Mejuah-juah.   Rudang Rakyat Sirulo Comunity    Mejuah-juah.
    <--> MEJUAH-JUAH <-->

    Tuesday, February 12, 2013

    Aksara Karo

    aksara Karo
    A. Apa itu aksara?

    Aksara merupakan sebuah sistem simbolisasi visual yang tertera pada media tulis berupa kertas, kayu, bambu, daun, batu, logam, atau media lainnya. Simbol visual ini, kemudian difungsikan untuk mengutarakan ataupun menterjemahkan unsur-unsur ekspresif dari suatu bahasa lisan menjadi bahasa tulisan. Dengan ketentuan, disepakati dan dimengerti bersama oleh para penggunanya.

    B. Apa itu aksara Karo?

    Aksara Karo, adalah salah satu aksara kuno yang ada di nusantara, yang dipergunakan untuk mengapresiasikan unsur-unsur ekspresif dalan cakap(bahasa) Karo. Yang diakui, disepakati, dimengerti, serta dipergunakan secara bersama oleh para penggunanya, yakni masyarakat Karo. Karena itu maka disebut dengan aksara Karo.
    Adapun media dalam menuliskan aksara Karo ini sama halnya dengan aksara-aksara lainnya. Namun, secara umum aksara Karo dahulu kebanyakan ditulis pada bilah bambu ataupun kulit kayu, yang diukir dengan menggunakan ujung mata pisau dan kemudian dihitamkan dengan zat pewarna yang diperoleh dari alam ataupun, dengan memanaskan logam dan diasah ke tulisan yang telah terukir, sehingga menimbulkan efek gosong(warna hitam).

    C. Aksara Karo dalam sejarah dan tradisi Karo

    aksara karo
    Silsilah Aksara Karo
    Dipercaya, aksara Karo yang sering juga disebut surat Aru(Haru) ini merupakan aksara yang diturunkan secara langsung dari aksara Palawa(wenggi), rumpun dari aksara Brahmi yang berkembang di India bagian selatan. Dimana masuknya ke nusantara juga ke Aru diperkirakan sekitar awal abad I(pertama), dibawa langsung oleh bangsa Tamil bersamaan dengan masuknya kepercayaan Hindu(Senata Dharma) yang di Karo dikenal dengan Pemena(agama asli Karo, pemena = awal, pertama). Namun, ada juga yang melontarkan pendapat yang berbeda. Dimana dikatakan bahwa aksara ini sebenarnya turunan dari aksara Nagari(Devanagari), yang merupakan rumpun dari aksara Brahmi yang berkembang di India bagian utara, yang masuknya ke nusantara sekitar abad ke-5 bersamaan dengan masuknya ajaran Budha. 


    Aksara dan bahasa Karo juga diyakini pernah eksis dan menjadi tulisan dan bahasa umum yang dipergunakan di beberapa wilayah Sumatera bagian utara, timur, dan tengah.  Atau dengan kata lain, aksara dan bahasa resmi dimasa kejayaan kerajaan Aru.
               
    Aksara Karo, dalam kehidupan masyarakat Karo, selain dipergunakan sebagai media komunikasi(surat menyurat), juga dipergunakan sebagai ragam hias, menuliskan pustaka(kitab), cerita, dan lain sebagainya. Beberapa turi-turin(cerita asal usul) merga bahkan diketahui pernah ditulis dalam cakap dan juga aksara Karo, seperti Pustaka Kembaren, Pustaka Ginting, dan Hikayat Hamparan Perak(Sembiring Plawi).
               
    Secara konkrit, mulai akhir tahun 1880-an, segala urusan kebata-kan dan penunjukan kountrolir, serta hukum di Dusun(Karo Jahé/Deli-Serdang) disusun dalam cakap Karo. Di tahun 1909, sultan Deli menandatangani hukum adat peradilan Dusun yang diselenggarakan oleh Westenberg(kountrolir) atas permintaan para pemimpin Dusun diterjemahkan dalam cakap Karo. Bahkan mungkin juga dalam aksara Karo!

                Diketahui juga, di tahun 1887 para guru tradisional di Karo Jahé mengajar baca dan menulis  bahasa daerah masih dibayar dengan mata uang emas(dirham/draham)[..]. Ini merupakan salah satu bentuk konfirmasi akan eksistensi aksara dan bahasa Karo dimasa lampau. Bahkan, hingga kini di beberapa daerah di Deli-Serdang, Langkat, dan – tentunya di Kabupaten Karo masih ada mata pelajaran daerah, yakni Aksara Karo.

    Dalam turi-turin Karo sendiri, setidaknya ada dua tradisi sub-merga yang ada kaitanya dengan  aksara, seperti pada tradisi Sembiring Gurukinayan dan Peranginangin Sinurat.

    Dalam tradisi Sembiring Gurukinaya, diceritakan bahwa salah satu keturunan dari Megit[-dan] Brahmana yang bernama Mbulan Brahmana(cikal bakal Kesain Rumah' Mbulan Tanduk, Kabanjahe) saat melakukan perjalanan menemukan sebuah buluh kayan ersurat(bambu bertulikan ilmu bela diri) yang kemudian menetap, membuka kuta(kampung, permukiman), dan mengajarkan mayan(silat). Sehingga, dikemudian hari keturunannya disebut Gurukinayan yang kini menjadi salah satu sub-merga Sembiring Gurukinayan.

                Beda hal dengan apa yang diceritakan pada tradisi Peranginangin Sinurat. Diceritakan, Peranginangin Sinurat ini merupakan juru tulis dari Raja Urung Peranginangin Pincawan di Perbesi, sehingga keturunannya disebut sinurat(si = si, yang, dia; nu/ni = yang, melakukan;  surat = menulis; sinurat = yang menuliskan ataupun juru tulis) dan kini menjadi sub-merga Peranginangin Sinurat. Download full versi PDF

    bersambung...

    No comments:

    Post a Comment

    Mejuah-juah!