Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Tuesday, March 19, 2013

    Kampung Karo

    Persimpangan Kampung Karo dengan Jalan Besar Patumbak
    Kampung Karo adalah salah satu nama dusun, tepatnya Dusun IV Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera Utara. Diyakini, Kampung Karo yang dalam penuturan masyarakat setempat dengan sebutan Kuta Karo adalah wilayah permukiman yang dipanteki(dibuka pertama kali/didirikan) oleh Tala Karo-karo Barus dan sangkep nggeluhnya(sanak keluarga) sekitar tahun 1940 s/d 1950-an dan merupakan pemindahan permukiman dari kawasan Asahan yang sekarang merupakan wilayah Medan Amplas. Dari cerita orangtua setempat, hal ini merupakan kesepakatan antara Raja Urung Senembah dengan masyarakat, mengingat masyarakat Karo adalah masyarakat petani sehingga hidup berebelahan langsung dengan kota bukan-lah pilihan yang tepat dan solusinya adalah Kampung Karo. 

    Seperti halnya Kecamatan Patumbak yang merupakan bekas ibu kota negeri Urung Senembah dibawah pimpinan Raja Urung Karo-karo Barus Mergana, tentulah Patumbak dan juga Kampung Karo(Dusun IV) ini berpenduduk asli dari Suku Karo dan Melayu hingga sekitar tahun 2000-an setelah jalan menuju Kampung Karo yang dulunya hanya sepanjang +/- 1 km kemudian diperpanjang dan kini sudah tembus ke Kecamatan Tanjungmerawa, berdatanganlah penduduk yang mayoritas dari etnis Batak. Pada umunnya mereka merupakan korban penggusuran dari Kota Medan yang sebahagian besar dari kawasan Mandala - Medan.

    Jalan Kampung Karo Patumbak yang menghubungkan Kecamatan Patumbak dengan Kecamatan Tanjungmerawa yang penjangnya sekitar +/- 3 km ini kini dinamai warga sekitar dengan nama Jalan Kampung Karo walau tidak ada pengesahan atau bahkan penamaan secara resmi. Sebenarnya, saat pembukaan jalan ini sekitar tahun 1999 – 2004 pernah muncul gagasan untuk menambalan nama Tala Barus yang merupakan orang pertama membuka Kampung Karo ini, namun entah mengapa hingga sampai pada saat ini belum ada aksi yang cukup berarti untuk merealisasikannya.

    Secara keseluruhan, penduduk di Kampung Karo Patumbak bermata pencarian sebagai petani dan buruh pabrik, dan sebahagian ada sebagai pegawai negeri, pedagang, ataupun sektor formal dan non-formal lainnya. Hingga tahun 2000 wilayah ini dikelilingi oleh perkebunan milik pemerintah, dimana disisi Selatan merupakan kawasan perkebunan kelapa sawit dan disisi Utara merupakan perkebunan kakao(coklat). Jadi, Kampung Karo ini permukiman penduduk awalnya hanya disepanjang jalan, dimana dari kedua belah sisi jalan hanya menyisakan sekitar 100 meter untuk permukiman dan selebihnya merupakan areal perkebunan.

    Saat meletusnya reformasi 1998 yang diawali gejolak krisis ekonomi dari tahun 1997, berbondong-bondong masyarakat Kampug Karo menyerbu perkebunan. Entah siapa yang memulai ataupun memprovokasi, namun rasa takut yang selama ini menghinggapi masyarakat Kampung Karo terhadap centeng-centeng(sebutan untuk pengawas) perkebunan tiba-tiba sirna. Bahkan, saya ingat saat dikerahkan dari unsur TNI dan Polri masyarakat juga tidak gentar menghadapinya. Pada saat-saat inilah muncul sebutan masa(maling sawit) atau ninja sawit dan maco(maling coklat) untuk masyarakat Patumbak, terkhususnya yang tinggal di Kampung Karo. Keterpurukan ekonomi Indonesia di masa itu sedikit pun tidak dirasakan oleh masyarakat Kampung Karo, mengapa tidak? Nilai tukar dolar yang melambung yang mempengaruhi harga kakao dan sawit turut dinikmati oleh sebahagian besar masyarakat Kampung Karo. Mulai dari anak usia 5 tahun hingga lanjut usia semua orang berduit. Tak jarang anak usia 5 tahun mengantongi uang Rp 50.000 hingga Rp 500.000 padahal saya ingat persis jatah jajan saya saat itu hanya Rp 2.500 dari orangtua, dan hal ini pastilah menggoda saya, namun orangtua memperingatkan dengan keras agar jangan ikut-ikutan dan salah satu cara orangtua untuk menghindarkan kami agar jangan ikutan adalah dengan mengungsikan kami ke Jambi atau ke Pekanbaru saat liburan sekolah. Uang yang berlimpah dengan jalan yang mudah dan cepat untuk diraih tentunya turut mempengaruhi psikologi masyarakat setempat, yakni segalanya tampak mudah dan instan, sehingga kemampuan untuk menghadapi masalah yang rumit tentunya menurun drastis. Pemandangan remaja dibawah umur yang menikah itu biasa, bahkan sepertinya hal yang wajar melihat anak-anak sekitar usia 5 – 15 tahun memegang rokok dan menghisapnya.

    Dari awalnya hanya menjarah hasil perkebunan berangsur-angsur menjurus ke penebangan tanaman perkebunan dan penguasaan lahan. Rasa takut(bukan menghormati) terhadap yang namanya manusi plat merah(pemerintah, pereman pemerintah, pejabat, dlsb) kini sirna.

    Dahulu, pertanian di Kampung Karo ini cukup maju. Walau dusun buntu(karena jalannya buntu), dan dengan kemajuan pertanianya, tak jarang putra/i Kampung Karo ini berhasil dan menjadi sarjana, bakan tercatat merupakan penghasil sarjana bagi Kabupaten Deli Serdang yang tersebar ke penjuru Indonesia. Dari cerita yang saya dengar dan dalam jangka waktu sebentar sempat juga saya rasakan sendiri, komuditas andalan dari Kampung Karo adalah kates(pepaya), kemiri, cengkeh, padi, kelapa, dan ikan air tawar. Kemajuan dari sektor pertanian ini juga dikatakan faktor utama putra/i dari Kampung Karo ini kemudian malas untuk melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi walau ada beberapa yang berprestasi. Mudah mencari makan, mudah memperoleh uang, dan mudah hidup karena tanah yang luas dan subur, sehingga terlena dan malas untuk berhadapan dengan dunia luar. 

    Cerita kehebatan Kampung Karo tidak berlangsung lama. Saat terjadinya penjarahan terhadap aset-aset perkebunan yang pada puncaknya penguasaan lahan dengan langkah awal mematikan tanaman perkebunan, tentunya memberi efek juga terhadap alam, dimana Kampung Karo yang dulunya sejuk karena dikelilingi tanaman perkebunan, kini terasa sangat panas dan gersang. Bahkan, semenjak tanaman perkebunan musnah, tanaman masyarakat juga ikut musnah terserang hama. Tanaman muda membusuk dan tanaman keras layu dan akhirnya mati. Ada yang mengatakan ini akibat migrasi serangga yang sebelumnya hinggap di tanaman perkebunan, namun setelah perambahan serangga-serangga itu berpindah ke tanaman warga. Sejenak perekonomian Kampung Karo tampak lesu, tanaman mati, kakao dan sawit tidak ada lagi untuk dijarah, dan barang dagangan-pun tidak laku. Kini baru terasa efek kerisis ekonomi itu. Kondisi ini semakin diperparah dengan dibukanya proyek-proyek galian tanah yang tentunya ikut serta menambah perusakan alam dan mencemari udara. Jalan-jalan Patumbak hancur karena harus menopang beban diatas kapasitas maximumnya. Jika kemarau udara Patumbak bercampur debu seperti salju, dan jika musim penghujan licin dan tergenang seperti kubangan sapi. Bertahun-tahun kondisi ini dirasakan masyarakat Patumbak, hingga puncaknya Januari - Februari 2013 masyarakat yang didominasi kaum ibu turun ke jalan membangun tenda-tenda agar mobil pengangkut tanah tidak dapat lewat. Setidaknya ada beberapa tenda diawalal-awal aksi, cuma lama-lama berkurang dan hanya menyisakan satu tenda di kawasan Desa Sigara-gara namun mereka terus bertahan hingga mobil pengangkut tanah benar-benar berhenti. Jadi, saya rasa perlu kita acungkan jempol buat kaum ibu-ibu Desa Sigara-gara dan kita ucapkan terima kasi untuk pahlawan-pahlawan kesehatan Patumbak ini.

    Setelah melewati masa-masa sulit, tak membuat masyarakat Kampung Karo benar-benar terpuruk dan patah semangat. Kini, perekonomian Kampung Karo sudah tampak mulai bergairah lagi. Sektor pertanian kembali bangkit, puluhan hektar lahan jagung, kolam ikan, ternak bebek peking, ternak babi, dan sektor lainnya kini menjadi andalan masyarakat Kampung Karo, namun sayang sektor pendidikan belum juga mulai bangkit sehingga, Kampung Karo yang dulu ditakuti dan disegani kini hanya dianggap dusun kecil yang kurang perhatian. bersambung.



    Link-lik terkait lainnya:



    No comments:

    Post a Comment

    Mejuah-juah!