Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Friday, May 20, 2011

    Ini Bukan Berastagi, Lae!

    Cerita ini terjadi saat saya sedang mengambil formulir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), kalau tidak salah itu merupakan hari terakhir yang ditentukan Panitia SPMB untuk mengambil formulir. Sabtu, di Gedung Serbaguna UNIMED sekitarar pukul 14.45 wib, antrian masih panjang dan menurut jadwal penutupan dilakukan pukul 16.00 wib.

    Singkat cerita! Tinggal satu langkah lagi saya sudah berada di barisan terdepan... “lama jug!” gumamku dalam hati “padahal cuma satu orang yang mau diurusi. Dasar Indo...., birokrasi lelet!” Bosan dengan antrian, aku coba menghilangkan kejenuhanku dengan cari pemandangan di sekitar hehehehe..... kebetulan saat itu banyak cewek-cewek cantik yang ikut antri. “ Hm....! lumayan makanan mata.”  Wkwkwkwk... tanpa sengaja aku membaca nama yang tertera di map (folder) orang didepanku, tertulis : GINTING! “Oh, kade-kade!” kataku. Beberapa saat kemudian orang didepanku pergi karena urusannya telah selesai, selanjutnya giliranku.

                Saat perjalanan pulang aku melihat orang yang tadinya berdiri antri di depanku, juga sedang berjalan keluar komplek universitas itu. Seorang peria berbadan besar, kulit agak gelap, dan sekucur lengannya tampak bulu yang lebat (monyet kale...!!! Hahahaha..) Ku coba mendekatinya “Hi! Kamu ngambil formulir SPMB juga ya? Ku lihat tadi kamu di depanku.” Tanyaku dengan gaya khas’q. Hehehe..

                “Ia!” jawabnya datar sambil menganggukkan kepalannya.

                Selanjutnya ku perkenalkan diriku lengkap dengan mergaku yang selama ini membuatku merasa bangga. Hahahah... kataku: “Bastanta P. Sembiring” sambil menjulurkan tanganku kepadannya.

                “ ........ GINTING” balasnya sambil menjabat tanganku!

                “O.! Kalak Karo kam pal?” tanyaku, langsung menggunakan bahasa Karo.

                “Iya, lae!” jawabnya.

                “Lae!” Pikirku!

                Kusambung dengan menjelaskan identitasku: “Aku Sembiring Meliala, b’bre Ginting, kita tading i Patumbak!” tanyaku lagi: “Ja nari dage kuta pal’ku?”

                Jawabnya: “Kita orang Berastagi lae, tapi kost di Padang Bulan.”

                Percakapan terus berlanjut, namun aku selalu bertanya-tanya dalam hati: “Ini orang benar-benar gak ngerti bahasa Karo atau jangan-jangan dia malu berbahasa Karo?” Merasa tidak nyaman dengan komunikasi antara dua putra Karo, namun tidak menggunakan bahasa Karo aku coba bertanya kepadannya: “O, pal-ku.! Dai nari kucakapi kam salu cakap Karo tapi ku idah lalap i balas-du salu bahasa Indonesia?” Lanjutku “ labo min salah adi la kin iangkaindu cakap Karo e, tapi adi kam kalak Berastagi la kuakap mungkin kam la beluh cakap Karo!”

    Dia hanya terdiam acuh, tak acuh dengan pernyataanku.

                “La kuakap sedap saja adi kita kalak Karo, si etehka nge cakap Karo, tapi la kita cakap Karo.” Kataku! Lanjutku dengan bertanya: “La kin kam beluh cakap Karo pal’ku?”

                Sejenak dia tanpak diam, dan tiba-tiba dia bersuara dengan lantang: Ini bukan Berastagi, lae!

                “Wuih,  kawan ini! Sombong kali!. Orang Tapanuli, Jawa, Melayu, Flores, dll itu saja cakap Karo sama aku. Ini! Kau-nya orang Berastagi. Lang aku Nini Bulangku’pe nggom tubuh i Deli, ras nai-nai nari keluargaku enggom tading i Deli (Medan) enda!” Sesaat itu juga rasa simpatiku kepadanya sirnah. Aku sedikit merasa kecewa dan sedih melihat saudara sesukuku seperti malu berbahasa daerah denganku. Selama ini aku menganggap dan berfikir: orang yang berdomisili di daerah pegunungan Karo lebih menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Karo (salah satunya bahasa), tetapi ternyata tidak juga! Ternyata banyak juga putra/i Karo yang berdomisili di daerah pegunungan Karo dan sekitarnya yang malu menunjukkan identitasnya dan bahkan untuk berbahasa Karo saja tidak bisa. Bukan saat itu saja sering aku bertemu orang-orang yang demikian, namun aku tidak berkecil hati, mungkin ada hal-hal yang membuat mereka demikian. “Kalau tidak kita yang melestarikan dan menggunakan budaya kita, siapa lagi?”

    Jujur aku sedikit merasa panas dengan pernyataannya, tetapi tidak apalah; cara dan pemikiran orang itu berbeda. Namun menunjukkan ekspresi kekecewaanku, lantas ku menepis pernyataanya “Payo kata’du ena pal! Jenda memang labo seri ras Berastagi oh, aku Nini Bulangku’pe enggom tubuh i tanah Deli e, sada’pe lanaibo lit kami i Taneh Karo oh.! Bicara mulih-kin pe ku Taneh Karo lanaibo lit ingan kami ras mungkin lanaibo ialoken i joh, tapi setidakna em jadi kenang-kenangen ras tanda man kami bahwasana meherga, metunggung, ras mehaga akap kami pendahin-pendahin (perjuangan) Nini-ninita nai!” sambil berlalu dan meninggalkannya.

    ....
                Januari 2007 saat perjalanan menuju Kabanjahe bersama teman-teman diatas bus Sutra, tepatnya di daerah Bandarbaru. Seorang kondektur meminta ongkos, sebelumnya terjadi juga percakapan diantara kami.

                “Mau kemana, Lae?” tanya sang kondektur.

                Jawabku dengan lantang: “Ini bukan Tapanuli, Impal!”
    Hahahaha.....

    "Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menjunjung tinggi (menghargai) sejarah perjuangan bangsanya. Suku yang besar, adalah suku yang menjunjung tinggi (menghargai) dan mau melestarikan tradisi budayanya"
    Mejuah-juah kita kerina....

    No comments:

    Post a Comment

    Mejuah-juah!