Oleh: Cipta Gloria Sembiring
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu bentuk intergral yang
dilakukan pemerintah dengan melakukan pembangunan yang merata di seluruh
wilayah menyeratkan indikasi keseriusan dari para pemimpin negara kita untuk
kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya. Salah satunya dengan diberlakukannya
UU No. 25 Tahun 1999 pada januari 2001, mengenai desentralisasi fiskal, yaitu perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan UUD 1945 pada pasal
18A ayat 2 dimana termuat “*(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dansumber daya lainnya antara pemerintahan pusat
dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang”.
Mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki banyak pulau yang
terbentang luas dari sabang hingga maroke. Dengan kedudukan ibu kota negara
berada di jakarta, permasalah yang telah lama muncul akibat dari begitu luasnya
negara kita adalah, apakah pemerintahan pusat berlaku adil terhadap
pemerintahan yang ada di daerah, baik sebelum dan setelah adanya kebijakan
mengenai otonomi daerah (Desentralisasi).
Desentralisasi memberikan implikasi yang bervariasi terhadap kegiatan
pembangunan antar daerah, tergantung pada pengaturan kelembagaan, dan desain
menyeluruh dari pembagian wewenang dan perimbangan keuangan antar pemerintah
pusat dan daerah. Risiko paling besar adalah ketika sumber utama penerimaan
pemerintah diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa diikuti langkah-langkah
kebijaksanaan yang menjamin mobilisasi pendapatan daerah untuk membiayai
berbagai pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Permasalahanaya sekarang adalah apakah pelaksanaan desentralisasi fiskal
tersebut mampu memberikan dampak positif terhadap distribusi pendapatan
masyarakat melalui kebijakan pengeluaran sektor publik, serta kebijakan fiskal
dan desain sumbangan pemerintah pusat kepada daerah.
B. Rumusan Masalah
B.1. Bagaimanakah perimbangan keuangan pemerintah pusat dan
pemerntah daerah?
B.2. Apakah dilema atau permasalahan yang terjadi antar
keduanya?
C. Telaah Pusataka
C.a. Tinjauan Dari Segi Perundang-undangan
.
UUD 1945 Pasal 18A ayat 2(**),
mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah,
·
UU No. 25 Tahun 1999, mengenai
perimbangan keuangan antara pusat dan,
·
UU No. 22 Tahun 1999 Bab IV Pasal 78 S/d
80, mengenai keuangan daerah dan dana perimbangan,
·
UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 13,
mengenai perimbangan keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan,
dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi,
. UU No. 33 Tahun 2004
Pasal 1 ayat 3 mengenai pengertian pengertian perimbangan keuangan, ayat 19
mengenai pengertian dana perimbangan, ayat 20 mengenai dana bagi hasil, ayat 21
mengenai DAU.
PEMBAHASAN
B.1. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerntah
daerah
Dengan diundangkannya UU No.22 dan 25 Tahun1999 sebagai awal dari pelaksanaan
desentralisasi fiskal ditegaskan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah merupakan suatu sistem pembiyayaan pemerintahan dalam kerangka
negara kesatuan, yang mencangkup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah serta pemerataan di setiap daerah yang dilaksanakan secara proposional,
demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan
daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan
keuangan.
Disadari bahwa masalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
yang indentik dengan muatan ketatanegaraan, politik, sosial budaya, ekonomi,
dan administrasi negara secara keseluruhan, maka masalah perimbangan keuangan
sebenarnya hanyalah refleksi dari pembagian kekuasaan antara instansi, baik
pusat maupun daerah, untuk itu beberapa kriteria-kriteria dalam kebijaksanaan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yakni :
1.
Pemberian otonomi daerah yang lebih luas, dimana daerah otonom
diberi kebebasan dalam menentukan prioritas dan pengambilan keputusan
disektor publik serta bersifat fleksibel;
2.
Tersedianya sumber-sumber penerimaan daerah yang memadai untuk
menjalankan tugas dan fungsinya;
3.
Bantuan yang di serahkan pusat ke daerah sesuai dengan porsi
serta kemampuan daerah untuk mengelola dana bantuan tersebut;
4.
Pusat harus menjamin ketersedian dana setiap daerah otonom;
5.
Dalam pemberian DAU pemerintah harus besifat netral dan sesuai
dengan kebutuhan daerah otonom
6.
Kesederhanaan, formula pembagian bantuan pusat kepada daerah
otonom (hindari kriteria pembagian ambigous dan tidak operasional);
7.
Insentif, pemerintah harus dapat membinana daerah otonom untuk
melakukan efisiensi ekonomi dalam menentukan pelayanan sektor publik;
8.
Memberikan kebebasan yang bertanggung jawab terhadap daerah
otonom untuk menjalankan kegiatan pemerintahannya serta pelayanan yang perima
kepada masyarakat;
9.
Kewenangan penuh daerah otonom dalam jangka panjang yang di
berikan pusat ke daerah secara bertahap untuk mencangkup semua kewenangan dalam
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal nasional dan kebijakan
strategis nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan (terutama mencangkup
perumusan kebijakan, pengendalian pembangunan sektoral dan nasional dan
kebijakan standarisasi nasional).
Dasar dari kesepuluh kriteria tersebut secara garis besar telah dimuat dalam
UUD 1945 Pasal 18A ayat yang ke-2 dimana “ Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang”.
Beberapa pertimbangan dalam pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah
adalah :
1.
Peningkatan efisiensi pelayanan pada sektor publik;
2.
Mengaudit permasalahan keuangan yang mengalami ketimpangan
untuk memperoleh keseimbangan keuangan;
3.
Peningkatan pelayanan dengan menerapkan standart pelayanan
yang minimum.
Dampak langsung penyerahan fungsi yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan
UU No. 22 Tahun 1999, membutuhkan dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas
yang menjadi tanggung jawabnya tersebut, kepada daerah diberikan sumber-sumber
pembiayaan, baik melalui pemberian kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi,
sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman. Sistem
pembiayaan tersebut merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan
pengaturan-pengaturan yang selama ini berlaku. Dengan kebijaksanaan tersebut
sistem pembiayaan daerah menjadi sangat jelas.
Keleluasaan Kepela Daerah telah diberikan untuk memungut pajak/retribusi sesuai
dengan yang diatur dalam UU No.18 Tahun 1997 yang telah disempurnakan dengan UU
No.34 tahun 2000 yang lebih memberikan kewenangan kepala Daerah. Dalam aturan
itu pemerintah kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk memungut pajak selain
yang ditetapkan dalam UU yang harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Demikian juga dengan provinsi juga diberikan kewenangan untuk memungut
retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan dalam UU.
Selain itu, bentuk kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui dana
perimbangan diharapkan dapat menanggulangi ketidakmampuan daerah dalam
membiayai kebutuhan pengeluarannya dari pajak dan retribusi. Dana perimbangan
terdiri dari dana bagi hasil pajak dan SDA yang disebut dengan bagian daerah,
Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan pajak yang dibagi
hasilkan yaitu pajak penghasilan perorangan, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB); sedangkan penerimaan SDA
yang dibagi hasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum,
kehutanan, dan perikanan.
Dana bagi hasil dimaksud diakui akan menyebabkan variasi antar daerah karena
didasarkan atas daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah-daerah
tertentu. Namun demikian, variasi antar daerah tersebut dapat diantisipasi
melalui DAU yang diberikan dan didesain dengan mempertimbangkan sisi kemampuan
keuangan dan kebutuhan daerah. Dengan kata lain, DAU ditujukan untuk pemerataan
keuangan antar daerah sehingga semua daerah mempunyai kemampuan yang relatif
sama untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya.
B.2. Dilema atau permasalahan yang terjadi
Indonesia merupakan negara yang baru dalam menetapkan sistem desentralisasi
terutama dalam bidang keuangan, jadi tidak dapat kita lari dari kenyataan akan
banyaknya permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi terutama
dalam bidang keuangan, berikut beberapa permasalahan yang kerap di hadapi dalam
pelaksanaan kebijakan keuangan antara pusat dan daerah antara lain :
a) Pungutan Daerah
Sesuai dengan pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengenankan pungutan
baru selain yang ditetapkan UU No.34 Tahun 2000 jo PP No.65 Tahun 2001 tentang
Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, telah banyak
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Dengan kewenangan tersebut,
banyak daerah telah menghidupkan kembali pungutan-pungutan yang dulunya telah
dihapus/dilarang dengan UU No.18 Tahun 1997. Tindakan tersebut sebenarnya tidak
perlu terjadi apabila daerah mematuhi ketentuan yang berlaku dimana telah
ditetapkan secara tegas kriteria dari pajak dan retribusi yang dapat dipungut
oleh daerah.
b) Taxing Power
Sesuai dengan penggunaan PAD dalam
rangka kemandirian pembiayaan daerah adalah kewenangan perpajakan (taxing
power), daerah yang sangat terbatas akan sumber daya tercermin dari rendahnya
kontribusi PAD terhadap APBD. Kondisi seperti ini tidak menunjang keadaan yang
setabil dalam penggunaan anggaran daerah, di mana keterbatasan dana transfer
dari pusat untuk membiayai kebutuhan daerahnya idealnya dapat ditutup oleh
daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya. Hal ini
hanya dapat dilakukan apabila taxing power dari daerah diperbesar.
c) Perimbangan Keuangan
Pelaksanaan perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah terkesan dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada
pembimbing dalam pergerakannya, karena masalah pembagian kekuasaan antara pusat
dan daerah saja masih belum menemukan titik temu di antara keduanya. Pembiayaan
yang seyogianya akan mengikuti kewenangan yang diserahkan namun di biarkan
berjalan di depan tanpa ada penuntun arah yang jelas, sehingga perhitungan DAU
yang akan dialokasikan kepada daerah tiadak memiliki gambaran yang jelas
tentang besaran beban pelimpahan kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah.
Namun dari keadaan tersebut, pada era awal-awal pelaksanaa desentralisasi
bidang keuangan telah menghadapi ketidaksesuaian pembiayaan baik positif maupun
negatif. Ini disebabkan karena adanya kessenjangan antara pusat dan daerah
serta adanya wilayah atau ruang lingkup yang tidak terbukak yang cukup luas
dalam pemisahan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan
pengaturan yang ada hanya memuat bahwa yang mengatur kewenangan adalah pusat
dan provinsi, sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota tidak ada
kejelasan dari peraturan yang ada, sementara seharusnya kewenangan kabupaten
dan kota adalah kewenangan yang terlepas dari kewenangan pusat dan provinsi.
Salah satu indikator yang mungkin bisa dijadikan tolok ukur dalam melihat
adanya ketidak sesuaian adalah dari proses transfer pegawai dari pusat ke
daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta dari provinsi ke kabupaten/kota.
Sampai saat ini proses pengalihan pegawa daerah provinsi menjadi pegawai daerah
kabupaten/kota belum selesai. Sementara provinsi justru telah menerima
pengalihan pegawai dari pemerintah pusat (akhir bulan maret 2001). Dipihak
lain, sumber keuangan daerah provinsi semakin berkurang namun beban pembiayaan
khusunya dari beban belanja pegawai justru mengalami peningkatan.
d) Bagi Hasil
Dalam rangka penyaluran dana bagi
hasil juga dihadapkan dengan beberapa dilema, walaupun secara umum dapat
dilakukan sesuai dengan rencana. Dalam penetapan bagi hasil kepada daerah
terutama dari SDA yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.343
Tahun 2001 tidak menyebut secara tegas apakah penyaluran berdasarkan realisasi
atau budget APBN Tahun 2001. Jika penyaluran dilakukan atas dasar budget, maka APBN
Tahun 2001 tidak sanggup menutup kekurangannya dikarenakan beberapa sektor
penerimaan SDA tidak dapat memenuhi target penerimaan yang ditetapkan dan
bahkan relatif sangat kecil, seperti penerimaan SDA sektor perikanan. Sementara
jika dilakuakan atas dasar realisasi, maka pelaksanaan penyaluran dalam
Triwulan IV pada bulan Desember 2001 tidak dapat dilakukan karena tahun
anggaran berkahir pada tanggal 31 Desember 2001, sehingga konsekuensi realisasi
penyaluran dalam Triwulan IV harus dicarry over dalam tahun berikutnya. Jika
hal ini ditempuh akan menyulitkan cash flow di daerah mengingat. Daerah sudah
menetapkan bagi hasil tersebut dalam APBD Tahun 2001, sedangkan sebagian dari
penerimaan bagi hasil SDA dalam tahun anggaran berjalan baru dapat diterima dalam
tahun anggaran berikutnya.
Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan penyaluran dana bagi hasil yang
didasarkan atas dasar realisasi penyaluran dilakukan secara periodik tiap
minggu, bulanan atau triwulanan tergantung jenis penerimaannya. Dengan
mekanisme seperti itu, maka kelancaran likuiditas keuangan daerah dapat
terjaga, dapat mengurangi resiko yang harus ditanggung APBN apabila realisasi
penerimaan yang menjadi hak daerah lebih kecil dari yang telah ditetapkan, dan
daerah dapat lebih menggunakan perinsip kehati-hatian serta menjaga
akuntabilitas atas penyusunan dan pelaksanaan APBD-nya.
e) Penetapan Dana Alokasi Khusu (DAK)
Dalam penetapan DAK, masih ada keengganan pemerintah pusat untuk mengalokasikan
dana di luar Dana Reboisasi (DR). Hal ini tercermin dengan pelaksanaan APBN
dalam tahap awal pelaksanaan desentralisasi fiskal yang masih menganggarkan DAK
dari DR saja. Selayaknya dengan pelaksanaan otonomi daerah, anggaran sektoral
di APBN sudah dapat ditekan. Hal ini mengingat sebagian besar kewenangan sudah
beralih ke daerah sebagai kewenangan desentralisasi. Namun dalam kenyataannya
masih terdapat kegiatan-kegiatan desentralisasi yang masih dibiayai oleh
anggaran sektoral, walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh daerah melalui
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
f) Formula Dana Alokasi Umum (DAU)
Sesuai dengan penetapan DAU, diamana DAU digunakan guna perimbangan
keuangan keuangan antar daerah, dana ini digunakan untuk menutup adanaya perbedaan
yang muncul akibat kebutuhan suatu daerah ternyata jauh dari kemampuan dana
yang ada di daerah atau potensi daerah tersebut, kemudian dalam pengaturannya
daerah yang memiliki potensi keuangan yang relatif besar akan memperoleh DAU
yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah yang miskin secara keuangan.
Dalam perhitungan DAU tahun 2001 diakui memang terdapat banyak kelemahan
sehingga konsep fiscal gap belum dapat dioptimalkan dan daerah-daerah maju/kaya
juga memperoleh DAU yang relatif besar. Kondisi ini dicoba untuk diperbaiki
dengan formula DAU yang lebih efektif dan digunakan dalam perhitungan DAU tahun
2001, sehingga ada beberapa daerah yang penerimaan DAU-nya tahun 2001 dikoreksi
dan memperoleh DAU yang lebih kecil dibandingkan tahun 2001.
Adanya penurunan DAU telah menimbulkan kecaman keras dari beberapa daerah yang
mengalami penurunan tersebut dan mengharap kepada pemerintah pusat untuk
meninjau kembali formula dan perhitungan agar tidak terjadi penurunan. Dalam
hal ini, ada perbedaan pola pandang antara pusat dan daerah mengenai alokasi
DAU. Bagi pemerintah pusat, alokasi DAU dimaksudkan sebagi alat untuk
pemerataan atau mengisi keuangan di dalam strurktur keuangan daerah, sementara
bagi daerah, alokasi DAU dimaksudkan untuk mendukung kecukupan daerah
(sufficiency). Perbedaan tersebut sering bermasalah ketika daerah minta kepada
pusat untuk memberikan DAU sesuai dengan kebutuhan daerah.
Penurunan DAU tahun 2002 dibandingkan dengan DAU tahun 2001 yang dialami beberapa
daerah telah diakomodasi oleh Panitia Anggaran DPR-RI, sehingga dengan
pertimbangan bersifat politis telah menginstruksikan pemerintah pusat untuk
melakukan penyesuaian dengan batasan bahwa tidak ada daerah yang mengalami
penurunan DAU tahun 2002 atau minimal sama dengan penerimaan DAU tahun 2001 di
tambah Dana Kontinjensi 2001. Paradigma ini menunjukkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi fiskal khususnya alokasi DAU dalam rangka perimbangan keuangan
antar daerah untuk mengatasi horizontal imbalance belum dapat dilakukan secara
optimal dan masih memerlukan tahap-tahap selanjutnya dalam memantapkan
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dilema dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah akan selalu ada jika tidak
terdapat kejelasan mengenai ketentuan mengenai dimana posisi masing-masing di
antara keduanya, karena pelaksanaan desentralisasi fiskal ini semata-mata hanya
sebagai suatu keharusan dilakukan bukan dianggap sebagai suatu perbuatan yang
mulia terutama bagi pemerintah pusat dan provinsi, dimana selalu ada pembatasan
terhadap pemerintah kabupaten dan kota, sedangkan seharusnya kewenangan
kabupaten dan kota merupakan kewenangan yang bebas dari kewenangan pusat dan provisi.
Kemudian dalam penetapan DAU seharusnya kita tidak hanya menyalahkan pemerintah
saja karen penurunan DAU yang di berikan pemerintah, karena DAU yang di
turunkan ke setiap daerah itu setelah melalui pertimbangan mengenai
potensi yang ada di daerah tersebut, apabila DAU di berikan besar namun SDM dan
kuranganya pemanfaatan yang baik serta kelebihan dana maka dana tersebut akan
ditarik kembali kepusat yang akan menyebabkan penumpukan dana yang besar di
pusat yang kemudian akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak sewajanya
menggunakan dana tersebut yang menyebabkan adanya korupsi. Namun ini
semua juga tidak dapat kita menyalahkan siapapun, karena kita tahu bahwa proses
desentralisasi fiskal ini masih baru di negara kita jadi kita masih dalam masa
proses perbaikan dari masa sentralisasi menjadi desentralisasi murni, namun
kita harus trus bersabar dan bersama-sama melakukan perubahan yang mendasar
yang kemudian akan ada perubahan yang menyentuh sendi-sendi pemerintahan
yang lebih dalam lagi.
b. Saran
1.
Kiranya baik pemerintah pusat maupun daerah mengkaji ulang
mengenai masalah pemisahan kewenangan antara mereka,
2.
Baik pemerintah pusat dan provinsi kiranya memeberikan
kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota sebagai mana mestinya,
3.
Pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan SDM daerah dan
dapat membuat program-program yang bermanfaat bagi masyarakat, jadi tidak ada
lagi seminar mendesak setiap akhir tahun agar DAU dapat berfungsi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Haris Syamsuddin, Desentralisasi dan
Otonomi Daerah ( Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Daerah), Penerbit LIPI Press, Cetakan Kedua, Jakarta 2005
Richrd M.Bird, Desentralisasi
Fiskal di Negara-negara Berkembang, Gramedia, 2000,
hlm 2.
UUD 1945 dan Amandemennya, Penerbit FOKUSMEDIA, edisi 2011,
Bandung 2011
Sumber Online :
1. UU No. 25 Tahun 1999
2. UU No. 22 Tahun 1999
3. UU No. 32 Tahun
2004
No comments:
Post a Comment
Mejuah-juah!