Pilu rasanya
mendengar seorang pahlawan yang dengan gigih dan berani memperjuangkan
bangsanya namun dikemudian hari di-cap sebagai seorang penghianat oleh generasi
penerusnya yang sebelum itu diperjuangkan nasibnya. Itulah yang dialami oleh
beberapa pejuang di negeri ini, sebuat saja Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno yang sempat namanya
tercemar(dicemarkan) dimasa Orde Baru, tetapi syukurlah sekarang sudah
di-rehabilitasi(dibersihkan) kembali. Bukan itu saja, banyak pejuang-pejuang di
repoblik ini yang bukan hanya tidak memperoleh haknya sebagai seorang
pejuang(pahlawan), akan tetapi malah di-cap penghianat. Ulung Sitepu (Pa Timur),
adalah salah seorang yang pernah memimpin Sumatera Utara, tepatnya Gubernur
ke-delapan Sumut (15 Juli 1963 – 16 November 1965) dengan wakilnya saat itu P. R.
Talaumbanua (16 November 1965 – 31 Maret 1967) yang dikemudian hari
diangkat menggantikannya. Beliau yang memulai karirnya dari dunia militer
hingga puncak karirnya sampai pada posisi Gubernur Sumatera Utara dengan
pangkat terakhir di militer Brigadir
Jenderal(Brigjen), hingga meletusnya G30 S/PKI yang membuatnya jatuh dan
harus menelan pil pahit sebagai tawanan politik tanpa proses peradilan dan
tuduhan yang tidak jelas dan tidak seorangpun hingga saat ini di dunia ini dapat
membuktikannya hingga ajal menjempunya di dalam penjara.
Sejak kecil, Nini Bulang(kakek) saya selalu
menceritakan kisah-kisah keberanian para pejuang kepada saya, dan menceritakan
sosok-sosok pejuang itu dari banyak sudut-pandang. Saya sadar hal ini beliau
lakukan agar logika berfikir saya terbangun dan tidak hanya menerima
opini-opini publik yang digiring oleh sebuah kepentingan untuk menjatuhkan
ataupun memuliakan seorang tokoh atau kaum(kelompok). Dan, hal ini jugalah yang
kemudian hari mempengaruhi pola pikir saya tentang memandang atau menilai suatu
hal dengan lebih teliti dan tidak terburu-buru menerima begitu saja.
Kaitannya
dengan problematika etnisitas di Sumatera bagian tengah dan utara, ini
merupakan ruang-ruang etnisitas yang sangat rumit untuk menentukan batas-batas
dari kegiata etnisitas masa lampau, atau para ahli sering menyebutnya ruang-ruang jejaringan yang hilang!
Jeraringan yang hilang menurut hemat saya dalam artian akibat dari kuatnya opini publik yang
mendukung satu teori yang dianggap mutlak walau dalam sisi logika,
tradisi(cerita rakyat dan mistis), serta fakta tidaklah kuat atau bahkan jauh
dari kenyataan. Opini yang digiring oleh banyak kepentingan ini yang pada
akhirnya merupakan potensi terbesar dalam pengkaburan suatu kejadian bahkan
hingga ke identitas.
Dan, mungkin
dalam hal ini, isu yang paling krusial tentang identitas etnisitas di Sumatera
bagian utara dan tengah, adalah tentang mempertanyakan posisi Karo didalam
rumpun Batak, atau para patriot pejuang identitas ini dengan gamblang
mengatakan “Karo Bukan Batak!”. Menyikapi hal ini, hendaknya kita jangan
bersikap pragmatis ataupun menerima
begitu saja segala vonis yang diberikan kepada sekelompok etnis itu dengan
mudahnya, karena itu sungguh-sunguh sangat kejam dan menyakitkan. Itulah sebab
maka saya mengatakan “pentingnya membangun
logika berfikir dalam menyingkap fakta sejarah”. Namu, cukupkah hanya
logika? Ya, tentu tidak! Untuk mencapai sebuah kebenaran yang ril, kita harus
memperhitungkan juga beberapa aspek yang terangkum dalam dimensi ruang dan waktu, yang meliputi: logika, tradisi(cerita
rakyat dan mitologi), gentik(sifat baik yang tampak atau tidak), geografis, ekonomo,
dan teritorial.
Kembali kepada
apa yang dilakukan oleh pejuang identitas ini(Karo Bukan Batak), mungkin saya
tidak usah lagi membuka satu-per satu secara konkrit tentang apa yang yang
ingin saya kemukakan, karena pada dasarnya saya bukanlah seorang yang suka menggiring opini
publik demi mencapai tujuan tertentu dan karena hal ini sudah menjadi suatu
cerita umun di masyarakat, namun ntinya, saya ingin menekankan “pentingnya membangun logika berfikir dalam
menyingkap fakta sejarah!”.
Tetapi, berikut ini saya
ingin membagikan beberapa kata kunci yang mungkin dapat menjadi bahan
pertimbangan pembaca, seperti:
·
Antara Haru (Karo kuno), Majapahit, Sriwijaya, Padang Lawas, Pane dengan kisah Si
Raja Batak.
·
Tradisi Merga Silima(merga Karo)
beserta cabang(sub-)merga dengan Silsilah Terombo Marga Batak, Sejarah Suku Bangsa Mandailing, Sejarah suku bangsa Simalungun, serta legenda Danau Toba dalam versi Karo, Toba, dan etnis lainnya.
·
Sejarah Zending Hindu di Sumatera khususnya di bagian utara
dan tengah
·
Cakap(bahasa) Karo dengan bahasa Toba(atau batak lainnya),
benarkah hanya dialek saja yang berbeda?
·
Antara agama Pemena
dan Parmalin
·
Warna nasional Karo dan Batak serta kebiasaan dan peralatan
hidup lainnya.
·
Zending Kristen (RMG dan NZG)
·
Pandangan ahli-ahli antropologi, etimologi, sastra, agama,
dan budaya tentang satuan Batak.
·
Asal mula kata Batak!
btl3
ReplyDeleteSETUJU!
ReplyDeletePenting kita membangun logika dalam menyikapi sejarah agar jangan tersesat oleh opini-opini yang sengaja digiring untuk mempengaruhi opini publik yang pada akhirnya mengkaburkan fakta yang sesungguhnya. Bujur n Mejuah-juah!
ReplyDelete