Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Friday, April 20, 2012

    Pur-pur Sagé

    A. Pengertian serta tujuan pelaksanaan pur-pur sagé

                Pur-pur Sagé adalah metode perdamaian ala masyarakat Karo, sering juga dikatakan sebagai salah satu upacara adat Karo. Dikatakan upacara adat, karena segala rentetan aktifitas dalam prosesi pelaksanaan pur-pur sagé ini telah(diatur) secara adat-istiadat Karo, sehingga disebut upacara adat perdamaian.

                Pur-pur Sagé sendiri, perlu dilakukan apabila ada pihak yang bertikai atau berselisih paham, baik orang perorang dalam satu keluarga atau dengan lainnya, ataupun antar keluarga, kelompok(organisasi), kesain ataupun kuta(daerah), maupun negara(kenjurun/urung ataupun kesebayaken), yang dimana pertikaian itu telah berlangsung cukup lama dan mengganggu ketenangan baik fisik, pikiran, hati, maupun roh-roh leluhur dan belum ditemukan kata sepakat untuk berdamai. Sehingga, dalam satu pemikiran dianggap perlu dilakukan musyawarah perdamaian agar situasi ini dapat kembali membaik dan jika telah ada kata sepakat maka dilaksanakanlah pur-pur sagé sebagai suatu pertanda jalan damai telah ditemukan serta dikukuhkan dalam satu upacara adat yang sakral.
    .
                Pur-pur Sagé dilaksanakan, bukan hanya ingin mencapai suatu perdamaian untuk menstabilkan suasana dalam interaksi sosial saja, akan tetapi lebih kepada perdamaian yang sesungguhnya(abadi) untuk mencapai ketenangan tendi(roh), sehingga benar-benar diantara pihak-pihak yang bertikai memperoleh ketenangan tendi dan segala prasangka buruk sirnah.

                Dalam pelaksanaannya sendiri, pur-pur sagé bukan hanya dilakukan antara  pihak yang bertikai saja, melainkan harus dihadiri dan disaksikan oleh sangkep nggeluh(sistem kekerabatan Karo yang meliputi: Kalimbubu, Senina-sembuyak(sukut), anak beru, anak kuta, dan pemeritahan setempat) dari kedua-belah pihak yang berselisih. Maka oleh karena itu, terlebih dahulu seperti yang telah disinggung diatas sebelumnya, harus dilakukan runggu(musyawarah) antara pihak yang berselisih dengan disaksikan sangkep nggeluh-nya untuk menentukan pelaksanaan daripada upacara pur-pur sagé tersebut.


    B. Jenis-jenis Pur-pur Sagé

    Pur-pur Sagé dalam pelaksanaanya terdiri dari beberapa jenis, hal ini ditentukan atas kesepekatan pada saat runggu dan biasanya ditelisik berdasarkan pertikaiannya. Adapun jenis-jenis Pur-pur Sagé tersebut adalah!

    1. Persada Man

    Jika kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, “persada man berarti:  makan bersama. Dimana, pihak yang bertikai makan bersama pada(dari) satu wadah( biasanya pinggan/piring) yang sama, dan dengan lauknya biasanya dibuatkan manuk sangkep, yakni: ayam yang digulai secara khusus dimana  seluruh bagian tubuhnya masih utuh dan disertakan sebutir telur ayam yang direbus.

    1. Nunggakken lau erpagi-pagi

    Nunggakken: meminumkan, menyuapkan ataupu menyulangkan; lau: air; dan erpagi-pagi yang berarti: saat pagi hari.” Nunggakken Lau Erpagi-pagi berarti: meminumkan, menyuapkan, ataupun menyulangkan air dipagi hari. Jadi, dalam hal ini, kedua belah pihak yang bertikai saling nunggakken lau yang dimana air yang dipakai adalah bunga lau, yakni: air yang diambil dikala masih bersih/suci(air yang masih pertama kali dipergunakan saat itu) disaat subuh saat pancur ataupun sungai belum ada dipergunakan.  

    1. Nabéi

    Sabé dalam bahasa Karo berarti: memakaikan. Dalam hal upacara perdamaian nabéi mengandung artian: memakaikan uis adat (kain/pakaian adat Karo) lengkap kepada pihak kalimbubu(tegun/ kelompok yang dihormati dan jadi panutan dalam sistem kekeluargaan Karo).

    1. Putar Dareh

    Dalam pelaksanaanya, darah orang yang paling patut dipersalahkan dituangkan dan diusapkan pada dahi seluruh penduduk kampung. Biasanya, hal ini dilakukan pada pertikaian besar yang sampai menghilangkan nyawa ataupun setidaknya mengganggu ketentraman masyarakat umum, sehingga putar dareh perlu dilakukan.

    Putar dareh ataupun sering juga disebut gancih dareh, adalah upacara perdamaian yang dimana darah orang yang bersalah harus ditumpahkan. Darah dibayar dengan darah; berani berbuat haruslah berani bertanggungjawab. Siapa yang menyulut api, maka darahnya-lah ditumpahkan untuk menyiram memadamkan api tersebut! Agar tendi-tendi seluruh isi kuta menjadi tentram kembali.

    C. Pelaksanaan  Pur-pur Sagé

                Seperti yang telah disinggung sebelumnya diatas, sebelum upacara pur-pur sagé dilakukan, terlebih dahulu kedua belah pihak melakukan runggu yang disaksikan sangkep nggeluh dari masing-masing pihak. Setelah ditemukan kata sepakat tentang segala hal dalam pelaksanaan pur-pur sagé, maka upacara ini telah dapat dilaksanaka.
               
                Membuka percakapan pada saat dilaksanakannya upacara pur-pur sagé, tegun(pihak) anak beru mengutarakan maksud kalimbubu-nya(yang bertikai) untuk melaksanakan upacara pur-pur sagé, setelah ada temu kata, maka disaksikan oleh seluruh yang hadir dilakukan persada man, nunggakken lau erpagi-pagi, nabéi, ataupun putar dareh duduk diatas amak mentar(tikar putih) yang telah dibentangkan. Yang bersalah kemudian menceritakan ataupun lebih tepatnya mengakui segala perbuatannya dan dilanjutkan dengan meminta maaf kepada seluruh yang hadir. Selanjutnya orang yang hadir diawali oleh tegun kalimbubu memberikan maaf namun diawali dengan kata-kata nasehat dan tidak jarang juga memarahi si yang bersalah. Setelah selesai, maka dilakukanlah makan bersama dengan seluruh yang hadir saat itu yang biasanya memotong kerbau atau lembu, ataupun babi. Mejuah-juah! ;-)

    Monday, April 16, 2012

    Anak Si Kucing Hitam

    Cerita Si Anak Kucing Hitam Kumuh
    ( versi: Bastanta P. Sembiring )

    Di pinggiran kota, di pusat pembuangan sampah kota, lahirlah seekor anak kucing yang sangat cantik dan munggil. Rupa yang cantik dan mungil membuatnya disukai oleh hewan-hewan lain di tempatnya. Namun, anugrah kecantikan yang diterima bukan membuatnya mensyukuri apa yang diberikan kepadanya, malah membuat si anak kucing itu menjadi angkuh dan sombong, bahkan rupa yang cantik membuat dia malu mengakui induknya yang memiliki rupa hitam dan tampak kumuh tidak seperti dirinya yang cantik dan berkilau. Tapi, walaupun demikian induknya tetap sayang dan melindunginya dengan penuh kasih dan ketulusan.

    Suatu waktu di pagi hari yang indah, si anak kucing tampak duduk sendiri diatas sebuah drum kaleng besar di pembuangan sampah. Asyik dan serius memandang ke arah matahari pagi yang terbit membuat si anak kucing terpukau dan terpesona akan kilauan serta keindahan cahaya matahari di pagi hari. Terpikir olehnya: “Oh, indah sekali kilauan cahaya matahari dipagi hari ini” katanya dalam hati. Lanjutnya lagi: “Jikalau aku memiliki ibu sehebat dan seindah kilauanya dipagi hari, maka sempurnalah hidupku!” dalam benaknya.

    Maka, dengan keyakinan yang besar dan impian hidup yang sempurna dengan memiliki ibu yang cantik dan hebat, bukanya anak kucing dengan ibu yang hitam dan tampak kumuh, si anak kucing memutuskan untuk mencari dan menemui matahari agar memintanya untuk menjadi ibunya.

    Petualanganpun dimula! Berjalan menyusuri bukit-bukit, sungai, hutan yang lebat, dan lautan luas dari belahan bumi tenggara menuju dimana mata hari terbit di sebelah timur, si anak kucing dengan penuh semangat menggapai mimpi untuk memiliki hidup yang sempurna dengan meninggalkan ibu kandungnya dan pusat pembuangan sampah kota yang menjadi rumah dimana dia dibesarkan.

    Akhirnya perjalanan panjang berbuah hasil! Si anak kucing bertemu dengan matahari, calon ibu yang diimpikannya.

    “Hai anak kucing yang cantik dan mungil, aku mendengar dari hembusan angin, engkau telah  melakukan perjalanan panjang yang menakjubkan dengan mendaki perbukitan, mengarungi samudra,  berjalan di hutan yang gelap untuk mencariku. Benarkah demikian?” Tanya matahari kepada anak kucing.


    “Benar, matahari!” Jawab anak kucing dengan lugas. Lalu katanya: “Aku mencarimu karena aku melihat kemilau cahayamu yang indah dan besar yang sanggup menyinari seluruh muka bumi. Jadi, maukah engkau menjadi ibuku hai, matahari?”

    Lalu jawab matahari: “Suatu kehormatan bisa memiliki putri cantik dan pemberani seperti engkau, hai si anak kucing.” lanjutnya: “Namun perlu engkau ketahui, kemilau cahaya ini dapat padam(mendung) seketika jika kumpulan awan datang dan menyelimuti langit….”

    “Hm…!” Si anak kucing tampak berfikir, katanya dalam hatinya: “Ternyata matahari tidaklah sehebat dan sesempurna yang ku kira. Bahkan awan jauh lebih hebat darinya! Jikalau begitu, baiklah aku mencari awan saja dan memintanya menjadi ibuku.” pikirnya. Lalu kata si anak kucing kepada matahari: “Baiklah kalau begitu, matahari! Aku akan melanjutkan petualanganku mencari awan.” Dan si anak kucingpun meninggalkan matahari untuk melanjutkan perjalanannya mencari awan.

    Saat bertemu, kata si awan kepada anak kucing: “Hai anak kucing yang pemberani dan teguh. Aku mendengar dari matahari jikalau engkau mencariku.” Lalu katanya lagi: “Namun, pantaskan awan yang terdiri dari gas dan air seperti aku ini menjadi ibumu?” akhirinya dengan bertanya.

    Lalu, jawab sianak kucing: “Mengapa tidak! Aku mendengar tentangmu dari matahari, engkau bahkan mampu melingkupinya dan membuat sinarnya meredup, jadi, jikalau ku pikirkan hanya engkaulah yang pantas dan layak menjadi ibuku, tidak ada yang lain lagi!” kata si anak kucing tegas!

    Kata si awan: “Engkau salah besar, hai anak kucing!” awan menyanggah apa yang dikatakan si anak kucing sebelumnya, lanjutnya: “Tiada hal yang ada dialam semesta ini selemah dan sehalus kami para awan, dan bahkan jikalau angin yang sekecil apapun berhembus kearah kami dapat mencerai-beraikan kami dan membuat kami menjadi menipis dan bahkan hampir-hampir tidak tampak! Maka, ku harap engkai mempertimbangkannya kembali.” Kata si awan.

    Si anak kucing kembali tampak berfikir, katanya dalam hati: “Hm… Mengapa aku tidak menyadarinya selama ini, jikalau angin jauh lebih hebat lagi dibandingkan awan. Kalau saja aku tahu, buat apa aku capek-capek menyusuri lembah yang terjal untuk mencari si awan. Baiklah kalau begitu, aku mencari angin saja di lautan.” Kemudian si anak kucing pun melanjutkan perjalanan menuju laut mencari angin.

    Saat diperjalanan menuju lautann, si anak kucing-pun diserang oleh sesuatu yang tidak dia kenal. Oh… ternyata angin topan menyerangnya dan memporak porandakan semua yang ada di sekitarnya dengan dasyatnya!

    Hm… Ternyata aku tidak salah pilih lagi. Angin memang yang paling dasyat dimuka bumi ini! Akhirnya pencarianku tidak sia-sia” Kata anak kucing dalam pikirannya.

    Lalu terdengar suara gemuruh yang sangat dasyat, dan berkata: “Ha-ha-ha-ha..!”

    Si anak kucing tampak ketakutan dan bersembunyi di balik semak belukar sisa-sisa kehancuran badai yang dihasilkan oleh angin. Lalu, terdengar kembali suara gemuruh itu, dan: “Ha-ha-ha-ha!”  Lalu katanya: “Hai anak kucing yang pemberani dan tangguh, mengapa engkau takut dan bersembunyi di balik semak belukar itu? Keluarlah!” kata angin dengan nyaring.

    Jawab anak kucing sambil terbata-bata: “E-e-e-e..! Ma… maa… ma’af! Apakah engkau si angin yang kucari?”  dengan tampak gemetar.

    “Ha-ha-ha-ha! Benar.” Lalu, lagi kata si angin: “O…! Jadi, engkau kah si anak kucing yang mencari ibu yang hebat untuk menyempurnakan hidupmu?”

    “Be..be..be..nar!” jawab si anak kucing terbata-bata dan untuk pertama kalinya dia tampak takut dan sedikit ragu.

    “Jadi, engkau mencariku dan ingin memintaku menjadi ibumu?” tanya si angin.

    Jawab anak kucing: “Benar!”

    “Suatu kehormatan jika bisa menjadi ibu dari seorang pengelana yang tangguh dan berani seperti engkau, namun sebelumnya perlu engkau ketahui: jikalau aku tidaklah sepenuhnya seperti yang engkau pikirkan. Jikalau ada gunung-gunung yang tinggi dan tangguh menghalangiku maka aku tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan aku sering terkurung-terperangkap di dalam gua-guanya dan tak berbadaya.”

    Anak kucing tampak berfikir “Hm... Memang benar apa yang dikatakan si angin.” Kata si anak kucing dalam hatinya. Lanjutnya: “Gunung jauh lebih kuat dan tangguh! Kalau begitu sebaiknya aku mencari gunung saja.

    “Baiklah hai, angin! Aku akan melanjutkan perjalananku mencari gunung.” Kata anak kucing kepada si angin.

    “Hahaha..! Kalau begitu silahkan, dan semoga kamu beruntung dan mendapatkan apa yang engkau inginkan.” Kata si angin sambil bergegas meninggalkan si anak kucing.

    Kembali hati si anak kucing tergoyahkan dan tergiur dengan hal yang menurutnya lebih baik dan sempurna dari apa yang telah ia dapatkan dan temukan. Perjalanan berlanjut menuju pegunungan dimana banyak gunung-gunung tinggi dan tampak berdiri kokoh.

    Sesampainya diatas pegunungan, si anak kucing mencoba mendaki puncak tertinggi. Sesampainya di atas puncak tertinggi dia menatap ke sekelilingnya melihat-lihat dan mencari tahu gunung mana yang paling terbesar, tertinggi, dan terkuat dari antara gunung-gunung yang ada. Akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah gunung batu yang tampak berdiri kokoh, kuat, tinggi, dan terjal, dan kata anak kucing dalam hati: “Kali ini aku tidak akan salah pilih lagi. Gunung batu yang kokoh dan terjal tentunya dialah yang terkuat di atas dunia ini!” kemudian bergegaslah si anak kucing menemui gunung batu.

    Tanpa basa-basi, kata si anak kucing kepada gunung batu: “Hai gunung batu yang tinggi dan kokoh! Maukah engkai menjadi ibuku?”

    Lalu, jawab gunung batu dengan bertanya balik: “Bukankah engkau telah bertemu dengan si angin yang dasyat dan bergemuruh kuat?”

    Jawab anak kucing: “Benar yang engkau katakan! Akan tetapi, kini aku sadar kalau engkau gunung batu-lah yang terkuat di muka bumi ini. Jadi, ku harap engkau bersedia menjadi ibuku hai, gunung batu!”

    “Dengan menyesal aku dapat mengatakan engkau keliru hai, anak kucing!” sela gunung batu, sambungnya lagi: “Jangankan menghadapi gempa bumi yang dasyat, bahkan tikus tanah yang kecil sekalipun dapat menghancurkanku dengan menguruki bebatuanku, sehingga menimbulkan liang-liang di tubuhku yang pada akhirnya merubuhkanku.”

    Lalu si anak kucing tampak kembali berfikir dan berkata-kata dalam hatinya: “Benar juga apa yang dikatakan gunung batu ini. Ternyata aku salah lagi!” Kemudian anak kucing bertanya kepada gunung batu: “Jadi, menurutmu hai, gunung batu. Apa yang harus aku lakukan? Aku telah letih berkelana untuk mencari ibu yang pantas untukku, tetapi hingga kini hatiku masih ragu dan belum mendapatkan ibu yang pantas untukku.”

    Jawab, gunung batu: “Aku tidaklah sekuat yang kau kira dan juga tidak sepintar dan selincah tikus tanah. Jadi, baiklah engkau tanyakan pada orang yang lebih pintar dan bijaksana dari aku.” Kata gunung batu.

    Anak kucing tampak bingung dengan perkataan gunung batu dan diapun berlalu begitu saja pergi meninggalkan gunung batu dengan perasaan bingung dan bimbang. Namun, dia tidak mau putus asa terus mencari apa yang dia impikan dan melanjutkan pengelanaannya.

    Di perjalanan menyusuri bukit-bukit dan lembah-lembah tiba-tiba gerak langkah anak kucing terusik dengan suara-suara dari balik semak belukar. Rasa penasaran mendorongnya untuk mencri tahu apa yang menyababkan bunyi tersebut. Oh...! trenyata itu suara tikus tanah yang sedang mengorek-ngorek tanah membentuk jaringan lubang-lubang di tanah.

    “Oh, ternyata tikus tanah! Kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan mereka di tempat ini.” Kata si anak kucing dan mendekat menghampiri sekelompok tikus tanah yang sedang sibuk membuat lubang.

    Saat mulai tersadar kalau seekor kucing mendekat, tiba-tiba kelompok tikus tanah itu terpencar berlarian karena ketakutan. Namun, ada seekor induk tikus tanah yang tidak lari karena hendak melindungi bayinya yang belum bisa berlari dari terkaman kucing.

    “Hai, tikus tanah, mengapa kalian tercerai berai berlarian seperti ketakutan melihatku?” kata si anak kucing terheran-heran. Lalu katanya lagi: “Aku si anak kucing pengelana yang telah melewati perjalanan panjang menyusuri bukit dan lembah-lembah, serta menyebrangi lautan luas untuk mengejar impianku mencari ibu yang pantas buatku, dan di perjalanan aku bertemu dengan matahari yang aku kiran terkuat dan terindah dimuka bumi ini, namun ternyata kilauan dan keindahan cahayanya sekejab dapat sirnah jika awan melingkupinya, dan itu membuatku tersadar jika dia tidaklah sesempurna yang ku kira. Maka, ku lanjutkan perjalananku menemui awan yang melingkupi matahari dan berbincang dengannya, dan ternyata sekali lagi aku kecewa dibuatnya. Dia(awan) bukanlah terkuat di bumi ini, karena angin yang kecilpun sangup mencerai beraikannya.” Kata anak kucing panjang lebar.

    “Lalu, apa engkau telah menemukan apa yang engkau harapkan?” tanya induk tikus tanah.

    “Belum!” jawab anak kucing datar. Lalu katanya lagi: “Lalu aku menemui angin. Benar, dia sungguh kuat dan dasyat, namun, gunung batu dan gua-gua sanggup menghalangi dan mengurungnya.”

    “Lalu?” tanya induk tikus tanah kembali.

    “Ya, aku akhirnya memutuskan menemui gunung batu yang tinggi, kuat, dan kokoh.”

    Tanya induk tikus lagi: “Jadi, apakah gunung batu yang kini pantas menjadi ibumu?”

    “Tidak!” Jawabnya datar. Lalu dia menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan perkataannya “Aku sungguh kecewa dengannya! Ku kira gunung batu tinggi yang berdiri kokoh dan megah adalah terkuat di muka bumi ini, tapi untuk sekian kalinya lagi aku keliru dan belum mendapatkan ibu yang pantas untukku, maka aku mencarimu dan ingin memintamu menjadi ibuku, sebab engkaulah akhir dari perjalanan dan pencarian panjangku. Jauh sudah ku melangkah dan bertemu banyak hal, dan engkaulah puncaknya dimana segala yang kutemui engkaulah yang terkuat, paling baik, dan sempurna” Kata si anak kucing.

    “Hem…” Si tikus menghelai nafas  panjang dan berkata: “Dengan menyesal ku katakan padamu, kali ini juga engkau keliru hai, anak kucing. Kami para tikus tidaklah seperti yang engkau pikirkan, dan bahkan didalam rantai makanan kaum kami menjadi mangsa kaum-mu, sehingga para tikus berlarian jikalau melihat kucing.” 

    “Benarkah begitu?” tanya si anak kucing.

    “Ya, benar!” Jawab induk tikus.

    Lalu anak kucing memalingkan badannya dan meninggalkan induk tikus dan meneruskan perjalanannya. Saat berjalan si anak kucing tampak kecewa, murung, dan sedih, karena impiannya mencari ibu yang sempurna baginya, gagal total! Sambil berjalan dia berfikir dan berkata-kata dalam hatinya: “Huh… letih sudah ku berjalan melewati banyak hal, namun semua sia-sia dan tidak berarti.” Katanya dalam hati.

    Dan tiba-tiba langkah si anak kucing terhenti oleh suara yang tidak asing baginya, yang berkata: “Tidak anakku! Perjalananmu tidaklah sia-sia. Semua yang telah engkau lewati di masa-masa sulit dan bimbang hatimu dalam perjalanan panjangmu adalah pelajaran yang berharga dan penting bagi pendewasaan dirimu, dan ku harap itu benar tidak sia-sia dan dapat menyadarkan dirimu bahwasanya anugrah yang terindah dan paling sempurna adalah apa yang kita miliki saat ini, anakku!”

    Lalu si anak kucing menoleh ke arah dimana suara itu berasal, dan dia sungguh terkejut, kalau ternyata itu adalah suara sang ibu yang hitam dan tampak kumuh. Si anak kucing-pun berlari menghampiri dan memeluk ibunya erat-erat, dan berkata: “Ibu! Maafkan aku. Aku salah dan telah berfikir hendak menggantikan posisimu.” Kata anak kucing, sambungnya: “Namun, kini aku sadar kalau tidaklah ada hal di dunia ini yang sanggup menggantikan engkau.”

    “Iya, anakku!” kata induk kucing dan mengeratkan pelukannya dan mencium lembut putrinya. Lalu katanya lagi: “Ibu sangat senang kini engkau telah sadar dan kembali menjadi putri kecilku yang cantik dan mungil.”

    “ Tapi, mengapa ibu tahu aku disini?” Tanya anak kucing.

    “Ya, sejak awal perjalananmu aku telah mengikuti dan mengawasimu, anakku.” Jawabnya.

    “Jadi, selama ini ibu mengikutiku dan tahu apa yang aku lakukan?”

    Jawab induk kucing: “Iya anak ku!”

    Dan pada akhirnya si anak kucing menyadari akan kesalahannya dan induk kucing juga sangat senang karena kini putrinya telah kembali menjadi putrinya yang cantik dan mungil dan tidak malu lagi mengakui kalau dia adalah ibunya, dan dihari-hari panjang mereka hidup denga bahagia dan penuh kegembiraan. Mejuah-juah.


    cerita: Diangkat dari turi-turin(cerita) rakyat Karo “Turi-turin Anak Si Kucing Mbiring
    dan
    ditulis ulang oleh: Bastanta P. Sembiring.