Ginting Serragih, adalah salah satu cabang(sub-)merga dari merga Ginting, sehingga dalam
penamaannya disebutkan dengan Ginting
Serragih. Menurut J. H. Neumann, Ginting Serragih ini merupakan salah satu
Ginting Tua yang menyebar ke Simalungun dan Batak(Toba) yang dikemudian hari di
Simalungun menjadi Saragih atau juga Saragih Munthe dan Saragi di Batak(Toba).
Beberapa budayawan dan sejarahwan Karo berpendapat kalau Ginting
Serragih ini merupakan sembuyak(saudara kandung) dari Ginting Munte dan Ginting Manik, hal ini dikarenakan oleh karena kuta(kampung) asal mereka(kuta awal kemunculan mereka), serta jalur dan waktu penyebaran mereka yang
hampir bersamaan. Namu, ada juga yang berpendapat kalau Ginting Serragih ini,
adalah pecahan(keturunan) dari Ginting Munte yang menyebar ke wilayah
Simalungun dan Tapanuli Utara(Toba), yang dimana dikemudian hari mereka menjadi
Saragih ataupun juga Saragih Munte di Timur Danau Toba(Simalungun) dan menjadi
Saragi di Toba yang keturunannya ini kemudian sebahagian mulih
kuta(pulang kampung) ke Taneh Karo dan bergabung kembali dengan kaumnya Ginting Serragih di Taneh Karo.
Adapun negeri/wilayah
bentukan ataupun kekuasaan dari merga Ginting Serragih ini, yakni: Kerajaan
Urung Tanjung Morawa, dan kuta kemulihen-nya(kampung
adat, kampung halaman leluhur) mereka, adalah Lingga Julu dan Surbakti. Mejuah-juah!
Ke-khasan Dialek Karo Yang Tegambar Pada Tulisen Karo
Diyakini, Tulisen(aksara) Karoyang juga disebut Surat Haru(karena dulunya dipergunakan
meluas di wilayah-wilayah bekas kerajaan Aru(Haru – Karo) meliputi Sumatera bagian
tengah dan bagian utara)dapat dikatakan merupakan aksara yang paling populer
setidaknya di kawasan Sumatera bagian utara dan tengah. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya karya-sastra klasik yang ditemukan dan disimpan oleh para
kolektor-kolektor serta galeri seni di dunia, dimana dari kesemuanya itu
merupakan buah tangan dari para guru(orang
pintar dan bijaksana dalam segala hal) dan rakyat jelata. Jadi, di Karo bukan
hanya kaum guru dan sibayak(raja, bangsawan) saja yang
memiliki kemampuan baca tulis, melainkan segenap lapisan dan usia masyarakat
juga demikian.
Jika kita menelisik kepada tulisen(aksara) Karo itu, yang dipadukan
denga cakap(bahasa) serta endek(logat atau dialek) Karo, maka
tampak jelas ke-khasan dari tulisen karo itu yang tidak akan kita temui dalam
aksara-aksara serta dialek lainnya. Dimana dalam indung surat(huruf induk/utama) yang terdiri dari 21 surat(huruf/font), ada dua indung surat
yang sangat mencitrakan ke-khasan dari aksara, bahasa, dan logat Karo itu
sendiri, yakni pada indung surat “NDA” dan “MBA”(“nda” dan “mba” hanya ada di
Karo). Perhatikan penunjukan karakter “nda” dan “mba”, serta contoh-contoh
penggunaanya dalam kata!
Karakter "nda" dan "mba" serta contoh penulisannya dalam kata
Sebenarnya selain bunyi “nda” dan
“mba” yang ada dalam indung surat Karo,
ada satu bunyi yang juga sangat khas dalam dialek Karo, yakni: “nca”. Namun
sayangnya bunyi “nca” ini tidak ada
diwakili secara khusus dalam indung surat Karo, melainkan jika kita hendak
menuliskan “nca” kita haru menulis: “na+penengen+ca” Perhatikan penunjukan
karakter dibawah ini!
cara penulisan bunyi "nca".
Perhatikan juga penggunaannya pada kata-kata berikut ini!
contoh penulisan "nca" dalam kata-kata.
-->
Perhatikan contoh penulisan “nca” diatas sangat tidak efektif, karena
untuk menuliskannya setidaknya kita harus menggunakan indung surat “na” diikuti anak surat(diakritik) penengen
dan dilanjutkan dengan indung surat “ca”. Mungkin dalam hal ini saya mencoba
menggabungakan ketiga karakter tersebut “na+penengen+ca”, sehingga akan tampak
seperti gambar dibawah! Namun, itu masih butuh pengkajian dan kesepakatan
antara sesama pengguna tulisen(aksara) Karo. Dan, berikut paduan karakter untuk
membentuk bunyi “nca” berdasarkan rancangan saya!
Tujuh karakter pengembangan untuk membentuk bunyi "nca"
menurut rancangan Bastanta P. Sembiring.
Ginting Manik merupakan
salah satu cabang(sub-)merga dari merga
Ginting. Menurut tradisi Karo, Ginting Manik ini masih sembuyak(saudara sedarah) dengan Ginting Munté(Munthé) dan Ginting
Pasé, hal ini tampak dari daerah asal mereka yang sama-sama dari kuta Tongging. Bukan itu saja, dalam
penyebarannya(migrasinya), kedua sub-merga Ginting ini hampir memiliki jalur
yang sama, setidaknya dari Tongging hingga ke Munté, namun dari Munté keturunan
merga Ginting Manik ini melanjutkan penyebarannya ke Kuta Bangun, dan sebahagian ke Singa.
Ada sebuah kisah yang
sangat menarik dan cukup populer tentang Merga Ginting Manik dan tentunya
Tarigan(Si Raja Umang). Dimana kisah ini sangat akrab dalam tradisi ndilo udan(memanggil hujan) dalam
kepercayaan masyarakat Karo, yang di-interpretasikan dalam bentuk seni drama
dan tari topeng, populer dengan sebutan
Gundala-gundala atau dibeberapa daerah Karo lainnya disebut tembut-tembut Seberaya yang membawakan
kisah Manuk Sigurda-gurdi(Siluman berwujud
burung raksasa) berkepala tujuh.
Darwan Prinst, S. H.,
dalam bukunya Adat Karo menyebutkan, si manteki(pendiri) kuta Singa adalah Ginting Sinusinga, namun beliau juga menambahkan kalau hal ini
belumlah jelas! Saya berpendapat, “mungkin saja kalau Ginting Sinusinga ini
adalah keturunan(pecahan) dari Ginting Manik di Singa”. Saya berpendapat
demikian karena, almarhum(mendiang) Nini
Bulang(kakek) saya NagkihGinting Manik(ayah dari nandé/ibu saya) adalah keturunan asli
dari Pengulu Singa(di duga pendiri
kuta Singa). Dalam hal ini, Mama(paman)
saya sudah mendapat konfirmasi akan kebenarannya dari Karo-karo Sekali yang merupakan anak beru tua Ginting Manik Mergana saat masih di Singa, dan tanpa
sengaja tahun 2011 lalu saya bertemu seorang yang juga ber-beberé Ginting Manik
Singa, beliau juga membenarkan akan hal ini.
Diceritakan dalam
perjalanannya ke Dusun(Karo Jahé), putra Ginting Manik dan beruSembiring
Kembaren ini diselamatkan oleh anak berunya Karo-karo Sekali yang merupakan seorang guru mbelin dan Sembiring Meliala dari percobaan pembunuhan yang direncanakan oleh pihak sembuyak
dari bapanya(ayahnya), karena saat
itu Ginting Manik yang seorang Sibiak(sibiak
= utama, bedakan dengan sibayak)Perbapan(kaum pria/penghulu) meninggal
di-usia muda dan meninggalkan seorang anak yang masih kecil. Menurut tradisi,
jabatan sibiak perbapan kuta ini
diwariskan secara turun temurun, kecuali tidak ada ahli warisnya maka jabatan
untuk selanjutnya dipangku oleh sembuyaken-nya
yang tertua, itu-lah diduga menjadi alasen utama dalam percobaan pembunuhan
terhadap anak Si Ginting Manik ini. Namun, rencana ini digagalkan oleh anak
berunya Ginting, yakni: Karo-karo Sekali
dan kalimbubu Ginting saat itu Sembiring
Kembaren yang melarikannya ke daerah Dusun Deli(Karo Jahé).
Akan kebenaran dari
cerita ini juga diperkuat dengan adanya niat dari kalimbubu Sembiring Kembaren
untuk kembali menjalin pertalian kekeluargaan dengan Ginting Manik, hal ini
tampak pada perjodohan yang direncanakan sekitar tahun 1920’an. Namun sedikit
terhalang, karena si beru Sembiring Kembaren yang notabene-nya janda seorang
Belanda, dimana mantan suaminya yang seorang jaksa merasa tidak senang,
sehingga dengan segala kewenangannya si Ginting Manik dibuang ke Singapura dan
akhirnya dipindahkan ke Nusa Kambangan(Cilacap), namun atas segala upaya yang
dilakukan pihak keluarga dan atas prilaku baik(Si Ginting Manik sejak di Nusa
Kambangan, Cilacap dikenal dengan ahli penanam kelapa yang membut pihak Belanda
menaruh simpatik) akhirnya Si Ginting Manik(Nangkih Ginting Manik) dibebaskan.
Banyak kisah dibalik
perjalanan Si Ginting Manik ini, namun dilain waktu akan saya ceritakan.
Hehehe…. Dan berikut jalur perjalanan dari Ginting Manik di Dusun Deli(Karo
Jahé) yang sempat saya peroleh dari beberapa orang tua: Singa => Rimo Mukur =>
(.???.) => Kuta Jurung => Namo Rambé, dan seterusnya. Kebenaran
akan cerita ini memang masih perlu didalami, akan tetapi setidaknya dengan
mengumpulkan tradisi-tradisi yang ada sedikit titik terang sudah mulai tampak.
Adapun kuta-kuta yang
menjadi tempat berdiamnya merga Ginting Manik ini menurut tradisi-tradisi yang
ada adalah Tongging, Aji Nembah, Munte, Kuta Bangun, Singa, dan Linga; serta
penyebarannya bukan hanya di wilayah Taneh Karo saja melainkan hingga ke
Pak-pak(Dairi) dan Toba, sehingga merga ini juga ada di suku Pak-pak dan Toba dengan sbutan Manik.
Ginting Munté (Muthé) adalah salah satu cabang(sub-) merga dari merga Ginting(salah satu dari lima merga Karo)! Banyak orang beranggapan
kalau merga ini sebenarnya berasal dari Batak(Toba atau Simalungen), akan
tetapi jika kita menelisik pada tradisi dalam merga Ginting Munthe itu sendiri, dan jika kita kaitkan dengan tradisi pada
sub-merga Karo-karo Sinulingga(Sinulingga
telah menemui Ginting Munthe di Lingga sekitar awal-awal abad ke-13), tradisi Saragih Munthe( di Simalungun,Dalimunte di Labuhan Batu,
dan sejarah Zending Hindu di Sumatera
bagian timur, tengah, dan utara, serta catatan-catatan keberadaan(kemunculan) merga Munte itu sendiri, maka hal ini tidak-lah sejalan dari dimensi
waktu dan tidak-lah masuk diakal.
Dipercaya, Si Raja Batak yang
menurut tradisi Batak(Toba) adalah nenek moyang seluruh bangsa Batak yang daripadanya-lah lahirnya marga-marga Batak, yang hidup
bersamaan waktunya denga kerajaan-kerajaan seperti: Haru(Karo), Nagur(di Sumatera
Timur yang identik dengan Simalungun),
Padang Lawas dan Pané(Mandailing Tua), Sriwijaya,
Majapahit(dalam kakawi Negarakertagama),
Malaka, dll; Jika kita meninjau dari hal ini, dapat dipastikan bahwa
setidaknya, Karo, Simalungun, dan Mandailing sudah ada saat dimana kemunculan Si Raja Batak yang juga dipercaya adalah
aktivis dari salah satu kerajaan tersebut diatas yang mengungsi ke pedalaman Samosir, maka hidup Si Raja Batak dipredikasikan awal abad ke-13 M.
Mempelajari sejarah Munthé ini sangatlah menarik dan unik. Banyak
etnis-etnis khususnya yang hidup di Sumatera(Karo, Simalungun, Mandailing,
Toba, Pak-pak/Dairi, Gayo, Alas, dll) yang memiliki merga Munté ini, dan bahkan tidak jarang mengklem bahwasanya Munthé ini
berasal dari mereka, namun apa-pun itu kembali kepada pribadi kita
masing-masing versi dari tradisi mana yang hendak kita pakai menjadi pedoman
kita, namun fakta tetap-lah fakta walau sulit untuk kita menerimanya.
Di Eropa, tampaknya keberadaan Munte(Munthe) sudah mulai teridentifikasi setidaknya sejak tahun 990M. Di tahun 1000 – 1449 M di Eropah diketahui setidaknya 12 orang telah
menggunakan kata Munthé(Muté) ini
dibelakang namanya, salah satunya dari temuan ijazah dari Ascricus
van Munte(1072 M) dari Vlanderenyang sekarang merupakan wilayah Belgia. Apakah mungkin Munte yang di Sumatera sudah sampai di Belgia di Tahun
1000? Jika kita berpatok pada masa kemunculan kerajaan Aru/Haru(Karo),
Nagur(identik dengan Simalungun), dan Padang Lawas serta Pané( identik dengan Mandailing), ya mungkin saja!
Mengingat, setidaknya aktivitas pelayaran internasional di Barus sudah dimulai
sejak abad ke-5 M. Bahkan, di Norwegia di abad
ke-16 M muncul Ludvig
Munthe! Mengingat jarak antara Belgia dengan Norwegia yang
sangat jauh(…) apakah keluarga Munté Belgia ini sama dengan Munté di Norwegia?
Namun, jika ditinjau dari faktor waktu(tahun 1000 – 1500’an) dan geografis, hal
ini juga sangat memungkinkan terjadi, mengingat pelabuhan Belgia yang
berhadapan langsung dengan Laut Norwegia melalui Laut Utara yang diapit
kepulauan Britania Raya di barat dan di sebelah timur dikelilingi daratan Eropa di pesisir pantai Belanda,
Jerman, dan Denmark. Bahkan, silsilah dari Ludwig Munthe(1593-1649) ini disusun dengan sangat rapih oleh Severre Munthe, dalam buku Familiem Munthe In Norge. Sekitar tahun 1995 diperkirakan jumlah
keturunannya yang teridentifikasi lebih lima ratus jiwa. Munthe di Norwegia ini juga mengakui dan menyatakan bahwa Vlanderen(Belgia) adalah
tanah asal leluhur mereka ( Silahkan dilihat dokumen Munthe Eropah http://www.geocities.com/-ascricus/genealogy/surnames.htm -| http://genealogy.munthe.net | http://sverre.munthe.net ).
Dari
cerita diatas, maka timbullah pertanyaan besar: apakah Munthé(Munté) di Belgia,
Norwegia, dan wilayah Eropah lainnya mencerminkan atau bahkan satu nenek moyang
dengan Munté(Munthé) yang tersebar di nusantara? Dan, darimanakah alsal Munté ini
sesungguhnya? Ya, itu pertanyaan yang menjadi misteri besar, tetapi setidaknya
ada beberapa tradisi yang mendukung keberadaan Munthe itu lebih awal di utara
Danau Toba(Karo), yakni: Tradisi Ginting Munthe itu sendiri, yang didukung oleh
tradisi Ginting Pasé, Ginting Manik, Karo-karo Sinulingga(tradisi Karo), dll; dan
juga tradisi Simalungun.
Sebuah cerita menarik, pernah dikatakan seorang
Anthrofologiber-merga Munté yang
tinggal
di Madagaskar asal Norwegiamengunjungi Kuta Ajinembah, diantar oleh Pengurus Nomensen dan
diterima oleh Pendeta Pantekosta Ajinembah (1971). Beliau mengemukakan bahwa leluhurnya berasal dari Ajinembah dirumah sendi, dan mengatakan “putih” dalam bahasa ibunya dengan “Mbulan”. (Penutur,
penduduk Ajinembah, 2001 dalam buku Kenangan Marga Munthé , hal. 221).
Ginting Munthé dalam tradisi
Menurut tradisi lisan Karo yang juga dicatan oleh seorang misionaris Nederlandsche Zending-genoothschap(NZG) asal Belanda,
Pdt. J. H. Neumann, dikatakan merga Ginting
Munté(Munthé) yang merupakan salah satu cabang(sub-)merga dari merga Ginting ini, awalnya tumbuh di wilayah Tongging(di Tanah Karo) begitu pula dengan Ginting Pasé dan juga
Ginting Manik. Selanjutnya dikisahkan, keturunan dari Ginting Munte ini dari
Tongging bermigrasi ke Becih dan Kuta Sanggar; selanjutnya ke Aji Nembah(masih dalam wilayah Taneh Karo). Keturunan yang di Aji Nembah
ini-lah yang kemudian bermigrasi kuta Munte
dan sebagian ke wilayah Timur(Simalungun)
dan berpencar ke sekitar wilayah Danau Toba lainnya. Hampir dibeberapa tradisi
Munté menyiratkan awal-awal leluhur mereka berasal dari kuta(kampung) Aji Nembah(di
Taneh Karo) ini. Dalam tradisi yang berkembang di timur Danau Toba(Simalungun) proses
migrasi ini diperkrakan terjadi sekitar tahun 1395 – 1435 Masehi, dimana Tuan Sipinangsori putra dari Jalak Karo yang berasal dari Aji Nembah
sekitar tahun 1428 M menetap di Raja
Simbolon dengan menunggangi horbo(kerbau)
Sinanggalutu. Dan, hal ini juga didukung oleh tradisi Dalimunte yang berkembang di Labuhan Batu, dimana diceritakan saat Si
Munté dari Aji Nembah yang menunggangi “Kerbo
Nenggala Lutu” ini membawa segenggam bibit kacang-kacangan yang disebut “dali” dan menanamnya kemudian tumbuh
subur dan berbuah banyak, serta biji-bijian ini sangat disukai, sehingga para tetangga
menawarkan barter dengan menyebut dali –
Munté dengan maksud “kacang mu o, Muté
” atau “minta kacangmu o, Munté ”. Sehingga
dikemudian hari para keturunannya dipanggil dengan Dalimunte.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya beberapa generasi Munté yang
berpencar di sekitar Danau Toba(Toba) ini merasuk kedalam kelompok-kelompok etnis sekitar, khususnya Batak(Toba dan Simalungun), ada juga yang kemudian mulih kuta(kembali) lagi ke kuta
kemulihen(kampung halaman/kampung leluhur/kampung adat)-nya di Taneh Karo.
Di daerah Kuala, merga ini kemudian pecah menjadi Ginting Tampune serta tersebar ke wilayah-wilayah Karo lainnya.
Simalungun adalah
salah satu suku asli yang mendiami Sumatera Utara, tepatnya di timur Danau
Toba(Kab. Sialungun). Orang Karo menyebut mereka dengan sebutan Timur,
karena letak mereka yang disebelah timur Taneh Karo. Di dalam
cakap(bahasa) Karo, “Simelungen” sendiri bermakna “si sepi, si sunyi, yang
dimana terdiri dari dua suku kata, yakni “si = si, yang; dan [me-]lungun =
sepi, sunyi”, jadi Simalungen mengandung artian: “wilayah(daerah) yang sepi”.
Hal ini dikarenakan dulunya daerah Simalungun ini masyarakatnya hidup berjauhan
sehingga tampak sepi. Sedangkan, orang Batak menyebutnya dengan “Si
Balungu”, ini berkaitan dengan legenda hantu yang menimbulkan wabah
penyakit di wilayah itu.
Dalam tradisi
asal-usulnya, suku bangsa Simalungun diyakini berasal dari wilayah India
Selatan dan India Timur yang masuk ke nusantara sekitar abad ke-5 Masehi serta
menetap di timur Danau Toba(Kab. Simalungun sekarang), dan melahirkan marga
Damanik yang merupakan marga asli Simalungen(cikal bakal Simalungun Tua).
Dikemudian hari datang marga-marga dari sekitar Simalungun seperti: Saragih,
Sinaga, dan Purba yang menyatu dengan Damanik menjadi empat marga besar di
Simalungun.
Secara ringkas,
sejarah asal-usul suku bangsa Simalungun ini dapat dibagi menjadi dua
gelombang, yakni:
Gelombang
Pertama(Simalungun Proto)
Simalungun Proto(
Simalungun Tua) diperkirakan datang dari Nagore di India Selatan dan Assam
dari India Timur, yang dimana diyakini mereka bermigrasi dari India ke
Myanmar selanjutnya ke Siam(Thailand) dan ke Malaka hingga akhirnya ke Sumatera
Timur mendirikan kerajaan Nagur(kerajaan Simalungun kuno) dinasti Damanik(marga asli Simalungun). Dalam
kisah perjalanan panjang mengemban misi penaklukan wilayah-wilayah sekitarnya,
dikatakan mereka dipinpin oleh empat raja besar Siam dan India
yang bergerak dari Sumatera Timur menuju Langkat dan Aceh, namun pada
akhirnya mereka terdesak oleh suku asli setempat(Aru/Haru/Karo) hingga ke
daerah pinggiran Danau Toba dan Samosir.
Gelombang
Kedua(Simalungun Deutero)
Pada gelombang kedua
ini, atau dengan masuknya marga Saragih, Sinaga , dan Purba, dikatakan
Simalungun asli mengalami invasi dari suku sekitar yang memiliki pertalian
dengan Simalungun Tua. Jika ditelisik dari tiga marga yang masuk itu, maka berdasarkan aspek ruang dan waktu
dapat kita indikasikan mereka datang dari Utara Danau Toba( Karo: Tarigan Purba
dan Ginting Seragih yang kemudian juga menjadi Saragih Munthe) dan dari Barat Danau Toba(Pakpak/Dairi: Sinaga). Hal ini
juga sangat berkaitan jika kita meninjau apa yang ada di tradisi merga di utara
Danau Toba seperti Ginting(Pustaka Ginting) dan Tarigan(Legenda Danau Toba dan
Si Raja Umang Tarigan) yang dimana dalam tradisi dua merga ini menceritakan
adanya migrasi dari cabang(sub-)merga mereka ke wilayah Timur(Simalungun) dan sekitar Danau Toba.
Dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag (kitab
Simalungun kuno) dikisahkan Parpandanan Na Bolag(cikal bakal daerah
Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula
dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain
menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh
hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Namun, kini populasi Simalungun
sudah mengalami kemunduran akibat beralih identitas menjadi Melayu(masuk Islam sama halnya dengan Karo) dan terdesak akibat derasnya arus migrasi suku-suku
disekitar Simalungun(khususnya Toba dan Karo) yang membuat suku bangsa
Simalungun itu kini hanya menjadi mayoritas di wilayah Simalungun atas saja.
Sembiring Melaiala adalah salah satu
cabang(sub-) merga dari merga Sembiring.
Sembiring Meliala(Milala/Maliala) masuk dalam kelompok Sembiring Si La Man Biang(Sembiring yang tidak memakan
anjing/memantangkan anjing) dan juga masuk dalam kelompok Singombak(jika meninggal jasadnya dibakar dan abunya dihanyutkan).
Dalam tradisi lisan Karo dikatakan, Sembiring Meliala ini berasal dari
sebuah negeri di Selatan India yang bernama Malayalam
dan nenek moyang mereka bernama Pagyth
Malayalam(Pagit Meliala) yang memimpin ekspedisi mengemban misi penaklukan
negeri-negeri di daratan Sumatera, yang diperkirakan masuk ke Sumatera dari dua
jalur, yakni:
1.Teluk Haru
Dipercaya kaum kesatria Meliala(Malayalam)
ini masuk dari Teluk Aru/Haru(Langkat) dan berdiam disana hingga akhirnya membuka
permukiman di Alé(Deli Tua) dan sebagian ke dataran Tinggi Karo(Sarinembah). Migrasi dari Teluk aru/Haru ke pedalaman Deli dan dataran tinggi ini diyakini karena terdesak oleh pedagang dan misi siar Islam, namun, diketahui juga di tahun 628 M, Aru/Haru(kerajaan Karo kuno) diserang oleh Sriwijaya di daerah pesisir, sehingga mengakibatkan ibu kota kerajaan berpindah ke Deli Tua dan banyak rakyat Aru lari ke pedalaman dan dataran tinggi yang dianggap lebih aman, dan di masa inilah diyakini munculnya istilah kalak jahé, kalak jahé-jahé, ataupun kalak dusun yang maksudnya adalah "orang dari hilir(orang Karo hilir) yang mengungsi ke pegunungan. Dan diceritakan juga, beberapa keturunan di gugung(teruh deleng/pegunungan) turun gunung kembali(dimana sebelumnya telah mendirikan kerajaan Aru Sarinembah bersama dengan kaum yang ada di dataran tinggi) dan membuka perkebunan lada di daerah Deli
serta bersatu dengan kaum yang tinggal di dataran rendah mendirikan Kerajaan
Haru – Deli Tua dan beberapa kuta(kampung) di Karo Jahé(Dusun Deli/Deli–Serdang).
Dan tokoh penting yang cukup dikenal dari Kerajaan Haru – Deli Tua ini, adalah
Ratu Haru, Seh Ngenana beru Sembiring
Meliala atau lebih dikenal dengan sebutan Putri Hijau.
2.Teluk Barus
Jalur ke-dua ini sangat erat kaitannya
dengan sejarah Zending Hindu di Sumatera bagian timur, utara, dan tengah,
dimana setelah ditemukan situs batu bertulis di Labu Tua dekat bandar Barusoleh:G.J.J. Deuts pada tahun
1879 M. Setelah tulisan tersebut di
tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas
Madras diterjemahkan, maka
diketahuilah bahwa pada tahun 1080 M, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang
dari India Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur
barus yang menurut tafsiran membawa pegawai dan penjaga-penjaga
gudang kira-kira 1. 500 orang. Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri
di Selatan India, seperti: Colay(Cōla),
Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham, Malayalam, danKalingga (Orysa). Sekitar tahun
1128-1285 M karen terdesak oleh misi dagang dan siar
Islam yang dilakukan serdadu dan
pedagang dari Arab serta Turki(ada beberapa ahli juga berpendapat,
jikalau mere sebenarnya terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh) maka
kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo(Kabupaten Aceh
Tenggara,) dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang menyingkir
lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo dan bergabung dengan kaum-kaum yang telah berbiak disana.
Dalam kehidupan sehari-hari, Sembiring
Meliala ini menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Sembiring Pandebayang
dan Sembiring Tekang. Dipercaya hubungan dekat ini telah terjalin saat
masih di negeri asal nenek moyang mereka di India selatan. Diduga, ketiga
sub-merga Sembiring ini adalahersembuyak(er= ber; se = satu; mbuyak
= rahim; sembuyak= saudara kandung/serahim), sehingga dalam beberapa
keadaan tidak mengherankan jika mereka memakai nama sub-merga itu bersamaan
dalam kehidupannya. Kedekatan ini juga tampak dari rurun(nama
kecil/panggilan) mereka, dimana Sembiring Meliala untuk lelaki dipanggil dengan
Jemput(di Sarinembah) atau Sukat(di Beras Tepu dan Munte), sedang
untuk anak yang perempuan dipanggil dengan, Tekang! Sementara rurun Sembiring
Tekang adalah Jambé untuk laki-laki dan Gadong bagi yang
perempuan.
Dalam hal menjalin kekerabatan, salah satunya
melalui proses pernikahan; kelompok Sembiring Singombak(juga Meliala)
ini menganut sistem pernikahan Eksogami(mengharuskan menikah dengan
orang diluar merga-nya) dan sistem Eleutherogami(tidak ada
larangan tertentu, kecuali sedarah ataupun ada suatu kesepakatan/perjanjian).
Namun, untuk saat sekarang ini dibeberapa wilayahpernikahan se-merga(sibuaten)
ini telah dilarang oleh penatua-penatua setempat dan tokoh adat.
Berikut beberapa kuta yang didirikan serta
didiami dan menjadi kuta kemulihen(kampung halaman/kampung adat)
kelompok Sembiring Meliala ini baik di dataran tinggi Karo maupun di Karo Jahé(Dusun Deli/Deli–Serdang), di gugung: Sarinembah(kesebayaken/kerajaan),
Raja Berneh, Kidupen, Munté, Naman, Beras Tepu, Biaknampé, Jaberneh; di dusun:
Deli Tua(kerajaan), Buluh Gading, Si Pitu Kuta(Kuala Uruk, Kuala Cawi, Kuala Paya, Kuala Tebing, Kuala Sabah, Terumbu, dan Tembengen), dll. Sedangkan untuk Sembiring Tekang: Kaban dan Lingga(mungkin disinilah terjadinya
perjanjian dan pengangkatan saudara antara Tékang
dan Sinulingga, sehingga antara
mereka tidak bisa saling sibuaten(menikahi));
untuk Sembiring Pandébayang: Buluh
Naman dan Guru Singa.