Oleh
Juara R. Ginting (Leiderdorp, Netherlands)
disadur
dari group FB: JAMBURTA MERGA SILIMA.
Saya ada sedikit saran dalam membiacarakan
uis Karo ini, khususnya dalam hubungannya dengan ulos Batak dan Karo
Bukan Batak! (KBB) [JRG-red]. Namun, sebelum lebih lanjut membaca, ada baiknya kita mendengarkan video klip berikut ini. Mejuah-juah.
Kalak Karo |
Misalnya, pendapat senina Ginting mergana
coffee: "Beda uis gara dengan yg Simalungun apa? Saya lihat
sama aja." Nadanya adalah untuk dijadikan penangkis sebuah argumen (Karo
Bukan Batak). Padahal, saya yang sudah bertahun-tahun meneliti semua tenunan
tradisional di Sumatra tidak menemukan sebiji textil pun yang sama antara
Simalungun dan Karo. Lain halnya kalau mirip-mirip. Dan jangan lupa, kemiripan
tidak selalu terletak pada objek tapi juga pada otak si pemandang
(subjetifitas).
Saran ke dua, tidak adanya orang Karo bertenun
bukanlah barang baru. Justru sekarang ini sudah ada satu dua orang Karo yang
bertenun. Sudah sejak awal-awalnya orang Karo tidak bertenun. Tapi, orang-orang
Karo di Binjai, Sunggal, Laucih, Delitua dan Patumbak mengembangkan pertanian
kapas yang menjadi bahan dasar dari tenunan tradisional itu. Daerah ini disebut Sinuan Bunga (Penanam Kapas). Di bagian lebih atas,
seperti halnya sekitar Sibolangit, memproduksi gambir sebagai bahan dasar
pewarna tenunan, makanya disebut juga wilayah Sinuan Gamber(Penanam
Gamber).
Kapas didagangkan dari wilayah Sinuan
Bunga ke bagian lebih tinggi dari Taneh Karo setelah diadakan pemintalan oleh
orang-orang Karo. Hasilnya adalah Benang Sepuluh dan Benang Dua Puluh
(perhitungan yang penting dalam upacara raleng tendi: Siwah Spulu Sada / 9 + 11
= 20). (Ingat juga Aron Sepuluh dan Aron Dua Puluh yang terus saling bersaing
dalam acara guro-guro aron. Bila yang satunya menjadi aron simantek yang
lainnya menjadi aron anceng dengan memainkan drama gundala-gundala atau
pergamber-gamber di pinggir kampung).
Semua desa Karo melakukan pencelupan
(ertelep) sebelum mereka mengirimnya lewat Perlanja Sira ke Negeri Ketengahen
atau disebut juga Sitelu
Kuta/Sitolu Huta (Tongging, Paropo, Silalahi). Di sanalah uis Karo ditenun
dan nantinya dijemput kembali oleh Perlanja Sira dan menyerahkannya kepada
pemesan.
Ketika controleur Middendorp hendak
mengembangkan Bank Rakyat di sekitar tahun 1930-an (dengan mengirim beberapa
raja Karo seperti Pa Pelita ke Padang untuk belajar tentang bank), Pa Pelita si
Sibayak Kabanjahe menarik para penenun dari Sitolu Huta ke Kabanjahe dan
memberikan tempat tinggal untuk mereka satu kesain baru (sejak itulah banyak orang-orang
Situlo Huta di Kabanjahe). Ingat Sitolu Huta (Tongging, Paropo dan Silalahi)
bukan Toba dan bukan Samosir. Siapa mereka? Itu pertanyaan lain lagi yang bisa
kita bahas di lain waktu.
Sistim seperti ini terdapat hampir di
seluruh dunia. Kita ambil saja contoh Pulau Laboya (Indonesia Timur). Tenunan
Laboya dimulai di bagian Timur pulau itu dan dilanjutkan ke Laboya Tengah.
Penenun-penenun Laboya Tengah tidak boleh menyelesaikan tenunan. Mereka harus
menyisakannya untuk diselesaikan di Laboya Barat. Sistim ini terkait dengan
konsep The Laboya as a Woven Land yang, ternyata, dianggap punya body phyton
(Perhatikan motif kulit ular sawah pada uis gara yang tidak didapati di tenunan
Batak).
Sistim yang mirip pernah diperkenalkan
oleh antropolog ternama Bronislaw Malinowsky yang meneliti sistim pertukan
mwali (ubi rambat) dengan sulava (mutiara) di Trobrian Island (Fiji) yang
kemudian dianalisis oleh Marcel Mauss dengan menelorkan the theory of exchange
(ini menjadi trend baru di dalam Antropologi Ekonomi yang menjelaskan sistim
perbankan masa kini yang ternyata sama dengan primitive exchange. Sebagaimana
dikatakan oleh Levi-Strauss, Wall Street itu bukan tempat rasional dan logika
tapi tempatnya The Savage Mind (bukunya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda
Het Wilde Denken), alias rumah judi. Karena itu, para antropolog merasa berhak
berbicara atas krisis finansial yang terjadi akhir-akhir ini dan menuding
penyebab utamanya adalah bank-bank multi nasional yang membunuh bank-bank lokal
(sebut saja raja-raja kecil).
Kajian paling awal tentang tenunan
tradisional di Antropologi dilakukan oleh Marcell Mauss di kalangan Eskimo
(yang sekarang akan mengamuk kalau dibilang Eskimo. Mereka menyebut diri mereka
Inuit. Mereka sudah duluan dengan gerakan IBE yang mirip KBB; Inuit Bukan
Eskimo). Menurut Marcell Mauss, uis Inuit yang disebut Potlach adalah juga alat
tukar (sejenis uang) selain untuk melindungi diri dari rasa dingin. Dia
selanjutnya mengkaji pertukaran Potlach dalam upacara-upacara ritual.
Penelitian Mauss dijadikan oleh
Lévi-Strauss untu mematahkan teori penyebaran kebudayaan secara difusionisme
maupun migrasi. Dalam sebuah tulisan saya, saya merespon Lévi-Strauss dengan
memperlihatkan perbedaan antara Batak dengan Karo: Di Karo, uis mengalir dari kalimbubu
(life giver) ke anak beru (life receiver) (Ingat dalam ngosei). Di Batak, ulos
mengalir dari boru ke hula-hula. Ketika saya paparkan ini di Paris, murid-murid
Levi-Strauss langsung berkata: "Itu adalah pertanda Karo dan Batak
membedakan diri satu sama lain." (dalam missi mereka mematahkan teori dari
orang-orang Jerman yang tetap bertahan pada difusionisme dan evolusionisme
sehingga mereka getol mengucapkan Batak sebagai sebuah rumpun budaya). Tak
aneh, Daniel Peret (yang orang Perancis) mengkoyak-koyak rumpun Batak.
Saran berikutnya, jangan menganggap semua uis Karo
terinspirasi oleh Batak. Parang rusa[k] asalnya dari Gayo yang di sana berarti
parang rusa (tanduk rusa) yang artinya sama dengan parang mbelin di Karo.
Saran saya yang terakhir, mari mengkespresikan
pengalaman-pengalaman pribadi kita di sini tapi jangan lemparkan ke forum
sebagai sebuah kesimpulan akhir.
Mejuah-juah. :D
Salam semangat KBB
ReplyDeleteKARO BUKAN BATAK
ReplyDeleteMejuah-juah.
Bujur.
DeleteSalam hangat KBB. Mejuah-juah.