Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Sunday, April 13, 2014

    GEREJA INJILI KARO INDONESIA (GIKI)

    I. Pendahuluan

    1.1. Selayang pandang Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI)

    Gereja Injili Karo Indonesia atau disingkat GIKI, adalah sebuah wadah/lembaga kerohanian yang resmi berdiri sejak 27 Juni 1992 di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Buah dari kerinduan beberapa hamba Tuhan dan umat Kristen dari suku Karo yang rindu akan pekabaran injil, khususnya bagi masyarakat Karo, supaya semakin banyak orang-orang Karo dan tentunya suku bangsa lainnya dimenangkan di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Dimana di gereja mereka masing-masing sebelumnya bernaung sangat sedikit memberikan porsi bagi kegiatan pekabaran injil. 

    Segala tantangan dan rintangan telah dihadapi diawal-awal berdirinya hingga ke masalah perizinan, membuat gereja ini pernah bernaung di bawah Gereja Kristen Kudus Indonesia(GKKI) dengan nama GKKI Jemaat Karo Injili (Kabanjahe dan Bandung) melaui MoU di bulan April 1992 antara pimpinan GKKI Pdt. Kerani Ketaren dan pihak GKKI Jemaat Karo Injili(cikal bakal GIKI). Mei 1992 delegasi GKKI Jemaat Karo Injili yang diwakili oleh Pdt. B.A. Peranginangin datang ke Bandung untuk berkonsultasi dengan Pdt. Kerani Ketaren dalam rangka menahbiskan Jemaat yang pertama di Kabanjahe pada bulan Juni 1992. Hal ini disambut dengan baik oleh pihak GKKI, sehingga 27 Juni 1992 GKKI Jemaat Karo Injili Kabanjahe resmi berdiri dengan pendeta jemaatnya Pdt. B.A. Peranginangin yang juga satu-satunya pendeta saat itu di GKKI Jemaat Karo Injili. Tanggal 27 Juni 1992 kemudian diperingati sebagai hari lahirnya Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI) secara sinode dan disusul pentahbisan GKKI Jemaat Karo Injili Bandung(GIKI Bandung sekarang) pada tanggal 27 September 1992.

    Berkat kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, kesehatian para pengurus, jemaat, dan tentunya dukungan dari pihak-pihak lainnya, seperti Pembimas Kristen Kanwil Depag Jawa Barat saat itu Bpk. Ardy Rana Yunus, serta kebesaran hati dari Bpk. Pdt. Kerani Ketaren yang mau menerima dan melepas GIKI menjadi satu sinode yang mandiri; dalam waktu singkat GIKI kemudian memperoleh izin pertamanya dari Kanwil Depag Jawa Barat. Dengan terbitnya Surat Pendaftaran dari Kanwil Depag Provinsi Jawa Barat dengan nomor: Wi/BP.020/Ket/118/1992 pada tanggal 20 Oktober 1992, maka secara hukum GIKI diakui keberadaanya sebagai sebuah sinode yang berdiri sendiri. Dan di tahun 2013 akhirnya terdaftar secara nasional dengan terbitnya SK Bimas Kristen Depag RI nomor: DJ.III/Kep/HK.00.5/93/3726/2003 pada tanggal 14 Agustus 2003, maka Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI) telah mengantongi izin di seluruh wilayah hukum Repoblik Indonesia. GIKI juga terdaftar sebagai anggota aktif PGLII(Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia).

    Secara hirarki organisasi, gereja ini terdiri dari Majelis Sinode ditingkat pusat, dipimpin oleh Ketua Sinode (sekarang Pdt. Edi Suranta Ginting) yang dibantu kordinator dari masing-masing departemen dengan lama proide tiga(3) tahun, berkedudukan di Jawa Barat, tepatnya di Jl. Antorium No. 1 GSG Cisaranten Simalem Rt.01/04 Cisaranten Kulon, Kec. Arcamanik, Bandung, Jawa Barat 40239. Sedangkan di tingkat lokal ada Majelis Jemaat dipimpin oleh seorang Ketua Majelis Pengerja yang dibantu kordinator komisi/kategorial juga dengan masa periode tiga tahun. Di tingkat Pos PI dan Persekutuan dibawah naungan Majelis Pengerja gereja induknya dan ditetapkan seorang kordinator sebagai tiang dan jika dimungkinkan ditempatkan seorang vikaris/pendeta muda atau seorang evanglis. Namun, sejak awal berdirinya gereja ini berkomitmen lebih mengutamakan pelayanan daripada birokrasi organisasi, walau tentunya dalam menjalankan program pelayanan aspek organisasi juga sangat penting.

    1.2. Berjuang untuk Kristus dan Karo

    Kristus – Karo (KK/2K). Kami cinta Kristus – cinta Karo. Kami menyembah Kristus dengan budaya Karo. Kami rindu semakin banyak orang-orang Karo dimenangkan dan hidup di dalam terang kasih Kristus. Demikianlah semboyan dari Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI). 

    Ditengah pesatnya pertumbuhan(secara kuantitas) gereja di dunia ini, ternyata tidak dibarengi dengan pertumbuhan iman jemaat. Indikasinya, tampak nyata dimana di kantong-kantong dominan kristen, nilai-nilai kekeristenan tidak bertumbuh. Ada beberapa hal penyebabnya, salah satunya adalah tidak terintegrasinya injil dengan budaya lokal(setempat), atau dengan kata lain injil belum/tidak berakar pada budaya hidup masyarakat. Buahnya: pragmatisme kekeristenan, mengakibatkan nilai-nilai kekeristenan itu tidak menjadi acuan hidup masyarakat dan gereja tentunya tidak dirasakan memberi manfaat terhadap perkembangan kemasyarakatan.  

    Pendekatan gereja yang dinilai cenderung menanamkan anti budaya dengan membangun anggapan bahwa budaya lokal itu sebagai produk zaman kegelapan (duitsternisfe der alloudheit), dan manusianya sebagai yang biadap/belum beradap (verwilderde menschen), sehingga melahirkan seorang kristen yang durhaka(analogikan dengan kisah Malin Kundang). Karena seorang yang sudah kristen harus lahir baru dengan mengingkari jati dirinya untuk menjadi (tampak-)sejati/sempurna, menganggap mereka yang belum/tidak kristen lebih rendah derajatnya. Bukannya terjadi lahir baru secara rohani yang menempa sosok-sosok yang dapat mengasihi, merangkul dan mengayomi; memancarkan pesona ilahi seperti layaknya Rasul Paulus sang teladan gereja, sehingga menumbuhkan rasa ketertaritan terhadap gereja, malah terjadinya kesombongan rohani dan pengingkaran jati diri, karena malu dan merasa jijik(kita perlu belajar dari Gereja Katolik yang melakukan pendekatan budaya, sehingga dapat diterima dan kekeristenan tertanam didaam budaya yang disinggahi gereja dan menjadi pusat kebudayaan masyarakat setempat).

    Melihat hal ini, maka Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI) yang merupakan wadah kerohanian kristen, buah dari kerinduan hamba-hamba Tuhan yang rindu memberitakan injil khususnya kepada masyarakat Karo, mencoba mengintegrasikan injil dengan budaya lokal dengan mengembangkan sentralitas, sakralitas, dan ritualitas iman, agar antara injil dan budaya dapat berjalan bersama dan saling menopang. Agar injil melalui gereja menjadi pusat/inti dari kebudayaan setempat. 

    Secara nyata, hal ini dapat ditunjukkan dari simbol-simbol dan ritual. Misalnya, di logo GIKI yang menyertakan model atap rumah adat Karo, stola yang bermotif beka buluh (untuk pengerja peria) dan uis nipes (untuk pengerja wanita), baju jubah yang bermotif uis gara (kain tradisional Karo: beka buluh/uis nipes), baju ibadah dengan motif pengeretret, baju/batik untuk kaum bapak yang bercorak beka buluh, dan adanya pengakuan gereja GIKI yang tertulis pada Sepuluh(10) Pengakuan Iman Gereja Injili Karo Indonesia (GIKI) (KYKY, Kebenaran Yang Kami Yakini), pasal yang keenam yang berbunyi: 

    Kami percaya bahwa kebudayaan adalah buah pikiran dari manusia yang diciptakan segambar dengan Allah, sehingga di dalam kebudayaan itu terdapat unsur-unsur ilahi. Bersamaan dengan itu, kebudayaan juga merupakan ciptaan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, sehingga di dalam kebudayaan itu mungkin saja terdapat unsur-unsur setani. Oleh karena itu, kami menolak unsur setani dan menerima unsur ilahi yang terdapat di dalam kebudayaan.

    Kami tidak anti adat, tidak anti tradisi, ataupun tidak anti budaya, tetapi kami tidak menyembah adat, tradisi, ataupun budaya. Kami menerima adat, tradisi, ataupun budaya untuk memuliakan Tuhan Yesus Kristus dan untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik (Injil Matius, Markus 7:8-9, Kejadian 4:21-22, I Korintus 9:19-23, Filipi 2:5-7, II Korintus 4:5).”, dll.

    Dalam ritual, GIKI mencoba menerapkan beberapa ritual tradisional Karo dengan balutan injil agar dapat diterima warga gereja dan masyarakat adat, misalkan tradisi muncang atau ndilo udan (memanggil hujan) dalam suku Karo yang dilaksanakan dengan ibadah tolak bala(ibadah pemulihan), ada juga merdang dilaksanakan dengan ibadah tabur benih, rani pagé dengan ibadah penuaian, kacip-kacip(sunat) atau mbaba anak ku lau dengan baptisan anak, anak tubuh ibadah kelahiran anak,  mbesur-mbesuri dilaksanakan dengan ibadah mengandung(± 7 bulanan), ngembahken nakan dan mbereken toktok, tudung, bulang ras ciken man orangtua dengan ibadah memberi penghormatan kepada orang tua; nurukken kalak maté dengan ibadah liturgi kematian, mbengket rumah simbaru dengan ibdah memasuki rumah/tempat usaha yang baru, dlsb.  

    Saat awal berdiri GIKI, ada pihak-pihak yang memberi tawaran dukungan, dari sebuah sinode untuk membantu mengurus izin sinode baru(salah satu persyarat mendirikan sinode adalah dukungan minimal dari tiga sinode lain) dengan syarat meniadakan kata ‘karo’ dalam nama GIKI. Sehati dan teguh pada pendirian awal, para pendiri GIKI dengan tegas menolak. Dan di tahun 2010 terjadi guncangan habat di GIKI secara sinode, dimana ada kelompok yang kembali hendak meniadakan kata ‘karo’ dalam nama GIKI dengan berbagai alasan, namun sekali lagi dengan tegas ‘GIKI’ menolak dan tetap teguh mempertahankan “Yesus keleng kalak Karo”, sehingga unsur kata karo hingga kini tetap melekat di Gereja Injili KARO Indonesia, yang mengakibatkan kelompok yang ingin meniadakan kata karo tersebut keluar dan mendirikan denominasi yang baru.

    Dalam hal liturgi ibadah, beberapa ornamen kekaroan khususnya di GIKI Medan mulai dimasukkan, misalkan musik nuansa Karo, lagu berbahasa Karo, khotbah(firman Tuhan), doa-doa, dan ibadah yang mulai memakai bahasa Karo. Dan dalam beberapa acara, seperti perayaan natal(2013), GIKI Medan khususnya mencoba mengangkat nuansa Karo  mulai dari tema, liturgi, musik, nyanyian, dan pengisi acara yang full bernuansa Karo. Dan kedepan, GIKI Medan berniat mengembangkan musik gerejawi Karo yang sekarang sudah mulai dirintis oleh Komisi Musik dan Pemuda GIKI Medan. GIKI Medan ingin hadir sebagai salah satu, bahkan mungkin satu-satunya gereja dengan tata ibadah ala gereja pembaharuan namun bernuansa tradisional di Sumatera Utara, sebagai wujud nyata memperjuangkan Kristus – Karo; sebagai wujud nyata ‘kami cinta Kristus – cinta Karo. Kami menyembah Kristus dengan budaya Karo’ dan sebagai wujud nyata ‘mengintegrasikan injil dengan budaya lokal, dengan mengembangkan sentralitas, sakralitas, dan ritualitas iman’. Sebagai wujud nyata GIKI berjuang untuk “Kristus(injil) dan Karo”, Sehingga kedepannnya GIKI mencita-citakan keberadaan injil di masyarakat bukan sebagai momok menakutkan yang berpotensi akan mengkaburkan eksistensi budaya lokal, atau pun injil hanya sebagai wacana formalitas gereja saja, melainkan injil sebagai penerang budaya dan menyempurnakan budaya.


    1.3. Mengapa GIKI terbeban untuk orang Karo

    ‘Mengapa GIKI terbeban untuk orang Karo?’ Pertanyaan ini sangat lazim didengar oleh jemaat GIKI, khususnya para pengerja yang dilontarkan oleh orang diluar GIKI. ‘Bukankah orang Karo semuanya sudah beragama. Sudah Kristen. Jadi, saya rasa tidak perlu lagi orang Karo diinjili.’ Dan masih banyak pertanyaan serta pendapat lainnya.

    Beberapa alasan penting mengapa GIKI terbeban melayani orang Karo, yakni:

    1. Amanat agung Tuhan Yesus. Pesan terakhir Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya, adalah ‘memberitakan Injil’ ke semua bangsa ke penjuru dunia. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat.28:19)”. Sebagai umat Tuhan, memberitakan injil adalah hal yang mutlak yang harus dilakukan semua gereja-gereja di dunia ini, bukan hanya GIKI. Dan hingga kini, Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI) menganggap Injil masih relevan untuk diberitakan, seperti tertulis dalam KYKY Gereja GIKI pada Sepuluh(10) Pengakuan Iman GIKI pasal kelima (5) yang berbunyi: “Kami percaya bahwa injil adalah kekuatan Allah yang luar biasa untuk menyelamatkan orang-orang berdosa dan sampai saat ini, injil tetap relevan untuk diberitakan dan menjadi tugas utama gereja untuk memberitakannya kepada dunia ini (bd. Rom 1:16 -17; Fil 1:5).” Dan di pasal sebelumnya(pasal 4), juga dikatakan: “Kami percaya bahwa gereja adalah kumpulan orang-orang percaya yang telah menerima anugrah keselamatan di dalam Yesus Kristus dan yang dengan tekun dan setia menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali sembari memberitakan‘injil-Nya’ dan hidup menurut firman-Nya. (bd. Efesus 1:1-4, 2:10, 6:11-20).” Jadi, injil harus tetap diberitakan tak terkecuali bagi umat kristen sendiri.
    2. Sejarah. ‘Jasmerah’(jangan sekali-kali lupakan sejarah), demikian ucapan terkenal dari proklamotor RI yang juga presiden pertama RI, Ir. Soekarno.  Ada agi ucapan lainnya, misalnya: jangan seperti “kacang lupa akan kulitnya”. Sejarah GIKI mencatat, (1) GIKI didirikan oleh hamba-hamba Tuhan dan kaum Kristen – Karo yang rindu mengabarkan injil, (2) yang rindu Taneh Karo dan semakin banyak orang-orang Karo dapat dimenangkan oleh Injil di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. (3) GIKI pertama sekali berdiri di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara(Taneh Karo Simalem), yakni GKKI Jemaat Karo Injili Kabanjahe dengan pendeta pertamanya Pdt. B.A. Peranginangin. (4) Pemimpin dan jemaat GIKI mayoritas orang Karo ataupun dari Taneh Karo, dan tentunya terbeban untuk saudara/i-nya orang Karo dan orang-orang di Taneh Karo.
    3. Panggilan/Keterbebanan. Panggilan utama GIKI sejak awal adalah memberitakan injil dan memenangkan orang Karo. Seorang tuan tentunya akan lebih mencintai rumahnya dibandingkan seorang yang menumpang. Orang Karo tentunya lebih mengenal budayanya, sehingga ada keterbebanan untuk menyelamatkan dan menyempurnakan budaya Karo dengan mengintegrasikannya dengan Injil.  Ditengah kemerosotan nilai-nilai kekeristenan di dunia, GIKI berpendapat bahwa hanya injil-lah jalan satu-satunya yang dapat memberi pemulihan. Di suku Karo, kita berani menyatakan bahwa lebih dari 50% dari seluruh populasi suku Karo di dunia ini adalah penganut Kristen. Namun, apakah nilai-nilai kekeristenan itu sudah berakar dan hidup didalam masyarakat Karo, terutama kaum Kristen – Karo? Jawabnya, tidak! Sebahagian besar kalak Karo masih ‘beragama’ tetapi belum ‘berTuhan.’ ‘Bergereja’, tetapi belum ‘beribadah/bersekutu/bergaul karib dengan Tuhan’. Masih banyak orang Karo yang walau sudah menganut kristen tetapi masih hidup dalam kungkungan kegelapan dan akar pahit. Taneh Karo yang disebut taneh simalem, masih percaya diri kah orang Karo mengatakan Bumi Turang sebagai ‘taneh simalem’ ditengah terjadinya banyak pergumulan, seperti bencana alam, hama tanaman, kekeringan, kemerosotan moral yang ditunjukan dengan merebaknya praktek perdukunan, perselingkuhan, perjudian, prostitusi, narkoba, pergaulan bebas, bahkan virus hiv/aids yang di Sumatera Utara, Kabupaten Karo sebagai pusat kebudayaan Karo menduduki peringkat pertama teridentifikasi kasus hiv/aids. Tanggungjawab siapa? Ya kita kalak Karo tentunya yang lebih bertanggungjawab dan injil sebagai salah satu obat pemulihan bagi Taneh Karo Simalem. Jadi, apakah injil tidak lagi relevan disampaikan kepada masyarakat Karo? Jawabnya, masihlah sangat relevan diberitakan bagi orang Karo walau pun telah menganut Kristen. 
    4. Kalak Karo pé atan masuk surga(orang Karo pun layak/berhak masuk surga). “Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka(Why. 7:9).” Jadi, bukan hanya orang Jahudi sesuai kuota yang layak diselamatkan, akan tetapi semua bangsa, suku, kaum, dan bahasa juga menerima anugrah keselamatan. Namun. Bayangkan, semisal tidak ada lagi orang Karo yang memiliki keterbebanan untuk memberitakan injil kepada sesamanya ditengah banyaknya pergumulan ditengah-tengan suku Karo dan kemerosotan kekeristenan di Eropa(megapa Eropa? karena selama ini penginjil ke Karo asal Eropa). Apakah kita menunggu Eropa kembali dipulihkan dan mereka kembali berbondong-bondong kembali ke Asia untuk memberitakan injil? 
    Ada sebuah lagu gerejawi yang cukup populer dan pernah diterjemahkan ke cakap(bahasa) Karo. Kira-kira begini syairnya: ‘Yesus keleng kalak Karo, kalak Karo kerina: Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, Peranginangin. Yesus keleng kalak Karo kerina.’ Mengapa lagunya kemudian diterjemahkan Yesus keleng kalak Karo(Yesus cinta semua bangsa:ver. Ind.), mengapa tidak “Yesus keleng kerina Bangsa(?)’. Karena orang Karo sadar, amanat yang tertulis di Matius 28 memiliki artian yang luas dan relevannya bagi kalak Karo yang masih banyak hidup dalam kuasa-kuasa gelap dan akar pahit, adalah dimulai dari diri sendiri, keluarga, komunitas, masyarakat,  dan semua bangsa. Sehingga unsur bangsa(misal: Indonesia), suku(misal: Karo), kaum(misal: Sembiring Meliala), dan bahasa(misal: bahasa ibu kita Karo dan Indo) dapat tercapai. (bersambung...)