Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Wednesday, March 14, 2012

    Piso Surit

                 PISO SURIT adalah salah satu dari sekian banyak syair dan lagu yang pernah dihasilkan oleh komponis ataupun penulis nasional asal Karo, Sumatera Utara, Djaga Depari (Djaga Sembiring Depari). Yang dimana, banyak kalangan mengartikan(piso surit) ini merupakan(dalam) sebuah bentuk benda(piso: pisau). Adalah sebuah kekeliruan yang mungkin tidak disengaja, mengingat kata piso yang mengawalinya mengarah ke sebuah kebendaan(pisau), namun sang komponis sendiri(Djaga Depari) diyakini, sebenarnya mengarang lagu yang bertemakan asmara muda/i Karo yang berlatarkan masa penjajahan Belanda ini, menggambarkan seorang kekasih yang sedang mencurahkan isi hatinya kepada alam tentang kekasih yang dinanti yang tak kunjung datang, hal ini adalah satu yang biasa didaerah karo, yakni: suatu kebiasaan muda/i Karo menuliskan ataupun mengisahkan rintihan atau ratapan(cinta dan kehidupan) yang di Karo popular dengan bilang-bilang(ratapan/rintihan yang diukir di kulit kayu atau bamboo). Pit-co-cuit (cit-cuit) suara burung yang memanggil-manggil digambarkan oleh Djaga Depari dengan kata “piso surit “ sebagai seorang insan yang memanggil-manggil(menanti) sang kekasih yang sedang berjuang di medan perang dan tiada kabar pasti darinya. Hehehehe...   Berikut ini adalah syair dari lagu Piso Surit!

    Piso Surit

    Piso Surit, piso Surit
    Terdilo-dilo, terpingko-pingko
    Lalap la jumpa ras atena ngena.

    I ja kel kena, tengahna gundari
    Siang me enda turang atena wari.
    Entabeh naring turang mata kena tertunduh
    Kami nimaisa turang tangis-teriluh.

    (Reff:,,,,)
    Enggo-enggo me dagena
    Mulihlah gelah kena
    Bage me nindu rupa agi kakana.}2x


    Tengah kesain, turang keri lengetna
    Rembang mekapal turang, sehkel bergehna.
    Terkuak manuk ibabo geligar
    Enggo me selpat turang kite-kite kulepar.

    (To ref...): Enggo-enggo me dagena.., dst.
    Piso Surit, piso Surit
    Terdilo-dilo, terpingko-pingko
    Lalap la jumpa ras atena ngena.

    Saturday, March 3, 2012

    Brāhmana

             Jika kita berbicara tentang Brahmana, mungkin langsung yang terpikir di benak kita adalah salah satu dari empat kasta dalam agama Hindu(Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti "memilih (sebuah kelompok)". Adapun empat kasta dalam ajaran agama Hindu, yakni: Sudra (rakyat jelata/budak), waisya (pedagang), kesatria (pemerintahan/militer), dan brahmana (rohaniawan)). Namun, yang ingin saya bahas kali ini bukanlah Brāhmana golongan rohaniawan atau sering disebut Brahmin atau Sarma yang ada dalam agama Hindu, melainkan Brahmana yang ada dalam salah satu dari sub-merga Sembiring dari Merga Silima(1. Karo-karo, 2. Ginting, 3. Tarigan, 4. Sembiring, dan 5. Peranginangin) dalam masyarakat Karo.

                Jika kita menelisik dari sejarah zending Hindu di Taneh Karo, setidaknya kaum Brahmana ini sudah ada dan berbiak di Karo sekitar awal abad ke-13, bersamaan dengan masuknya kaum Meliala, Pandia, Colia, Tekang, Pelawi, Sinulinggga, dll. Namun dalam tradisi sub-merga Brahmana, keberadaan kaum ini mulai dikatakan sebagai sub-merga Sembiring Brahmana sekitar awal abad ke-16 Masehi, dimana seorang resi Senata Dharma yang bernama Magid Brahmana berkunjung dan akhirnya menetap di Taneh Karo. 

                Dikisahkan, sekitar awal abad ke-16(?), seorang guru Brahmana yang bernama Magid[-dan] Brahmana datang ke Kuta(kampung, kumpulan dari beberapa kesain yang membentuk satuan administrasi yang disebut kuta) Sarinembah(kampungnya orang Sembiring Meliala), Taneh Karo. Di Sarinembah dia menjumpai seorang bekas muridnya yang berkasta kesatria Meliala(Maliyalam Tamil) yang merupakan bekas muridnya saat masih di India. Dari Sarinembah dia bersama muridnya itu kemudian menuju kuta Talun Kaban(sekarang Kabanjahé) untuk menyebarkan agama Pemena(Hindu).

                Di Talun Kaban, beliau(Magid Brahmana) disambut baik oleh rakyat dan Raja Urung XII(Sepuluh-dua) Kuta yang rajanya bergelar Sibayak(gelar bangsawan Karo/raja, besar, dan agung) Talun Kaban yang ber-merga Karo-karo Purba. Dan karena kepandaian serta kebijaksanaanya, Sibayak negeri Urung XII Kuta kemudian mengangkatnya menjadi Guru Mbelin(guru besar: ahli kebijaksanaan, agama, pengobatan, dll) dan penasehat pribadinya.

                Suatu hari, raja bercerita keluh kesahnya kepada Magid Brahmana, kalau dia sedang memiliki satu permasalahan dengan seorang guru mbelin yang bernama Guru Togan( menantang, melawan) Raya. Guru Togan Raya adalah seorang guru yang sakti mandraguna dan sangat ditakuti, yang berasal dari Kuta Raja(sekarang Banda Aceh, NAD), beliau memiliki banyak hewan kerbau yang tidak digembalakan dan bebas berkeliaran ke kebun-kebun warga, sehingga warga merasa resah karena tanaman-tanaman mereka habis dirusak oleh kerbau-kerbau Guru Tagan Raya. Bukan itu saja, setiap tanah-tanah yang diinjak oleh kerbau-kerbaunya diklaem menjadi hak miliknya, namun tidak ada seorangpun yang berani menentangnya. Oleh karena itu, sibayak sangat mengharapkan kebijaksanaan Guru Magid Brahmana untuk menyelesaikan permasalahan ini. Maka, untuk itu, Guru Magid Brahmana bersama muridnya dari kaum(klan) kesatria Sembiring Meliala membuat tempat pajuh-pajuhen(pemujaan) dan melakukan pertapaan di juma-juma(ladang) rampasan Guru Togan Raya. 

               Suatu hari, ketika melakukan pertapaan, Guru Togan Raya datang dan mereka saling bertatap muka, namun tidak berkata apa-apa. Tetapi, mereka bertiga melakukan kontak batin dan saling er-tutur(berkenalan), ternyata saat melakukan kontak batin dan ertutur, Guru Magid Brahmana dan muridnya Sembiring Meliala adalah tutur anak beru dari Guru Togan Raya, sehingga mereka saling sihangkén(menghormati, sungkan, atau menyegani). Kemudian, Guru Magid Brahmana menuturkan maksudnya kepada Kalimbubu-nya Guru Togan Raya agar beliau mengembalikan semua tanah-tanah rampasanya, dan dengan rasa hormat Guru Togan Raya bersedia mengabulkan permintaan kedua anak beru-nya itu.(Apa itu kalimbubu dan anak beru, lihat berikut!).

                Dengan adanya kesepakatan dan perdamaian ini, rakyat Karo-karo Purba Urung XII Kuta beseta seluruh sangkep nggeluh(sanak-saudara)-nya menyambut dengan suka cita, maka mulai sejak saat itu hubungan antara merga Karo-karo Purba dan Karo-karo Ketaren sudah harmonis hingga sekarang dan tempat pajuh-pajuhen(pemujaan) itu kemudian dinamakan Barung-barung Berhala karena di tempat itu banyak ditemukan patung-patung pemujaan Guru Mbelin Magid Brahmana. Sekarang barung berhala itu disebut Kuta Berhala.

                Karena takut kedua Guru Mbelin itu akan meninggalkan kampung Talun Kaban, maka Sibayak menikahkan kedua guru mbelin itu dengan gadis terbaik dari keluarganaya, dan dari pernikahannya itu Guru Mbelin Magid Brahmana memperoleh tiga putra yang bernama Mecu Brahmana, Mbaru Brahmana, dan Mbulan Brahmana. Dari ketiga putra Guru Mbelin Magid Brahmana inilah terjadinya beberapa sub-merga Sembiring dan kuta-kuta di daerah Taneh Karo.
               
                Berukut digambarkan silsilah terombo Sembiring Brahmana menurut tradisi cerita  Karo!

    Silsilah Terombo Sembiring Brahmana menurut tradisi cerita Karo
                  Lihat tulisan Lainnya: Tulisen(aksara) Karo.
                                                       Katika