Erupsi Gunung Sinabung mengeluarkan lahar dan awan panas |
Sejak pertama kali melakukan letusan
(2013 – 2014) sekitar empat bualan yang lalu, pemberitaan tentang erupsi gunung
Sinabung ramai di semua media, baik
lokal maupun nasional. Namun, yang menarik
bagi saya, adalah cara penyampaian media, baik cetak, elektronik, maupun media
online beberapa hari ini dalam mengidentifikasi korban Sinabung, yakni: dengan pemakaian
istilah rakyat Sinabung, apalagi
menjelang detik-detik kunujungan Presiden SBY ke Taneh Karo.
Sebuah artikel tentang pengungsi
Sinabung beredar di media online dan setahu saya telah dihapus oleh pihak
penyedia layanan, karena dianggap berpotensi memecah belah dan mengandung
konten yang menjelekkan seseorang. Tidak diketahui pasti siapa yang
menulis dan meng-unggah konten tersebut, namun dari beberapa info yang saya peroleh itu bukan
dari masyarakat Karo yang merupakan mayoritas korban erupsi Sinabung. Dan saya
juga yakin itu bukan orang Karo, karena tidak mencerminkan tata kramah dan
etika komunikasi orang karo.
Kita apresiasi semua orang yang peduli dengan bencana
Sinabung, dengan cara dan gaya masing-masing, tapi kita menyayangkan jika
menyebar info yang tidak akurat, menyudutkan seseorang, dan hal-hal negatif
lainnya yang tidak mencerminkan sikap dan sifat masyarakat Karo yang mayoritas
menjadi korban erupsi Sinabung ini. ‘Kami orang….. tidak…!!!!!!’, saya rasa
juga orang Karo yang tinggal di Jakarta, Manado, dll dan menjadi korban banjir tidak
akan dan tidak akan pernah katakan, ‘Kami orang Karo …..’ yang mengatas namakan semua korban banjir itu
atas nama “Karo!”, tetapi akan lebih enak didengar: “Kami masyarakat Jakarta,
Manado, dll korban banjir ….” Maka semua orang akan dapat menerima. Ini salah
satu cara penyampaian informasi yang tidak sehat, dan apa kira-kira yang
menjadi motif si penyebar konten?
Dan, untuk hal kedua, mungkin saya yang terlalu sensitif,
atau bahkan ada pihak-pihak yang mengorganisir dalam pemakaian istilah rakyat Sinabung, bukan rakyat Karo yang tidak suka Karo menjadi
pusat perhatian. Mungkin masih dapat diterima jika menggunakan istilah masyarakat korban erupsi Sinabung. Memang, bagi beberapa orang hal ini bukanlah
masalah, tetapi, kalau saya menilai ini sebuah metode pemberitaan yang kurang
baik, dan tentunya merugikan masyarakat Karo. Mengapa? Tentunya jika
berbicara rakyat Sinabung maka satuan
etnis dominan disini akan menjadi kabur. Sehingga bukan kekaroan korban
Sinabung itu yang menonjol. Kita berharap, dibalik bencana erupsi Sinabung ini,
bukan hanya penderitaan saja yang terus menerus muncul, akan tetapi seperti
syair sebuah lagu “badai pasti berlalu”
demikian jugalah harapan kita bersama, sembari dari rangkaian cerita Sinabung
ini terselip nilai promosi bagi kemajuan kebudayaan Karo, namun jika rakyat Sinabung ceritanya, bisa saja
orang bilang itu Batak, Jawa, Melayu, dll. Saya jadi teringat sebuah tulisan (MU Ginting) di groups mailing-list Karo tentang protes Prof. Masri Singarimbun terhadap Keppres 1958 yang mengatakan bahwa Karo suku terasing, walau ini berbeda tetapi metode(motif)-nya saya membacanya hampir sama.
Dari contoh pertama diatas tadi(konten
yang telah dihapus-red), saya berasumsi bahwa orang yang menyampaikan konten
tersebut tidak paham apa yang terjadi dan tidak benar-benar mengenal Sinabung,
sehingga cara penyampaiannya yang bukan mencerminkan mayoritas masyarakat kaki
gunung Sinabung yang notabene-nya adalah etnis Karo, akan tetapi, dari
keberaniannya yang mengatas–namakan korban Sinabung, wah..! ini perlu
dipertanyakan. Yang walaupun mungkin ini
bukan kesengajaan, tetapi itu tidak baik, khususnya bagi masyarakat etnis Karo.
Jangan nanti Karo yang kena bencana, akan tetapi program bantuan, apakah itu
nanti dalam bentuk uang, binaan, relokasi, dll yang dianggarkan pemerintah yang
katanya ke rakyat Sinabung bukan ke
masyarakat Karo atau bias menjadi ajang berbagi telur paskah(sinabung dijadikan pintu gerbang aliran dana saja). Sihingga saya
kira ini perlu diluruskan, setidaknya bagi kita orang Karo dan yang peduli
dengan Karo. Sehingga berbicara Sinabung, Karo-lah yang menjadi pusat perhatian
bukan hal yang lain. Katakan Rakyat Karo bukan Rakyat Sinabung agar kekaroan
dibalik erupsi Sinabung ini tidak sekabur debu vulkanik Sinabung, sehingga
berbicara Sinabung maka Karo yang menjadi pusat perhatian. Selamat datang di
Taneh Karo, Pak Presiden(SBY). Mejuah-juah.
No comments:
Post a Comment
Mejuah-juah!