Karo
Bukan Batak yang disingkat KBB merupakan gerakan moral sepontanitas kalak Karo
ataupun orang non-Karo namun telah menjadi kalak Karo dan mengamalkan tradisi
Karo dalam kesehariannya. KBB bukan organisasi. KBB bukan separatis anti suku
ataupun kelompok tertentu. KBB tidak mengemban misi kepentingan politik,
golongan, dll, tetapi KBB adalah gerakan melawan penjajahan(klaim meng klaim)
secara kultural. KBB mengemban misi perubahan pola fikir dan merupakan formula
untuk melawan LUPA. LUPA
terhadap apa? Lupa akan sejarah, jati diri, tradisi, dlsb!
Tentunya, masih
melekat dalam ingatan kita saat tetangga kita Malaysia mengklaim beberapa
warisan budaya kita, sebut saja batik,
reok Ponorogo, gordang sambilan, dlsb yang diklaim oleh mereka sebagai milik
mereka yang membuat seisi negeri ini seperti kebakaran jenggot dan tidak dapat tinggal
diam dan sontak memanaslah suasana, terutama di jejaringan sosial yang banyak
menyampaikan hujatan keras terhadap negerinya Datuk Sitti Nurhaliza tersebut.
Ini terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Bagaimana pula jika ini terjadi
diantara kita? Apakah kita akan saling menghujat? Atau yang mengklaim mundur
selangkah. Atau yang diklaim meridhokan budayanya dikleam? Pastinya jawaban ke-1
dan 3 tidaklah baik, karena tentunya ada pihak yang merasa dirugikan, jadi
solusinya adalah yang mengklaim mundur
selangkah dan mengurungkan niatnya untuk melakukan klaim(mengakukan)
tersebut. Tetapi, apa ada orang tamak yang sadar dan mau mundur? Saya ragukan
itu! Namun, pertanyaanya apakah saat milik kita hendak dirampok orang, kita
marah; namun kemarahan orang yang kita rampok tidak kita pedulikan? Rasanya
tidak adil.
Berbicara
melawan lupa, sebuah catatan sejarah yang cukup penting dalam memperjuangkan
kedaulatan daerah dan budaya Karo pernah terjadi di tahun 1988, dimana kejadian
ini bermula dari penetapan nama Taman Hutan Rakyat (TAHURA) yang berada di desa
Tongkeh, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo hendak dinamai menjadi Tahura
Sisingamangaraja XII oleh pihak pemerintah. Serentak segenap lapisan masyarakat
Karo menolak keras hal tersebut dengan beralasan kalau Sisingamangaraja XII
secara historis tidak pernah melakukan gerakan perjuangannya di wilayah Karo.
Juga, Sisingamangaraja bukanlah orang Karo dan bukan orang dari Taneh Karo
Simalem melainkan beliau sorang Batak dan berasal dari Tapanuli/Tanah Batak.
Dari diskusi yang
pernah saya ikuti tentang kejadian ini, ada satu nama yang paling sering muncul
dan dikatakan paling vokal menentang hal ini, yakni: Mayor Selamat Ginting atau
sering disebut dengan Pa Kilap Sumagan (kilap
sumagan = halilintar). Bahkan, salah seorang responden dalam diskusi
tersebut mengatakan kalau Mayor yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh
penting Gerakan Rakyat Marhenis dan pengikut setia Peresiden pertama Indonesia
Ir. Soekarno ini sangat tegas dan keras menentangnya, lanjut beliau(responden-red),
sangkin marahnya, Pa Kilap Sumagan sempat mendaratkan telapak tangannya di pipi
bupati Karo saat itu.
Dengan protes yang
dilayangkan unsur masyarakat, kalangan akademisi, ormas, OKP, unsur DPRD, dan
pemerintah Kabupaten Karo yang dengan tegas menentang, maka akhirnya pemberian
nama Tahura Sisingamangaraja XII diurungkan dan ditetapkan menjadi Tahura Bukit
Barisan. Dengan demikian, kedaulatan daerah dan budaya Karo sekali lagi dapat
dipertahankan berkat kegigihan orang-orang yang terlibat saat itu.
Tentunya, bagi orang
yang tidak mengerti dan kurang mengerti menganggap apa yang diperjuangkan
masyarakat Karo itu sebagai hal yang tidak etis, dimana penolakan nama seorang
Pahawan Nasional asal Sumatera Utara yang diberikan oleh pemerintah kepada aset
negara yang terletak di wiayah Provinsi Sumatera Utara. Mungkin jika nama itu
diberikan sekarang, maka orang banyak akan berkata: ‘Kok ditolak? Bukankah Sisingamangaraja XII pahlawan nasional dari
Sumatera Utara; dari Tanah Batak, dan juga Raja Batak(orang Batak), jadi pantas
dan apa salahnya jika namanya diabadikan di Tanah Leluhurnya?’, lanjutnya: ‘memang orang Karo ini penghianat semua
(kata-kata seperti ini yang sering saya baca pada diskusi-diskusi KBB)!’. Hehehe…
Dan, beberapa orang [b-]Karo akan katakan: ‘buat
apa kita ribut masalah itu, kerjakan saja kerjaan kalian. Memangnya apa yang sudah kalian perbuat sama
Tanah Karo ini’ Lanjutnya: ‘nggak
usahlah kalian(pro-KBB) memecah
belah, dari dulu bangsa Batak bersatu!’ Lanjutnya lagi: ‘kan itu pahlawan dari Batak, jadi wajar dong
namanya ditambalkan menjadi nama Tahura itu! ’. Nde , ah kalak Karo; Nggo
kita mberat! Hehehe…
Tidak banyak
generasi muda Karo saat ini yang tahu akan kejadian ini dan kejadian-kejadian
lainnya. Hal ini dikarenakan kalak Karo merupakan orang yang tidak suka memperpanjang
persoalan, menganggap hal itu tidak penting, bahkan mentabukan membahas masalah-masalah
yang pernah terjadi yang berkaitan dengan pemerintah dan etnis lain, sehingga
hal ini membuat kita lupa akan sejarah kita dan mematikan rasa simpati kita
terhadap daerah kita dan budaya kita, karena kita menganggap hal-hal tersebut
tidak berharga karena tidak memiliki nilai historis, seperti halnya aset-aset
dari etnis lain yang sangat menonjolkan nilai historis dan tradisinya. Maka
untuk itu, ada baiknya kita masyarakat Karo kembali bersatu mengusulkan satu
nama yang memiliki jasa dan nilai historis dalam sejarah perkembangan Tahura
ini dan juga tentunya daerah sekitarnya, yakni: Taneh Karo Simalem, agar
generasi Karo semakin peka dan menghargai ase-aset daerahnya. Misalkan: Tahura
Selamat Ginting, sehingga setiap kali orang berkunjung atau membahasnya akan
bertanya: ‘mengapa diberi nama Tahura Selamat Ginting?’
Mejuah-juah.
Kalak Karo pada dasarnya adalah bangsa yang menghargai tradisi, sejarah, dan perjuangan tokoh-tokoh bangsa ini, salah satunya ditunjukkan dengan kesetiaan masyarakat Karo kepada Ir. Soekarno hingga sekarang dan memberi gelar yang mulia kepada Soekarno, yakni: "BAPA RAKYAT SIRULO" (bapa semua bangsa, bapa kemakmuran rakyat, dlsb).
Kalak Karo pada dasarnya adalah bangsa yang menghargai tradisi, sejarah, dan perjuangan tokoh-tokoh bangsa ini, salah satunya ditunjukkan dengan kesetiaan masyarakat Karo kepada Ir. Soekarno hingga sekarang dan memberi gelar yang mulia kepada Soekarno, yakni: "BAPA RAKYAT SIRULO" (bapa semua bangsa, bapa kemakmuran rakyat, dlsb).
sambungan...
No comments:
Post a Comment
Mejuah-juah!