Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Monday, March 30, 2015

    Bulan Purnama Raya (Lirik Lagu Karo)



    Oleh: Djaga Depari(alm).

    Entabeh kel ranandu turang
    Rikutken sumpah katandu sirutang
    Ersumpah kel kam ndube rikut ras tutu ate
    Sepengodak sepengole kel jine
    Paksa bulan purnama raya
    Kita erkuan arihta ersada

    Enggo mbar kel beritana oh, nande Gintingku
    Enggo meteh kerina jelma sebelang-belang
    Segantang perburihen sada mangkuk perpangiren
    Sumpah arih lanai sirang kel jine
    Paksa bulan purnama raya
    Kita erkuan arihta ersada

    Ija kam ndai, ija kam ndube nari Iting nande Gintingku
    Ndubem kel aku, ndubem biringndu tertima-tima
    Tawa ras cirem kita duana paksana terang bulan
    Gelah ola melus. Gelah ola melus rudang-rudang isuan.
    Paksa bulan purnama raya
    Kita erkuan arihta ersada

    @KARO_ERDILO.


    Saturday, March 28, 2015

    Nilai Sosial Vs Nilai Ekonomis

    Oleh: Bastanta P. Sembiring (Medan)

    rumah adat batak
    Rumah Adat Batak
    bastantaMejuah-juah. Beberapa waktu lalu kita membahas sedikit tentang Rumah Adat di rumpun Kebudayaan Austronesia, termasuk Karo, Minang, Melayu, Batak, dll. Demikian juga keterkaitannya dengan nilai-nilai kesopanan yang berkembang di masyarakatnya. Lalu, kemarin itu, Edi Sembiring mengunggah sebuah foto Rumah Adat Karo ke group facebook Jamburta Merga Silima (JMS) yang dikutip dari Koran Rotterdamsch Nieuwsblad bertanggal 04 Juli 1928. Beberapa akun turut mendiskusikan konstruksinya dari aspek bahan, namun pandangan saya bertumpu pada pertanyaan: “Apa nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan sebuah rumah adat terhadap masyarakatnya?”
    Kemudian, saya kembali mengingat satu akun mengunggah foto yang berjudul “Sinamot Karo 2015” masih ke JMS, yang memuat tabel berisikan Beru Silima (Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring dan Peranginangin). Lengkap dengan harganya dalam satuan rupiah. Tentunya, ini menimbulkan pro dan kontra.
    Sebahagian mengganggap ini hanya sebuah meme untuk meramaikan, namun di lain pihak termasuk saya mengganggapnya sebuah penghinaan terhadap perempuan Karo dan budaya Karo. Karo tidak mengenal istilah sinamot (Batak). Tukur/ unjuken(Karo) prinsipnya sangat jauh berbeda dengan mahar dalam budaya lainnya ataupun sinamot dalam budaya Batak.

    rumah adat karo 1
    Rumah Adat Karo
    Di Karo, social value (nilai sosial) dari pertukaran itu yang menjadi rujukan, bukan economic value (nilai ekonomis).
    Saya melihat perbedaan penekanan antara social value dengan economic value terkait juga perbedaan penekanan di jaman modern antara Karo dengan Batak yang tercermin dalam penggunaan arsitektur tradisionalnya.
    Seperti yang disampaikan oleh Juara R. Ginting dalam sebuah diskusi yang katanya, menurut seorang arsitek Gaudence Dominig, sebagian dari rumah-rumah adat Batak adalah sopo eme (lumbung padi) yang dialihkan menjadi rumah.
    “Dulu, tidak ada perkampungan Batak yang memperlihatkan adanya 2 baris rumah saling berhadapan. Di belakang hari, orang-orang Batak mengalihfungsikan sapo menjadi rumah,” kata Ginting sambil menambahkan bahwa ini menandakan adanya kesamaan antara konatruksi tiang-tiang sopodengan tiang-tiang rumah adat mereka yang disebut jabu.
    Dari yang dikemukakan di atas, maka tampak adanya tahapan alih fungsi dari sopo ke rumah pada masyarakat Batak. Yang dapat saya petik yakni bukan hanya alih fungsinya (bendanya), tetapi juga peralihan keadaan sipemilik, yang tadinya hanya punya sopokemudian direhab dan renovasi menjadi sebuah rumah. Artinya, ada peningkatan secara kemampuan, yang dalam hal ini kemampuan ekonomi. Jadi economic value (nilai ekonomi) atau bisa juga kita katakan kemampuan ekonomi sangat berperan di sini.


    yakni: 1. Sembuyak (Bena Kayu), 2. Anak Beru (Ujung Bena Kayu), 3. Kalimbubu(Lepar Bena Kayu), dan 4. Senina (Lepar Ujung Kayu)

    Berbeda dengan yang terjadi di masyarakat Suku Karo, dimana berdirinya sebuah rumah, atau tepatnya Rumah Adat bukan ditentukan oleh kekuatan ekonomi semata, tetapi kepada sebuah pencapaian kebangsawanan yang erat kaitannya dengan sosial value (nilai sosial) tadi. Sehingga rumah yang didirikan itu dihuni (lihat Jabu Suki Rumah Adat Karo) berdasarkan tatanan sosial Karo yang dikenal dengan Sangkep Nggeluh Siempat (Sangkep Siempat), yakni: 1. Sembuyak (Bena Kayu), 2. Anak Beru (Ujung Bena Kayu), 3. Kalimbubu (Lepar Bena Kayu), dan 4. Senina(Lepar Ujung Kayu). Sembuyak di sini ialah kaum simanteki (pendiri).
    Biak-biak (tabiat) inilah yang terus tumbuh dalam watak kedua suku ini, yakni Karo dan Batak. Dalam kehidupan sehari-hari dimana Karo cenderung introvert dan Batak yang extrovert. Karo yang mengejar ketenangan dan harmonisasi yang tentunya hanya didapat melalui nilai-nilai sosial, berbeda dengan masyarakat Batak yang lebih kepada eksploitasi yang erat kaitannya dengan pandangan nilai-nilai ekonomis.
    Terkadang tidaklah mengherankan jika melihat masyarakat Karo yang memasang target pencapaian sebatas marwah dan ketenangan sebagai fitrahnya, dengan kata lain, cari amannya. Mejuah-juah.

    Sebelumnya artikel ini telah dipublikasikan di SoraSirulo.Com dengan link: http://www.sorasirulo.com/2015/03/24/nilai-sosial-dan-nilai-ekonomi-karo-vs-batak/


    Thursday, March 26, 2015

    Pijer Podi(Bag 3: Prakteknya)

    Oleh: Bastanda P. Sembiring (Medan) 

    pijer 2
    Sanggar Seni Sirulo
    bastantaMejuah-juah. Sekarang ini, hampir di seluruh wilayah Indonesia dapat ditemukan orang Karo. Bahkan hingga ke luar negeri. Baik yang hidup sendiri-sendiri jauh dari komunitas Karo ataupun yang berkelompok dan membentuk perkumpulan orang Karo. Artinya, orang Karo telah terpencar dari wilayah-wilayah Karo.
    Bahkan pada dasarnya, Karo itu sendiri telah terbagi-bagi menurut kelompok wilayah adatnya, dialek dan aksen bahasa, bahkan hingga adat praktisnya. Namun, itu semua bukan jadi masalah selama orang Karo memegang teguh motto pijer podi dalam menjalankan sangkep nggeluh. Dan, itu terbukti.


    hidup dan diikat erat, kokoh, dan indah

    Untuk itu, tentunya motto pijer podi perlu kembali dihidupkan dan menjadi semboyan hidup bagi semua masyarakat Suku Karo atau yang telah dikarokan. Dengan itu kita hidup dan diikat erat, kokoh, dan indah dalam ikatan persaudaraan Karo yang kita kenal dengan Sangkep Nggeluh Kalak Karo.
    Menanggapi hal ini, saya tertarik dengan motto yang dikemukakan Pdt. Edi Suranta Ginting kepada setiap anggota dalam lembaga yang beliau pimpin dengan KKK(3K)-nya. Yakni: 1 Kristus, 2 Karo, dan 3 Kaya.
    Dalam hal ini, mengingat masyarakat Karo hidup dalam kepercayaan yang beraneka ragam, maka “K(Kristus)” yang pertama saya ganti dengankiniteken, dan menambahkan satu “k” lainnya, yakni: keluarga (jabu: kekeluargaan).
    Menurut saya, erat dan teguhnya suatu komunitas(-Karo) dapat terjadi apabila didasari pada 4K yang menjadi perayaken (target pencapaian) bersama setiap masyarakatnya, yakni:
    Kiniteken (kepercayaan), Kinikaron (tradisi), Keluarga (jabu: kekerabatan/kekeluargaan), dan Kinibayaken (kekayaan). Akan menjadi indah pula jika 4S sebagai pegangan untuk mengukir 4K sebagai perayaken di atas, yakni: Sitandan (saling mengenal/memahamai), Siajar-ajaren (saling mengajari, memperingatkan, berbagi ilmu, dlsb) Sisampat-sampaten (saling membantu), dan Sikeleng-kelengen (saling mengasihi dan menyayangi).
    Pertemuan antara 4K dan 4S dalam berperan/menjalankan sangkep nggeluh akan menghasilkan pijer podi (4K+4S= Pijer Podi), yakni: ikatan yang erat, kokoh, dan indah.”
    Mejuah-juah. @KARO_ERDILO.
    Sebelumnya SELESAI.

    Artikel terkait:
    Artikel ini sebelumnya telah terbit di sorasirulo.com dengan link berikut: http://www.sorasirulo.com/2015/03/20/pijer-podi-3-praktek/#comment-1073


    Pijer Podi (Bag 2: Motto Suku Karo)

    Oleh: Bastanta P. Sembiring (Medan) 

    gerat
    merga yang menempati 4 jabu suki di rumah adat Karo berhubungan satu sama lain sebagai Sembuyak Rumah (Bena Kayu), Anak Beru Rumah (Ujung Kayu), Kalimbubu Rumah (Lepar Bena Kayu), dan Senina Rumah (Lepar Ujung Kayu). Sembuyak dan Senina harus dari 2 urung yang berbeda sehingga mereka juga dari merga yang berbeda pula (Foto: Juara R. Ginting)
    bastantaMejuah-juah. Semboyan ataupun motto yang diciptakan oleh satu komunitas, ataupun dijulukkan oleh orang-orang luar, tentunya memperhatikan aspek internal dari komunitas tersebut. Sebagai contoh, julukan Bumi Turang untuk Taneh Karo ataupun pijer podi sebagai motto dari Kabupaten Karo. Mari kita merenung sejenak. Dapatkah kita katakan pijer podiadalah motto pemersatu Suku Karo sejak dahulu hingga sekarang dan juga untuk hari esok?
    Coba kita perhatikan sangkep nggeluh Kalak Karo”, yakni: Merga Silima, Tegun Siempat, Tutur Siwaluh, dan Perkade-kaden Sisepuluhdua. Sangkep nggeluhini telah dimiliki setiap orang Karo ataupun yang telah dikarokan sejak dahulu.
    Artinya, tidak ada orang Karo atau yang telah dikarokan yang tidak terangkul di dalam sangkep nggeluh ini. Begitu kita dilahirkan sebagai orang Karo atau dikarokan, maka kita telah berada di dalam rangkulannya.

    Kita setuju dasar dari tatanan sosial Suku Karo adalahsangkep siempat ataupun tegun/ terpuk siempat; 1. Sembuyak, 2. Anak Beru, 3. Kalimbubu, dan 4. Senina.

    Kita ambil satu contoh aplikasinya pada runggu(rapat) pada hajatan/ upacara adat, misalnya. Setiap orang Karo ataupun yang dikarokan akan mengalami semua posisi tersebut. Harus kuh (lengkap) sangkep nggeluh siempat ini. Jika salah satu dari keempat tiang ini tidak hadir, maka bangunan akan miring bahkan bisa runtuh. Demikian juga dalam runggu, jika salah satu tegun (kelompok) tidak ada, maka runggu menurut adat Karo tidak bisa dilangsungkan. Tidak percaya?


    kita mulai saja runggu ini sebab ….

    Coba perhatikan misalkan perjabun (perkawinan) secara Karo di tanah rantau. Apakah dalam runggu untuk merencanakan hajatan tersebut salah satu pihak keluarga dapat mengatakan “kita mulai sajarunggu ini sebab Anak Beru kami jauh di Taneh Karo sana”? Tentu tidak.
    Pastinya, diusahakan agar setiap tegun (4 terpuk) itu hadir. Setidaknya dicarikan yang dapat mewakilinnya. Artinya, tiang harus lengkap empat. Bukan dua atau pun tiga. Harus empat!
    Jadi, nyata sekali implementasi pijer podi ini pada kehidupan masyarakat Karo melalui sangkep nggeluh. Karena itu, tidaklah mengherankan jika orang Karo mengatakan: “Kam kap aku. Aku kap kam” atau dalam bahasa Indonesianya, “Aku adalah engkau dan engkau adalah aku.”
    Ini sebagai gambaran betapa eratnya, kokohnya, dan indahnya persaudaraan Karo itu. Pijer podi memenuhi syarat sebagai motto hidup Suku Karo.
    Namun, bagaimana jikalau keempat tiang utama yang melatari pijer podi itu kurang alias tidak lengkap? Ibarat bangunan, dia akan miring bahkan runtuh, demikian juga tatanan sosial Karo karena tidak ada lagi penopang yang kokoh menyokong sistim kekerabatan masyarakat Karo.
    Ola main-main teman, sangkep siempat e harga mati. SebelumnyaBERSAMBUNG...

    Artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan di sini
    http://www.sorasirulo.com/2015/03/19/pijer-podi-2-motto-suku-karo/


    Pijer Podi(Bag 1:Arti Kata)

    Oleh: Bastanta P. Sembiring (Medan)

    pijer 1Mejuah-juah. Banyak dalam dokumen Suku Karo kita temui istilah pijer podi. Misalkan, dokumen persadan-persadan(perkumpulan) kuta(kampung), kuta kemulihen (kampung tempat berpulang)), Credit Union (CU), merga, kepemudaan, kepanitiaan, keagamaan, bahkan hingga dokumen pemerintahan. Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yakni Kabupaten Karo juga menjadikan kata ini sebagai mottonya. Tetapi, dari sekian banyaknya dokumen yang menuliskan pijer podi, tidak banyak orang, termasuk orang Karo sendiri, yang memahami arti dan makna pijer podi.
    Sering muncul pertanyaan, apa sebenarnya arti pijer podi? Dan dengan mudah yang lainnya menjawab, gotongroyong. Apakah pijer podi sama dengan gotongroyong? Cukupkah kita menjawab, pijer podisama dengan gotongroyong?
    Saya coba membuka dalam tulisan ini, semoga di waktu akan datang dapat didiskusikan lebih mendalam dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi pencerahan bagi masyarakat Karo ke depannya.
    Pijer podi menurut Bahasa Karo

    Pijer podi berasal dari dua suku kata; pijer dan podi. Pijer berarti: pijar, membara, solder, ataupun patri. Sedangkan podi berarti: serbuk (hasil kikiran) logam yang dicampur dengan boraks untuk dilumaskan pada permukaan patrian agar erat, kokoh, dan juga mempercantik (membentuk motif/ hiasan).
    Erpodi dalam bahasa Karo artinya kegiatan mematri sebuah benda setelah melumasinya dengan serbuk logam (emas atau perak) yang dicampur boraks agar erat dan kokoh. Selain untuk memperkuat patrian, kegiatan ini juga untuk membentuk motif/ hiasan pada benda-benda.
    Jadi, pijer podi dapat kita simpulkan: patrian khusus dari serbuk logam yang dicampur dengan boraks agar erat dan kokoh. BERSAMBUNG...
    Pijer Podi(Bag 2: Motto Suku Karo).
    - Pijer Podi(Bag 3: Perakteknya).
    Liha juga: http://www.sorasirulo.com/2015/03/18/pijer-podi-1-arti-kata/