'Bukan cinta,
tetapi terpaksa!’ kata itu sering saya dengar terlontar dari mulut teman yang
notabene-nya masih bisa dikatakan pengantin baru. Hehehe...
Pernahkah
Anda sekalian mendengar kalimat cuci
kampung? Bagi Anda yang pernah mendengar atau pun bahkan melihatnya langsung,
maka Anda mengerti apa yang saya maksudkan, namun jika belum pernah sama
sekali, maka saya akan sedikit berbagi cerita tentang cuci kampung ini kepada
Anda.
Kata
cuci kampung kalau tidak salah untuk pertama
kalinya saya dengar di Simpang Rambutan(Suban), Jambi sekitar tahun 1997. Cuci
kampung kalau boleh saya katakan, adalah salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat
Melayu Jambi(mungkin di etnis lain juga ada hal demikian dengan istilah yang
berbeda) untuk membersihkan kampung dari hal-hal yang dianggap maksiat,
terutama untuk menangkal terjadinya perzinahan.
Di
wilayah Jambi terkhususnya di daerah dimana masih kental dengan tradisi Melayu
Jambi, untuk menjaga ketentraman masyarakat maka diberlakukan batasan kedekatan
antara pria dan wanita, juga jam malam. Hal ini diberlakukan dan telah menjadi
kesepakatan bersama demi terhindarnya kampung itu dari hal-hal yang tidak
diinginkan yang diakibatkan oleh perzinahan.
Jika
sepasang, ataupun beberapa pasang pria dan wanita berada dalam satu gedung
dengan rentan waktu yang lama, dimana diketahui mereka bukanlah pasangan suami
istri ataupun menunjukkan gerak gerik yang tidak lazim, apalagi itu terjadi
dimalam hari maka dapat dilakukan cuci kampung dengan menangkap basah mereka
dan menggiringnya ke rumah tokoh setempat.
Jika
sepasang kekasih yang belum menikah didapati bersama ditempat yang sepi,
misalkan di gubuk, di semah-semak, atau di rumah dan dalam rentan waktu yang
cukup lama terutama malam hari, apalagi melewati jam malam, untuk menghindarkan
terjadinya perzinahan, maka mereka akan di tangkap dan digiring ke rumah tokoh
setempat.
Jika
sepasang pria dan wanita didapati berduaan melewati jam malam, baik di gubuk,
di rumah, di semak-semak, bahkan di jalanan, maka mereka berdua juga akan di
tangkap dan digiring ke rumah tokoh setempat.
Atau,
jika sepasang pria dan wanita didapati tinggal serumah dan tanpa ada ikatan
pernikahan, sehingga meresahkan warga sekitar, maka mereka ditangkap dan
digiring ke rumah tokoh setempat.
Para
pasangan yang terjaring operasi cuci
kampung ini kemudian akan digiring ke rumah tokoh setempat, baik itu ketua
RT/RW, kepala dusun/lorong atau desa, tokoh adat, tokoh agama, maupun tokoh
masyarakat yang dituakan di kampung tersebut untuk nantinya diberi pembinaan,
dan jika perlu mereka akan dinikahkan, dan tidak jarang juga dilakukan
pengusiran karena dianggap akan menjadi aib dan contoh yang kurang baik bagi
generasi muda.
Memang,
tradisi cuci kampung ini dinilai
sangat baik untuk menjaga ketentraman di sebuah kampung, atau pun penangkal
dari prilaku perzinahan yang dimana saat sekarang cuku memprihatinkan.
Namun,
tak selamanya apa yang baik atau dinilai baik itu pada pelaksanaanya semuanya
baik. Banyak juga cerita menyimpang dan lucu, bahkan meninggalkan kesan buruk
pada pelaksanaan cuci kampung ini.
Saat
berkesempatan tinggal di Simpang Rambutan yang merupakan bagian dari Desa Suban,
Kecamatan Batang Asam(dulunya bagian dari Kec. Tungkal Ulu), Kabupaten Tanjung
Jabung Barat(yang dulunya Kab. Tanjung Jabung dan kemudian dimekarkan menjadi
Kab. Tanjug Jabung Barat(Tanjabbar) dan Kab. Tanjung Jabung Timur(Tanjabtim)),
Provinsi Jambi, banyak cerita cuci kampung ini yang tidak wajar dilakukan.
Pernah
sekali saya bercerita dengan seorang yang pengakuanya merupakan korban cuci kampung. Seorang pria asal Sumatera
Utara, yang pada satu kesempatan kami bercerita di sebuah kedai kopi. Sering
sahabat yang sama-sama perantauan dari Sumatera Utara melontarka ledekan
kepadanya, maaf, karena si kawan yang berbadan lumayan ideal dan wajah yang lumayan,
namun ber-istri-kan kalau boleh saya utarakan pendek, gemuk, hitam, dan
berambut keribo.
Kawan
ini menuturkan kepada kami kalau dia merupakan korban dari cuci kampung,
dimana si wanita yang kini adalah istrinya menjebaknya dengan mendatanginya ke
gubuknya di kebun, dan pengakuan kawan ini, betapa terkejudnya dia beberapa
saat setelah itu datang keluarga si wanita beserta pemuda kampun dan beberapa
tokoh masyarakat menangkap mereka dan menggiring mereka ke rumah ketua RT. Dan,
dipaksa menikahi si wanita. Walau awalnya(pengakuannya) dia keras menolak,
dengan alasan tidak tidak saling
mencintai dan hanya kesalah pahaman, namun dia pun terpaksa menikahi si wanita,
karena jika tidak dia diwajibkan membayar hutang kampung berupa sepasang
kambing untuk disembelih guna cuci kampung dan ancaman terberatnya adalah
pengusiran. Atas pertimbangan itulah si kawan ini merasa terpaksa harus
menikahi si wanita.
Kisah
yang lainya, adalah, dimana seorang pria berdarah asal Deli Serdang, Sumatera
Utara yang memiliki hubungan cukup dekat dengan seorang gadis setempat.
Karakter si pemuda yang terbuka, ramah, dan mudah berbaur, ternyata disalah artikan
oleh si gadis dan keluarganaya. Sehingga dalam satu kesempatan, dengan
kronologi kejadian hampir bersamaan seperti cerita diatas, mereka pun ditangkap
dan digiring ke rumah tokoh setempat. Namun, bedanya dalam kasus ini si pemuda
bersikeras menolak dan mengatakan ini sebuah kesalahan, dan karena saat itu
tidak ada titik temu perdamaian yang disepakati dan atas pertimbangan si pemuda
yang hanya perantau dan sebatang kara domisili di tempat itu, maka tak
segan-segan si pemuda itu pergi meninggalkan kampung itu untuk menghindar dari
kewajiban cuci kampung yang dibebankan kepadanya.
Kisah
berikut ini berbeda dari dua kisah sebelumnya, dimana kali ini ada seorang
pemuda pendatang yang jatuh cinta dengan gadis setempat, dan karena cintanya
terus ditolak, dia pun menyusun rencana untuk ditangkapkan. Malam itu, sekitar
pukul 21.00 wib, si pemuda tahu persis kalau si gadis akan lewat sepulang dari
masjid, maka dengan berlagak hendak membantu, dia menawarkan jasa untuk
mengantar si gadis ke rumah dengan sepeda motornya. Awalnya si gadis menolak,
namun karena sedikit dipaksa sehingga si gadis pun sedikit tidak enak menolak
kebaikan seseorang. Maka, si gadis pun bersedia diantar oleh si pemuda dengan
sepeda motornya.
Singkat
cerita, si pemuda bukannya mengantar si gadis kerumah, melainkan membawanya
kesebuat tempat sepi, namun dengan lihainya si pemuda bersikap seakan baik
kepada si gadis dan mengaku hanya hendak bercerita saja, karena si pemuda ini
tahu persis aturan di kampung itu dan mengusahakan seakan ini bukan suatu tindak
kejahatan namun mengusahakan si gadis merasa tidak mengalami penipuan sehingga
nantinya ini tampak suatu yang tak disengaja. Sekitar Pukul 22.30, jam malam
sudah berakhir dan tentunya orang yang sesekali lewat melihat sepasang insan
berlainan jenis klamin hanya berduan ditempat yang gelap melampaui jam malam,
maka tentunya berita ini tersebar ke kampung, dan pastilah tokoh setempat
menganjurkan masyarakat untuk melakukan tindakan cuci kampung. He-he-he… Dan
dengan kecerdikannya, dan pertimbangan harga diri keluarga(si gadis), maka cita-cita
si pemuda pun kesampaian.
Selain
seperti cerita-cerita diatas, cuci kampung ini juga sering direkayasa bukan
hanya sebelah pihak saja. Sering juga ini dilakukan oleh pasangan yang tidak
mendapat restu, sehingga dengan cuci kampung dan dengan mempertimbangkan nama
baik keluarga, maka mereka dinikahkan pula.
Cerita
beriku ini saya dengar dari seorang sahabat Krinci saya, saat berada di Suban
di tahun 2009, waktu itu saya berkesempatan tinggal di sana dalam rentan waktu
2009 – 2010. Cerita ini berawal dari seorang peria asal Jawa yang perawakanya cukup
menarik perhatian kaun hawa. Bertujuan mengubah nasib di perantauan, karena
sudah banyak saudara asal Jawa yang sukses mengikuti program transmigrasi di
wilayah Jambi, maka dia pun sepertinya tertarik mengikuti jejak pendahulunya.
Sebagai
seorang pemuda, tentunya membuka diri untuk bergaul dengan siapa saja tanpa ada
batasan agama, asal ususl, suku, ras, dll. Jiwa muda, jiwa yang netral. Hal ini
ternyata menaruh simpati cukup besar dalam hati seorang gadis setempat dan
keluarganya. Namun, si pemuda sudah memiliki wanita idaman, dan mengingat gadis
setempat yang menaruh hati yang cukup dalam kepadanya itu memiliki fisik yang
bisa dikatakan menurut standart ditempat itu sangat jauh dibawah
standart(maaf), tentunya sang pemuda tidak pernah menaruh perhatianya kepada
gadis itu.
Singkat
cerita, dengan perencanaan yang matang, maka mereka pun ditangkap oleh pihak si
gadis dan dipaksa untuk menikah. Nanimbang karena tidak mau memberi masalah
kepada keluarga yang dimana selama ini dia tinggal, maka si pemuda dengan
terpaksa menerima kewajiban cuci kampung dengan menikahi si gadis tersebut.
Cerita
belum berakhir sampai disitiu. Masalah kemudian terjadi saat dimana pesta
pernikahan itu akan dilaksanakan. Pesta yang di daerah itu bisa dikatakan pesta
yang cukup besar yang dihadiri banyak orang, awalnya tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan akan adanya masalah. Namun, orang yang hadir di pesta sadar ada masalah,
saat hendak pembacaan ijab kabul, dimana
pria yang datang adalah pria yang berbeda. Dan, pria yang seharusnya berada di
situ saat pembacaan hijab kabul sudah terbang ke Jawa dengan kekasihnya.
Masih
banyak lagi mungkin cerita dibalik cuci kampung ini yang luput dari perhatian
saya, namun itulah beberapa cerita yang sempat saya dengar dan bahkan lihat
saat berada di Suban, Jambi. Semoga ini memberi merupakan imformasi kepada
pambaca setidaknya sebagai bahan bacaan yang menghibur. Mejuah-juah.
No comments:
Post a Comment
Mejuah-juah!