My
First Love ataupun cinta pertama-ku!
Masihkah anda-anda sekalian ingat siapa, kapan, ataupun bagaimana kisah cinta
pertama anda? Jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya, pribadi dan jujur saya
mungkin akan merasa kesulitan untuk menjawabnya. Mengapa kesulitan? Hmm. Habis-nya
banyak sekali sih dan tak ada yang terelisasikan satu-pun. Ha-ha-ha-ha... Namun, jika
ditanyakan kapan itu, ya, seingat saya untuk pertama kalai rasa ketertarikan lebih
saya rasakan terhadap lawan jenis itu saat masih duduk di kelas 2 SLTP. Beberapa diantaranya(yang saya sukai) adalah gadis seusia saya bahkan sekelas dengan saya dan tak jarang juga yang usianya jauh diatas saya(SMU). Saya ingat, di kelas saya suka curi-curi pandang, dan disaat jam istirahat saya juga sering sengaja berpas-pasan dengan dia setidaknya untuk sekedar melihat bibir merahnya dan tatapan matanya yang tajam. Bahkan anehnya, tak jarang saya menawarkan diri untuk mengerjakan tugas keseniannya(menggambar dan membuat notasi balog), dan satu hal yang paling tampak dari sikap saya kalau saya memang benar-benar tertarik kepadanya adalah saat dia tersenyum dan menatap saya maka muka saya akan memerah, mata berbinar-binar, jantung berdebar, gugup, rindu, dan cemburu jika melihat dia dengan orang lain. Namun sayang, karena malu-malu dan masih asyik bermain dengan teman-teman akhirnya 3 tahun rasa
cinta(mungkin suka) itu tak pernah terungkapkan. Dan, apakah si gadis juga merasakan sama
dengan yang saya rasakan, hingga kini juga saya tidak tahu, namun dari beberapa
laporan teman, tak jarang si gadis cantik, kulit putih mulus, rambut pirang, bibir merah, dan mata coklat yang saya sukai itu sering bercerita
tentang saya. Dan bahkan beberapa gadis lainnya hingga sekarang masih suka menanyakan kabar saya! Apakah ini sebuah signal bahwa mereka juga merasakan seperti
yang saya rasakan, siapa yang tahu pasti? Apakah anda juga demikian? Hehehe..
:D
My First Love: Nikka Costa(frm: YaoTube)
My First Love, kedengarannya memang sangat romantis walau
jujur saya sendiri tidaklah benar-benar merasakan cinta pertama saya itu karena
seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, bahwa kata cinta itu tidak pernah
terucap dari mulut saya setidaknya hingga saya duduk di bangku kuliah(semester 5) dan
itu-pun gagal seiring dengan kegagalan studi saya. Nasib, nasib! Namun,
walau-pun demikian saya tetap
bersyukur setidaknya masih dapat mencintai dan dicintai walau entah dalam rupa cinta yang bagaimana saya sendiri tidak tahu. Ya! Walau-pun tidak punya kisah
cinta pertama yang romantis namun saya sangat menyukai lagunya My First Love
yang dilantunkan oleh Nikka Costa seorang gadis berdarah Amerika kelahiran
Jepang ini, sebab demikian juga-lah yang saya rasakan dan alami walau hanya
terpendam dalam hati kecil ini. Berikut syair/lirik lagu My First Love!
My First Love
Everyone can see There's a change in me They all say I'm not the same Kid I use to be Don't go out and play I just dream all day They don't know what's wrong with me And I'm too shy to say It's my first love What I'm dreaming on When I go to bed When I lay my head upon my pillow Don't know what to do My first love He(She) thinks that I'm too young He(She) doesn't even know Wish that I could tell him what I'm feeling 'cause I'm feeling my first love Mirror on the wall Does he(she) care at all Does he(she) ever notice me Does he(she) ever found Tell me teddy bear My love is so unfair Will I ever found away An answer to my pray For my first love...
Dan, seiring bertambahnya usia, lagunya juga pun di up-grade ke ""When You Say Love Me", Do You Know How I Love You?" yang dilantunkan oleh Josh Groban. :D Salam mejuah-juah kita kerina.
Kampung Karo adalah salah satu nama dusun, tepatnya Dusun IV Desa
Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera
Utara. Diyakini, Kampung Karo yang dalam penuturan masyarakat setempat dengan
sebutan Kuta Karo adalah wilayah
permukiman yang dipanteki(dibuka
pertama kali/didirikan) oleh Tala Karo-karo Barus dan sangkep nggeluhnya(sanak
keluarga) sekitar tahun 1940 s/d 1950-an dan merupakan pemindahan permukiman dari
kawasan Asahan yang sekarang merupakan wilayah Medan Amplas. Dari cerita
orangtua setempat, hal ini merupakan kesepakatan antara Raja Urung Senembah
dengan masyarakat, mengingat masyarakat Karo adalah masyarakat petani sehingga
hidup berebelahan langsung dengan kota bukan-lah pilihan yang tepat dan
solusinya adalah Kampung Karo.
Seperti
halnya Kecamatan Patumbak yang merupakan bekas ibu kota negeri Urung Senembah dibawah
pimpinan Raja Urung Karo-karo Barus Mergana, tentulah Patumbak dan juga Kampung
Karo(Dusun IV) ini berpenduduk asli dari Suku Karo dan Melayu hingga sekitar
tahun 2000-an setelah jalan menuju Kampung Karo yang dulunya hanya sepanjang +/-
1 km kemudian diperpanjang dan kini sudah tembus ke Kecamatan Tanjungmerawa,
berdatanganlah penduduk yang mayoritas dari etnis Batak. Pada umunnya mereka
merupakan korban penggusuran dari Kota Medan yang sebahagian besar dari kawasan
Mandala - Medan.
Jalan Kampung Karo Patumbak yang
menghubungkan Kecamatan Patumbak dengan Kecamatan Tanjungmerawa yang penjangnya
sekitar +/- 3 km ini kini dinamai warga sekitar dengan nama Jalan Kampung Karo
walau tidak ada pengesahan atau bahkan penamaan secara resmi. Sebenarnya, saat
pembukaan jalan ini sekitar tahun 1999 – 2004 pernah muncul gagasan untuk
menambalan nama Tala Barus yang merupakan orang pertama membuka Kampung Karo
ini, namun entah mengapa hingga sampai pada saat ini belum ada aksi yang cukup
berarti untuk merealisasikannya.
Secara keseluruhan, penduduk di Kampung Karo Patumbak bermata pencarian sebagai petani
dan buruh pabrik, dan sebahagian ada sebagai pegawai negeri, pedagang, ataupun
sektor formal dan non-formal lainnya. Hingga tahun 2000 wilayah ini dikelilingi
oleh perkebunan milik pemerintah, dimana disisi Selatan merupakan kawasan
perkebunan kelapa sawit dan disisi Utara merupakan perkebunan kakao(coklat).
Jadi, Kampung Karo ini permukiman penduduk awalnya hanya disepanjang jalan,
dimana dari kedua belah sisi jalan hanya menyisakan sekitar 100 meter untuk
permukiman dan selebihnya merupakan areal perkebunan.
Saat
meletusnya reformasi 1998 yang diawali gejolak krisis ekonomi dari tahun 1997, berbondong-bondong
masyarakat Kampug Karo menyerbu perkebunan. Entah siapa yang memulai ataupun
memprovokasi, namun rasa takut yang selama ini menghinggapi masyarakat Kampung
Karo terhadap centeng-centeng(sebutan untuk pengawas) perkebunan tiba-tiba
sirna. Bahkan, saya ingat saat dikerahkan dari unsur TNI dan Polri masyarakat
juga tidak gentar menghadapinya. Pada saat-saat inilah muncul sebutan
masa(maling sawit) atau ninja sawit dan maco(maling coklat) untuk masyarakat
Patumbak, terkhususnya yang tinggal di Kampung Karo. Keterpurukan ekonomi
Indonesia di masa itu sedikit pun tidak dirasakan oleh masyarakat Kampung Karo,
mengapa tidak? Nilai tukar dolar yang melambung yang mempengaruhi harga kakao
dan sawit turut dinikmati oleh sebahagian besar masyarakat Kampung Karo. Mulai
dari anak usia 5 tahun hingga lanjut usia semua orang berduit. Tak jarang anak
usia 5 tahun mengantongi uang Rp 50.000 hingga Rp 500.000 padahal saya ingat
persis jatah jajan saya saat itu hanya Rp 2.500 dari orangtua, dan hal ini
pastilah menggoda saya, namun orangtua memperingatkan dengan keras agar jangan
ikut-ikutan dan salah satu cara orangtua untuk menghindarkan kami agar jangan
ikutan adalah dengan mengungsikan kami ke Jambi atau ke Pekanbaru saat liburan
sekolah. Uang yang berlimpah dengan jalan yang mudah dan cepat untuk diraih
tentunya turut mempengaruhi psikologi masyarakat setempat, yakni segalanya
tampak mudah dan instan, sehingga kemampuan untuk menghadapi masalah yang rumit
tentunya menurun drastis. Pemandangan remaja dibawah umur yang menikah itu
biasa, bahkan sepertinya hal yang wajar melihat anak-anak sekitar usia 5 – 15 tahun
memegang rokok dan menghisapnya.
Dari
awalnya hanya menjarah hasil perkebunan berangsur-angsur menjurus ke penebangan
tanaman perkebunan dan penguasaan lahan. Rasa takut(bukan menghormati) terhadap
yang namanya manusi plat merah(pemerintah, pereman pemerintah, pejabat, dlsb)
kini sirna.
Dahulu, pertanian di Kampung Karo ini
cukup maju. Walau dusun buntu(karena jalannya buntu), dan dengan kemajuan
pertanianya, tak jarang putra/i Kampung Karo ini berhasil dan menjadi sarjana,
bakan tercatat merupakan penghasil sarjana bagi Kabupaten Deli Serdang yang tersebar ke
penjuru Indonesia. Dari cerita yang saya dengar dan dalam jangka waktu sebentar sempat juga saya rasakan sendiri, komuditas andalan dari Kampung Karo
adalah kates(pepaya), kemiri, cengkeh, padi, kelapa, dan ikan air tawar.
Kemajuan dari sektor pertanian ini juga dikatakan faktor utama putra/i dari
Kampung Karo ini kemudian malas untuk melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi walau ada beberapa yang berprestasi. Mudah mencari makan, mudah
memperoleh uang, dan mudah hidup karena tanah yang luas dan subur, sehingga terlena dan malas untuk berhadapan dengan dunia luar.
Cerita
kehebatan Kampung Karo tidak berlangsung lama. Saat terjadinya penjarahan
terhadap aset-aset perkebunan yang pada puncaknya penguasaan lahan dengan
langkah awal mematikan tanaman perkebunan, tentunya memberi efek juga terhadap
alam, dimana Kampung Karo yang dulunya sejuk karena dikelilingi tanaman
perkebunan, kini terasa sangat panas dan gersang. Bahkan, semenjak tanaman
perkebunan musnah, tanaman masyarakat juga ikut musnah terserang hama. Tanaman
muda membusuk dan tanaman keras layu dan akhirnya mati. Ada yang mengatakan ini
akibat migrasi serangga yang sebelumnya hinggap di tanaman perkebunan, namun
setelah perambahan serangga-serangga itu berpindah ke
tanaman warga. Sejenak perekonomian Kampung Karo tampak lesu, tanaman mati, kakao dan sawit tidak ada lagi untuk dijarah, dan barang
dagangan-pun tidak laku. Kini baru terasa efek kerisis ekonomi itu. Kondisi ini
semakin diperparah dengan dibukanya proyek-proyek galian tanah yang tentunya ikut serta menambah perusakan alam dan mencemari udara. Jalan-jalan Patumbak hancur karena harus
menopang beban diatas kapasitas maximumnya. Jika kemarau udara Patumbak
bercampur debu seperti salju, dan jika musim penghujan licin dan tergenang
seperti kubangan sapi. Bertahun-tahun kondisi ini dirasakan
masyarakat Patumbak, hingga puncaknya Januari - Februari 2013 masyarakat yang didominasi
kaum ibu turun ke jalan membangun tenda-tenda agar mobil pengangkut tanah tidak
dapat lewat. Setidaknya ada beberapa tenda diawalal-awal aksi, cuma lama-lama
berkurang dan hanya menyisakan satu tenda di kawasan Desa Sigara-gara namun mereka
terus bertahan hingga mobil pengangkut tanah benar-benar berhenti. Jadi, saya
rasa perlu kita acungkan jempol buat kaum ibu-ibu Desa Sigara-gara dan kita
ucapkan terima kasi untuk pahlawan-pahlawan kesehatan Patumbak ini.
Setelah melewati masa-masa sulit, tak
membuat masyarakat Kampung Karo benar-benar terpuruk dan patah semangat. Kini,
perekonomian Kampung Karo sudah tampak mulai bergairah lagi. Sektor pertanian
kembali bangkit, puluhan hektar lahan jagung, kolam ikan, ternak bebek peking,
ternak babi, dan sektor lainnya kini menjadi andalan masyarakat Kampung Karo,
namun sayang sektor pendidikan belum juga mulai bangkit sehingga, Kampung Karo yang dulu ditakuti dan disegani kini hanya dianggap dusun kecil yang kurang perhatian. bersambung.
Dari sekian banyak jejraringan sosial yang
ada sekarang ini, facebook menempati tempat teratas yang paling populer.
Mengapa tidak? Mulai dari anak kecil hingga lanjut usia semuanya tahu apa itu facebook(FB) dan semua pada facebukan(bermain facebook). Dari informasi yang saya temukan di media online menyebutkan
kalau Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia dalam penggunaan
internet yang jumlahnya mencapai 55 juta (Des 2011) dan menduduki pringkat ketiga di Asia dalam kategori pengguna internet. Diyakini jumlah ini
dalam realitanya jauh lebih besar dan setiap saat berubah dan tak tertutup
kemungkinan terjadi peningkatan yang radikal. Berdasarkan data Kominfo April
2012, mencatat pengguna facebook 44,6 juta dan twitter 19,5juta dan ini data
yang sangat besar dan mencatatkan nama Indonesia sebagai negara kelima pengguna
twitter terbesar di dunia. Hebat bukan? Facebook sebagai media sosial yang
memberi layanan geratis dengan dukungan penuh yang memungkinkan interaksi
antara para pengguna semakin efektif dan intens ditambah cara pemakaiannya yang sederhana dan mudah, tentunya tak salah banyak
pengguna jejaringan memilih facebook dengan mengesampingkan privasi(mengingat
ramainya pengguna FB). Namun, dari sekian banyak kelebihan facebook dibanding
sosial media yang lain, masih ada beberapa kekurangan ya setidaknya
menurut saya dan mungkin Anda juga berfikir demikian. Berikut kekuarangan
facebook yang menurut saya.
1. Tamparan
Salah
satu fitur interaksi facebook adalah “colek” atau dalam cakap Karo "gidik". Pengguna dapat mengirimkan
colekan kepada pengguna lainnya, sehingga bisa saling colek mencolek dan jika
tak mau kita bisa membiarkan saja atau menghapus colekan. Namun, ‘nggak sopan
kali colak-colek sembarang orang, apalagi yang baru kenal ataupun sama sekali
tidak kenal. Hmm… Untuk itu, maunya pihak facebook juga menyediakan layanan “tamparan”
sehingga, bagi orang yang tidak sopan dan sesuka hati mencolek bisa dibalas
dengan “tamparan”. Gimana, cocok kam rasa? Hahahaha…
2. Empat jempol
Selain
“colek” di facebook juga memungkinkan para penggunanya untuk berbagi file,
apakah itu text, photo, maupun video. Selain itu ada juga pesan langsung ke
kronologi(di dinding) dan status pengguna yang dimana pengguna lain dapat
memberi komentar dan menyukainya(suka/like) dan dengan meng-klik “suka” maka
akan muncul icon jempol. Namun, tak jarang para pengguna itu mengirim dan
membagikan hal-hal yang sangat bermanfaat, menarik, dan apalah itu, dan ‘nggak
enak banget-kan kalau misalkan sebuah setatus yang biasa-biasa saja karena atas dasar
solidaritas dan keprihatinan terus kita kasi jempol dan demikian juga dengan
status yang sangat berkualitas. Ya, maunya facebook bikin empat jempol biar ada
bedanya sama yang biasa-biasa aja itu. Hmm… kan manusia juga punya empat jempol,
dua jempol tangan dan dua jempol kaki. :D
3. Tidak suka
Seperti
pada poin dua diterangkan ada konten yang biasa-biasa saja dan ada konten yang
luar biasa(maksudnya diluar kebiasaan. Hahahaha… alias si pengirim
jarang-jarang kayak gitu. Wkwkwkwk… :p) dan ada satu kategori lagi dari saya,
yakni ‘nggak banget! Untuk kategori yang ketiga ini hendaknya pihak facebook
juga menyediakan fitur “tidak suka” sehingga si pengirim tahu kalau konten yang
dibagikannya itu tidak disukai orang atau bahkan sangat tidak disukai.
Ok, dekh! Kata Nini Tudung(nenek) terlalu
banyak mengeluh dan meminta juga tidak baik, jadi untuk sementara cukup tiga
itu aja dulu, entar kalau sudah dikabulin baru minta lagi. Hahahah… :-) Salam damai dan mejuah-juah.
"Tiga Pancur Batu" : Tiga-tiga tak lagi seramai dulu.
Tiga adalah
sebutan untuk pasar ataupun pusat perbelanjaan dalam cakap(bahasa) Karo atau
sering juga disebut pajak.
Pertiga-tiga, perpajak, ataupun perengge-rengge adalah sebutan bagi pedagang
dipasar-pasar(pelaku pasar).
Setelah
berkembangnya sistem pasar dan pusat perbelanjaan di Indonesia, maka sebutan
tiga ataupun pajak kini hanya merujuk kepada pasar-pasar tradisional. Namun,
walau demikian aktifitas jual-beli di tiga-tiga ini hingga sekarang masih cukup
ramai walau tidak lagi se-ramai dahulu. Hal ini dikarenakan, tiga-tiga sekarang ini hanya
dikunjungi untuk membeli beberapa komuditi yang tidak diperjualkan di
pasar-pasar modern, seperti: rempah-rempah, obat-obat tradisional, ataupun komuditi
yang dibeli dalam partai besar agar mendapat nilai barang yang masih segara dan
harga yang murah.
Saya pribadi
menganggap tiga-tiga ini sebagai sebuat objek wisata berbelanja tradisional,
mengapa saya katakan demikian? Ya, seperti yang saya utarakan sebelumnya,
banyak komuditi yang tidak diperjualkan di pasar modern, seperti rempah dan
obat tradisional. Bukan itu saja, di tiga-tiga ini juga banyak aneka panganan
tradisional yang tidak kita temukan di pasar modern dan walaupun ada tentunya
penyajian, suasana, dan rasanya sangat berbeda. Saya misalkan masakan khas Karo,
banyak rumah makan yang menyediakan masakan khas Karo di kota-kota di Sumatera Utara,
bahkan hingga ke Jawa, namun dari segi rasa sudah sangat jauh berbeda dengan
yang ada di tiga-tiga. Misalkan BPK, kalau di rumah makan modern dagingnya
sudah dipanggang dengan oven bukan dengan bara api lagi, begitu juga nasinya
yang dimasak dengan memanfaatkan panas litrik dan gas sehingga tentunya rasa
dan aromanya sangat beda dengan daging panggang dan nasi yang dimasak dengan
kayu bakar, dan yang paling mencolok pada soup-nya dimana sudah dicampur dengan
penyedap rasa buatan(zat kimia), dlsb. Berbeda dengan soup di RM di tiga-tiga yang
hanya memakai bumbu alami dan dengan acem cikala(asam khas Karo) yang membuat
rasanya sangat khas dan nyaman di lambung. Cimpa(kue khas Karo sejenis lapet)
yang jika dibeli dari pasar-pasar tradisional masih dibuat dengan sangat
tradisional, dimana tepungnya masih ditutu(ditumbuk) di lesung kayu bersamaan dengan
lada, garam, dan gula; dan gulanya juga masih memakai gula merah dari tuak pola(aren),
bukan seperti gula merah yang kita temui di swalayan yang dimana gula pasir di
aduk dengan entah apa itu seperti lendir. Jadi, rasanya sangat, sangat berbeda
sekali.
Saya ingat saat berkesempatan
tinggal di Suban, Jambi, saya tidak mau makan jika berasnya bukan beras yang
dibeli dari petani setempat, serta yang dimasak jika tidak dengan kayu akasia,
tempinis, ataupun cameline, karena aroma dan rasanya sangat jauh berbeda sekali,
dan itu semuanya hanya dapat kita peroleh di tiga-tiga. Berikut tiga-tiga yang
sering saya kunjungi dan hari puncak kermaianya.
Tiga Pancur Batu pucak keramaiaanya
pada hari Sabtu.
Tiga Delitua(Kamis)
Tiga Namorambe(Senin)
Tiga Sibolangit(Jumat)
Tiga Talun Kenas(Sabtu)
Tiga Simpang Rambutan/Suban, Jambi(Minggu)
Tiga Selensen/Kemuning, INHIL, Riau(Jumat)
Tiga Minas, Minas Jaya, Siak, Riau(Selasa).
,dll.
Mau barang dengan kwalitas bagus dengan harga murah dan khas(rasa dan aroma)? Silahkan mencoba berbelanja di tiga-tiga(pasar tradisional). Selamat mencoba dan salam Mejuah-juah.
Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo Museum Karo Lingga dan Kuta Budaya Lingga,
adalah dua tujuan wisata yang ada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
Perjalanan saya kali ini(Sabtu, 2
Maret 2013) tidak seperti biasa yang walau dadakan namun secara keseluruhan
berjalan mulus. Kali ini tidak begitu mulus dan sidikit mengecewakan. Pasalnya, walau sudah ada
rencana, manun sedikit perubahan lokasi tujuan dari semula ingin mengunjungi lokasi konservasi orang utan di Bahorok, Bukit Lawang,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara namun karena ada beberapa hal diluar dugaan,
maka tujuan-pun dirubah ke tiga Museum yang menyimpan koleksi benda budaya Karo,
yakni: Museum GBKP di kompleks RC. GBKP, Sukamakmur, Museum Pusaka Karo yang
terletak di kota wisata Berastagi, dan Museum
Karo Lingga di Desa Lingga.
Perjalanan dari rumah(Patumbak, Deli
Serdang) sekitar pukul 09.00 wib, cuma kali ini kami menelusuri jalur Patumbak – Delitua
- Titi Kuning – Padang Bulan(Medan) – Pacur Batu – ke Kabupaten Karo, tidak seperti
biasa yang mengambil jalur Patumbak – Delitua – Namorambe - Namom Mbacang/Bintang - Pancur Batu, sehingga tentulah
kemacetan dan persimpangan lampu merah harus dihadapi. Jalur ini diambil karena kami(saya dan adik
saya) sekalian mengantarkan Nande(ibu) Ginting kami ke Jambur Pemere Padang
Bulan, Medan untuk melayat acara adat kematian Bapak Depari. Sebelumnya saya
mengucapkan turut berduka dan semoga keluarga Depari diberi ketabahan.
Memasuki Jalan Jendral A. H. Nasution hingga
Simpang Pos kemacetan parah terjadi, hampir
2 jam lebih kami terjebak macet, baru memasuki Jl. Letjend. Djamin
Ginting lalu-lintas kembali lancar hingga Jambur Pemere dimana kami menurunkan
Nande beru Ginting. Sepanjang Jl. Djamin Ginting Padang Bulan, Medan kendaraan
sangat padat, mengingat hari Sabtu walau demi kian tidak ada kemacetan berarti
selain oleh karena sebuah angkot(angkutan kota) kuning yang mogok tepat
ditengah badan jalan, namun segera ditanggulangi sang pengemudi dan beberapa
orang yang kebetulan melintas, sehingga jalan kembali lancar. Baru di sekitar
Tiga(pasar tradisional) Pancur Batau kemacetan kembali terjadi hingga melewati
Puskesmas Pancur Batu. Berhubung hari Sabtu, maka kendaraan
yang menuju gugung(dataran tinggi/pegunungan) cukup padat, setidaknya dari Bandar Baru samapi Peceren jalanan baru tampak lengang dan sepi, dan memasuki Kota Wisata Berastagi(sekitar
66 km dari Medan) kembali padat dengan kendaraan. Seperti biasa jika melakukan
perjalanan ke dataran tinggi Karo, sebelum memasuki Kota Berastagi,
pemberhentian pertama kami adalah SPBU Sukamakmur yang letaknya tepat di
samping kompleks RC. GBKP Sukamakmur, dilanjut pemberhentian kedua yakni Peceren
dimana disepanjang kedua belah sisi jalan terdapat toko-toko yang menjual
panganan khas Peceren dan yang paling populer adalah Wajit Peceren dan beberapa
aneka panganan lainnya.
Sampai di Kota Berastagi, kami
langsung menuju Museum Pusaka Karo di Jalan Perwira No. 3, Berastagi yang tidak
jauh dari bundaran Tuju Mejuah-juah(Perjuangan) Berastagi, namun di pintu
museum tersebut tertulis “TUTUP” dan ada larangan parkir didepannya, maka tidak
mau larut dalam kekecewaan kami pun melanjutkan perjalanan ke sekitar objek
wisata Gundaling yang masih di kawasan kota wisata Berastagi. Dari Gundaling,
kami melanjutkan perjalanan ke Museum Karo Lingga di Lingga. Jujur, saya tidak
tahu pasti letaknya, maka sambil berbelanja perbekalan saya mencoba
bertanya-tanya kepada kasir swalayan dan masyarakat sekitar tentang informasi
lokasi Museum Karo Lingga ini. Setelah mendapat informasi maka kami melanjutkan
perjalanan menuju Desa Lingga. Melalui Jl. Udara Berastagi hingga simpang empat
kami berhenti sejenak bertanya lagi memastikan arah kami sudah tepat dan
melanjut perjalanan mengikuti jalan menuju Desa Lingga dan Kabanjahe. Tidak
jauh dari tempat kami bertanya, ada pertigaan dengan papan penunjuk arah dan
plank bertulisakan Museum Karo Lingga dan sebuah komplex pemakaman dan geriten
tepat di pertigaan itu, maka kamipun masuk ke kanan pertigaan itu menuju Desa
Lingga, dan sekitar +/- 300 meter dari pertigaan akhirnya kami menemukan tujuan
kami, yakni Museum Karo Lingga, tepat didepan sebuah Gereja Khatolik yang
bangunannya juga bernuansakan Karo.
Museum Karo Lingga adalah museum
yang menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo, yang letaknya di Desa
Lingga(jalan menuju desa budaya Lingga), tepat didepan Gereja Khatolik Santo
Petrus. Bangunan museum ini sendiri merupakan model rumah panggung yang terbuat
dari kayu, dengan bernuansa Karo yang paling jelas tampak pada bagian atapnya
dan ayo-ayo(muka) dari rumah yang ada bertuliskan salam khas masyarakat Karo: “Mejuah-juah.”
Saat masuk ke kompleks museum yang
dimana halamanya ditumbuhi oleh rerumputan hijau, tanpa menunggu untuk disapa saya langsung turun dari mobil dan menyapa seorang peria paruh baya dengan
sapaan khas Karo. Berikut percakapan antara kami di
halaman depan museum.
Saya: “Mejuah-juah, Pak!” sambil
menjulurkan tangan saya.
Si
Bapak: “Mejuah-juah” balasnya denga senyuman sambil menjabat tangan saya.
Saya:
“Me enda nge ningin Museum Karo Lingga e, Pak?”
Si
Bapak: “Ue, ku bas-ken, lit nge bas bibindu.” Jawabnya dengan penuh keramahan,
sambungnya: “Egia, ja nari kin kena?”
Saya:
“Kami Patumbak nari, Pa?”
Si
Bapak: “Adi bage kubasken kena yah.” Katanya mempersilahkan kami untuk masuk.
Bagian tengah museum
Untuk memasuki museum ini (tidak
dipungut berapa beaya resmi, namun sukarela) kita harus menaiki anak tangga
dari bambu bulat, dan ture-ture(teras)-nya
juga masih terbuat dari bambu, dan menjaga kebersihan museum alas kaki harus
dibuka. Namun tidak usah khawatir, karena lantai museum ini bersih kok dan cukup
nyaman untuk menginjakkan kaki didalamnya, karena lantainya juga terbuat dari kayu.
Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
Memang, koleksi dari museum ini
masih jauh dari lengkap, akan tetapi, setidaknya kita sudah mendapat sedikit
gambaran tentang kehidupan masyarakat Karo, khususnya dimasa lampau. Memasuki
museum di bilik ruangan sebelah kanan kita akan menemui benda-benda kesenian dan
kerajinan Karo, dari alat musik dan alat pertanian, serta alat dapur yang
dipajang di lemari kaca, dan diatas meja yang terbuka dipajang patung dan tiga
buah gundala-gundala (topeng Karo),
dan sebuah replika manuk sigurda-gurdi(penggambaran
jelmaan/siluman rajawali), serta beberapa photo yang dipajang di dinding(untuk menjaga keamanan benda dan kenyamanan pengunjung maka di setiap benda yang dipajang terbuka deiberi tulisan "Jangan Disentuh!") . Di
bilik kiri didominasi dengan peralatan sehari-hari dari masyarakat Karo, mulai
dari alat dapur, alat makan, alat mengambil/menampung air, dan pernak-pernik lainnya. Ada
juga tongkat dan dalam lemari etalase kaca dipajang patung model yang memakai
pakaian adat Karo(pria-wanita) dan uis(kain)
tradisional Karo, serta photo-photo yang dipajang di dinding.
Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
Yang menarik perhatian saya adalah
dibagian tengah ruangan ada beberapa peralatan sehari-hari masyarakat Karo
tradisional, dan yang paling menarik perhatian saya adalah “campah”, yakni:
tempat makan orang Karo zaman dahulu yang terbuat dari kayu yang lebarnya sekitar 65 x 65 cm, dengan ketebalan sekitar 15 - 20 cm. Dan, beberapa
benada yang mengingatkan saya kepada almarhum Nini Bulang(kakek) saya, seperti gelang-gelang(wadah memasak dari bahan kuningan), tumbak(tombak), guci, mangkuk, pinggan pasu, dll yang dulu sempat juga
saya koleksi namun karena berpindah-pindah sebahagian entah kemana. Puas berbincang-bincang dengan bibi
penjaga museum dan mengambil beberapa jepretan photo dari kamera digital, kami
memutuskan melanjutkan perjalanan ke Kuta(Kampung) Budaya Lingga yang tidak jauh dari
museum.
Beranjak dari Museum Karo Lingga
menuju Desa Budaya Lingga, optimis saya akan memetik makna yang berarti dan
melihat objek-objek yang menarik, ya.. ada betulnya, karena disepanjang jalan
menuju desa budaya Lingga banyak kita jumpai kuburan dan geriten(penyimpanan
tulang) yang dibangun megah dengan gaya arsitektur khas Karo serta perladangan
masyarakat setempat. Bagus sekali, namun tak sepenuhnya benar! Memasuki kompleks desa budaya Lingga, kita
disambut gapura seperti sebuah gerbang yang berdiri megah dan kokoh dengan gaya
arsitektur Karo. Melintasi gerbang, kita seakan melintasi ruang dan waktu dari
modern ke klasik, setidaknya itu apresiasi dari saya. Namun jika sudah masuk maka sedikit rasa kecewa menerpa, karena apa yang diberitakan tidak lagi sesuai dengan kenyataan sesungguhnya, atau dengan kata lain, yang diberitakan itu adalah cerita sejarah(masa lampau). Tidak jauh dari gerbang
masuk, kita akan disambut sebuah bangunan yang cukup megah, yakni Jambur(balai) Lingga. Kami memutuskan untuk memarkirkan mobil tepat di depat
jambur.
Sebuah Jambur ber-cat putih yang berdiri kokoh dan megah
dengan tiang-tiang kayu bulat menambah keunikannya. Di langit-langit jambur
juga terdapat dua buah papan yang lumayan lebar(sekitar 1, 5 x 3 meter) yang
bertuliskan nama-nama dengan bermerga Karo. Tidak menunggu untuk disapa, saya langsung
menyapa orang-orang yang ada di jambur yang asyik menonton permainan tenis
meja. Seperti biasa, diawali salam “Mejuah-juah” berkenalan dan basa-basi.
Tidak mau sia-sia datang ke desa Lingga saya banyak bertanya tentang desa
tersebut kepada seorang masyarakat setempat yang kebetulan ber-merga Karo-karo
Sinulingga. Merga Karo-karo Sinulingga adalah kelompok merga yang memanteki(mendirikan) desa Lingga dan keturunannya juga dimasa aristokrak berbiak merupakan kaum Sibayak(raja, penguasa, si kaya, yang dimuliakan, bangsawan) di Lingga dengan gelar Sibayak Lingga. Salah satu pertanyaan saya yakni tentang nama-nama yang tertera di
langit-langit jambur, dan beliau(Sinulingga) menjelaskan kalau nama-nama itu
merupakan para tokoh pendiri jambur. Dia juga bercerita kalau jambur di desa
itu dulunya memiliki halaman yang luas dan ditumbuhi rumput hijau dan tempat parkirnya juga luas, namun seiring bertambahnya populasi penduduk, maka bangunan bertambah dan
semakin merapat ke jambur hingga kini hanya meyisakan bangunan utama jambur dan
jalan yang ngitari jambur dari tiga sisi jambur.
Pak Sinulingga juga bercerita,
dahulu bangunan rumah di Lingga bergaya arsitektur tradisional Karo(rumah
panggung) dan banyak sekali didapati rumah-rumah adat(Si Waluh Jabu). Namun,
beberapa tahun belakangan rumah-rumah itu runtuh dimakan usia dan diganti
dengan bangunan yang lebih modern, sehingga kini hanya menyisakan dua rumah
adat lagi yang juga terancam runtuh. Jadi ancaman kepunahan rumah adat Karo di
Lingga sudah dalam ambang sangat kritis dan butuh segera diperhatikan. Lihat video Ekspedisi Cincin Api.
Lama berbincang-bincang dengan Pak Sinulingga
saya banyak mendapat informasi kehidupan masa lampau dari desa Lingga yang
membuat saya merinding sekaligus sedih. Desa Lingga yang tersohor dalam sejarah
Sibayak Lingga dan pemberitaan dengan nama desa budaya dengan rumah adat yang
berusia ratusan tahun, saya rasa sudah pantas menyandang istilah kini “hanya
kenangan”. Apakah kita membiarkannya saja? Melihat apa yang terjadi di Desa
Lingga mengingatkan saya dengan perjalanan Kerja Tahun(pesta tahunan masyarakat
Karo) saya sekitar tahun 1997 di Desa Buah
Raya dan Kuta Buluh Simole.
Dimana, saya kecapekan bolak-balik menaiki anak tangga dari ruma adat Si Waluh Jabu
yang satu ke rumah adat lainnya, dan,
sejak saat itu tidak pernah lagi mengunjungi dua tempat tersebut. Apakan disana juga
rumah adat ini telah punah? Hm.. Menyedihkan sekali mendengar cerita dari Pak.
Sinulingga dan melihat dengan kedua mata ini bahwa desa-desa tradisional Karo
kini hanya kenangan seperti halnya Kerajaan Aru(Haru: Karo Kuno). Puas melihat sekeliling Desa
Lingga, namun sengaja saya tidak mengambil satu gambar-pun, karena jujur untuk saat sekarang ini selain daripada sejarahnya, udaranya yang sejuk, serta masyarakatnya yang ramah dan bersahabat tidak adalagi sisa-sisa kebesaran Lingga yang diceritakan, dan, kami pun berpamitan pulang kepada beberapa orang tua dan masyarakat
Lingga yang sangat ramah dan royal senyum. Sebuah pengalaman yang mengharukan
tetapi kami harus kembali dan meninggalkan udara sejuk di Desa Budaya Lingga
yang melegenda ini. Namun, saat perjalanan pulang, saya tidak henti-hentinya
memikirkan rumah adat yang terancam punah itu dan hati kecil ini terus
bertanya: apankah kejayaan Lingga akan kembali? Dimana dulunya Lingga tersohor
bukan hanya alam yang indah dan kemajuan dalam bidang ekonomi, tetapi dengan rumah adatnya, dan tokoh-tokohnya terkhusus dari kaum Sibayak(Sibayak Lingga) yang melegenda dan
disegani oleh negeri-negeri sekitarnya. Selain itu, dari tradisi yang beredar meyakini bahwa nenek moyang bangsa Batak atau sering disebut Si Raja Batak juga diyakini berasal dari Lingga dan masih keturunan dari Sibayak Lingga. Mungkin saat-saat kejayaan itu kembali
hanya dalam mimpi saja. Jam menunjukkan Pukul 15.45
wib saat kami keluar dari Desa Lingga. Tidak sempat untuk singgah di Museum
GBKP yang terletak di Kompleks RC. GBKP Sukamakmur, karena semua fasilitas di
RC dijadwal tutup pukul 16.00 wib. Tapi tidak apa lah, sebab museum yang satu
ini sudah sering saya kunjungi dan selalu akan ada kesempatan untuk
mengunjunginya, setidaknya saat menemani adik saya berenang di kolam rengan
kompleks RC tersebut. Juga menjadi kebiasaan saat
kami kalau pulang dari dataran tinggi Karo selalu singgah makan BPK, cuma, kali ini kami memutuskan makan BPK di sekitar Pancur
Batu saja untuk mengejar waktu agar terhindar dari kemacetan yang biasa terjadi
saat hari sabtu atau hari libur. Ya, tujuan utama tentunya di BPK Ketaren, Namo
Mbacang sekalian ngambil jalan potong alternatif untuk pulang ke rumah. Bukan
karena itu, lokasinya yang adem dan tenang, serta rasanya yang memenuhi
standart dan selera kami membuat BPK Ketaren ini menjadi persinggahan kami jika
melewati jalan ini. Ya, saya rasa ini patut menjadi rekomendasi buat
teman-teman yang ingin menikmati BPK jika berkunjung ke Sumatera Utara dan
tentunya buah salak yang dijajakan tidak jauh dari kedai Ketaren tersebut.
Hehehe…. Capek jalan-jalan, ternyata lebih capek menceritakannya ya? Ok-dekh,
jalan-jalan kita minggu depan kemana ya? Hehehehe…. Salam Mejuah-juah.
Spesial untuk Kuta Lingga tercinta, saya ingin menyanyikan satu lagu karya komponis nasional yang juga merupakan salah satu komponis legendaris Karo asal Kuta Seberaya, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berjudul "Bunga-bunga Nggeluh." Bunga-bunga Nggeluh (Komponis: Djaga Depari) Layas-layasi lah ukurndu Ola ndele la erluhu Kerna pengindo kempu ninina Dibata metehsa Turi-turi'i lah
ukurndu, layasi lah pusuhdu Nde.. Kerna 'lajang aku nindu Tuhu-tuhu kel meriso Daging ngalah lalap la lolo Lampas tayang mata la
tunduh Ee..nda bunga-bunga nggeluh Kempu kel nini-na anakku, em bunga-bunganta nggeluh.
Timai aku timai nini Tigan nindu, Tapi
kena nadingken aku Ola kel kita sirang nini Tigan ningku, Beru
Tarigan ndai ngelukken aku Oh, kempu nini-na kuja pagi kami kerina Turang nande Tigan kusayangi, bunga-bunga 'geluh.. Timai aku timai nindu Tapi kena ngelukken aku Ola kel kita sirang beru Tarigan ningku Tapi genduari kam ngelukken aku Oh, bere Karona kuja pagi mama Biringna Anakku kempu ninina kusayangi, enda bunga-bunga nggeluh. Timai aku timai nindu, Tapi kena ngelukken aku; Olakel aku tading nini ningku, Beru Tarigan ndai ngelukken janji. Oh, nande Tiganna kuja pagi mama Biringna; Turang ku sayangi ari aron enda bunga-bunga 'geluh.