Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Monday, March 25, 2013

    My First Love

                My First Love ataupun cinta pertama-ku! Masihkah anda-anda sekalian ingat siapa, kapan, ataupun bagaimana kisah cinta pertama anda? Jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya, pribadi dan jujur saya mungkin akan merasa kesulitan untuk menjawabnya. Mengapa kesulitan? Hmm. Habis-nya banyak sekali sih dan tak ada yang terelisasikan satu-pun. Ha-ha-ha-ha... Namun, jika ditanyakan kapan itu, ya, seingat saya untuk pertama kalai rasa ketertarikan lebih saya rasakan terhadap lawan jenis itu saat masih duduk di kelas 2 SLTP. Beberapa diantaranya(yang saya sukai) adalah gadis seusia saya bahkan sekelas dengan saya dan tak jarang juga yang usianya jauh diatas saya(SMU). Saya ingat, di kelas saya suka curi-curi pandang, dan disaat jam istirahat saya juga sering sengaja berpas-pasan dengan dia setidaknya untuk sekedar melihat bibir merahnya dan tatapan matanya yang tajam. Bahkan anehnya, tak jarang saya menawarkan diri untuk mengerjakan tugas keseniannya(menggambar dan membuat notasi balog), dan  satu hal yang paling tampak dari sikap saya kalau saya memang benar-benar tertarik kepadanya adalah saat dia tersenyum dan menatap saya maka muka saya akan memerah, mata berbinar-binar, jantung berdebar, gugup, rindu, dan cemburu jika melihat dia dengan orang lain. Namun sayang, karena malu-malu dan masih asyik bermain dengan teman-teman akhirnya 3 tahun rasa cinta(mungkin suka) itu tak pernah terungkapkan.  Dan, apakah si gadis juga merasakan sama dengan yang saya rasakan, hingga kini juga saya tidak tahu, namun dari beberapa laporan teman, tak jarang si gadis cantik, kulit putih mulus, rambut pirang, bibir merah, dan mata coklat yang saya sukai itu sering bercerita tentang saya. Dan bahkan beberapa gadis lainnya hingga sekarang masih suka menanyakan kabar saya! Apakah ini sebuah signal bahwa mereka juga merasakan seperti yang saya rasakan, siapa yang tahu pasti? Apakah anda juga demikian? Hehehe.. :D

     
    My First Love: Nikka Costa(frm: YaoTube)
                My First Love, kedengarannya memang sangat romantis walau jujur saya sendiri tidaklah benar-benar merasakan cinta pertama saya itu karena seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, bahwa kata cinta itu tidak pernah terucap dari mulut saya setidaknya hingga saya duduk di bangku kuliah(semester 5) dan itu-pun gagal seiring dengan kegagalan studi saya. Nasib, nasib! Namun, walau-pun demikian saya tetap bersyukur setidaknya masih dapat mencintai dan dicintai walau entah dalam rupa cinta yang bagaimana saya sendiri tidak tahu. Ya! Walau-pun tidak punya kisah cinta pertama yang romantis namun saya sangat menyukai lagunya My First Love yang dilantunkan oleh Nikka Costa seorang gadis berdarah Amerika kelahiran Jepang ini, sebab demikian juga-lah yang saya rasakan dan alami walau hanya terpendam dalam hati kecil ini. Berikut syair/lirik lagu My First Love!

    My First Love

    Everyone can see
    There's a change in me
    They all say I'm not the same
    Kid I use to be

    Don't go out and play
    I just dream all day
    They don't know what's wrong with me
    And I'm too shy to say

    It's my first love
    What I'm dreaming on
    When I go to bed
    When I lay my head upon my pillow
    Don't know what to do

    My first love
    He(She) thinks that I'm too young
    He(She) doesn't even know
    Wish that I could tell him what I'm feeling
    'cause I'm feeling my first love

    Mirror on the wall
    Does he(she) care at all
    Does he(she) ever notice me
    Does he(she) ever found

    Tell me teddy bear
    My love is so unfair
    Will I ever found away
    An answer to my pray

    For my first love... 


    Dan, seiring bertambahnya usia, lagunya juga pun di up-grade ke ""When You Say Love Me", Do You Know How I Love You?" yang dilantunkan oleh Josh Groban. :D Salam mejuah-juah kita kerina.



    Tuesday, March 19, 2013

    Kampung Karo

    Persimpangan Kampung Karo dengan Jalan Besar Patumbak
    Kampung Karo adalah salah satu nama dusun, tepatnya Dusun IV Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera Utara. Diyakini, Kampung Karo yang dalam penuturan masyarakat setempat dengan sebutan Kuta Karo adalah wilayah permukiman yang dipanteki(dibuka pertama kali/didirikan) oleh Tala Karo-karo Barus dan sangkep nggeluhnya(sanak keluarga) sekitar tahun 1940 s/d 1950-an dan merupakan pemindahan permukiman dari kawasan Asahan yang sekarang merupakan wilayah Medan Amplas. Dari cerita orangtua setempat, hal ini merupakan kesepakatan antara Raja Urung Senembah dengan masyarakat, mengingat masyarakat Karo adalah masyarakat petani sehingga hidup berebelahan langsung dengan kota bukan-lah pilihan yang tepat dan solusinya adalah Kampung Karo. 

    Seperti halnya Kecamatan Patumbak yang merupakan bekas ibu kota negeri Urung Senembah dibawah pimpinan Raja Urung Karo-karo Barus Mergana, tentulah Patumbak dan juga Kampung Karo(Dusun IV) ini berpenduduk asli dari Suku Karo dan Melayu hingga sekitar tahun 2000-an setelah jalan menuju Kampung Karo yang dulunya hanya sepanjang +/- 1 km kemudian diperpanjang dan kini sudah tembus ke Kecamatan Tanjungmerawa, berdatanganlah penduduk yang mayoritas dari etnis Batak. Pada umunnya mereka merupakan korban penggusuran dari Kota Medan yang sebahagian besar dari kawasan Mandala - Medan.

    Jalan Kampung Karo Patumbak yang menghubungkan Kecamatan Patumbak dengan Kecamatan Tanjungmerawa yang penjangnya sekitar +/- 3 km ini kini dinamai warga sekitar dengan nama Jalan Kampung Karo walau tidak ada pengesahan atau bahkan penamaan secara resmi. Sebenarnya, saat pembukaan jalan ini sekitar tahun 1999 – 2004 pernah muncul gagasan untuk menambalan nama Tala Barus yang merupakan orang pertama membuka Kampung Karo ini, namun entah mengapa hingga sampai pada saat ini belum ada aksi yang cukup berarti untuk merealisasikannya.

    Secara keseluruhan, penduduk di Kampung Karo Patumbak bermata pencarian sebagai petani dan buruh pabrik, dan sebahagian ada sebagai pegawai negeri, pedagang, ataupun sektor formal dan non-formal lainnya. Hingga tahun 2000 wilayah ini dikelilingi oleh perkebunan milik pemerintah, dimana disisi Selatan merupakan kawasan perkebunan kelapa sawit dan disisi Utara merupakan perkebunan kakao(coklat). Jadi, Kampung Karo ini permukiman penduduk awalnya hanya disepanjang jalan, dimana dari kedua belah sisi jalan hanya menyisakan sekitar 100 meter untuk permukiman dan selebihnya merupakan areal perkebunan.

    Saat meletusnya reformasi 1998 yang diawali gejolak krisis ekonomi dari tahun 1997, berbondong-bondong masyarakat Kampug Karo menyerbu perkebunan. Entah siapa yang memulai ataupun memprovokasi, namun rasa takut yang selama ini menghinggapi masyarakat Kampung Karo terhadap centeng-centeng(sebutan untuk pengawas) perkebunan tiba-tiba sirna. Bahkan, saya ingat saat dikerahkan dari unsur TNI dan Polri masyarakat juga tidak gentar menghadapinya. Pada saat-saat inilah muncul sebutan masa(maling sawit) atau ninja sawit dan maco(maling coklat) untuk masyarakat Patumbak, terkhususnya yang tinggal di Kampung Karo. Keterpurukan ekonomi Indonesia di masa itu sedikit pun tidak dirasakan oleh masyarakat Kampung Karo, mengapa tidak? Nilai tukar dolar yang melambung yang mempengaruhi harga kakao dan sawit turut dinikmati oleh sebahagian besar masyarakat Kampung Karo. Mulai dari anak usia 5 tahun hingga lanjut usia semua orang berduit. Tak jarang anak usia 5 tahun mengantongi uang Rp 50.000 hingga Rp 500.000 padahal saya ingat persis jatah jajan saya saat itu hanya Rp 2.500 dari orangtua, dan hal ini pastilah menggoda saya, namun orangtua memperingatkan dengan keras agar jangan ikut-ikutan dan salah satu cara orangtua untuk menghindarkan kami agar jangan ikutan adalah dengan mengungsikan kami ke Jambi atau ke Pekanbaru saat liburan sekolah. Uang yang berlimpah dengan jalan yang mudah dan cepat untuk diraih tentunya turut mempengaruhi psikologi masyarakat setempat, yakni segalanya tampak mudah dan instan, sehingga kemampuan untuk menghadapi masalah yang rumit tentunya menurun drastis. Pemandangan remaja dibawah umur yang menikah itu biasa, bahkan sepertinya hal yang wajar melihat anak-anak sekitar usia 5 – 15 tahun memegang rokok dan menghisapnya.

    Dari awalnya hanya menjarah hasil perkebunan berangsur-angsur menjurus ke penebangan tanaman perkebunan dan penguasaan lahan. Rasa takut(bukan menghormati) terhadap yang namanya manusi plat merah(pemerintah, pereman pemerintah, pejabat, dlsb) kini sirna.

    Dahulu, pertanian di Kampung Karo ini cukup maju. Walau dusun buntu(karena jalannya buntu), dan dengan kemajuan pertanianya, tak jarang putra/i Kampung Karo ini berhasil dan menjadi sarjana, bakan tercatat merupakan penghasil sarjana bagi Kabupaten Deli Serdang yang tersebar ke penjuru Indonesia. Dari cerita yang saya dengar dan dalam jangka waktu sebentar sempat juga saya rasakan sendiri, komuditas andalan dari Kampung Karo adalah kates(pepaya), kemiri, cengkeh, padi, kelapa, dan ikan air tawar. Kemajuan dari sektor pertanian ini juga dikatakan faktor utama putra/i dari Kampung Karo ini kemudian malas untuk melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi walau ada beberapa yang berprestasi. Mudah mencari makan, mudah memperoleh uang, dan mudah hidup karena tanah yang luas dan subur, sehingga terlena dan malas untuk berhadapan dengan dunia luar. 

    Cerita kehebatan Kampung Karo tidak berlangsung lama. Saat terjadinya penjarahan terhadap aset-aset perkebunan yang pada puncaknya penguasaan lahan dengan langkah awal mematikan tanaman perkebunan, tentunya memberi efek juga terhadap alam, dimana Kampung Karo yang dulunya sejuk karena dikelilingi tanaman perkebunan, kini terasa sangat panas dan gersang. Bahkan, semenjak tanaman perkebunan musnah, tanaman masyarakat juga ikut musnah terserang hama. Tanaman muda membusuk dan tanaman keras layu dan akhirnya mati. Ada yang mengatakan ini akibat migrasi serangga yang sebelumnya hinggap di tanaman perkebunan, namun setelah perambahan serangga-serangga itu berpindah ke tanaman warga. Sejenak perekonomian Kampung Karo tampak lesu, tanaman mati, kakao dan sawit tidak ada lagi untuk dijarah, dan barang dagangan-pun tidak laku. Kini baru terasa efek kerisis ekonomi itu. Kondisi ini semakin diperparah dengan dibukanya proyek-proyek galian tanah yang tentunya ikut serta menambah perusakan alam dan mencemari udara. Jalan-jalan Patumbak hancur karena harus menopang beban diatas kapasitas maximumnya. Jika kemarau udara Patumbak bercampur debu seperti salju, dan jika musim penghujan licin dan tergenang seperti kubangan sapi. Bertahun-tahun kondisi ini dirasakan masyarakat Patumbak, hingga puncaknya Januari - Februari 2013 masyarakat yang didominasi kaum ibu turun ke jalan membangun tenda-tenda agar mobil pengangkut tanah tidak dapat lewat. Setidaknya ada beberapa tenda diawalal-awal aksi, cuma lama-lama berkurang dan hanya menyisakan satu tenda di kawasan Desa Sigara-gara namun mereka terus bertahan hingga mobil pengangkut tanah benar-benar berhenti. Jadi, saya rasa perlu kita acungkan jempol buat kaum ibu-ibu Desa Sigara-gara dan kita ucapkan terima kasi untuk pahlawan-pahlawan kesehatan Patumbak ini.

    Setelah melewati masa-masa sulit, tak membuat masyarakat Kampung Karo benar-benar terpuruk dan patah semangat. Kini, perekonomian Kampung Karo sudah tampak mulai bergairah lagi. Sektor pertanian kembali bangkit, puluhan hektar lahan jagung, kolam ikan, ternak bebek peking, ternak babi, dan sektor lainnya kini menjadi andalan masyarakat Kampung Karo, namun sayang sektor pendidikan belum juga mulai bangkit sehingga, Kampung Karo yang dulu ditakuti dan disegani kini hanya dianggap dusun kecil yang kurang perhatian. bersambung.



    Link-lik terkait lainnya:



    Friday, March 8, 2013

    Kekurangan facebook


    Dari sekian banyak jejraringan sosial yang ada sekarang ini, facebook menempati tempat teratas yang paling populer. Mengapa tidak? Mulai dari anak kecil hingga lanjut usia semuanya tahu apa itu facebook(FB) dan semua pada facebukan(bermain facebook). Dari informasi yang saya temukan di media online menyebutkan kalau Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia dalam penggunaan internet yang jumlahnya mencapai 55 juta (Des 2011) dan menduduki pringkat ketiga di Asia dalam kategori pengguna internet. Diyakini jumlah ini dalam realitanya jauh lebih besar dan setiap saat berubah dan tak tertutup kemungkinan terjadi peningkatan yang radikal. Berdasarkan data Kominfo April 2012, mencatat pengguna facebook 44,6 juta dan twitter 19,5juta dan ini data yang sangat besar dan mencatatkan nama Indonesia sebagai negara kelima pengguna twitter terbesar di dunia. Hebat bukan? Facebook sebagai media sosial yang memberi layanan geratis dengan dukungan penuh yang memungkinkan interaksi antara para pengguna semakin efektif dan intens ditambah cara pemakaiannya yang sederhana dan mudah, tentunya tak salah banyak pengguna jejaringan memilih facebook dengan mengesampingkan privasi(mengingat ramainya pengguna FB). Namun, dari sekian banyak kelebihan facebook dibanding sosial media yang lain, masih ada beberapa kekurangan ya setidaknya menurut saya dan mungkin Anda juga berfikir demikian. Berikut kekuarangan facebook yang menurut saya. 

    1. Tamparan
     Salah satu fitur interaksi facebook adalah “colek” atau dalam cakap Karo "gidik". Pengguna dapat mengirimkan colekan kepada pengguna lainnya, sehingga bisa saling colek mencolek dan jika tak mau kita bisa membiarkan saja atau menghapus colekan. Namun, ‘nggak sopan kali colak-colek sembarang orang, apalagi yang baru kenal ataupun sama sekali tidak kenal. Hmm… Untuk itu, maunya pihak facebook juga menyediakan layanan “tamparan” sehingga, bagi orang yang tidak sopan dan sesuka hati mencolek bisa dibalas dengan “tamparan”. Gimana, cocok kam rasa? Hahahaha…

    2. Empat jempol
    Selain “colek” di facebook juga memungkinkan para penggunanya untuk berbagi file, apakah itu text, photo, maupun video. Selain itu ada juga pesan langsung ke kronologi(di dinding) dan status pengguna yang dimana pengguna lain dapat memberi komentar dan menyukainya(suka/like) dan dengan meng-klik “suka” maka akan muncul icon jempol. Namun, tak jarang para pengguna itu mengirim dan membagikan hal-hal yang sangat bermanfaat, menarik, dan apalah itu, dan ‘nggak enak banget-kan kalau misalkan sebuah setatus yang biasa-biasa saja karena atas dasar solidaritas dan keprihatinan terus kita kasi jempol dan demikian juga dengan status yang sangat berkualitas. Ya, maunya facebook bikin empat jempol biar ada bedanya sama yang biasa-biasa aja itu. Hmm… kan manusia juga punya empat jempol, dua jempol tangan dan dua jempol kaki. :D

    3. Tidak suka
    Seperti pada poin dua diterangkan ada konten yang biasa-biasa saja dan ada konten yang luar biasa(maksudnya diluar kebiasaan. Hahahaha… alias si pengirim jarang-jarang kayak gitu. Wkwkwkwk… :p) dan ada satu kategori lagi dari saya, yakni ‘nggak banget! Untuk kategori yang ketiga ini hendaknya pihak facebook juga menyediakan fitur “tidak suka” sehingga si pengirim tahu kalau konten yang dibagikannya itu tidak disukai orang atau bahkan sangat tidak disukai.

    Ok, dekh! Kata Nini Tudung(nenek) terlalu banyak mengeluh dan meminta juga tidak baik, jadi untuk sementara cukup tiga itu aja dulu, entar kalau sudah dikabulin baru minta lagi. Hahahah… :-) Salam damai dan mejuah-juah.


    Tiga

    Tiga Pancur Batu: Tak lagi seramai dulu
    "Tiga Pancur Batu" : Tiga-tiga tak lagi seramai dulu.


    Tiga adalah sebutan untuk pasar ataupun pusat perbelanjaan dalam cakap(bahasa) Karo atau sering juga disebut pajakPertiga-tiga, perpajak, ataupun perengge-rengge adalah sebutan bagi pedagang dipasar-pasar(pelaku pasar).  

    Setelah berkembangnya sistem pasar dan pusat perbelanjaan di Indonesia, maka sebutan tiga ataupun pajak kini hanya merujuk kepada pasar-pasar tradisional. Namun, walau demikian aktifitas jual-beli di tiga-tiga ini hingga sekarang masih cukup ramai walau tidak lagi se-ramai dahulu. Hal ini dikarenakan, tiga-tiga sekarang ini hanya dikunjungi untuk membeli beberapa komuditi yang tidak diperjualkan di pasar-pasar modern, seperti: rempah-rempah, obat-obat tradisional, ataupun komuditi yang dibeli dalam partai besar agar mendapat nilai barang yang masih segara dan harga yang murah.

    Saya pribadi menganggap tiga-tiga ini sebagai sebuat objek wisata berbelanja tradisional, mengapa saya katakan demikian? Ya, seperti yang saya utarakan sebelumnya, banyak komuditi yang tidak diperjualkan di pasar modern, seperti rempah dan obat tradisional. Bukan itu saja, di tiga-tiga ini juga banyak aneka panganan tradisional yang tidak kita temukan di pasar modern dan walaupun ada tentunya penyajian, suasana, dan rasanya sangat berbeda. Saya misalkan masakan khas Karo, banyak rumah makan yang menyediakan masakan khas Karo di kota-kota di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Jawa, namun dari segi rasa sudah sangat jauh berbeda dengan yang ada di tiga-tiga. Misalkan BPK, kalau di rumah makan modern dagingnya sudah dipanggang dengan oven bukan dengan bara api lagi, begitu juga nasinya yang dimasak dengan memanfaatkan panas litrik dan gas sehingga tentunya rasa dan aromanya sangat beda dengan daging panggang dan nasi yang dimasak dengan kayu bakar, dan yang paling mencolok pada soup-nya dimana sudah dicampur dengan penyedap rasa buatan(zat kimia), dlsb. Berbeda dengan soup di RM di tiga-tiga yang hanya memakai bumbu alami dan dengan acem cikala(asam khas Karo) yang membuat rasanya sangat khas dan nyaman di lambung. Cimpa(kue khas Karo sejenis lapet) yang jika dibeli dari pasar-pasar tradisional masih dibuat dengan sangat tradisional, dimana tepungnya masih ditutu(ditumbuk) di lesung kayu bersamaan dengan lada, garam, dan gula; dan gulanya juga masih memakai gula merah dari tuak pola(aren), bukan seperti gula merah yang kita temui di swalayan yang dimana gula pasir di aduk dengan entah apa itu seperti lendir. Jadi, rasanya sangat, sangat berbeda sekali.

    Saya ingat saat berkesempatan tinggal di Suban, Jambi, saya tidak mau makan jika berasnya bukan beras yang dibeli dari petani setempat, serta yang dimasak jika tidak dengan kayu akasia, tempinis, ataupun cameline, karena aroma dan rasanya sangat jauh berbeda sekali, dan itu semuanya hanya dapat kita peroleh di tiga-tiga. Berikut tiga-tiga yang sering saya kunjungi dan hari puncak kermaianya.
    1. Tiga Pancur Batu pucak keramaiaanya pada hari Sabtu.
    2. Tiga Delitua(Kamis)
    3. Tiga Namorambe(Senin)
    4. Tiga Sibolangit(Jumat)
    5. Tiga Talun Kenas(Sabtu)
    6. Tiga Simpang Rambutan/Suban, Jambi(Minggu)
    7. Tiga Selensen/Kemuning, INHIL, Riau(Jumat)
    8. Tiga Minas, Minas Jaya, Siak, Riau(Selasa).
    9. ,dll.
    Mau barang dengan kwalitas bagus dengan harga murah dan khas(rasa dan aroma)? Silahkan mencoba berbelanja di tiga-tiga(pasar tradisional). Selamat mencoba dan salam Mejuah-juah.



    Wednesday, March 6, 2013

    Bahasa Karo (Bagian IV : Bilangan)


    Bilangan

    Bilangan

    Latihan
    1. Ubahlah angka-angka berikut ini dalam bentuk huruf!
    a. 17
    b. 259
    c. 345
    d. 1873
    e. 56789
    2. Ubahlah huruf-huruf ini kedalam bentuk angka!
    a. Sepuluhlima
    b. Seratustelupuluhdua
    c. Enemratusduapuluhpitu
    d. Seribulimaratustelu
    e. Telupuluhduaribuenemratuslimapuluhlima

    Piga enda?
    a.  4 + 2 = 6(empat tambah dua emkap[-ken](hasilna) enem)
    b.  22 - 8 = 14(dua kurang waluh hasilna sepuluhempat)
    c.  4 : 2 = 2(empat [i-]bagi dua emkapken dua)
    d.  10 x 3 = 30(sepuluh ikali telu hasilna telupuluh)


    Kode pos ras nomor telepon.

    1. Kode pos Patumbak, em kap: 20361 (duapuluh-telu-enem-sada)
    2. Kode telepon Medan em kap: 061(kosong-enem-sada)
    3. Ia tubuh tanggal 25-2-1986(duapuluh lima-bulan dua-tahun seribusiwahratuswaluhpuluh enem)
    4. 0821 7658 0001(kosongwaluhduasada - pituenenmlimawaluh-kosongkosongkosongsada)

    sebelumnya - bersambung...

    Sunday, March 3, 2013

    Museum Karo Lingga dan Desa Budaya Lingga

    Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo
    Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo

    Museum Karo Lingga dan Kuta Budaya Lingga, adalah dua tujuan wisata yang ada di
    Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
    Perjalanan saya kali ini(Sabtu, 2 Maret 2013) tidak seperti biasa yang walau dadakan namun secara keseluruhan berjalan mulus. Kali ini tidak begitu mulus dan sidikit mengecewakan. Pasalnya, walau sudah ada rencana, manun sedikit perubahan lokasi tujuan dari semula ingin mengunjungi lokasi konservasi orang utan di Bahorok, Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara namun karena ada beberapa hal diluar dugaan, maka tujuan-pun dirubah ke tiga Museum yang menyimpan koleksi benda budaya Karo, yakni: Museum GBKP di kompleks RC. GBKP, Sukamakmur, Museum Pusaka Karo yang terletak di kota wisata Berastagi, dan  Museum Karo Lingga di Desa Lingga.

    Perjalanan dari rumah(Patumbak, Deli Serdang) sekitar pukul 09.00 wib, cuma kali ini kami menelusuri jalur Patumbak – Delitua - Titi Kuning – Padang Bulan(Medan) – Pacur Batu – ke Kabupaten Karo, tidak seperti biasa yang mengambil jalur Patumbak – Delitua – Namorambe - Namom Mbacang/Bintang - Pancur Batu, sehingga tentulah kemacetan dan persimpangan lampu merah harus dihadapi.  Jalur ini diambil karena kami(saya dan adik saya) sekalian mengantarkan Nande(ibu) Ginting kami ke Jambur Pemere Padang Bulan, Medan untuk melayat acara adat kematian Bapak Depari. Sebelumnya saya mengucapkan turut berduka dan semoga keluarga Depari diberi ketabahan.

    Memasuki Jalan Jendral A. H. Nasution hingga Simpang Pos kemacetan parah terjadi, hampir  2 jam lebih kami terjebak macet, baru memasuki Jl. Letjend. Djamin Ginting lalu-lintas kembali lancar hingga Jambur Pemere dimana kami menurunkan Nande beru Ginting. Sepanjang Jl. Djamin Ginting Padang Bulan, Medan kendaraan sangat padat, mengingat hari Sabtu walau demi kian tidak ada kemacetan berarti selain oleh karena sebuah angkot(angkutan kota) kuning yang mogok tepat ditengah badan jalan, namun segera ditanggulangi sang pengemudi dan beberapa orang yang kebetulan melintas, sehingga jalan kembali lancar. Baru di sekitar Tiga(pasar tradisional) Pancur Batau kemacetan kembali terjadi hingga melewati Puskesmas Pancur Batu. Berhubung hari Sabtu, maka kendaraan yang menuju gugung(dataran tinggi/pegunungan) cukup padat, setidaknya dari Bandar Baru samapi Peceren jalanan baru tampak lengang dan sepi, dan memasuki Kota Wisata Berastagi(sekitar 66 km dari Medan) kembali padat dengan kendaraan. Seperti biasa jika melakukan perjalanan ke dataran tinggi Karo, sebelum memasuki Kota Berastagi, pemberhentian pertama kami adalah SPBU Sukamakmur yang letaknya tepat di samping kompleks RC. GBKP Sukamakmur, dilanjut pemberhentian kedua yakni Peceren dimana disepanjang kedua belah sisi jalan terdapat toko-toko yang menjual panganan khas Peceren dan yang paling populer adalah Wajit Peceren dan beberapa aneka panganan lainnya.

    Sampai di Kota Berastagi, kami langsung menuju Museum Pusaka Karo di Jalan Perwira No. 3, Berastagi yang tidak jauh dari bundaran Tuju Mejuah-juah(Perjuangan) Berastagi, namun di pintu museum tersebut tertulis “TUTUP” dan ada larangan parkir didepannya, maka tidak mau larut dalam kekecewaan kami pun melanjutkan perjalanan ke sekitar objek wisata Gundaling yang masih di kawasan kota wisata Berastagi. Dari Gundaling, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Karo Lingga di Lingga. Jujur, saya tidak tahu pasti letaknya, maka sambil berbelanja perbekalan saya mencoba bertanya-tanya kepada kasir swalayan dan masyarakat sekitar tentang informasi lokasi Museum Karo Lingga ini. Setelah mendapat informasi maka kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Lingga. Melalui Jl. Udara Berastagi hingga simpang empat kami berhenti sejenak bertanya lagi memastikan arah kami sudah tepat dan melanjut perjalanan mengikuti jalan menuju Desa Lingga dan Kabanjahe. Tidak jauh dari tempat kami bertanya, ada pertigaan dengan papan penunjuk arah dan plank bertulisakan Museum Karo Lingga dan sebuah komplex pemakaman dan geriten tepat di pertigaan itu, maka kamipun masuk ke kanan pertigaan itu menuju Desa Lingga, dan sekitar +/- 300 meter dari pertigaan akhirnya kami menemukan tujuan kami, yakni Museum Karo Lingga, tepat didepan sebuah Gereja Khatolik yang bangunannya juga bernuansakan Karo.

    Museum Karo Lingga adalah museum yang menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo, yang letaknya di Desa Lingga(jalan menuju desa budaya Lingga), tepat didepan Gereja Khatolik Santo Petrus. Bangunan museum ini sendiri merupakan model rumah panggung yang terbuat dari kayu, dengan bernuansa Karo yang paling jelas tampak pada bagian atapnya dan ayo-ayo(muka) dari rumah yang ada bertuliskan salam khas masyarakat Karo: “Mejuah-juah.”

    Saat masuk ke kompleks museum yang dimana halamanya ditumbuhi oleh rerumputan hijau, tanpa menunggu untuk disapa saya langsung turun dari mobil dan menyapa seorang peria paruh baya dengan sapaan khas Karo. Berikut percakapan antara kami di halaman depan museum.

    Museum Karo LinggaSaya:  “Mejuah-juah, Pak!” sambil menjulurkan tangan saya.
    Si Bapak: “Mejuah-juah” balasnya denga senyuman sambil menjabat tangan saya.
    Saya: “Me enda nge ningin Museum Karo Lingga e, Pak?”
    Si Bapak: “Ue, ku bas-ken, lit nge bas bibindu.” Jawabnya dengan penuh keramahan, sambungnya: “Egia, ja nari kin kena?
    Saya: “Kami Patumbak nari, Pa?
    Si Bapak: “Adi bage kubasken kena yah.” Katanya mempersilahkan kami untuk masuk.

    Museum Karo Lingga
    Bagian tengah museum
    Untuk memasuki museum ini (tidak dipungut berapa beaya resmi, namun sukarela) kita harus menaiki anak tangga dari bambu bulat, dan ture-ture(teras)-nya juga masih terbuat dari bambu, dan menjaga kebersihan museum alas kaki harus dibuka. Namun tidak usah khawatir, karena lantai museum ini bersih kok dan cukup nyaman untuk menginjakkan kaki didalamnya, karena lantainya juga terbuat dari kayu.

    Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
    Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
    Memang, koleksi dari museum ini masih jauh dari lengkap, akan tetapi, setidaknya kita sudah mendapat sedikit gambaran tentang kehidupan masyarakat Karo, khususnya dimasa lampau. Memasuki museum di bilik ruangan sebelah kanan kita akan menemui benda-benda kesenian dan kerajinan Karo, dari alat musik dan alat pertanian, serta alat dapur yang dipajang di lemari kaca, dan diatas meja yang terbuka dipajang patung dan tiga buah gundala-gundala (topeng Karo), dan sebuah replika manuk sigurda-gurdi(penggambaran jelmaan/siluman rajawali), serta beberapa photo yang dipajang di dinding(untuk menjaga keamanan benda dan kenyamanan pengunjung maka di setiap benda yang dipajang terbuka deiberi tulisan "Jangan Disentuh!") . Di bilik kiri didominasi dengan peralatan sehari-hari dari masyarakat Karo, mulai dari alat dapur, alat makan, alat mengambil/menampung air, dan pernak-pernik lainnya. Ada juga tongkat dan dalam lemari etalase kaca dipajang patung model yang memakai pakaian adat Karo(pria-wanita) dan uis(kain) tradisional Karo, serta photo-photo yang dipajang di dinding.         
    Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
    Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
     Yang menarik perhatian saya adalah dibagian tengah ruangan ada beberapa peralatan sehari-hari masyarakat Karo tradisional, dan yang paling menarik perhatian saya adalah “campah”, yakni: tempat makan orang Karo zaman dahulu yang terbuat dari kayu yang lebarnya sekitar 65 x 65 cm, dengan ketebalan sekitar 15 - 20 cm. Dan, beberapa benada yang mengingatkan saya kepada almarhum Nini Bulang(kakek) saya, seperti gelang-gelang(wadah memasak dari bahan kuningan), tumbak(tombak), guci, mangkuk, pinggan pasu, dll yang dulu sempat juga saya koleksi namun karena berpindah-pindah sebahagian entah kemana. Puas berbincang-bincang dengan bibi penjaga museum dan mengambil beberapa jepretan photo dari kamera digital, kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke Kuta(Kampung) Budaya Lingga yang tidak jauh dari museum.

    Beranjak dari Museum Karo Lingga menuju Desa Budaya Lingga, optimis saya akan memetik makna yang berarti dan melihat objek-objek yang menarik, ya.. ada betulnya, karena disepanjang jalan menuju desa budaya Lingga banyak kita jumpai kuburan dan geriten(penyimpanan tulang) yang dibangun megah dengan gaya arsitektur khas Karo serta perladangan masyarakat setempat. Bagus sekali, namun tak sepenuhnya benar! Memasuki kompleks desa budaya Lingga, kita disambut gapura seperti sebuah gerbang yang berdiri megah dan kokoh dengan gaya arsitektur Karo. Melintasi gerbang, kita seakan melintasi ruang dan waktu dari modern ke klasik, setidaknya itu apresiasi dari saya. Namun jika sudah masuk maka sedikit rasa kecewa menerpa, karena apa yang diberitakan tidak lagi sesuai dengan kenyataan sesungguhnya, atau dengan kata lain, yang diberitakan itu adalah cerita sejarah(masa lampau). Tidak jauh dari gerbang masuk, kita akan disambut sebuah bangunan yang cukup megah, yakni Jambur(balai) Lingga. Kami memutuskan untuk memarkirkan mobil tepat di depat jambur.

    Sebuah Jambur  ber-cat putih yang berdiri kokoh dan megah dengan tiang-tiang kayu bulat menambah keunikannya. Di langit-langit jambur juga terdapat dua buah papan yang lumayan lebar(sekitar 1, 5 x 3 meter) yang bertuliskan nama-nama dengan bermerga Karo. Tidak menunggu untuk disapa, saya langsung menyapa orang-orang yang ada di jambur yang asyik menonton permainan tenis meja. Seperti biasa, diawali salam “Mejuah-juah” berkenalan dan basa-basi. Tidak mau sia-sia datang ke desa Lingga saya banyak bertanya tentang desa tersebut kepada seorang masyarakat setempat yang kebetulan ber-merga Karo-karo Sinulingga. Merga Karo-karo Sinulingga adalah kelompok merga yang memanteki(mendirikan) desa Lingga dan keturunannya juga dimasa aristokrak berbiak merupakan kaum Sibayak(raja, penguasa, si kaya, yang dimuliakan, bangsawan) di Lingga dengan gelar Sibayak Lingga. Salah satu pertanyaan saya yakni tentang nama-nama yang tertera di langit-langit jambur, dan beliau(Sinulingga) menjelaskan kalau nama-nama itu merupakan para tokoh pendiri jambur. Dia juga bercerita kalau jambur di desa itu dulunya memiliki halaman yang luas dan ditumbuhi rumput hijau dan tempat parkirnya juga luas, namun seiring bertambahnya populasi penduduk, maka bangunan bertambah dan semakin merapat ke jambur hingga kini hanya meyisakan bangunan utama jambur dan jalan yang ngitari jambur dari tiga sisi jambur.

    Pak Sinulingga juga bercerita, dahulu bangunan rumah di Lingga bergaya arsitektur tradisional Karo(rumah panggung) dan banyak sekali didapati rumah-rumah adat(Si Waluh Jabu). Namun, beberapa tahun belakangan rumah-rumah itu runtuh dimakan usia dan diganti dengan bangunan yang lebih modern, sehingga kini hanya menyisakan dua rumah adat lagi yang juga terancam runtuh. Jadi ancaman kepunahan rumah adat Karo di Lingga sudah dalam ambang sangat kritis dan butuh segera diperhatikan. Lihat video Ekspedisi Cincin Api.

    Lama berbincang-bincang dengan Pak Sinulingga saya banyak mendapat informasi kehidupan masa lampau dari desa Lingga yang membuat saya merinding sekaligus sedih. Desa Lingga yang tersohor dalam sejarah Sibayak Lingga dan pemberitaan dengan nama desa budaya dengan rumah adat yang berusia ratusan tahun, saya rasa sudah pantas menyandang istilah kini “hanya kenangan”. Apakah kita membiarkannya saja? Melihat apa yang terjadi di Desa Lingga mengingatkan saya dengan perjalanan Kerja Tahun(pesta tahunan masyarakat Karo) saya sekitar tahun 1997 di Desa Buah Raya dan Kuta Buluh Simole. Dimana, saya kecapekan bolak-balik menaiki anak tangga dari ruma adat Si Waluh Jabu yang  satu ke rumah adat lainnya, dan, sejak saat itu tidak pernah lagi mengunjungi dua tempat tersebut. Apakan disana juga rumah adat ini telah punah? Hm.. Menyedihkan sekali mendengar cerita dari Pak. Sinulingga dan melihat dengan kedua mata ini bahwa desa-desa tradisional Karo kini hanya kenangan seperti halnya Kerajaan Aru(Haru: Karo Kuno). 

    Puas melihat sekeliling Desa Lingga, namun sengaja saya tidak mengambil satu gambar-pun, karena jujur untuk saat sekarang ini selain daripada sejarahnya, udaranya yang sejuk, serta masyarakatnya yang ramah dan bersahabat tidak adalagi sisa-sisa kebesaran Lingga yang diceritakan, dan, kami pun berpamitan pulang kepada beberapa orang tua dan masyarakat Lingga yang sangat ramah dan royal senyum. Sebuah pengalaman yang mengharukan tetapi kami harus kembali dan meninggalkan udara sejuk di Desa Budaya Lingga yang melegenda ini. Namun, saat perjalanan pulang, saya tidak henti-hentinya memikirkan rumah adat yang terancam punah itu dan hati kecil ini terus bertanya: apankah kejayaan Lingga akan kembali? Dimana dulunya Lingga tersohor bukan hanya alam yang indah dan kemajuan dalam bidang ekonomi, tetapi dengan rumah adatnya, dan tokoh-tokohnya terkhusus dari kaum Sibayak(Sibayak Lingga) yang melegenda dan disegani oleh negeri-negeri sekitarnya. Selain itu, dari tradisi yang beredar meyakini bahwa nenek moyang bangsa Batak atau sering disebut Si Raja Batak juga diyakini berasal dari Lingga dan masih keturunan dari Sibayak Lingga. Mungkin saat-saat kejayaan itu kembali hanya dalam mimpi saja.


    Jam menunjukkan Pukul 15.45 wib saat kami keluar dari Desa Lingga. Tidak sempat untuk singgah di Museum GBKP yang terletak di Kompleks RC. GBKP Sukamakmur, karena semua fasilitas di RC dijadwal tutup pukul 16.00 wib. Tapi tidak apa lah, sebab museum yang satu ini sudah sering saya kunjungi dan selalu akan ada kesempatan untuk mengunjunginya, setidaknya saat menemani adik saya berenang di kolam rengan kompleks RC tersebut.

    Juga menjadi kebiasaan saat kami kalau pulang dari dataran tinggi Karo selalu singgah makan BPK, cuma,  kali ini kami memutuskan makan BPK di sekitar Pancur Batu saja untuk mengejar waktu agar terhindar dari kemacetan yang biasa terjadi saat hari sabtu atau hari libur. Ya, tujuan utama tentunya di BPK Ketaren, Namo Mbacang sekalian ngambil jalan potong alternatif untuk pulang ke rumah. Bukan karena itu, lokasinya yang adem dan tenang, serta rasanya yang memenuhi standart dan selera kami membuat BPK Ketaren ini menjadi persinggahan kami jika melewati jalan ini. Ya, saya rasa ini patut menjadi rekomendasi buat teman-teman yang ingin menikmati BPK jika berkunjung ke Sumatera Utara dan tentunya buah salak yang dijajakan tidak jauh dari kedai Ketaren tersebut. Hehehe…. Capek jalan-jalan, ternyata lebih capek menceritakannya ya? Ok-dekh, jalan-jalan kita minggu depan kemana ya? Hehehehe…. Salam Mejuah-juah.

    Spesial untuk Kuta Lingga tercinta, saya ingin menyanyikan satu lagu karya komponis nasional yang juga merupakan salah satu komponis legendaris Karo asal Kuta Seberaya, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berjudul "Bunga-bunga Nggeluh."

    Bunga-bunga Nggeluh (Komponis: Djaga Depari)

    Layas-layasi lah ukurndu
    Ola ndele la erluhu
    Kerna pengindo kempu ninina Dibata metehsa 
    Turi-turi'i lah ukurndu, layasi lah pusuhdu
    Nde.. Kerna 'lajang aku nindu
    Tuhu-tuhu kel meriso 
    Daging ngalah lalap la lolo
    Lampas tayang mata la tunduh
    Ee..nda bunga-bunga nggeluh 
    Kempu kel nini-na anakku, em  bunga-bunganta nggeluh.

    Timai aku timai nini Tigan nindu, 

    Tapi kena nadingken aku
    Ola kel kita sirang nini Tigan ningku, 
    Beru Tarigan ndai ngelukken aku 
    Oh, kempu nini-na kuja pagi kami kerina
    Turang nande Tigan kusayangi, bunga-bunga 'geluh..

    Timai aku timai nindu
    Tapi kena ngelukken aku
    Ola kel kita sirang beru Tarigan ningku
    Tapi genduari kam ngelukken aku
    Oh, bere Karona kuja pagi mama Biringna
    Anakku kempu ninina kusayangi, enda bunga-bunga nggeluh.

    Timai aku timai nindu, 
    Tapi kena ngelukken aku; 
    Olakel aku tading nini ningku, 
    Beru Tarigan ndai ngelukken janji. 
    Oh, nande Tiganna kuja pagi mama Biringna; 
    Turang ku sayangi ari aron enda bunga-bunga 'geluh.

    Lihat video-nya berikut ini: Koleksi:  Bastanta Permana Sembiring;   Patumbak,  01 Agustus 2008; "Bunga-bunga Nggeluh - Pinta-pinta"  Cipt: Djaga Depari;  vokal: Sopian Surbakti; penata musik: Mustika Barus(alm).


    Museum Karo Lingga


    Lokasi: Jl. Kuta Lingga, Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo,
    Sumatera Utara, Indonesia 22153.
    Tiket masuk: Sukarela.
    Parkir: Halaman museum dan jalan(geratis).
    Koleksi: Benda-benda dari kebudayaan Karo.
    Kategori: Museum, wisata sejarah, wisata budaya, dan wisata pendidikan.
    Akses jalan: Keseluruhan bagus(sekitar 15 km dari Kota Wisata Berastagi; 5 km dari 
    Kota Kabanjahe(ibu kota Kabupaten Karo); 81 km dari Kota Medan).



    Kuta Budaya Lingga
    Lokasi: Kuta Budaya Lingga, Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo,
    Sumatera Utara, Indonesia 22153.
    Tiket masuk: Tidak dipungut beaya.
    Parkir: Halaman, parkir, jalan(geratis).
    Koleksi: Sejarah, jambur, pemandangan alam, dan rumah adat.
    Kategori: Wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, dan wisata pendidikan.
    Akses jalan: Keseluruhan bagus(sekitar 15 km dari Kota Wisata Berastagi; 5 km dari 
    Kota Kabanjahe(ibu kota Kabupaten Karo); 81 km dari Kota Medan).