni Aji)

               Sama halnya dengan apa yang kita temukan dalam ajaran Hindu(Senata Dharma) yang meyakini penjelmaan Dibata(Tuhan) juga dalam tiga wujud, yakni:

    1.       Brahmana(Pencipta Alam)
    2.      Waisya(Pemelihara Alam), dan
    3.       Syiwa(Perusak Alam)

    Dan, juga dikatakan kalau dalam kepercayaan Pemena, Dibata Simada Kuasa(Tuhan Yang Maha Esa); Sinepa Langit ras Doni(Khalik Semesta Alam) memiliki tiga orang anak yang dapat kita dikenal berdasarkan tempat kekuasaanya(kendalinya), dimana ketiga anak Dibata itu, yakni: datas(atas) yang dilambangkan dengan pagé(padi: buahnya diatas), tengah(tengah) dilambangkan dengan jong/jaung(jagung: buahnya ditengah), dan teruh(bawah) yang dilambangan dengan gadong(ubi: buahnya dibawah). lihat disini <= serta bégu-bégu(roh-roh, mungkin yang dimaksud dewa-dewa) lainnya, dan yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat tradisional Karo adalah bégu jabu(roh nenek moyang/keluarga).

    Dalam perakteknya dimasa sekarang ini, berkaitan halnya dengan agama yang diakui oleh negara, kepercayaan pemena dimasukkan dalam kelompok Hindu. Hal ini  bukan hanya dikarenakan kepercayaan pemena tersebut adalah suatu kepercayaan tradisional yang melakukan ritual penyembahan kepada dewa-dewa yang mirip dengan kepercayaan Hindu, namun, ini memiliki faktor historis yang telah berlangsung lama, juga berkaitan dengan geneologis.

     Diyakini, Hindu sudah masuk ke Karo(Aru/Haru) di awal-awal tahun Masehi(dan dipercaya aksara Palawa mulai diperkenalkan. Lihat Tulisen Karo<=) dan mereka merupakan penganut dari ajaran Senata Dharma. Hal ini didukung dengan ditemukannya sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian Utara), yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts pada tahun 1879. Tulisan tersebut di tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras diterjemahkan. Maka, diketahuilah bahwa pada tahun 1080, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang dari India Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut tafsiran  membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang.  Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun 1128-1285 karen terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan prajurit dan pedagang dari Arab serta Turki(ada beberapa ahli  juga berpendapat, jikalau mere sebenarnya terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh) maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo di (Kabupaten Aceh Tenggara,) dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo kemudian berbaur dengan Proto Karo(Karo Tua).
    Maka, kita dapat berasumsi bahwa Bangsa Tamil-lah yang sudah berbiak dan ber-merga di Karo itulah menjadi motor penggerak dari kepercayaan Pemena dikemudian hari dan bukan tidak mungkin Pemena di Karo sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India, karena jika ditinjau dari segi bahasa, "Pemena = pertama, awal, dasar. bandingkan dengan ''Senata Dharma yang juga berarti kepercayaan(agama) pertama. Jadi, dari segi  kata mungkin kita sepakat, bukan? Selain itu, tidak jarang dalam mangmang/tabas(mantra/doa) Karo banyak ditemukan bahasa-bahasa asing, terutama yang diambil dari bahasa Arab  dan Sansekerta. Dialek cakap(bahasa) Karo sendiri, sangatlah memiliki kemiripan dengan dialek-dialek masyarakat di Selatan India, khususnya untuk dialek Karo Gugung(gunung, dataran tinggi). Namun, tidak cukup ditinjau dari segi bahasa saja! Ada beberapa tradisi pemena yang sama dengan Senata Dharma ataupun masyarakat di Selatan India, diantaranya: upacara Pakuwaluh(membakar dan menghanyutkan abu jenazah) yang dilakukan di Lau Biang(Lau: sungai, biang: anjing) dengan dimasukkan dalam sebuah guci diatas perahu dengan panjang sampan sekitar satu meter. Mengapa dilakukan di Lau Biang? Dalam tafsiran masyarakat dahulu, Lau Biang yang perpanjanganya adalah Sungai Wampu di Langkat mengalir ke Selat Malaka, dan dari sana dengan tuntunan roh-roh(dewa/i) akan mengalir ke Samudra Hindia dan selanjutnya akan sampai di Sungai Gangga di India. Bukan itu saja! Banyak tradisi di Karo yang sama dengan kebiasaan masyarakat di Selatan India, antara lain: masyarakat Karo dahulu selalu melakukan doa di malam bulan purnama serta menyanyikan mangmang/tabas(mantra/doa) dengan cara ngerengget seperti para pendeta Hindu melantunkan mantra; mbesur-besuri, nengget, mbaba anak ku lau, erpangir, ergunting, erkiker(memotong gigi lalu menghitaminya), teraka(seni merajah diri, khususnya bagi anak-anak dan kaum wanita), dll. Dan, dahulu wanita-wanita di Karo juga suka membuat titik merah dikeningnya seperti halnya yang dilakukan wanita-wanita di India(sekarang juga bagi pemeluk kepercayaan pemena).

                 Dalam hal seni, beberapa tafsiran juga muncul, diantaranya rengget Karo yang hampir sama dengan cara orang India untuk melantuntak mantra, suara sarune yang tinggi di Karo yang endekna(cara permainannya) sama seperti teknik vokal wanita di India, dan mempu mengambarkan motif vokal wanita India, serta beberapa perkusi Karo yang serupa dengan yang ada di India. Dan, secara geneologis, hubungan Karo - India ini mendapat konfirmasi dari turi-turin(cerita lisan asal-usul) dari beberapa sub-merga Sembiring, seperti: Sembiring Meliala, Pandia, Brahmana, Colia, Muham, Keling, dll.

               Dikemudian hari, hubungan Karo dengan daratan India terputus. Hal ini mengingat jarak antara Sumatera dengan daratan India yang jauh, ditambah lagi dengan gencarnya ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh pedagang Islam baik dari Arab maupun Turki yang mendapat dukungan penuh dari penguasa-penguasa(Sultan) di pesisir pantai Sumatera. Namun, di abad ke-16(?), hubungan kembali terjalin, hal ini ditunjukkan dengan kedatangan seorang resi Magidan yang adalah seorang Brahmana yang menemui bekas muridnya di India yang seorang dari kaum kesatria Meliala(lihat Silsilah Berahmana) di Tanah Karo yang kemudian menetab di Telun Kaban. Atas bantuan muridnya dan penguasa setempat yang juga menjadi kalimbubu-nya setelah menikahi putri sibayak tersebut, Magidan kemudian mengembangkan Maharesi Brgu Sekte Ciwi(salah satu ajaran Hindu) di Tanah Karo. Dan setelah itu sepertinya hubungan Karo – India kembali terputus hal ini mungkin karena mereka(Kaum Pemena) kembali mulai tersisihkan oleh gencarnya Missi Injil Kristen dan Siar Islam di Tanah Karo setelah kedatangan VOC di wilayah-wilayah Karo. Hingga di tahun 1950-n saat dimana lembaga-lembaga keagamaan di Indonesi gencar menjaring jemaat, barulah Tanah Karo mendapat perhatian kembali oleh kelemnbagaan Hindu hingga di tahun 1977 terbentuklan Prisadha Hindu Dharma di  Kabupaten Tanah Karo.
                  Itulah secuil cerita hubungan antara Karo dan India yang akan tetap abadi selama  para keturunan yang telah ber-merga itu meyakini tadisinya turi-turin asal-suaulnya dan kepercayaan Pemena(Hindu) masih bertumbuh di Tanah Karo. Bujur ras mejuah-juah kita kerina.


    Saturday, May 19, 2012

    Gundala-gundala Permainan Masa Kecil-ku



    Berbicara tentang bermain atau permainan dimasa kecil, ada sebuah permainan tradisional yang sangat saya sukai dan selalu kami mainkan disore hari sebelum mandi sore, yakni: bermain gundala-gundala ataupun sering juga disebut manuk sigurda-gurdi.
    Permainan gungdala-gundala ataupun manuk sigurda-gurdi merupakan permainan rakyat asli asal Karo, yang berbentuk lakon seperti sebuah seni pertunjukan drama dan tari, dimana permainan ini dimainan oleh beberapa orang yang memerankan beberapa tokoh, diantaranya: sebagai sibayak(raja, gelar bangsawan Karo), kemberahen(permainsuri), putri raja, puanglima(panglima), para kesatria(prajurit), juak-juak(pelayan dan dayang-dayang), hewan(khususnya kerbau), petani, dan yang terpenting adalah pemeran manuk sigurda-gurdi serta peran pembantu lainnya.
    Dan, masih melekat dibenak saya saat memainkannya, kami sering bermain ini di halaman rumah, di ladang, ataupun di perkebunan(kebetulan saya tinggal di daerah PTPN II dan IX); serta kostum yang kami kenakan kami buat sendiri,  dimana: topeng dan pedang-nya kami buat dari pelepah pisang, mahkota rajanya dan pakaiannya dari daun kopi, daun kemiri, ataupun daun kelapa sawit; dan gendang(musiknya) dari bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh kaleng, bambu, dan tempurung kelapa. Sangat sederhana dan sedikit primitive namun asik dan saya sarankan Anda untuk mencobanya! Hehehe… ;-)
    Permainan gundala-gundala ini diadopsi dari salah satu seni tari topeng pada masyarakat Karo. Selain sebagai seni pertunjukan, gundala-gundala ini juga merupakan sebuah tradisi ndilo udan(memanggil hujan) jika terjadi kemarau panjang  di beberapa wilayah Karo ini dikenal dengan tembut-tembut Seberaya(karena berasal dari desa Seberaya). Dalam pertunjukannya, gundala-gundala ini selalu membawakan sebuah kisah, dimana satu kisah yang sangat popular dalam pertunjukan gundala-gundala ini, yakni cerita “Manuk Sigurda-gurdi”. Cerita ini juga di beberapa wilayah memiliki versi yang bervariasi namun alur ceritanya tetap dipertahankan seperti aslinya.
    Diceritakan(Manuk Sigurda-gurdi), di satu wilayah di Taneh Karo ada sebuah negeri yang dipinpin oleh seorang raja yang bergelar Sibayak(raja, gelar bangsawan Karo, iibesar, sikaya) dengan kemberahen(permainsuri), serta putri tunggalnya yang cantik jelita yang menikah dengan seorang pegawai kerajaan yang setia dan perkasa, serta sakti mandraguna. Setelah menikahi sang putri, si pegawai istana tersebut kemudian diangkat menjadi kepala pengawal kerajaan serta dikemudian hari ia menjadi puanglima(panglima) tertinggi di kerajaan tersebut.
    Disatu hari, sang raja mengajak kepala pengawal istana yang juga kela-nya(menantu laki-laki-nya) untuk berburu ke sebuah hutan, di perjalanan mereka dikejutkan oleh seekor manuk sigurda-gurdi(burung raksasa) yang membuat raja serta rombungannya terkejut dan sedikit takut. Namun, si burung raksasa tersebut bukannya menyerang, akan tetapi menyapa sang raja dengan kesantunan dan penuh hormat. Melihat ini, sang raja menaruh simpati kepada si gurda-gurdi dan mengajaknya untuk tigal bersamanya di istananya, si burung raksasa pun dengan senang hati menerima maksud baik sang raja.
    Setelah manuk sigurda-gurdi tinggal di istana, situasi istana berubah seketika menjadi ramai. Sifat rendah hati, santun, dan keramahan manuk sigurda-gurdi menaruh simpati banyak pihak terutama sang putri yang sangat terhibur dengan keberadaan manuk sigurda-gurdi di sampingnya.  Saat sang raja dan para prajuritnya keluar istana, manuk sigurda-gurdi memegang peranan yang sangat penting, bukan saja menghibur namun juga melindungi seluruh keluarga kerajaan karena selain santun dan baik hati, manuk sigurda-gurdi juga ahli dalam ilmu mayan/ndikar(tarung).
     Suatu hari, ketika keluarga istana sedang asik bercanda dengan manuk sigurda-gurdi, tanpa sengaja sang putri menyentuh paruh gurda-gurdi dan seketia gurda-gurdi menjadi berang dan mengamuk membuat seluruh istana panik. Dia memporak-porandaan semua yang ada disekitarnya, yang membuat sang raja memerintahkan kepala pengawal untu menghadang perbuatannya. Maka terjadilah pertarungan yang sengit hingga berhari-hari antara manuk sigurda-gurdi dengan kepala pengawal kerajaan.  Melihat pertarungan yang tiada henti-henti, maka sang raja memerintahkan para kesatrianya untuk membantu sang menantu dengan cara menyalurkan energi kepada sang kepala pengawal kerajaan dari jarak jauh. Pertarungan semakin sengit, namun akhirnya manuk sigurda-gurdi kewalahan mengahdapi kepala pengawal kerajaan yang dibantu oleh para kesatria kerajaan dan manuk sigurda-gurdi pun kalah karena terkena pukulan dan terpental ke tanah. 
    Cerita ini juga mengingatkan kita, tentang kisah perjalanan merga Tarigan saat dimintai bantuanya oleh seorang raja di Tongging untuk mengalahkan seekor burung raksasa(manuk sigurda-gurdi) yang suka memangsa gadis-gadis perawan diwilayah itu.
    Banyak versi dari cerita ini, namun dalam setiap pertunjukan atau sekedar permainan, alur cerita ini masih dipertahankan keasliannya. Bagaimana, apa Anda tertarik memainkannya? Hehehe.... Bujur ras mejuah-juah kita kerina!

    Thursday, May 17, 2012

    Rudang Rakyat Sirulo

               Pur-pur Sagé adalah metode atau cara perdamaian ala masyarakat Karo, sering juga dikatakan sebagai salah satu upacara adat Karo. Dikatakan upacara adat, karena segala rentetan aktifitas dalam prosesi pelaksanaan pur-pur sagé ini telah(diatur) secara adat-istiadat Karo, sehingga disebut upacara adat perdamaian.


                Pur-pur Sagé sendiri, perlu dilakukan apabila ada pihak yang bertikai atau berselisih paham, baik orang perorang dalam satu keluarga atau dengan lainnya, ataupun antar keluarga, kelompok(organisasi), kesain ataupun kuta(daerah), maupun negara(kenjurun/urung ataupun kesebayaken), yang dimana pertikaian itu telah berlangsung cukup lama dan mengganggu ketenangan baik fisik, pikiran, hati, maupun roh-roh leluhur dan belum ditemukan kata sepakat untuk berdamai. Sehingga, dalam satu pemikiran dianggap perlu dilakukan musyawarah perdamaian agar situasi ini dapat kembali membaik dan jika telah ada kata sepakat maka dilaksanakanlah pur-pur sagé sebagai suatu pertanda jalan damai telah ditemukan serta dikukuhkan dalam satu upacara adat yang sakral. bersambung



                   “Itu rumah Malem!” Ataupun, “Ini pensil Joni!”

                  Dari dua kalimat yang diapit tanda petik dua diatas, adalah merupakan kalimat pernyataan yang menunjukkan atau mengarah kepada ke-bendaan(“rumah” dan “pensil”) yang masing-masing dimiliki oleh “Malem” dan “Joni”. Maka, jika dikatakan “Ini(itu) tulisen(aksara) Karo!”  tentunya juga menunjukan benda yang  kepemilikan atau dimiliki oleh Karo(milik etnis Karo)!

                  Tulisen(aksara) Karo, merupakan salah satu tulisan(aksara) kuno yang ada di nusantara  Tulisen(aksara) karo, adalah kumpulan tanda-tanda atau karakter(simbol-simbol) utuk menyatakan sesuatu yang pemakaiannya dimengerti dan disepakati, yakni: oleh masyarakat penggunanya, yaitu: masyarakat Karo itu sendiri.  Tulisen Karo merupakan milik dari masyarakat(etnis) Karo atau dengan kata lain, tulisen yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat(etnis) Karo serta tersebar luas, dipergunakan, dan diajarkan(awalnya dengan bahasa pengantar cakap Karo) di ruang lingkup Karo yang dulunya meliputi pesisir timur di Sumatera(Oostkust van Sumatera) bagian utara  dan dataran tinggi Karo yang terbentang luas diatas pegunungan Bukit Barisan. Lihat tabel Tulisen Karo berikut! bersambung...


    Jika ditinjau dari segi bahasa, senina disusun dari dua suku kata:  se dan nina. Dimana, se yang berarti : yang, sama, satu; dan nina: kata[-nya] ataupun pendapat[-nya]. Jadi, senina: yang [memiliki-] satu pendapat(sependapat, sepaham, seia sekata). Dalam buku “Adat Karo Sirulo”,  Malem Ukur Ginting mengemukakan bahwa, senina ialah “orang-orang yang satu merga namun lain cabang(sub-merga) dengan kita.”

    Dalam pengertian sehari-hari, senina mengandung artian: persaudaraan(kekerabatan) yang sama(secara gender), misalkan: laki-laki dengan laki-laki; ataupun perempuan dengan perempuan, karena, jika berbeda(perempuan dengan laki-laki) bukan senina, melainkan [er-]turang! Namun, yang lebih menjadi penekanan disini adalah, adanya suatu kesamaan atau kesepahaman. bersambung...



     Pada dasarnya, masyarakat tradisional Karo adalah masyarakat yang agraris. Agraris dalam artian, hampir segala aktifitasnya berkaitan dengan kehidupan alam dan pertanian (mata pencarian mayoritas masyarakat Karo adalah bertani), sehingga untuk mencapai kesejahtraannya dibutuhkan keuletan dalam mengelola tanah sebagai media dasar dalam kegiatan bertani.


             Dalam perjalanannya sebagai masyarakat  yang agraris, untuk memaksimalkan hasil dari pengolahan tanah (bertani) yang dilakukan, maka masyarakat Karo bukan hanya(telah) mampu menciptakan alat-alat pertanian(alat pertanian tradisional) untuk mengolah tanah, namun juga dalam hal pemberdayaan bibit unggul, pemilihan jenis tanaman, dan perawatan tanaman, tetapi juga telah mampu telah melakukan prediksi tanam (kapan saat menanam dan kapan saat menuai yang tepat/cocok) agar mencapai hasil yang maksimal. bersambung...


    Di sebuah tempat pusat pembuangan sampah kota di pinggiran kota, lahirlah seekor anak kucing yang sangat cantik dan munggil. Rupa yang cantik dan mungil membuatnya disukai oleh hewan-hewan ditempatnya. Namun, anugrah kecantikan yang diterima bukan membuatnya mensyukuri apa yang diberikan kepadanya, malah membuat si anak kucing itu menjadi angkuh dan sombong, bahkan rupa yang cantik membuat dia malu mengakui induknya yang memiliki rupa hitam dan tampak kumuh tidak seperti dirinya yang cantik dan berkilau. Tapi, walaupun demikian induknya tetap sayang dan melindunginya dengan penuh kasih dan ketulusan. bersambung...





     Tulisen(aksara) Karo merupakan salah satu aksara(tulisan) kuno yang ada di nusantara, yang tumbuh – berkembangnya, serta dipergunakan secara meluas di wilayah-wilayah Karo, yang meliputi daerah Pesisir Pantai Timur Pulau Sumatera di bagian Utara dan Tengah, serta dataran tinggi bukit barisan di utara pulau Sumatera(pegunungan Karo).


    Tulisen(aksara) Karo, diklasifikasikan dalam golongan abugida, yang dimana setiap bunyi dapat dilambangkan secara mutlak(akurat/pasti), yang terdiri dari indung surat(huruf induk/huruf utama yang jumlahnya 21 surat) merupakan pelambangan dari konsonan walau dalam pengejaanya selalu diikuti oleh bunyi “a”, kecuali pada dua indung surat, yakni: “i” dan “u”. Seperti halnya abugida lainnya, selain indung surat sebagai karakter huruf utama, dalam tulisen(aksara) Karo juga ada anak surat yang berfungsi sebagai diakritik. bersambung...

             Jika kita berbicara tentang Brahmana, mungkin langsung yang terpikir di benak kita adalah salah satu dari empat kasta dalam agama Hindu(Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; vara). Akar kata Warna yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti "memilih (sebuah kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu. Adapun empat kasta dalam ajaran agama Hindu: Sudra (budak), Waisya (pedagang), Kesatria(pemerntahan), dan Brahmana (rohaniawan)). Namun, yang ingin saya bahas kali ini bukanlah Brāhmana(golongan rohaniawan atau sering disebut Brahmin atau Sarma) yang ada dalam agama Hindu, melainkan Brahmana yang ada dalam salah satu dari sub-merga Sembiring dari Merga Silima(1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan, 4. Sembiring, dan 5. Peranginangin) dalam masyarakat Karo. bersambung...


    Siapa yang tidak mengenal 4shared.com (https://www.4shared.com/), merupakan salah satu situs penyimpana dan berbagi file online yang menyediakan ruang penyimpanan secara geratis hingga 4GB. Namun, belakangan ini 4shared.com sangan marak menjadi perbincangan lantaran, untuk men-download file yang tersimpan kita harus melakukan regristrasi ataupun login. Hal ini tak jarang membuat para pengunduh sedikit kesal karena merasa direpotkan.

    Namun jangan khawatir… sumua pasti ada jalan keluarnya yang pintas! Berikut saya mau berbagi cara mendownload file yang ada di 4shared.com dan (mungkin untuk beberapa teman-teman ini bukan hal yang baru)tampa harus regristrasi ataupun login. Cukup mudah dan tidak merepotkan, caranya:

    Pertama tentukan file yang ingin diambil. Anda bisa mencarinya(mencari link-nya) lewat google ataupun kotak pencarian di 4shared.com. bersambung...

             Begu(roh) Dibata Simada Kuasa(Tuhan Yang Maha Kuasa) Sinepa Langit Ras Doni(Khalik Smesta Alam) terbang melayang-layang mengarungi alam semesta yang baru saja dijadikanNya. DilihatNya ada yang kurang dan itu tidaklah sempurna jikalau tiada yang mendiami serta merawatnya, maka terpikirlah olehNya untuk menciptakan mahluk yang akan mendiami karya ciptaanNya itu. DijadikanNya-lah suan-suanen(tumbuhan), rubia-rubia(hewan), serta  jelma(manusia), bahkan begu (roh) untuk mendiami ciptaanya itu. bersambung...


             Gregorius S. Meliala. Itulah namaku, keren-kan? He-he-he. Aku seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di kota Medan, hingga karena sesuatu hal aku harus angkat kaki dari kampus.  Kepada kedua orang tuaku, aku selalu beralasan kalau otakku tidak sanggup mengikuti setiap mata kuliah di kampus. Itulah alasan yang selalu aku lontarkan jika mereka bertanya mengapa aku sampai keluar dari kampus. Mereka tidak pernah percaya dengan alasanku itu, akan tetapi sebagai orang tua yang baik, mereka menyarankanku untuk mengambil kuliah di lain tempat, atau setidaknya mengikuti pelatihan-pelatihan keterampilan untuk masa depanku nantinya. Cetus orang tuaku.  Aku selalu mengelak dengan mengatakan itu tidak perlu, namun mereka dengan sabar terus memberikan dorongan kepadaku. Ya, itu wajar pikirku. Sebagai orang tua tentunya mereka tidak ingin anaknya nantinya susah dalam menjalani hidup. Hingga akhirnya aku bersedia mengikuti nasehat mereka dan melanjutkan kuliahku di salah satu perguruan tinggi swasta yang masih berada di sekitar kota Medan juga. bersambung...


    I bas karaben wari paksa surutna matawari, ngalo-ngalo rehna berngi, paksa si juma nari mulih ku rumah. Terbegi me sora tangis teriluh arah jabu Ginting Manik Mergana, em kapken beru Sembiring Kembaren anak singuda tangis teriluh erdire-dire natap-natap perbulangenna Ginting Manik Mergana sienggo lawes nadingken ia. 

    Tading me beru Sembiring Kembaren e ras Ginting Mergana si waluh bulan denga tubuh ku doni.



    Tande warina, tangis ngandung la erngadi-ngadi piah ‘nggo sampur iluh i mata natap anak Ginting Mergana beberekel Kembaren si tading melumang. Tapi ibas paksa si e, anak kuta sini i arak-arak guru mbelin Karo-karo Karosekali Mergana reh ngadap ku jabu Ginting Mergana, mindo gelahna tinusur Ginting Mergana e i tangkuhken jadi Pengulu i tengah-tengah rakyat sirulo kuta Simalem aminna langabo dem umurna. Tapi bagi semalna, tinusur pengulu e secara turun-temurun mangku jabaten pengulu i bas kuta e. bersambung...


    “Unjuk (sebutan untuk beru/br  atau wanita dari keluarga Ginting) anakku” sambil menangis.



                “Apa Nande(ibu)?” jawab Sri Malem Malem Br (br/beru = wanita; menungjukkan (gen) perempuan) Ginting Munthe.

                “Apa tidak ada lagi kata-kata bijak nande ras bapadu (bapak) anakku, yang mengena di hati yang dapat meluluhkan hatidu itu, anakku? Sekeras itukah hatindu, maka tidak kam (Anda, kamu, engkau) hiraukan lagi pinta nandedu ini dan bibidu? Oh, anakku buah baraku (jantung hatiku), kelengkengkel ateku (yang ku sayangi)!” sambil terseduh-seduh menghusap air matanya.


                “Maafkan anak’du (du = mu; anakdu : anakmu) o, Nd (nande) br Tambarmalem! (sebutan/sapaan lazin untuk Merga/beru Perangin-angin) Bukan maksudku untuk nyimbak (melawan, menentang) katadu o, nande! Tetapi, cintaku kepada Sembiring Mergana yang sudah terlalu dalam oh, nandeku!” sambil menangis meneteskan air matanya dan memeluk ibunya. bersambung...


     Natal Sipemena(Natal Yang Pertama)        http://ceritakaro.blogspot.com/2011/10/natal-sipemenanatal-yang-pertama.html

              Di suatu sing, di kuta Até Keleng, urung Simalem Jahé(hilir), kesebayaken(kerajaan, negeri) Simalem, Taneh Karo; saat teriknya matahari dimana para petani yang bekerja di kebun menyempatkan keadaan tersebut untuk beristirahat sejenak menghilangkan letih dan penatnya setelah sejak pagi bekerja.

    Adalah Bapa(bp=bapa, bapak, ayah) Mayang yang merupakan seorang warga di kuta Ate Keleng tersebut dan juga merupakan seorang anggota perpulungen(perkumpulan, komunitas) Kristen di kuta(desa, koloni, kesatuan dari beberapa kesain) itu tampak sedang asik ngerengget(bernyani ala Karo(cengkok Karo), seperti seriosa ala Karo) di pantar-pantar(teras) sapo-nya(gubuk, rumah, kediaman, tempat tinggal) dan sesekali juga tampak meniup surdam-nya(sej. Alat musik tiup tradisional Karo yang terbuat dari batang bambu). bersambung...


    Mejuah-juah

           Konon di sebuah desa terpencil di Tanah Karo Simalem, lahirlah seorang anak yang dimana hari kelahirannya tersebut menurut penanggalan Karo pada hari nunda, hari yang dipercaya merupakan hari kesialan yang dapat membawa petaka bagi kedua orangtuan-nya, keluarga, bahkan sekitarnya.

              Tidak berselang lama, hal itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai permulaanya, sang ibu meninggal dunia empat hari setelah melahirkannya, dan pada saat dia berusia delapan hari, menyusul sang ayah yang pergi meninggalkannya untuk selamanya. Tinggal-lah kini bayi sebatang kara tanpa kedua orangtua-nya!