Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Saturday, June 22, 2013

    Gereja Karo Akan Berulang Tahun

    Logo: Gereja Injili KARO Indonesia (GIKI)
    27 Juni 1992 merupakan salah satu hari besar dalam sejarah kekeristenan Karo disamping hari besar lainnya, dimana salah satu gereja yang didominasi etnis Karo terlahir dari sebuah kesepakatan, harapan, dan kerinduan akan ‘pekabaran injil’ kepada masyarakat Karo khususnya, dimana gereja-gereja tempat mereka bernaung sebelumnya dinilai kurang memberikan porsi yang cukup bagi pelayanan pengkabaran injil bahkan, dianggap terlalu sibuk dengan urusan birokrasi organisasi gereja.

    Adalah Gereja Injili Karo Indonesia yang disingkat GIKI merupakan lembaga kekeristenan dalam kategori denominasi ‘gereja injil’ di Indonesia yang didominasi oleh etnis Karo, di bulan Juni [27/06] ini akan memasuki usianya yang ke 21 tahun. Maka dari itu, panitia lokal dan sinode akan menggelar serangkaian acara yang terangkum dalam ‘Persekutuan Tingkat Sinode(PTS)’ GIKI 2013 yang diadakan selama lima(5) hari berturut-turut [25 – 29 /06/2013] di Taneh Karo. Adapun rangkaian acara yang akan dilaksanakan untuk mengisi serta memeriahkan 21 tahun berdirinya Gereja Injili Karo Indonesia adalah, sbb:

    ·         Selas, 25 Juni 2013, akan diadakan acara ‘Napak Tilas Penginjilan Pertama Kepada Masyarakat Karo’ atau diantara kalangan Kristen Karo dikenal dengan istilah ‘Sehna Berita Si Merian Man Kalak Karo’ yang akan mengambil start di Desa Buluh Awar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Adapun route yang akan dilalui oleh peserta napak tilas yang akan diikuti dari berbagai denominasi gereja dan masyarakat umum ini nantinya, yakni: Buluh Awar – Selwang – Ketangkuhen – Maertelu – Bukum – Selangge-langge dan finish di Desa Doulu, Kabupaten Karo.

    ·         Rabu, 26 Juni 2013, diagendakan seminar tentang HIV/ AIDS ke desa-desa dan sekolah-sekolah di Kabupaten Karo, dan juga direncanakan akan mengadakan aksi bersih Kota Kabanjahe dan aksi sosial lainnya.

    ·         Kamis, 27 Juni 2013
    -      Ibadah Pesakh keliling Kota Kabanjahe dan doa bersama yang akan dipusatkan di empat titik di Kota Kabanjahe.
    -      Ibadah Tabur Benih dan Ibadah Tolak Bala.

    ·         Jumat, 28 Juni 2013
    -      Perayaan Ulang Tahun GIKI ke 21.
    -      Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR).
    -      Rapat Umum Persekutuan Sinode.

    ·         Sabtu, 29 Juni 2013
    -      Menetapkan Pola dan Strategi Pelayanan GIKI.
    -      Menetapkan Pengerja(pelayan) Khusus.
    -      Menetapkan Jemaat Baru.
    -      Pemilihan Pengurus Sinode Untuk Periode 2013 – 2016.

    Catatan: untuk acara 26 – 29 Juni 2013 dipusatkan di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo.

    Selamat menyambut Ulang Tahun untuk seluruh jemaat Gereja Injili Karo Indonesia (GIKI), semoga misi ingin “ Menjadikan masyarakat Karo pengikut Kristus yang taat dan menyembah-Nya dalam budaya local(Karo) yang ada’ dapat terlaksana dalam kasih karunia Tuhan Yesus, seperti halnya yang tertera dalam motto-nya(GIKI–red) : “KK(2K) = Kristus dan Karo. Kami Cinta Kristus dan Karo; Kami menyembah Kristus dengan budaya Karo.” Mejuah-juah. TYm.


    Persekutuan Tingkat Sinode(PTS) - GIKI






    Tuesday, June 18, 2013

    Sukuisme tadinya jelek, sekarang baik.


    Inkulturisasi ataupun Kontekstual adalah bahasa dan cara gereja dalam menyikapi dan mengintegrasikan budaya lokal dengan injil.
    Tahun 1946 terjadi perang etnis di Dairi, antara orang Toba dan kalak Karo atau 'kalak Teba ras kalak Karo' istilah orang Karo Dairi. Banyak juga korbannya dikedua belah pihak. Tidak ada yang berani menulis peristiwa ini, dianggap tabu dan karena itu juga hampir tidak ada pelajaran dari situ, mengapa terjadi, sebab utamanya dsb. Kalau saya ditanya, jawaban saya ialah perang etnis adalah perang etnis, sebab luar bisa banyak tetapi itu tetap faktor extern, faktor luar bisa berpengaruh kalau sudah ada faktor intern, artinya faktor-faktor yang tersembunyi pada tiap etnis bersangkutan. Penduduk asli di Dairi ialah orang Karo dan orang Pakpak, dan Pakpak merasa tidak berkepentingan ikut perang, berlainan dengan kalak Alas yang kemudian terlibat ikut dibeberapa tempat yang berhubungan langsung dengan kepentingan kalak Alas. Setelah perang itu maka di Dairi berduyun kalak Teba ngasak, seperti semut cari gula. Dengan demikian sudah cukup alasan untuk memasukkan Dairi ke Taput ketika itu. Dairi jadi Taput dan semakin leluasa penuh kebebasan kalak Teba berduyun ke Dairi. Sekarang mereka jadi mayoritas di Dairi, masih ada 'positif' kecilnya ialah kalak Teba atau orang Batak masih mengakui Dairi tanah ulayat kalak Pakpak, Karo tidak diikutkan dalam pandangan mereka, walaupun kenyataannya di Dairi penduduk semula adalah Karo dan Pakpak. 'Positif' besarnya ialah Dairi didominasi oleh kalak Teba dan yang lebih positif lagi ialah suasana kondusif sampai sekarang masih berlaku. Situasi kondusif ini masih berlaku apakah karena kita sungkan membicarakan permusuhan alias kontradiksi antar-etnis, atau karena memang kita sudah pandai dan hebat semua, hebat menyembunyikan 'apa adanya' alias fakta dan kenyataan,ethnicgroups self-assertion and ethnicgroups struggling for power. . Bisa juga hebat menyembunyikan api dalam sekam. Dan ini biar bagaimanapun adalah api! Sepandai-pandai tupai melompat . . . Dominasi adalah penjajahan dan sumber ketidakadilan, contohnya seperti yang dikatakan oleh antoropolog Denis Dwyer: "development programmes frequently are controlled and administered at the higher levels by members of the politically dominant ethnic group; and most of the fruits of such development flow into the pockets of a tiny ethnic elite or at best, are distributed in a limited manner within the same ethnic group". Ini salah satu keuntungan politis/ekonomi bagi etnis-etnis yang memperjuangkan dominasi atau hegemoni.

    Kalak Teba diluar Dairi ngakunya Batak (Tobanya tidak diikutkan), begitu juga ada Karo yang ngaku Batak-Karo tapi Karonya diikutkan. Belanda bilang kalian Batak semua, seperti orang Pribumi katanya kepada semua orang coklat lainnya di seluruh tanah air, yang lebih hitam, Ambon katanya dan yang lebih hitam lagi, Papua katanya. Disini: keangkuhan + kebodohan Belanda. Dan dalam istilah Batak atau Batak-Karo sebagai pengganti Teba dan Karo, sudah termasuk kedalam pengertian intellektual yang lebih tinggi, disini tidak bisa dipisahkan dari 'perang image' (Juara Ginting) atau apa yang sering saya sebut dengan 'ethnicgroups self-assertion and etnicgroups struggling for power'. Disini berlaku sasaran dan motivasi yang sangat jelas: siapa menguntungkan siapa dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sama halnya dengan Aceh Gayo atau Aceh Alas atau Aceh apa saja. Antropolog Batak Amir Nadapdap malah bilang Batak Gayo dan Batak Alas, istilah 'aceh' diganti 'batak' sama dia. Sasaran dan motivasi intellektualnya jelas walupun lebih tinggi.

    Ketika ditanyakan pendapatanya soal pemekaran, gubernur Puteh mengatakan: "Saya sependapat dengan DPRD, tidak mungkin karena itu bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2001," ujar Gubernur Abdullah Puteh. Gubernur juga menyatakan tidak ingin daerah yang disebut sebagai "Serambi Mekkah" ini dipecah-pecah dengan membentuk provinsi. Karena daerah ini merupakan warisan indatu dan nenek moyang masyarakat Aceh yang sangat kental dengan Islamnya(web TVRI). Gubernur Puteh tidak menjelaskan dimana warisan masyarakat Gayo, Alas dan etnis-etnis asli lainnya. (milis tanahkaro Fri Oct 8, 2004 12:20 pm).

    Banyak orang Karo maupun orang Teba tidak pernah mengerti existensi perang etnis 1946 antara kalak Karo dan kalak Teba, karena tidak pernah mendengar. Selalu disembunyikan seperti menyembunyikan SARA kreasi Orba Suharto. Pelajaran dari SARA Suharto ialah: ada yang disembunyikan atau dipaksa sembunyi dan ada yang secara sembunyi dijalankan. Etnis-etnis yang jauh dari kekuasaan harus bungkem, tapi jawanisasi jalan terus. SARA disini saya samakan dengan istilah sukuisme, istilah yang juga punya pengertian lain dalam perkembangan sekarang karena dulu sebelum Orba dan masa Orba sukuisme sangat negatif dan dipakai untuk menakut-nakuti etnis yang menunjukkan ke-etnisannya, yang tidak menunjukkan dianggap 'baik' walupun kemudian bakal jadi sebab utama kekalahan total etnis tersebut, seperti Karo , Alas, Gayo, Pakpak, Dayak dst. Jawanisasi saya maksudkan sama dengan feodalisme jawa, sistem mana telah dipaksakan berlaku diseluruh Indonesia ketika kekuasaan militer fasis-pancasilais Orba Suharto dan yang telah berakibat sangat merugikan adat/tradisi kehidupan otonomi dan demokratis banyak daerah seperti Sistem Nagari di Minang atau sistem demokrasi Runggu Rakut Sitelu pada etnis Karo, sistem mana telah exis dan berlaku mengatur kehidupan Minang dan Karo bahkan jauh sebelum feodalisme Jawa.

    Ethnic revival atau Cultural revival dunia adalah revolusi besar kebudayaan etnis-etnis dunia membembaskan dirinya dari penindasan kultur/budaya dan juga secara politis dan ekonomi. Ini terjadi secara besar-besaran di Uni Soviet, Yugoslavia, Irlandia Utara, Rwanda, Chapata/Mexiko, Srilangka dst, dan di Indonesia sendiri Kalbar, Kalteng, Maluku, Sulteng/Poso dll.

    Di Swedia berdiri Parlemen Sami + benderanya, diluar parlemen Swedia.

    Di Aceh pemekaran ALA/ABAS, di Sumut pemekaran Protap, Sumtim, propinsi Karo, Tabagsel, Nias. Setelah perang etnis di Indonesia kemudian dibagian lain dilaksanakan dengan pemekaran dan yang sudah terlaksana lebih dulu ialah Gorontalo, Babel, Banten, dll.

    Sukuisme sekarang baik, dan lebih baik lagi kalau dibicarakan atau memang harus dibicarakan apa adanya, menghindari api membara dalam sekam dan dengan sendirinya menghindari perang etnis, yang sudah makan korban dimana-mana termasuk di Indonesia. "Ngerana kita atau erperang kita" pernah kutulisken mbarenda. Erperang sangana ngusir penjajah seh beluhna kita, gundari ngerana, lanai pakai bambu runcing atau bedil. Arah ngerana enda banci nambah "bargaining position" (istilah si pernah ipake Rudy Pinem). Ngerana soal pemekaran Karo jelas bakal nambah ruang gerak politis bagepe ekonomi man Karo (termasuk DAU; DAK). Gundari ngerana saja lebe, gia lenga lit pemekaran tapi enggo itteh kalak ija posisinta, itteh kalak sura-suranta si pasti, enda pe enggo terakap. Kai denga ka adi pemekaran daerah-daerah otonomi (5 daerah otonom: Berastagi, Deli, Langkathulu, Singalorlau, Tigalingga/Tanehpinem) enggo terbentuk, tentu ibas Sumut enggo 5x lebih besar suara politikta. Kai denga ka adi berhasil kita bentuk propinsi Karo, enda enggo bulat suara Karo jadi sada suara ku Pusat, Karo jadi perpanjangan tangan pusat, lanai perlu calo. (Milis tanahkaro Tue Dec 18, 2007 9:14 pm).

    Globalisasi telah mendesak kemanusiaan kepelosok yang paling terpencil sekalipun, dan satu-satunya tempat bertahan bagi kemanuisaan ialah dalam grup 'bersama' yang paling kecil yaitu etnisnya atau sukunya, yang kulturnya sama. "the focus is almost exclusively at ethnics and not nations" , kata Erik Lane dalam bukunya - Globalization and Politics: Promises and Dangers. Selanjutnya dia tulis: "Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture."

    HUT kota Medan tahun ini sangat memprihatinkan (posting Alexander). Sebabnya karena pemimpin kota Medan sedang dikurung, sebab ekonomi yang semakin mencekik, atau juga adanya 'perang image' tadi. Dan perang image ini bisa berhenti kalau kita semua sudah merasakan keuntungan dari kemegahan sejarah bersama kita. Dan ini memang perjuangan . . . perjuangan untuk keadilan bagi dan untuk seluruh nation Indonesia.

    Enda ka lebe
    Bujur ras mejuah-juah
    MUG

    Sukuisme tadinya jelek, sekarang baik< Prev  Next > 
    Posted By: Wed Jul 2, 2008 11:59 am  |
    Oleh: M. U. Ginting (Swedia)
    disadur dari: tanahkaro · Mailing List Tanah Karo Simalem.

    Lihat juga:
    Karo bukan Batak: Sekedar opini dari saya (Bagian 2)






    Thursday, June 13, 2013

    UIS KARO DAN KARO BUKAN BATAK

    Oleh Juara R. Ginting (Leiderdorp, Netherlands)
    disadur dari group FB: JAMBURTA MERGA SILIMA.

    Saya ada sedikit saran dalam membiacarakan uis Karo ini, khususnya dalam hubungannya dengan ulos Batak dan Karo Bukan Batak! (KBB) [JRG-red]. Namun, sebelum lebih lanjut membaca, ada baiknya kita mendengarkan video klip berikut ini. Mejuah-juah.


    Masyarakat KARO dalam sebuah acara adat
    Kalak Karo
    Saran pertama
    , sebaiknya kita sama-sama berangkat dari titik nol dan berhanyut dengan proses PENCARIAN INFORMASI dan PENGKAYAAN PENGETAHUAN tentang yang dipersoalkan. Jangan paksakan kesan pribadi yang mungkin saja tingkatnya sangat rendah untuk dianggap sebagai data/ informasi menjadi sebuah kesimpulan.

    Misalnya, pendapat senina Ginting mergana coffee: "Beda uis gara dengan yg Simalungun apa? Saya lihat sama aja." Nadanya adalah untuk dijadikan penangkis sebuah argumen (Karo Bukan Batak). Padahal, saya yang sudah bertahun-tahun meneliti semua tenunan tradisional di Sumatra tidak menemukan sebiji textil pun yang sama antara Simalungun dan Karo. Lain halnya kalau mirip-mirip. Dan jangan lupa, kemiripan tidak selalu terletak pada objek tapi juga pada otak si pemandang (subjetifitas).

    Saran ke dua, tidak adanya orang Karo bertenun bukanlah barang baru. Justru sekarang ini sudah ada satu dua orang Karo yang bertenun. Sudah sejak awal-awalnya orang Karo tidak bertenun. Tapi, orang-orang Karo di Binjai, Sunggal, Laucih, Delitua dan Patumbak mengembangkan pertanian kapas yang menjadi bahan dasar dari tenunan tradisional itu. Daerah ini disebut Sinuan Bunga (Penanam Kapas). Di bagian lebih atas, seperti halnya sekitar Sibolangit, memproduksi gambir sebagai bahan dasar pewarna tenunan, makanya disebut juga wilayah Sinuan Gamber(Penanam Gamber).

    Kapas didagangkan dari wilayah Sinuan Bunga ke bagian lebih tinggi dari Taneh Karo setelah diadakan pemintalan oleh orang-orang Karo. Hasilnya adalah Benang Sepuluh dan Benang Dua Puluh (perhitungan yang penting dalam upacara raleng tendi: Siwah Spulu Sada / 9 + 11 = 20). (Ingat juga Aron Sepuluh dan Aron Dua Puluh yang terus saling bersaing dalam acara guro-guro aron. Bila yang satunya menjadi aron simantek yang lainnya menjadi aron anceng dengan memainkan drama gundala-gundala atau pergamber-gamber di pinggir kampung).

    Semua desa Karo melakukan pencelupan (ertelep) sebelum mereka mengirimnya lewat Perlanja Sira ke Negeri Ketengahen atau disebut juga Sitelu Kuta/Sitolu Huta (Tongging, Paropo, Silalahi). Di sanalah uis Karo ditenun dan nantinya dijemput kembali oleh Perlanja Sira dan menyerahkannya kepada pemesan.

    Ketika controleur Middendorp hendak mengembangkan Bank Rakyat di sekitar tahun 1930-an (dengan mengirim beberapa raja Karo seperti Pa Pelita ke Padang untuk belajar tentang bank), Pa Pelita si Sibayak Kabanjahe menarik para penenun dari Sitolu Huta ke Kabanjahe dan memberikan tempat tinggal untuk mereka satu kesain baru (sejak itulah banyak orang-orang Situlo Huta di Kabanjahe). Ingat Sitolu Huta (Tongging, Paropo dan Silalahi) bukan Toba dan bukan Samosir. Siapa mereka? Itu pertanyaan lain lagi yang bisa kita bahas di lain waktu.

    Sistim seperti ini terdapat hampir di seluruh dunia. Kita ambil saja contoh Pulau Laboya (Indonesia Timur). Tenunan Laboya dimulai di bagian Timur pulau itu dan dilanjutkan ke Laboya Tengah. Penenun-penenun Laboya Tengah tidak boleh menyelesaikan tenunan. Mereka harus menyisakannya untuk diselesaikan di Laboya Barat. Sistim ini terkait dengan konsep The Laboya as a Woven Land yang, ternyata, dianggap punya body phyton (Perhatikan motif kulit ular sawah pada uis gara yang tidak didapati di tenunan Batak).

    Sistim yang mirip pernah diperkenalkan oleh antropolog ternama Bronislaw Malinowsky yang meneliti sistim pertukan mwali (ubi rambat) dengan sulava (mutiara) di Trobrian Island (Fiji) yang kemudian dianalisis oleh Marcel Mauss dengan menelorkan the theory of exchange (ini menjadi trend baru di dalam Antropologi Ekonomi yang menjelaskan sistim perbankan masa kini yang ternyata sama dengan primitive exchange. Sebagaimana dikatakan oleh Levi-Strauss, Wall Street itu bukan tempat rasional dan logika tapi tempatnya The Savage Mind (bukunya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda Het Wilde Denken), alias rumah judi. Karena itu, para antropolog merasa berhak berbicara atas krisis finansial yang terjadi akhir-akhir ini dan menuding penyebab utamanya adalah bank-bank multi nasional yang membunuh bank-bank lokal (sebut saja raja-raja kecil).

    Kajian paling awal tentang tenunan tradisional di Antropologi dilakukan oleh Marcell Mauss di kalangan Eskimo (yang sekarang akan mengamuk kalau dibilang Eskimo. Mereka menyebut diri mereka Inuit. Mereka sudah duluan dengan gerakan IBE yang mirip KBB; Inuit Bukan Eskimo). Menurut Marcell Mauss, uis Inuit yang disebut Potlach adalah juga alat tukar (sejenis uang) selain untuk melindungi diri dari rasa dingin. Dia selanjutnya mengkaji pertukaran Potlach dalam upacara-upacara ritual.

    Penelitian Mauss dijadikan oleh Lévi-Strauss untu mematahkan teori penyebaran kebudayaan secara difusionisme maupun migrasi. Dalam sebuah tulisan saya, saya merespon Lévi-Strauss dengan memperlihatkan perbedaan antara Batak dengan Karo: Di Karo, uis mengalir dari kalimbubu (life giver) ke anak beru (life receiver) (Ingat dalam ngosei). Di Batak, ulos mengalir dari boru ke hula-hula. Ketika saya paparkan ini di Paris, murid-murid Levi-Strauss langsung berkata: "Itu adalah pertanda Karo dan Batak membedakan diri satu sama lain." (dalam missi mereka mematahkan teori dari orang-orang Jerman yang tetap bertahan pada difusionisme dan evolusionisme sehingga mereka getol mengucapkan Batak sebagai sebuah rumpun budaya). Tak aneh, Daniel Peret (yang orang Perancis) mengkoyak-koyak rumpun Batak.

    Saran berikutnya, jangan menganggap semua uis Karo terinspirasi oleh Batak. Parang rusa[k] asalnya dari Gayo yang di sana berarti parang rusa (tanduk rusa) yang artinya sama dengan parang mbelin di Karo. 

    Saran saya yang terakhir, mari mengkespresikan pengalaman-pengalaman pribadi kita di sini tapi jangan lemparkan ke forum sebagai sebuah kesimpulan akhir.

    Mejuah-juah. :D


    Saturday, June 8, 2013

    Karo Bukan Batak (KBB): Sekedar opini dari saya (Bag. II)


    Karo Bukan Batak (KBB)” kembali bergema! Gaungnya sudah merasuk ke penjuru dunia Karo. Dimana ada kalak (orang) Karo disitu jugalah tentunya gemuruh KBB ini akan terdengar. Apalagi dengan kemajugan teknologi informasi dimana jarak dan waktu bukanlah lagi menjadi rintangan, tentunya gemuruh air KBB ini akan terdengar semakin nyaring. Dari anak-anak, remaja, orang tua semua pada internetan, sehingga tentunya sudah mendengar dan sebahagian juga mengerti apa sesungguhnya esensi dari pergerakan KBB ini.

    Namun, tidak sedikit juga masih ada sisa-sisa pergunjingan yang melekat pada diskusi seputar KBB ini. Dari yang pesimis, emosi yang meledak-ledak, hingga kepada melontarkan hinaan, serta pertanyaan yang sesungguhnya bukanlah layak sekelas dia yang sudah sarjana untuk mempertanyakan itu.

    Terkadang mereka(kontra-KBB) melontarkan kritik keras, dimana mengatakan yang pro-KBB ini bodoh, provokator, tidak tahu sejarah, merusak sejarah, dan tak jarang mereka(kontra-KBB) ini suka membanding-bandingkan, dan bahkan tampak berlebih dalam memuja tradisi dan sejarah etnis lain(jangan-jangan itu etnisnya sebenarnya?) dan barang tentu menghina dan merendahkan tradisi dan sejarah nenek moyangnya(Karo) sendiri, sehingga sering juga terlintas di-benak saya beberapa pertanyaan, diantaranya:
    1. Mereka-mereka ini benar-benar kalak Karo, atau hanya berpura-pura(menyamar) jadi(sebagai) orang Karo?
    2. Mereka ini mengerti atau sok mengerti?
    3. Mereka ini perduli atau sok perduli?
    4. Kok sewot amat sih mereka kalau orang Karo tidak mau dipaksa menjadi Batak? Aneh! Padahal mereka sendiri amfibi dalam idetitas.
    (Untuk mendinginkan suasana, ada baiknya sejenak kita simak video berikut ini)





    Pernah sekali saya tak dapat menahan tawa, saat kami sedang memperdebatkan isu Karo bukan Batak ini, seorang teman yang pro-KBB(Karo Siadi) bertanya kepada yang kontra-KBB(Karo-Batak), lalau dengan mengejutkan yang kontra-KBB(Karo-Batak) menjawab: 'maaf saya tidak tahu jawabannya, karena saya bukan orang Karo!'. Wah... wah... wah... Aneh kan? Padahal selama ini dia mengaku Karo dan memakai merga Karo, dan tampak mati-matian menyatakan kalau Karo itu adalah Batak! Tapi, kok tiba-tiba berkata demikian ('Saya bukan orang Karo' -red, katanya). Dan, setelah saya selediki, dan memang benar mereka-mereka itu bukan orang Karo dan hanya menyamar sebagai orang Karo dengan memakai merga Karo dan bertutur kata dalam cakap(bahasa) Karo. Apa ya kira-kira tujuan mereka melakukan hal demikian? Wah.. yang benar saja lah, broo. 'Nggak usah lah ngaku-ngaku Karo dong kalau cuma mau memprovokasi dan merusak tatanan kehidupan masyarakat Karo itu.

    Pernah juga ada sebuah statemen(kontra-KBB) mengatakan: “Tidak seperti suku …. Kita suku Karo ini tidak memiliki asal-usul yang tertulis, sehingga sudah tentulah kita meragukan apakah kita berasal dari pohon Karo. Bahkan, sejarah kita saja tidak jelas […]” demikian kata mereka. Cuma, kalau boleh saya bertanya: Adakah suku di nusantara, terkhususnya di Sumatera Utara ini memiliki literatur asal-usul, terombo, dan sejarah mereka yang ditemukan sebelum kedatangan Belanda? Atau, sederhananya, adakah literatur terombo, asal-usul, dan sejarah itu yang ditulis dalam aksara daerah? Sepertinya tidak ya? Yang ada semuanya tertulis dalam aksara Latin, sehingga sudah barang-tetu itu produk baru. Bukan begitu?

    Cuma, yang saya tahu ada sebuah menuskrip setebal lima puluh lima(55) halaman yang ditulis dalam cakap (bahasa) Karo dan surat (tulisan/aksara) Karo yang pernah disimpan di Instituut voor de Tropen, Amsterdam, Belanda (diberitakan telah hilang!) yang kemudian ditulis dalam aksara Latin dengan judul “Hikajat Hamparan Perak” yang menyiratkan asal-usul Guru Patimpus Sembiring Pelawi(Pendiri kota Medan) dan keturunannya yang kemudian kita ketahui merupakan pengusa Urung Hamparan Perak. Ada juga kitab yang dikatakan pustaka di pedalaman Karo yang juga berisi silsilah (asal-ususl) yang juga ditulis dalam bahasa dan aksara asli Karo, yakni: Pustaka Ginting dan Pustaka Kembaren.

    Yah, sudahlah… Jangan nanti kita yang malas belajar dan tidak peduli, serta tidak mau mengerti sehingga hanyut dalam kefanatikan,  akan tetapi mereka(pro-KBB) yang kita tuduh tidak sanggup meyakinkan kita. Mejuah-juah. Salam KBB.

    (Sebelum berlanjut ke diskusi..  Ada baiknya sejenak kita kembali menyaksikan satu video lagi )




    Pesan saya: "Kepada teman-teman yang selama ini mengaku Karo dengan menggunakan merga-merga dan sub-merga Karo, bahasa Karo, dan memberi statemen tentang Karo adalah Batak dengan cara mengaku sebagai orang Karo asli yang faham dan memperoleh info dari tua-tua Karo. Saya harap Anda merasa malu dan berhenti merusak tatanan kehidupan dan kentetraman orang Karo. Apapun tujuan Anda, itu sudah merupakan suatu prilaku yang memalukan dan akan menimbulkan situasi yang kurang baik. Jika Anda ingin eksis... silahkan eksis dengan cara baik dan jangan merusak kekaroan itu. Dan, kalau boleh, berhentilah menyamar sebagai orang Karo jika hanya ini merusak dan melakukan kejahatan. Bujur ras mejuah-juah."