Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Wednesday, January 29, 2014

    KBB: Formula Ampuh Melawan Lupa (Bag. I)

    Mega Tryanastasia Beru Sembiring: Putri Sumatera Utara 2013, Grand Finalis Putri Indonesia 2014, Putri Persahabatan pada PPI (Pemilihan Putri Indonesia) 2014
             Lama saya berfikir, apa menarik untuk postingan saya kali ini. Lama memutar otak, dan, akhirnya terpikirla oleh saya satu kalimat: “melawan lupa”. Lupa adalah penyakit yang paling akut dan susah untuk diobati, kalau kata orang Karo: ‘Lupa  sepemeren(sepupu) dengan malas.’, sehingga dari sejak dini-lah mari kita membiasakan diri untuk melawannya. 

              Karo Bukan Batak yang disingkat KBB merupakan gerakan moral sepontanitas kalak Karo ataupun orang non-Karo namun telah menjadi kalak Karo dan mengamalkan tradisi Karo dalam kesehariannya. KBB bukan organisasi. KBB bukan separatis anti suku ataupun kelompok tertentu. KBB tidak mengemban misi kepentingan politik, golongan, dll, tetapi KBB adalah gerakan melawan penjajahan(klaim meng klaim) secara kultural. KBB mengemban misi perubahan pola fikir dan merupakan formula untuk melawan LUPA. LUPA terhadap apa? Lupa akan sejarah, jati diri, tradisi, dlsb!

    Tentunya, masih melekat dalam ingatan kita saat tetangga kita Malaysia mengklaim beberapa warisan budaya kita, sebut saja batik, reok Ponorogo, gordang sambilan, dlsb yang diklaim oleh mereka sebagai milik mereka yang membuat seisi negeri ini seperti kebakaran jenggot dan tidak dapat tinggal diam dan sontak memanaslah suasana, terutama di jejaringan sosial yang banyak menyampaikan hujatan keras terhadap negerinya Datuk Sitti Nurhaliza tersebut. Ini terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Bagaimana pula jika ini terjadi diantara kita? Apakah kita akan saling menghujat? Atau yang mengklaim mundur selangkah. Atau yang diklaim meridhokan budayanya dikleam? Pastinya jawaban ke-1 dan 3 tidaklah baik, karena tentunya ada pihak yang merasa dirugikan, jadi solusinya adalah yang mengklaim mundur selangkah dan mengurungkan niatnya untuk melakukan klaim(mengakukan) tersebut. Tetapi, apa ada orang tamak yang sadar dan mau mundur? Saya ragukan itu! Namun, pertanyaanya apakah saat milik kita hendak dirampok orang, kita marah; namun kemarahan orang yang kita rampok tidak kita pedulikan? Rasanya tidak adil.

        Berbicara melawan lupa, sebuah catatan sejarah yang cukup penting dalam memperjuangkan kedaulatan daerah dan budaya Karo pernah terjadi di tahun 1988, dimana kejadian ini bermula dari penetapan nama Taman Hutan Rakyat (TAHURA) yang berada di desa Tongkeh, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo hendak dinamai menjadi Tahura Sisingamangaraja XII oleh pihak pemerintah. Serentak segenap lapisan masyarakat Karo menolak keras hal tersebut dengan beralasan kalau Sisingamangaraja XII secara historis tidak pernah melakukan gerakan perjuangannya di wilayah Karo. Juga, Sisingamangaraja bukanlah orang Karo dan bukan orang dari Taneh Karo Simalem melainkan beliau sorang Batak dan berasal dari Tapanuli/Tanah Batak.

    Dari diskusi yang pernah saya ikuti tentang kejadian ini, ada satu nama yang paling sering muncul dan dikatakan paling vokal menentang hal ini, yakni: Mayor Selamat Ginting atau sering disebut dengan Pa Kilap Sumagan (kilap sumagan = halilintar). Bahkan, salah seorang responden dalam diskusi tersebut mengatakan kalau Mayor yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting Gerakan Rakyat Marhenis dan pengikut setia Peresiden pertama Indonesia Ir. Soekarno ini sangat tegas dan keras menentangnya, lanjut beliau(responden-red), sangkin marahnya, Pa Kilap Sumagan sempat mendaratkan telapak tangannya di pipi bupati Karo saat itu.

    Dengan protes yang dilayangkan unsur masyarakat, kalangan akademisi, ormas, OKP, unsur DPRD, dan pemerintah Kabupaten Karo yang dengan tegas menentang, maka akhirnya pemberian nama Tahura Sisingamangaraja XII diurungkan dan ditetapkan menjadi Tahura Bukit Barisan. Dengan demikian, kedaulatan daerah dan budaya Karo sekali lagi dapat dipertahankan berkat kegigihan orang-orang yang terlibat saat itu.

    Tentunya, bagi orang yang tidak mengerti dan kurang mengerti menganggap apa yang diperjuangkan masyarakat Karo itu sebagai hal yang tidak etis, dimana penolakan nama seorang Pahawan Nasional asal Sumatera Utara yang diberikan oleh pemerintah kepada aset negara yang terletak di wiayah Provinsi Sumatera Utara. Mungkin jika nama itu diberikan sekarang, maka orang banyak akan berkata: ‘Kok ditolak? Bukankah Sisingamangaraja XII pahlawan nasional dari Sumatera Utara; dari Tanah Batak, dan juga Raja Batak(orang Batak), jadi pantas dan apa salahnya jika namanya diabadikan di Tanah Leluhurnya?’, lanjutnya: ‘memang orang Karo ini penghianat semua (kata-kata seperti ini yang sering saya baca pada diskusi-diskusi KBB)!’. Hehehe… Dan, beberapa orang [b-]Karo akan katakan: ‘buat apa kita ribut masalah itu, kerjakan saja kerjaan kalian. Memangnya apa yang sudah kalian perbuat sama Tanah Karo ini’ Lanjutnya: ‘nggak usahlah kalian(pro-KBB) memecah belah, dari dulu bangsa Batak bersatu!’ Lanjutnya lagi: ‘kan itu pahlawan dari Batak, jadi wajar dong namanya ditambalkan menjadi nama Tahura itu! ’. Nde , ah kalak Karo; Nggo kita mberat! Hehehe…   

    Tidak banyak generasi muda Karo saat ini yang tahu akan kejadian ini dan kejadian-kejadian lainnya. Hal ini dikarenakan kalak Karo merupakan orang yang tidak suka memperpanjang persoalan, menganggap hal itu tidak penting, bahkan mentabukan membahas masalah-masalah yang pernah terjadi yang berkaitan dengan pemerintah dan etnis lain, sehingga hal ini membuat kita lupa akan sejarah kita dan mematikan rasa simpati kita terhadap daerah kita dan budaya kita, karena kita menganggap hal-hal tersebut tidak berharga karena tidak memiliki nilai historis, seperti halnya aset-aset dari etnis lain yang sangat menonjolkan nilai historis dan tradisinya. Maka untuk itu, ada baiknya kita masyarakat Karo kembali bersatu mengusulkan satu nama yang memiliki jasa dan nilai historis dalam sejarah perkembangan Tahura ini dan juga tentunya daerah sekitarnya, yakni: Taneh Karo Simalem, agar generasi Karo semakin peka dan menghargai ase-aset daerahnya. Misalkan: Tahura Selamat Ginting, sehingga setiap kali orang berkunjung atau membahasnya akan bertanya: ‘mengapa diberi nama Tahura Selamat Ginting?’

    Mejuah-juah.

    Kalak Karo pada dasarnya adalah bangsa yang menghargai tradisi, sejarah, dan perjuangan tokoh-tokoh bangsa ini, salah satunya ditunjukkan dengan kesetiaan masyarakat Karo kepada Ir. Soekarno hingga sekarang dan memberi gelar yang mulia kepada Soekarno, yakni: "BAPA RAKYAT SIRULO" (bapa semua bangsa, bapa kemakmuran rakyat, dlsb). 


    Mengapa saya harus mengaku Batak

    Mengapa saya harus mengaku Batak?

    • Mengapa saya harus mengaku Batak; Bila hati nurani saya katakan: saya orang Karo, bukan Batak.
    • Mengapa saya harus mengaku Batak; Jikalau bapa(ayah) saya katakan, “Kita kalak Karo labo Batak!” Dan nandé (ibu) saya selalu bilang: “Kalak Batak oh.”
    • Mengapa saya harus mengaku Batak; Padahal nini bulang(kakék) saya tidak pernah berkata ‘kita kalak Batak’, tetapi selalu dia menyebut: kalak Batak oh (orang Batak itu) ataupun kalak Teba oh (orang Toba itu).
    • Mengapa saya harus mengaku Batak; Jikalau saat bertemu keluarga saya, saya selalu katakan “Mejuah-juah.” Bukan: “Horas.”
    • Mengapa saya harus mengaku Batak; Jikalau tanah nini-nini (leluhur) saya adalah Taneh Karo Simalem, bukan Tano Batak.
    • Mengapa saya harus mengaku Batak; Jikalau memang saya orang Karo, bukan Batak...????  
    Jawabnya: Saya Karo bukan Batak! Merekalah yang sesuka hatinya mengatakan kami Batak, yang sesungguhnya mereka sendiri tidak tahu, karena mereka tidak pernah merasakan bedanya merasakan jadi Karo dan jadi Batak. Mereka hanya berkesimpulan dari apa yang mereka lihat dan dikatakan orang lainnya. ‘Mirip’, kata mereka! Menurut saya monyet dan manusia juga mirip. ‘Mirip’, kata mereka. Menurut saya Jepang dan Cina juga sama-sama putih dan bermata cipit. ‘Mirip’, kata mereka! Memangnya mirip sudah pasti sama? Ola ka kin peserindu ‘bengkala’ ras ‘bengkila’ teman. Tetapi, pernahkan mereka perhatikan monyet  dan manusia? Ataupun memperhatikan bangsa Jepang dan Korea. Rusia dan Ukraina yang walaupun sama-sama pucat yang kita katakan mirip, tetapi berbeda dalam rasa dan cara berfikirnya. Itulah perbedaan yang mutlak. Tidak usah jauh, coba rasakan bagaimana rasanya berbicara dengan orang Karo dan orang Batak, tentunya sangat berbeda. Itulah perbedaan yang mutlak tadi, yakni: rasa dan cara berfikirnya.

    Saya Karo bukan Batak, tidak usah susah-susah melalui pembuktian DNA, antropologi, etimologi, dan apalah itu. Karena rasa  dan cara berfikir saya mencitrakan saya Karo, bukan Batak! Sebab, jika dipandang dengan mata dan kalian katakan mirip, saya mirip Jawa dan jika dipoles sedikit maka mirip orang Korea. Apakah saya orang Jawa dan Korea? Tentu tidak! Mejuah-juah. :D


    Thursday, January 23, 2014

    Rakyat Karo bukan Rakyat Sinabung


    Erupsi Gunung Sinabung mengeluarkan lahar dan awan panas
    Erupsi Gunung Sinabung mengeluarkan lahar dan awan panas

             Sejak pertama kali melakukan letusan (2013 – 2014) sekitar empat bualan yang lalu, pemberitaan tentang erupsi gunung Sinabung  ramai di semua media, baik lokal maupun nasional. Namun,  yang menarik bagi saya, adalah cara penyampaian media, baik cetak, elektronik, maupun media online beberapa hari ini dalam mengidentifikasi korban Sinabung, yakni: dengan pemakaian istilah rakyat Sinabung, apalagi menjelang detik-detik kunujungan Presiden SBY ke Taneh Karo.
             
    Sebuah artikel tentang pengungsi Sinabung beredar di media online dan setahu saya telah dihapus oleh pihak penyedia layanan, karena dianggap berpotensi memecah belah dan mengandung konten yang menjelekkan seseorang. Tidak diketahui pasti siapa yang menulis dan meng-unggah konten tersebut, namun dari beberapa info yang saya peroleh itu bukan dari masyarakat Karo yang merupakan mayoritas korban erupsi Sinabung. Dan saya juga yakin itu bukan orang Karo, karena tidak mencerminkan tata kramah dan etika komunikasi orang karo.

     Kita apresiasi semua orang yang peduli dengan bencana Sinabung, dengan cara dan gaya masing-masing, tapi kita menyayangkan jika menyebar info yang tidak akurat, menyudutkan seseorang, dan hal-hal negatif lainnya yang tidak mencerminkan sikap dan sifat masyarakat Karo yang mayoritas menjadi korban erupsi Sinabung ini. ‘Kami orang….. tidak…!!!!!!’, saya rasa juga orang Karo yang tinggal di Jakarta, Manado, dll dan menjadi korban banjir tidak akan dan tidak akan pernah katakan, ‘Kami orang Karo …..’  yang mengatas namakan semua korban banjir itu atas nama “Karo!”, tetapi akan lebih enak didengar: “Kami masyarakat Jakarta, Manado, dll korban banjir ….” Maka semua orang akan dapat menerima. Ini salah satu cara penyampaian informasi yang tidak sehat, dan apa kira-kira yang menjadi motif si penyebar konten?

    Dan, untuk hal kedua, mungkin saya yang terlalu sensitif, atau bahkan ada pihak-pihak yang mengorganisir dalam pemakaian istilah rakyat Sinabung, bukan rakyat Karo yang tidak suka Karo menjadi pusat perhatian. Mungkin masih dapat diterima jika menggunakan istilah masyarakat korban erupsi Sinabung.  Memang, bagi beberapa orang hal ini bukanlah masalah, tetapi, kalau saya menilai ini sebuah metode pemberitaan yang kurang baik, dan tentunya merugikan masyarakat Karo. Mengapa? Tentunya jika berbicara rakyat Sinabung maka satuan etnis dominan disini akan menjadi kabur. Sehingga bukan kekaroan korban Sinabung itu yang menonjol. Kita berharap, dibalik bencana erupsi Sinabung ini, bukan hanya penderitaan saja yang terus menerus muncul, akan tetapi seperti syair sebuah lagu “badai pasti berlalu” demikian jugalah harapan kita bersama, sembari dari rangkaian cerita Sinabung ini terselip nilai promosi bagi kemajuan kebudayaan Karo, namun jika rakyat Sinabung ceritanya, bisa saja orang bilang itu Batak, Jawa, Melayu, dll. Saya jadi teringat sebuah tulisan (MU Ginting) di groups mailing-list Karo tentang protes Prof. Masri Singarimbun terhadap Keppres 1958 yang mengatakan bahwa Karo suku terasing, walau ini berbeda tetapi metode(motif)-nya saya membacanya hampir sama.

    Dari contoh pertama diatas tadi(konten yang telah dihapus-red), saya berasumsi bahwa orang yang menyampaikan konten tersebut tidak paham apa yang terjadi dan tidak benar-benar mengenal Sinabung, sehingga cara penyampaiannya yang bukan mencerminkan mayoritas masyarakat kaki gunung Sinabung yang notabene-nya adalah etnis Karo, akan tetapi, dari keberaniannya yang mengatas–namakan korban Sinabung, wah..! ini perlu dipertanyakan.  Yang walaupun mungkin ini bukan kesengajaan, tetapi itu tidak baik, khususnya bagi masyarakat etnis Karo. Jangan nanti Karo yang kena bencana, akan tetapi program bantuan, apakah itu nanti dalam bentuk uang, binaan, relokasi, dll yang dianggarkan pemerintah yang katanya ke rakyat Sinabung bukan ke masyarakat Karo atau bias menjadi ajang berbagi telur paskah(sinabung dijadikan pintu gerbang aliran dana saja). Sihingga saya kira ini perlu diluruskan, setidaknya bagi kita orang Karo dan yang peduli dengan Karo. Sehingga berbicara Sinabung, Karo-lah yang menjadi pusat perhatian bukan hal yang lain. Katakan Rakyat Karo bukan Rakyat Sinabung agar kekaroan dibalik erupsi Sinabung ini tidak sekabur debu vulkanik Sinabung, sehingga berbicara Sinabung maka Karo yang menjadi pusat perhatian. Selamat datang di Taneh Karo, Pak Presiden(SBY). Mejuah-juah.