Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Friday, June 29, 2012

    Ginting Serragih


           
                    Ginting Serragih, adalah salah satu cabang(sub-)merga dari merga Ginting, sehingga dalam penamaannya disebutkan dengan Ginting Serragih. Menurut J. H. Neumann, Ginting Serragih ini merupakan salah satu Ginting Tua yang menyebar ke Simalungun dan Batak(Toba) yang dikemudian hari di Simalungun menjadi Saragih atau juga Saragih Munthe dan Saragi di Batak(Toba). 

    Beberapa budayawan dan sejarahwan Karo berpendapat kalau Ginting Serragih ini merupakan sembuyak(saudara kandung) dari Ginting Munte dan Ginting Manik, hal ini dikarenakan oleh karena kuta(kampung) asal mereka(kuta awal kemunculan mereka), serta jalur dan waktu penyebaran mereka yang hampir bersamaan. Namu, ada juga yang berpendapat kalau Ginting Serragih ini, adalah pecahan(keturunan) dari Ginting Munte yang menyebar ke wilayah Simalungun dan Tapanuli Utara(Toba), yang dimana dikemudian hari mereka menjadi Saragih ataupun juga Saragih Munte di Timur Danau Toba(Simalungun) dan menjadi Saragi di Toba yang keturunannya ini kemudian sebahagian mulih kuta(pulang kampung) ke Taneh Karo dan bergabung kembali dengan kaumnya Ginting Serragih di Taneh Karo.

                Adapun negeri/wilayah bentukan ataupun kekuasaan dari merga Ginting Serragih ini, yakni: Kerajaan Urung Tanjung Morawa, dan kuta kemulihen-nya(kampung adat, kampung halaman leluhur) mereka, adalah Lingga Julu dan Surbakti. Mejuah-juah!


    Tuesday, June 5, 2012

    Aksara Karo Bag II

    -->
     Ke-khasan Dialek Karo Yang Tegambar Pada Tulisen Karo

    Diyakini, Tulisen(aksara) Karo yang juga disebut Surat Haru(karena dulunya dipergunakan meluas di wilayah-wilayah bekas kerajaan Aru(Haru – Karo) meliputi Sumatera bagian tengah dan bagian utara)dapat dikatakan merupakan aksara yang paling populer setidaknya di kawasan Sumatera bagian utara dan tengah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya karya-sastra klasik yang ditemukan dan disimpan oleh para kolektor-kolektor serta galeri seni di dunia, dimana dari kesemuanya itu merupakan buah tangan dari para guru(orang pintar dan bijaksana dalam segala hal) dan rakyat jelata. Jadi, di Karo bukan hanya kaum guru dan sibayak(raja, bangsawan) saja yang memiliki kemampuan baca tulis, melainkan segenap lapisan dan usia masyarakat juga demikian.

    Jika kita menelisik kepada tulisen(aksara) Karo itu, yang dipadukan denga cakap(bahasa) serta endek(logat atau dialek) Karo, maka tampak jelas ke-khasan dari tulisen karo itu yang tidak akan kita temui dalam aksara-aksara serta dialek lainnya. Dimana dalam indung surat(huruf induk/utama) yang terdiri dari 21 surat(huruf/font), ada dua indung surat yang sangat mencitrakan ke-khasan dari aksara, bahasa, dan logat Karo itu sendiri, yakni pada indung surat “NDA” dan “MBA”(“nda” dan “mba” hanya ada di Karo). Perhatikan penunjukan karakter “nda” dan “mba”, serta contoh-contoh penggunaanya dalam kata!
    Karakter "nda" dan "mba" serta contoh penulisannya dalam kata

    Sebenarnya selain bunyi  “nda” dan “mba”  yang ada dalam indung surat Karo, ada satu bunyi yang juga sangat khas dalam dialek Karo, yakni:  “nca”.  Namun  sayangnya bunyi “nca” ini tidak ada diwakili secara khusus dalam indung surat Karo, melainkan jika kita hendak menuliskan “nca” kita haru menulis: “na+penengen+ca” Perhatikan penunjukan karakter dibawah ini!
    cara penulisan bunyi "nca".
    Perhatikan juga penggunaannya pada kata-kata berikut ini!

    contoh penulisan "nca" dalam kata-kata.
     
    -->
    Perhatikan contoh penulisan “nca” diatas sangat tidak efektif, karena untuk menuliskannya setidaknya kita harus menggunakan indung surat  “na” diikuti anak surat(diakritik) penengen dan dilanjutkan dengan indung surat “ca”. Mungkin dalam hal ini saya mencoba menggabungakan ketiga karakter tersebut “na+penengen+ca”, sehingga akan tampak seperti gambar dibawah! Namun, itu masih butuh pengkajian dan kesepakatan antara sesama pengguna tulisen(aksara) Karo. Dan, berikut paduan karakter untuk membentuk bunyi “nca” berdasarkan rancangan saya!

    Tujuh karakter pengembangan untuk membentuk bunyi "nca"
    menurut rancangan Bastanta P. Sembiring.


    Monday, June 4, 2012

    Ginting MANIK


                Ginting Manik merupakan salah satu cabang(sub-)merga dari merga Ginting. Menurut tradisi Karo, Ginting Manik ini masih sembuyak(saudara sedarah) dengan Ginting Munté(Munthé) dan Ginting Pasé, hal ini tampak dari daerah asal mereka yang sama-sama dari kuta Tongging. Bukan itu saja, dalam penyebarannya(migrasinya), kedua sub-merga Ginting ini hampir memiliki jalur yang sama, setidaknya dari Tongging hingga ke Munté, namun dari Munté keturunan merga Ginting Manik ini melanjutkan penyebarannya ke Kuta Bangun, dan sebahagian ke Singa.
                Ada sebuah kisah yang sangat menarik dan cukup populer tentang Merga Ginting Manik dan tentunya Tarigan(Si Raja Umang). Dimana kisah ini sangat akrab dalam tradisi ndilo udan(memanggil hujan) dalam kepercayaan masyarakat Karo, yang di-interpretasikan dalam bentuk seni drama dan tari topeng, populer dengan sebutan Gundala-gundala atau dibeberapa daerah Karo lainnya disebut tembut-tembut Seberaya yang membawakan kisah Manuk Sigurda-gurdi(Siluman berwujud burung raksasa) berkepala tujuh.
                Darwan Prinst, S. H., dalam bukunya Adat Karo menyebutkan, si manteki(pendiri) kuta Singa adalah Ginting Sinusinga, namun beliau juga menambahkan kalau hal ini belumlah jelas! Saya berpendapat, “mungkin saja kalau Ginting Sinusinga ini adalah keturunan(pecahan) dari Ginting Manik di Singa”. Saya berpendapat demikian karena, almarhum(mendiang) Nini Bulang(kakek) saya Nagkih Ginting Manik(ayah dari nandé/ibu saya) adalah keturunan asli dari Pengulu Singa(di duga pendiri kuta Singa). Dalam hal ini, Mama(paman) saya sudah mendapat konfirmasi akan kebenarannya dari Karo-karo Sekali yang merupakan anak beru tua Ginting Manik Mergana saat masih di Singa, dan tanpa sengaja tahun 2011 lalu saya bertemu seorang yang juga ber-beberé Ginting Manik Singa, beliau juga membenarkan akan hal ini.
                Diceritakan dalam perjalanannya ke Dusun(Karo Jahé), putra Ginting Manik dan beru Sembiring Kembaren ini diselamatkan oleh anak berunya Karo-karo Sekali yang merupakan seorang guru mbelin dan Sembiring Meliala dari percobaan pembunuhan yang direncanakan oleh pihak sembuyak dari bapanya(ayahnya), karena saat itu Ginting Manik yang seorang Sibiak(sibiak = utama, bedakan dengan sibayak)Perbapan(kaum pria/penghulu) meninggal di-usia muda dan meninggalkan seorang anak yang masih kecil. Menurut tradisi, jabatan sibiak perbapan kuta ini diwariskan secara turun temurun, kecuali tidak ada ahli warisnya maka jabatan untuk selanjutnya dipangku oleh sembuyaken-nya yang tertua, itu-lah diduga menjadi alasen utama dalam percobaan pembunuhan terhadap anak Si Ginting Manik ini. Namun, rencana ini digagalkan oleh anak berunya Ginting, yakni: Karo-karo Sekali dan kalimbubu Ginting saat itu Sembiring Kembaren yang melarikannya ke daerah Dusun Deli(Karo Jahé).
                Akan kebenaran dari cerita ini juga diperkuat dengan adanya niat dari kalimbubu Sembiring Kembaren untuk kembali menjalin pertalian kekeluargaan dengan Ginting Manik, hal ini tampak pada perjodohan yang direncanakan sekitar tahun 1920’an. Namun sedikit terhalang, karena si beru Sembiring Kembaren yang notabene-nya janda seorang Belanda, dimana mantan suaminya yang seorang jaksa merasa tidak senang, sehingga dengan segala kewenangannya si Ginting Manik dibuang ke Singapura dan akhirnya dipindahkan ke Nusa Kambangan(Cilacap), namun atas segala upaya yang dilakukan pihak keluarga dan atas prilaku baik(Si Ginting Manik sejak di Nusa Kambangan, Cilacap dikenal dengan ahli penanam kelapa yang membut pihak Belanda menaruh simpatik) akhirnya Si Ginting Manik(Nangkih Ginting Manik) dibebaskan.
                Banyak kisah dibalik perjalanan Si Ginting Manik ini, namun dilain waktu akan saya ceritakan. Hehehe…. Dan berikut jalur perjalanan dari Ginting Manik di Dusun Deli(Karo Jahé) yang sempat saya peroleh dari beberapa orang tua: Singa => Rimo Mukur => (.???.) => Kuta Jurung => Namo Rambé, dan seterusnya. Kebenaran akan cerita ini memang masih perlu didalami, akan tetapi setidaknya dengan mengumpulkan tradisi-tradisi yang ada sedikit titik terang sudah mulai tampak.
                Adapun kuta-kuta yang menjadi tempat berdiamnya merga Ginting Manik ini menurut tradisi-tradisi yang ada adalah Tongging, Aji Nembah, Munte, Kuta Bangun, Singa, dan Linga; serta penyebarannya bukan hanya di wilayah Taneh Karo saja melainkan hingga ke Pak-pak(Dairi) dan Toba, sehingga merga ini juga ada di suku Pak-pak dan Toba dengan sbutan Manik.
                           
               

    GINTING MUNTÉ

     
    Ginting Munté
    Ginting Munté (Muthé) adalah salah satu cabang(sub-) merga dari merga Ginting(salah satu dari lima merga Karo)! Banyak orang beranggapan kalau merga ini sebenarnya berasal dari Batak(Toba atau Simalungen), akan tetapi jika kita menelisik pada tradisi dalam merga Ginting Munthe itu sendiri, dan jika kita kaitkan dengan tradisi pada sub-merga Karo-karo Sinulingga(Sinulingga telah menemui Ginting Munthe di Lingga sekitar awal-awal abad ke-13), tradisi Saragih Munthe( di Simalungun, Dalimunte di Labuhan Batu, dan sejarah Zending Hindu di Sumatera bagian timur, tengah, dan utara, serta catatan-catatan keberadaan(kemunculan) merga Munte itu sendiri, maka hal ini tidak-lah sejalan dari dimensi waktu dan tidak-lah masuk diakal. 

    Dipercaya, Si Raja Batak yang menurut tradisi Batak(Toba) adalah nenek moyang seluruh bangsa Batak yang daripadanya-lah lahirnya marga-marga Batak, yang hidup bersamaan waktunya denga kerajaan-kerajaan seperti: Haru(Karo), Nagur(di Sumatera Timur yang identik dengan Simalungun), Padang Lawas dan Pané(Mandailing Tua), Sriwijaya, Majapahit(dalam kakawi Negarakertagama), Malaka, dll; Jika kita meninjau dari hal ini, dapat dipastikan bahwa setidaknya, Karo, Simalungun, dan Mandailing sudah ada saat dimana kemunculan Si Raja Batak yang juga dipercaya adalah aktivis dari salah satu kerajaan tersebut diatas yang mengungsi ke pedalaman Samosir, maka hidup Si Raja Batak dipredikasikan awal abad ke-13 M. 

    Mempelajari sejarah Munthé ini sangatlah menarik dan unik. Banyak etnis-etnis khususnya yang hidup di Sumatera(Karo, Simalungun, Mandailing, Toba, Pak-pak/Dairi, Gayo, Alas, dll) yang memiliki merga Munté ini, dan bahkan tidak jarang mengklem bahwasanya Munthé ini berasal dari mereka, namun apa-pun itu kembali kepada pribadi kita masing-masing versi dari tradisi mana yang hendak kita pakai menjadi pedoman kita, namun fakta tetap-lah fakta walau sulit untuk kita menerimanya. 
    Di Eropa, tampaknya keberadaan Munte(Munthe) sudah mulai teridentifikasi setidaknya sejak tahun 990M. Di tahun 1000 – 1449 M di Eropah diketahui setidaknya 12 orang telah menggunakan kata Munthé(Muté) ini dibelakang namanya, salah satunya dari temuan ijazah dari Ascricus van Munte(1072 M) dari Vlanderen yang sekarang merupakan wilayah Belgia. Apakah mungkin Munte yang di Sumatera sudah sampai di Belgia di Tahun 1000? Jika kita berpatok pada masa kemunculan kerajaan Aru/Haru(Karo), Nagur(identik dengan Simalungun), dan Padang Lawas serta Pané( identik dengan Mandailing), ya mungkin saja! Mengingat, setidaknya aktivitas pelayaran internasional di Barus sudah dimulai sejak abad ke-5 M. Bahkan, di Norwegia di abad ke-16 M muncul Ludvig Munthe! Mengingat jarak antara Belgia dengan Norwegia yang sangat jauh(…) apakah keluarga Munté Belgia ini sama dengan Munté di Norwegia? Namun, jika ditinjau dari faktor waktu(tahun 1000 – 1500’an) dan geografis, hal ini juga sangat memungkinkan terjadi, mengingat pelabuhan Belgia yang berhadapan langsung dengan Laut Norwegia melalui Laut Utara yang diapit kepulauan Britania Raya di barat dan di sebelah timur dikelilingi daratan Eropa di pesisir pantai Belanda, Jerman, dan Denmark. Bahkan, silsilah dari Ludwig Munthe(1593-1649) ini disusun dengan sangat rapih oleh Severre Munthe, dalam buku Familiem Munthe In Norge. Sekitar tahun 1995 diperkirakan jumlah keturunannya yang teridentifikasi lebih lima ratus jiwa. Munthe di Norwegia ini juga mengakui dan menyatakan bahwa Vlanderen(Belgia) adalah tanah asal leluhur mereka ( Silahkan dilihat dokumen Munthe Eropah http://www.geocities.com/-ascricus/genealogy/surnames.htm -|  http://genealogy.munthe.net     |    http://sverre.munthe.net ). 

    Dari cerita diatas, maka timbullah pertanyaan besar: apakah Munthé(Munté) di Belgia, Norwegia, dan wilayah Eropah lainnya mencerminkan atau bahkan satu nenek moyang dengan Munté(Munthé) yang tersebar di nusantara? Dan, darimanakah alsal Munté ini sesungguhnya? Ya, itu pertanyaan yang menjadi misteri besar, tetapi setidaknya ada beberapa tradisi yang mendukung keberadaan Munthe itu lebih awal di utara Danau Toba(Karo), yakni: Tradisi Ginting Munthe itu sendiri, yang didukung oleh tradisi Ginting Pasé, Ginting Manik, Karo-karo Sinulingga(tradisi Karo), dll; dan juga tradisi Simalungun. 

    Sebuah cerita menarik, pernah dikatakan seorang Anthrofologi ber-merga Munté yang tinggal di Madagaskar asal Norwegia mengunjungi Kuta Ajinembah, diantar oleh Pengurus Nomensen dan diterima oleh Pendeta Pantekosta Ajinembah (1971). Beliau mengemukakan bahwa leluhurnya berasal dari Ajinembah di rumah sendi, dan mengatakan “putih” dalam bahasa ibunya dengan “Mbulan”. (Penutur, penduduk Ajinembah, 2001 dalam buku Kenangan Marga Munthé , hal. 221).


    Ginting Munthé dalam tradisi
    Menurut tradisi lisan Karo yang juga dicatan oleh seorang misionaris Nederlandsche Zending-genoothschap(NZG) asal Belanda, Pdt. J. H. Neumann, dikatakan merga Ginting Munté(Munthé) yang merupakan salah satu cabang(sub-)merga dari merga Ginting ini, awalnya tumbuh di wilayah Tongging(di Tanah Karo) begitu pula dengan Ginting Pasé dan juga Ginting Manik. Selanjutnya dikisahkan, keturunan dari Ginting Munte ini dari Tongging bermigrasi ke Becih dan Kuta Sanggar; selanjutnya ke Aji Nembah(masih dalam wilayah Taneh Karo). Keturunan yang di Aji Nembah ini-lah yang kemudian bermigrasi kuta Munte dan sebagian ke wilayah Timur(Simalungun) dan berpencar ke sekitar wilayah Danau Toba lainnya. Hampir dibeberapa tradisi Munté menyiratkan awal-awal leluhur mereka berasal dari kuta(kampung) Aji Nembah(di Taneh Karo) ini. Dalam tradisi yang berkembang di timur Danau Toba(Simalungun) proses migrasi ini diperkrakan terjadi sekitar tahun 1395 – 1435 Masehi, dimana Tuan Sipinangsori putra dari Jalak Karo yang berasal dari Aji Nembah sekitar tahun 1428 M menetap di Raja Simbolon dengan menunggangi horbo(kerbau) Sinanggalutu. Dan, hal ini juga didukung oleh tradisi Dalimunte yang berkembang di Labuhan Batu, dimana diceritakan saat Si Munté dari Aji Nembah yang menunggangi “Kerbo Nenggala Lutu” ini membawa segenggam bibit kacang-kacangan yang disebut “dali” dan menanamnya kemudian tumbuh subur dan berbuah banyak, serta biji-bijian ini sangat disukai, sehingga para tetangga menawarkan barter dengan menyebut dali – Munté dengan maksud “kacang mu o, Muté ” atau “minta kacangmu o, Munté ”. Sehingga dikemudian hari para keturunannya dipanggil dengan Dalimunte.

    Setelah perjalanan panjang, akhirnya beberapa generasi Munté yang berpencar di sekitar Danau Toba(Toba) ini merasuk kedalam kelompok-kelompok etnis sekitar, khususnya Batak(Toba dan Simalungun), ada juga yang kemudian mulih kuta(kembali) lagi ke kuta kemulihen(kampung halaman/kampung leluhur/kampung adat)-nya di Taneh Karo. Di daerah Kuala, merga ini kemudian pecah menjadi Ginting Tampune serta tersebar ke wilayah-wilayah Karo lainnya.

    Mejuah-juah.

    Sunday, June 3, 2012

    SIMALUNGUN


    Sejarah Singkat Asal Usul Bangsa Simalungun

    Simalungun adalah salah satu suku asli yang mendiami Sumatera Utara, tepatnya di timur Danau Toba(Kab. Sialungun). Orang Karo menyebut mereka dengan sebutan Timur, karena letak mereka yang disebelah timur Taneh Karo. Di dalam cakap(bahasa) Karo, “Simelungen” sendiri bermakna “si sepi, si sunyi, yang dimana terdiri dari dua suku kata, yakni “si = si, yang; dan [me-]lungun = sepi, sunyi”, jadi Simalungen mengandung artian: “wilayah(daerah) yang sepi”. Hal ini dikarenakan dulunya daerah Simalungun ini masyarakatnya hidup berjauhan sehingga tampak sepi. Sedangkan, orang Batak menyebutnya dengan “Si Balungu”, ini berkaitan dengan legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di wilayah itu.

    Dalam tradisi asal-usulnya, suku bangsa Simalungun diyakini berasal dari wilayah India Selatan dan India Timur yang masuk ke nusantara sekitar abad ke-5 Masehi serta menetap di timur Danau Toba(Kab. Simalungun sekarang), dan melahirkan marga Damanik yang merupakan marga asli Simalungen(cikal bakal Simalungun Tua). Dikemudian hari datang marga-marga dari sekitar Simalungun seperti: Saragih, Sinaga, dan Purba yang menyatu dengan Damanik menjadi empat marga besar di Simalungun.

    Secara ringkas, sejarah asal-usul suku bangsa Simalungun ini dapat dibagi menjadi dua gelombang, yakni:


       Gelombang Pertama(Simalungun Proto)

    Simalungun Proto( Simalungun Tua) diperkirakan datang dari Nagore di India Selatan dan Assam dari India Timur, yang dimana diyakini mereka bermigrasi dari India ke Myanmar selanjutnya ke Siam(Thailand) dan ke Malaka hingga akhirnya ke Sumatera Timur mendirikan kerajaan Nagur(kerajaan Simalungun kuno) dinasti Damanik(marga asli Simalungun). Dalam kisah perjalanan panjang mengemban misi penaklukan wilayah-wilayah sekitarnya, dikatakan mereka dipinpin oleh empat raja besar Siam dan India yang bergerak dari Sumatera Timur menuju  Langkat dan Aceh, namun pada akhirnya mereka terdesak oleh suku asli setempat(Aru/Haru/Karo) hingga ke daerah pinggiran Danau Toba dan Samosir.


       Gelombang Kedua(Simalungun Deutero)

    Pada gelombang kedua ini, atau dengan masuknya marga Saragih, Sinaga , dan Purba, dikatakan Simalungun asli mengalami invasi dari suku sekitar yang memiliki pertalian dengan Simalungun Tua. Jika ditelisik dari tiga marga yang masuk itu, maka berdasarkan aspek ruang dan waktu dapat kita indikasikan mereka datang dari Utara Danau Toba( Karo: Tarigan Purba dan Ginting Seragih yang kemudian juga menjadi Saragih Munthe) dan dari Barat Danau Toba(Pakpak/Dairi: Sinaga). Hal ini juga sangat berkaitan jika kita meninjau apa yang ada di tradisi merga di utara Danau Toba seperti Ginting(Pustaka Ginting) dan Tarigan(Legenda Danau Toba dan Si Raja Umang Tarigan) yang dimana dalam tradisi dua merga ini menceritakan adanya migrasi dari cabang(sub-)merga mereka ke wilayah Timur(Simalungun) dan sekitar Danau Toba.

    Dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag (kitab Simalungun kuno) dikisahkan Parpandanan Na Bolag(cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Namun, kini populasi Simalungun sudah mengalami kemunduran akibat beralih identitas menjadi Melayu(masuk Islam sama halnya dengan Karo) dan terdesak akibat derasnya arus migrasi suku-suku disekitar Simalungun(khususnya Toba dan Karo) yang membuat suku bangsa Simalungun itu kini hanya menjadi mayoritas di wilayah Simalungun atas saja.



    Saturday, June 2, 2012

    Sembiring Meliala


    Sembiring Melaiala adalah salah satu cabang(sub-) merga dari merga Sembiring. Sembiring Meliala(Milala/Maliala) masuk dalam kelompok Sembiring Si La Man Biang(Sembiring yang tidak memakan anjing/memantangkan anjing) dan juga masuk dalam kelompok Singombak(jika meninggal jasadnya dibakar dan abunya dihanyutkan).

    Dalam tradisi lisan Karo dikatakan, Sembiring Meliala ini berasal dari sebuah negeri di Selatan India yang bernama Malayalam dan nenek moyang mereka bernama Pagyth Malayalam(Pagit Meliala) yang memimpin ekspedisi mengemban misi penaklukan negeri-negeri di daratan Sumatera, yang diperkirakan masuk ke Sumatera dari dua jalur, yakni:
    1.      Teluk Haru
    Dipercaya kaum kesatria Meliala(Malayalam) ini masuk dari Teluk Aru/Haru(Langkat) dan berdiam disana hingga akhirnya membuka permukiman di Alé(Deli Tua) dan sebagian ke dataran Tinggi Karo(Sarinembah). Migrasi dari Teluk aru/Haru ke pedalaman Deli dan dataran tinggi ini diyakini karena terdesak oleh pedagang dan misi siar Islam, namun, diketahui juga di tahun 628 M, Aru/Haru(kerajaan Karo kuno) diserang oleh Sriwijaya di daerah pesisir, sehingga mengakibatkan ibu kota kerajaan berpindah ke Deli Tua dan banyak rakyat Aru lari ke pedalaman dan dataran tinggi yang dianggap lebih aman, dan di masa inilah diyakini munculnya istilah kalak jahé, kalak jahé-jahé, ataupun kalak dusun yang maksudnya adalah "orang dari hilir(orang Karo hilir) yang mengungsi ke pegunungan.  Dan diceritakan juga, beberapa keturunan di gugung(teruh deleng/pegunungan) turun gunung kembali(dimana sebelumnya telah mendirikan kerajaan Aru Sarinembah bersama dengan kaum yang ada di dataran tinggi) dan membuka perkebunan lada di daerah Deli serta bersatu dengan kaum yang tinggal di dataran rendah mendirikan Kerajaan Haru – Deli Tua dan beberapa kuta(kampung) di Karo Jahé(Dusun Deli/Deli–Serdang). Dan tokoh penting yang cukup dikenal dari Kerajaan Haru – Deli Tua ini, adalah Ratu Haru, Seh Ngenana beru Sembiring Meliala atau lebih dikenal dengan sebutan Putri Hijau.

    2.      Teluk Barus
    Jalur ke-dua ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Zending Hindu di Sumatera bagian timur, utara, dan tengah, dimana setelah ditemukan situs batu bertulis di Labu Tua dekat bandar Barus oleh: G. J . J. Deuts pada tahun 1879 M. Setelah tulisan tersebut di tahun 1932 oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras diterjemahkan, maka diketahuilah bahwa pada tahun 1080 M, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang dari India Selatan. Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut tafsiran  membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang.  Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay(Cōla), Pandya(Pandyth), Teykaman, Muoham, Malayalam, dan Kalingga (Orysa). Sekitar tahun 1128-1285 M karen terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan serdadu dan pedagang dari Arab serta Turki(ada beberapa ahli  juga berpendapat, jikalau mere sebenarnya terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh) maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo(Kabupaten Aceh Tenggara,) dan kemudian mendirikan Kampung Renun. Ada juga yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo dan bergabung dengan kaum-kaum yang telah berbiak disana.

    Dalam kehidupan sehari-hari, Sembiring Meliala ini menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Sembiring Pandebayang dan Sembiring Tekang. Dipercaya hubungan dekat ini telah terjalin saat masih di negeri asal nenek moyang mereka di India selatan. Diduga, ketiga sub-merga Sembiring ini adalah ersembuyak( er= ber; se = satu; mbuyak = rahim; sembuyak= saudara kandung/serahim), sehingga dalam beberapa keadaan tidak mengherankan jika mereka memakai nama sub-merga itu bersamaan dalam kehidupannya. Kedekatan ini juga tampak dari rurun(nama kecil/panggilan) mereka, dimana Sembiring Meliala untuk lelaki dipanggil dengan Jemput(di Sarinembah) atau Sukat(di Beras Tepu dan Munte), sedang untuk anak yang perempuan dipanggil dengan, Tekang! Sementara rurun Sembiring Tekang adalah Jambé untuk laki-laki dan Gadong bagi yang perempuan.

    Dalam hal menjalin kekerabatan, salah satunya melalui proses pernikahan; kelompok Sembiring Singombak(juga Meliala) ini menganut sistem pernikahan Eksogami(mengharuskan menikah dengan orang diluar merga-nya) dan sistem Eleutherogami(tidak ada larangan tertentu, kecuali sedarah ataupun ada suatu kesepakatan/perjanjian). Namun, untuk saat sekarang ini dibeberapa wilayah pernikahan se-merga(sibuaten) ini telah dilarang oleh penatua-penatua setempat dan tokoh adat.

    Berikut beberapa kuta yang didirikan serta didiami dan menjadi kuta kemulihen(kampung halaman/kampung adat) kelompok Sembiring Meliala ini baik di dataran tinggi Karo maupun di Karo Jahé(Dusun Deli/Deli–Serdang), di gugung: Sarinembah(kesebayaken/kerajaan), Raja Berneh, Kidupen, Munté, Naman, Beras Tepu, Biaknampé, Jaberneh; di dusun: Deli Tua(kerajaan), Buluh Gading,  Si Pitu Kuta(Kuala Uruk, Kuala Cawi, Kuala Paya, Kuala Tebing, Kuala Sabah, Terumbu, dan Tembengen), dll. Sedangkan untuk Sembiring Tekang: Kaban dan Lingga(mungkin disinilah terjadinya perjanjian dan pengangkatan saudara antara Tékang dan Sinulingga, sehingga antara mereka tidak bisa saling sibuaten(menikahi)); untuk Sembiring Pandébayang: Buluh Naman dan Guru Singa.